The Phenomenon
Saturday, 17 September 2011 | 12:18
Judul diatas saya ambil dari sebuah gelaran yang saya hadiri di aula Graha Sanusi UNPAD sekitar dua tahun yang lalu, sebuah acara yang cukup spektakuler untuk mengapresiasi seseorang, Darso The Phenomenon. Ya!….sangat banyak memang seniman Sunda yang besar baik ditingkat lokal maupun mancanegara namun tentunya bukan tanpa alasan jika rektor Unpad, sekaligus mantan atase kebudayaan Republik Indonesia di Perancis, Prof. Ganjar Kurnia yang dikenal sangat peduli terhadap seni Sunda, memberi apresiasi khusus kepada pria bernama lengkap Hendarso yang lebih kondang dipanggil Darso.
Dalam tulisan ini saya akan mencoba berkisah kenangan-kenangan bersama The Phenomenon, berbeda dengan khalayak yang mengupas Darso dari sisi seni Sundanya, saya akan mencoba membidik sudut lain, tentang The Phenomenon, the legend dengan fenomena dan legenda lainnya…….PERSIB, karena bagi saya Darso adalah nyata seorang bobotoh.
Senin 12 September 2011, hari itu saya dan (mungkin) jutaan bobotoh lain sibuk mencari info dan terus mengupdate info melalui gadget masing-masing, maklum saja semua ingin mengetahui perkembangan terbaru mengenai pengumuman pemain PERSIB, dimana tengah diadakan pertemuan acara antara manajemen PERSIB dan para pemain di Bandung. Namun apa yang terjadi, menjelang sore tiba-tiba diri ini terhenyak, terkejut seakan tidak percaya ketika membaca kabar mengenai wafatnya Darso, seorang seniman Sunda besar paling fenomenal yang pernah dilahirkan. Rasa sedih dan kehilangan pun menyeruak seakan menutup semangat untuk terus mencari tahu info mengenai perkembangan PERSIB di Bandung.
Saya memang bukan seniman dan tidak terlalu mengakrabi secara personal sosok Darso dalam konteks seni, namun saya adalah penikmat karya-karyanya yang memang sangat layak dinikmati. Lagu-lagunya terutama yang berbicara mengenai asmara dan kerinduan senantiasa menemani diri jika ingin merindu seseorang secara lebih nyunda.
Saya pribadi sempat beberapa kali bersua dan berbincang dengan penyanyi yang kerap dijuluki sebagi “Mick Jagger” tatar Sunda ini, namun ada 3 pertemuan yang paling saya ingat, karena di 3 pertemuan itulah saya yang masih berprofesi sebagai reporter program PERSIB Aing STV Bandung memiliki kesempatan untuk banyak berbincang dengan Darso mengenai satu hal yang mungkin tidak akan ditanyakan oleh jurnalis lain pada saat itu, yaitu tentang PERSIB. Tiga Pertemuan itu adalah ketika Darso menjadi pengisi acara di Tegalega dalam rangkaian perayaan HUT Kota Bandung, Ketika Darso hadir di Stadion Jalak Harupat dalam sebuah pertandingan PERSIB (jika tidak salah ketika PERSIB menang telak atas persik kediri) dan ketika Darso menjadi salah satu bintang tamu diacara sunatan masal yang diselenggarakan oleh kelompok bobotoh terbesar, acara tersebut diselenggarakan di saung angklung Udjo.
Darso dan PERSIB akan sangat nyambung jika kita menjadikan Sunda dan Kasundaan sebagai benang merah, tentang sebuah identitas, cara berpikir global dalam tatanan kearifan lokal, dan satu hal yang pasti PERSIB dan Darso yang tumbuh dari hal yang sangat tradisional, citarasa yang digemari rakyat bawah (pada awalnya), ngampung……namun justru jika orang tak mengenal apa PERSIB dan siapa Darso maka dijamin dia itu sangat-sangat kampungan. Peminat dan penikmat 2 icon ini sudah mendunia dan berasal dari berbagai kalangan, keduanya mendapat tempat istimewa dihati para penggemarnya yang mengglobal, meski perlu diakui bahwa tolak ukur awalnya sangat-sangat lokal dan primordial.
Darso adalah seorang bobotoh, hal itu dapat saya tangkap jelas, ekspresi wajahnya sangat antusias ketika mengetahui dalam sesi wawancara saya akan mengajaknya ngobrol tentang PERSIB, bagi Darso PERSIB adalah kebanggaan urang Sunda, Darso tidak terlalu peduli bahwa dalam beberapa hal nilai-nilai Kasundaan mulai tercabut dari tim kebanggaan warga Jawa Barat itu, pemain-pemain asing dan luar Bandung yang mendominasi, PERSIB yang berubah menjadi PT sehingga kendali dan daulat warga Bandung atas PERSIB melalui APBD mulai beralih ke tangan segelintir orang. Bagi Darso biarlah itu semua berdinamika sesuai tuntutan zaman, karena Darso menempatkan diri sebagain bobotoh kebanyakan, yang tak ingin tahu mengenai tetek bengek yang rumit, yang dia tahu adalah PERSIB=>Bandung, Bandung>Jawa Barat, Jawa Barat>Pasundan>Priangan>Sunda. Sehingga menurutnya lagi, jika PERSIB berjaya ya otomatis dirinya sebagai urang Sunda akan senang, bagja, bingah kacida. Dalam konteks yang sederhana pula Kang Darso pernah mengutarakan harapannya bahwa dirinya sangat merindukan suatu saat nanti PERSIB akan kembali dihuni putra-putra terbaik bumi pasundan seperti masa lalu, dihuni oleh nama-nama Asep, Dadang, Jajang, Wawan dsb.
Ketika ditanya mengenai PERSIB yang tak kunjung berprestasi, jawabnnya pun standar, seperti kebanyakan bobotoh, yaitu kecewa namun tetap mendukung dan selalu berharap kejayaan itu akan segera terulang. Dalam konteks lain, sungguh bukan suatu hal yang berlebihan jika Kang Darso berharap agar PERSIB dan bobotohnya mampu merepresentasikan jati diri urang Sunda, yang ramah, anti kekerasan, santun, amis budi, hade kasemah dan nilai-nilai luhur lainnya, maka Kang Darso sungguh prihatin dengan tren bobotoh sekarang yang akrab dengan kekerasan, mengganggu orang lain, bergaya bonek seolah tidak beradab, sungguh tidak mencerminkan pribadi urang Sunda.
Darso adalah apa adanya dan tanpa rekayasa, dirinya adalah seseorang yang konsisten dan menikmati benar apa yang menurut dirinya adalah tidak buruk, dalam sebuah pemaparan dijelaskan bahwa dimasa lalu sebenarnya Darso ini termasuk pelopor seni calung yang agak nyeleneh, dengan gayanya, ketidakteraturannya dll terkadang cukup kontradiktif dengan beberapa sisi Sunda yang cenderung konservatif, tapi Darso maju terus dan justru membesarkan sebuah tren baru dengan istilah Calung Darso. Maka dalam perkembangannya jadilah sosok ini membawakan lagu Sunda namun tak berpakaian adat, justru menari-nari berlenggok bebas, berkacamata hitam, terkadang berjas, dan dilain waktu bergaya seperti Michael Jackson. Menurut persepsi penulis, justru feel dan prinsip seperti inilah yang terkadang cocok dengan suporter sepakbola modern, jangan terlalu kaku, bebas berekspresi, terkadang melepaskan diri dari norma-norma namun tetap tidak mengarah kepada hal yang buruk.
Satu hal lain yang penulis ingat tentang Darso adalah mengenai kejujuran, Ya!….Darso adalah orang yang jujur, dia ingin begini ya begini, dia ingin begitu ya begitu……Seperti dalam sebuah perbincangan di Jalak Harupat, Ketika ditanya maksud kedatangannya, Darso menjawab bahwa selain ingin menonton PERSIB, dirinya pun hendak bertemu dengan walikota Bandung, Dada Rosada-yang memang berencana hadir dalam pertandingan hari itu, dirinya pun mengatakan bahwa dirinya membutuhkan bantuan serta kewibawaan walikota dalam proyek terbarunya, sembari tertawa dia seringkali bergurau “komo mun ayaan mah…hahaha” (pada kenyataannya Kang Darso adalah seorang seniman yang tidak materialistis, hal ini pun diakui oleh Dada Rosada dalam sebuah pemberitaan). Entah apa yang terjadi kemudian saya tidak tahu, namun tampaknya upaya Kang Darso sukses, pasalnya beberapa bulan kemudian muncul video klip Darso berjudul Dulang Kuring, dan Kahayang Keukeuh yang pengambilan gambarnya dilakukan dilingkungan Balai Kota Bandung, tentu saja hal ini sangat tidak sembarangan dan membutuhkan restu dari petinggi kota Bandung.
Satu hal lagi yang membuat penulis menyukai Darso, adalah keterbukaan dan keterusterangannya dalam menangkap keindahan wanita, sebagai seorang seniman yang memiliki kepekaan tinggi terhadap keindahan, tampaknya Darso paham benar bahwa salah satu ciptaan-Nya yang paling indah adalah wanita, dan Darso dapat menempatkan itu dalam sebuah bingkai yang elok serta elegan…lihatlah video-video klip Darso yang memperlihatkan para wanita-wanita cantik menari menari dibelakangnya sebagai latar, begitu sensual, energik, penuh gairah, indah, namun tidak seronok dan begitu beradab.
Kini sosok seniman besar itu telah tiada, begitu cepat memang, menyusul kepergian seniman Sunda besar lainnya pada tahun ini setelah Kang Ibing dan Euis Komariah…….ingatan penulis melayang menyusur waktu, ketika penulis tengah berkutat dengan pemikiran-pemikiran para Founding Fathers bangsa ini, diantaranya adalah Ir. Soekarno, Soekarno yang juga dikenal sebagai pecinta seni pernah mengatakan: “mencetak seorang Insinyur itu jauh lebih mudah daripada mencetak seorang seniman, mencetak seniman itu sulit”. Maka tak heran jika tahanan-tahanan politik dimasa lalu yang berlatar belakang seniman mendapat perlakuan “berbeda”. Mereka tetap dapat berkarya dan “dipelihara” secara baik……adzan Dzuhur berkumandang, saatnya penulis menemui-Nya, sungguh pas dengan alunan lagu “Dina Hamparan Sajadah” dari Darso feat. Ebith beat A yang baru saja terdengar dari laptop ini…..
*Penulis adalah urang Sunda, bobotoh PERSIB, Bekerja di Jakarta

Judul diatas saya ambil dari sebuah gelaran yang saya hadiri di aula Graha Sanusi UNPAD sekitar dua tahun yang lalu, sebuah acara yang cukup spektakuler untuk mengapresiasi seseorang, Darso The Phenomenon. Ya!….sangat banyak memang seniman Sunda yang besar baik ditingkat lokal maupun mancanegara namun tentunya bukan tanpa alasan jika rektor Unpad, sekaligus mantan atase kebudayaan Republik Indonesia di Perancis, Prof. Ganjar Kurnia yang dikenal sangat peduli terhadap seni Sunda, memberi apresiasi khusus kepada pria bernama lengkap Hendarso yang lebih kondang dipanggil Darso.
Dalam tulisan ini saya akan mencoba berkisah kenangan-kenangan bersama The Phenomenon, berbeda dengan khalayak yang mengupas Darso dari sisi seni Sundanya, saya akan mencoba membidik sudut lain, tentang The Phenomenon, the legend dengan fenomena dan legenda lainnya…….PERSIB, karena bagi saya Darso adalah nyata seorang bobotoh.
Senin 12 September 2011, hari itu saya dan (mungkin) jutaan bobotoh lain sibuk mencari info dan terus mengupdate info melalui gadget masing-masing, maklum saja semua ingin mengetahui perkembangan terbaru mengenai pengumuman pemain PERSIB, dimana tengah diadakan pertemuan acara antara manajemen PERSIB dan para pemain di Bandung. Namun apa yang terjadi, menjelang sore tiba-tiba diri ini terhenyak, terkejut seakan tidak percaya ketika membaca kabar mengenai wafatnya Darso, seorang seniman Sunda besar paling fenomenal yang pernah dilahirkan. Rasa sedih dan kehilangan pun menyeruak seakan menutup semangat untuk terus mencari tahu info mengenai perkembangan PERSIB di Bandung.
Saya memang bukan seniman dan tidak terlalu mengakrabi secara personal sosok Darso dalam konteks seni, namun saya adalah penikmat karya-karyanya yang memang sangat layak dinikmati. Lagu-lagunya terutama yang berbicara mengenai asmara dan kerinduan senantiasa menemani diri jika ingin merindu seseorang secara lebih nyunda.
Saya pribadi sempat beberapa kali bersua dan berbincang dengan penyanyi yang kerap dijuluki sebagi “Mick Jagger” tatar Sunda ini, namun ada 3 pertemuan yang paling saya ingat, karena di 3 pertemuan itulah saya yang masih berprofesi sebagai reporter program PERSIB Aing STV Bandung memiliki kesempatan untuk banyak berbincang dengan Darso mengenai satu hal yang mungkin tidak akan ditanyakan oleh jurnalis lain pada saat itu, yaitu tentang PERSIB. Tiga Pertemuan itu adalah ketika Darso menjadi pengisi acara di Tegalega dalam rangkaian perayaan HUT Kota Bandung, Ketika Darso hadir di Stadion Jalak Harupat dalam sebuah pertandingan PERSIB (jika tidak salah ketika PERSIB menang telak atas persik kediri) dan ketika Darso menjadi salah satu bintang tamu diacara sunatan masal yang diselenggarakan oleh kelompok bobotoh terbesar, acara tersebut diselenggarakan di saung angklung Udjo.
Darso dan PERSIB akan sangat nyambung jika kita menjadikan Sunda dan Kasundaan sebagai benang merah, tentang sebuah identitas, cara berpikir global dalam tatanan kearifan lokal, dan satu hal yang pasti PERSIB dan Darso yang tumbuh dari hal yang sangat tradisional, citarasa yang digemari rakyat bawah (pada awalnya), ngampung……namun justru jika orang tak mengenal apa PERSIB dan siapa Darso maka dijamin dia itu sangat-sangat kampungan. Peminat dan penikmat 2 icon ini sudah mendunia dan berasal dari berbagai kalangan, keduanya mendapat tempat istimewa dihati para penggemarnya yang mengglobal, meski perlu diakui bahwa tolak ukur awalnya sangat-sangat lokal dan primordial.
Darso adalah seorang bobotoh, hal itu dapat saya tangkap jelas, ekspresi wajahnya sangat antusias ketika mengetahui dalam sesi wawancara saya akan mengajaknya ngobrol tentang PERSIB, bagi Darso PERSIB adalah kebanggaan urang Sunda, Darso tidak terlalu peduli bahwa dalam beberapa hal nilai-nilai Kasundaan mulai tercabut dari tim kebanggaan warga Jawa Barat itu, pemain-pemain asing dan luar Bandung yang mendominasi, PERSIB yang berubah menjadi PT sehingga kendali dan daulat warga Bandung atas PERSIB melalui APBD mulai beralih ke tangan segelintir orang. Bagi Darso biarlah itu semua berdinamika sesuai tuntutan zaman, karena Darso menempatkan diri sebagain bobotoh kebanyakan, yang tak ingin tahu mengenai tetek bengek yang rumit, yang dia tahu adalah PERSIB=>Bandung, Bandung>Jawa Barat, Jawa Barat>Pasundan>Priangan>Sunda. Sehingga menurutnya lagi, jika PERSIB berjaya ya otomatis dirinya sebagai urang Sunda akan senang, bagja, bingah kacida. Dalam konteks yang sederhana pula Kang Darso pernah mengutarakan harapannya bahwa dirinya sangat merindukan suatu saat nanti PERSIB akan kembali dihuni putra-putra terbaik bumi pasundan seperti masa lalu, dihuni oleh nama-nama Asep, Dadang, Jajang, Wawan dsb.
Ketika ditanya mengenai PERSIB yang tak kunjung berprestasi, jawabnnya pun standar, seperti kebanyakan bobotoh, yaitu kecewa namun tetap mendukung dan selalu berharap kejayaan itu akan segera terulang. Dalam konteks lain, sungguh bukan suatu hal yang berlebihan jika Kang Darso berharap agar PERSIB dan bobotohnya mampu merepresentasikan jati diri urang Sunda, yang ramah, anti kekerasan, santun, amis budi, hade kasemah dan nilai-nilai luhur lainnya, maka Kang Darso sungguh prihatin dengan tren bobotoh sekarang yang akrab dengan kekerasan, mengganggu orang lain, bergaya bonek seolah tidak beradab, sungguh tidak mencerminkan pribadi urang Sunda.
Darso adalah apa adanya dan tanpa rekayasa, dirinya adalah seseorang yang konsisten dan menikmati benar apa yang menurut dirinya adalah tidak buruk, dalam sebuah pemaparan dijelaskan bahwa dimasa lalu sebenarnya Darso ini termasuk pelopor seni calung yang agak nyeleneh, dengan gayanya, ketidakteraturannya dll terkadang cukup kontradiktif dengan beberapa sisi Sunda yang cenderung konservatif, tapi Darso maju terus dan justru membesarkan sebuah tren baru dengan istilah Calung Darso. Maka dalam perkembangannya jadilah sosok ini membawakan lagu Sunda namun tak berpakaian adat, justru menari-nari berlenggok bebas, berkacamata hitam, terkadang berjas, dan dilain waktu bergaya seperti Michael Jackson. Menurut persepsi penulis, justru feel dan prinsip seperti inilah yang terkadang cocok dengan suporter sepakbola modern, jangan terlalu kaku, bebas berekspresi, terkadang melepaskan diri dari norma-norma namun tetap tidak mengarah kepada hal yang buruk.
Satu hal lain yang penulis ingat tentang Darso adalah mengenai kejujuran, Ya!….Darso adalah orang yang jujur, dia ingin begini ya begini, dia ingin begitu ya begitu……Seperti dalam sebuah perbincangan di Jalak Harupat, Ketika ditanya maksud kedatangannya, Darso menjawab bahwa selain ingin menonton PERSIB, dirinya pun hendak bertemu dengan walikota Bandung, Dada Rosada-yang memang berencana hadir dalam pertandingan hari itu, dirinya pun mengatakan bahwa dirinya membutuhkan bantuan serta kewibawaan walikota dalam proyek terbarunya, sembari tertawa dia seringkali bergurau “komo mun ayaan mah…hahaha” (pada kenyataannya Kang Darso adalah seorang seniman yang tidak materialistis, hal ini pun diakui oleh Dada Rosada dalam sebuah pemberitaan). Entah apa yang terjadi kemudian saya tidak tahu, namun tampaknya upaya Kang Darso sukses, pasalnya beberapa bulan kemudian muncul video klip Darso berjudul Dulang Kuring, dan Kahayang Keukeuh yang pengambilan gambarnya dilakukan dilingkungan Balai Kota Bandung, tentu saja hal ini sangat tidak sembarangan dan membutuhkan restu dari petinggi kota Bandung.
Satu hal lagi yang membuat penulis menyukai Darso, adalah keterbukaan dan keterusterangannya dalam menangkap keindahan wanita, sebagai seorang seniman yang memiliki kepekaan tinggi terhadap keindahan, tampaknya Darso paham benar bahwa salah satu ciptaan-Nya yang paling indah adalah wanita, dan Darso dapat menempatkan itu dalam sebuah bingkai yang elok serta elegan…lihatlah video-video klip Darso yang memperlihatkan para wanita-wanita cantik menari menari dibelakangnya sebagai latar, begitu sensual, energik, penuh gairah, indah, namun tidak seronok dan begitu beradab.
Kini sosok seniman besar itu telah tiada, begitu cepat memang, menyusul kepergian seniman Sunda besar lainnya pada tahun ini setelah Kang Ibing dan Euis Komariah…….ingatan penulis melayang menyusur waktu, ketika penulis tengah berkutat dengan pemikiran-pemikiran para Founding Fathers bangsa ini, diantaranya adalah Ir. Soekarno, Soekarno yang juga dikenal sebagai pecinta seni pernah mengatakan: “mencetak seorang Insinyur itu jauh lebih mudah daripada mencetak seorang seniman, mencetak seniman itu sulit”. Maka tak heran jika tahanan-tahanan politik dimasa lalu yang berlatar belakang seniman mendapat perlakuan “berbeda”. Mereka tetap dapat berkarya dan “dipelihara” secara baik……adzan Dzuhur berkumandang, saatnya penulis menemui-Nya, sungguh pas dengan alunan lagu “Dina Hamparan Sajadah” dari Darso feat. Ebith beat A yang baru saja terdengar dari laptop ini…..
*Penulis adalah urang Sunda, bobotoh PERSIB, Bekerja di Jakarta

Betul kang Eko, bagi saya PERSIB dan DARSO adalah Sunda nya orang sunda…
Ki Sunda … Nyi Sunda geura garugah kasep … geulis, prung lah geura manggung prak lah geura makalangan ulah kaelehkeun ku batur
Cirambay kuring macana,duh enya ge kurimg jauh ka persib darso jeung jadi urg sunda reueus pisan,16thn katukang babaturan nyebut kuring kampungan gara2 beuki ka darso pas kuring balik ka bdg muringkak bulu punduk si babaturan geus jadi pecinta penikmat aki darso,ayi eko selalu kutunggu tulisanya selalu merasa dekat bangga ka persib.
Saya menikmati tulisan2 kang eko,btw mana lanjutan tulisan tentang pelatih dan profesor nya?diantos,trims
orang sunda mah, euweuh anu ngarana eko..aya oge eka…
pek weh geura susud dina panca kaki .ari ngaku mah pek wae
ngan ulah diaku. kade ah ulah sakali kali nulis ngaku asli sunda
bari jeung poekeun naon cing ari sunda teh?
ceuk saha eko lain ngaran urang sunda, loba babaturan kuring ngaranna eko asli urang sunda lahir ti sunda indung bapana aki ninina oge urang sunda, sarua jeung si dodo babaturan kuring asli pituin urang sunda … pake polo ari komentar teh tong asa aink pangsundana bari jeung euweuh kontribusina
enya urang ge boga babaturan smp ngarana dodo asli sunda, eko aya babaturan smp keneh..
cuma mau ngutip MAUNG LAUTAN API dari PHB (lirik yg kocak namun sarat makna :D) buat kang adiguar. utk membuka wawasan kita kalo URANG SUNDA itu LUAS. tidak sempit kawas pemikiran ente.
“sayah urang sunda mendukung persib bandung
kusabab da sayah mah urang bandung atuh nya wajib weh ngadukung persib mah heu euh
oe babah liong ngadukung pelsib oge
hayah kalao tidak toko oe bisa belantakan atuh
hayah oe oe oe
nyong wong tegal mendukung persib bandung
lantarane (nu ieu rada bingung urang) wadon ku wong bandung
ternyata pendukung persib bandung
berasal dari banyak daerah.. uwowowowooo
lihatlah pendukung persib bandung
semua bersama mendukung…
maung maung maung
persib bandung bukan macan tapi maung maung bandung
maung!
nah sekarang giliranku bernyanyi
ah ah susah kali masuk lagu ini
ah yang penting aku mendukung persib bandung bah
soalnya aku sudah lama tinggal di bandung
bang kiri bang aye turun di depan
payun neng payun..
ah kau ini eneng apa encep
eh kamfret sembarangan dalam ucapan
perkenalken yee kite punya nama nur..nurcahyadi..sebel!
ternyata pendukung persib bandung
berasal dari banyak golongan uwowowowooo
lihatlah pendukung persib bandung
semua bersama mendukung..
teruslah maju persib bandungku..
teruslah maju selalu..
teruslah maju kami mendukung
jadilah rangking ke satu..
jadilah rangking ke satu..
jadilah rangking ke satu..
sebentar tunggu..
ah lupa tadi si bencong belum bayar ongkos
ah kacau kali tuh bencong
mampus aku”
@adiguar: tah, maneh hiji conto jelema matak batur nganggap urang sunda bodo, da sia mah pengetahuan na dangakal, bodo!nu ngarana urang sunda, bisa karena darah, bisa karena lila di taneuh sunda n nginum cai sunda, bisa karena pengakuan, eta ditegaskeun ku abah hidayat suryalaga, aya urang2 sunda jeung tokoh sunda nu bahkan boga marga, jaba leuwih kentel n puguh deui kang eko mah, eta lanceuk simkuring di lises (lingkung seni sunda) di unpad, kuring apal pisan yen eko boga darah sunda ti indungna …..dsar belegug sia mah adiguar!
leres kang agus, si adiguar mah jelema teu gableg polo … polona disteundeun dina bool sugan tah jelema teh
Punten eta kang agus fisip.nya lises 2004?intinamah abdi satuju sareng agus, sunda mah sanes ku nami, banyak temen2 yang namanya eka, dadang, asep, tapi kalo sehari2 ngomongnya elu gue,gak bisa menjaga identitas sebagai tuan rumah, sy gak kenal kang eko tp suka nonton acaranya justru terlihat nyunda,logat,bahasa,bahkan temen sy yg sastra sunda menjadikan acara persibnya jd penelitian karena setiap wawancara bahasa asingnya di translate bukan ke bahasa indonesia tapi bahasa sunda,kritik ka kang agus, duh teu di kampus teu di internet,sok kasar wae ah mun ka jalmi nu teu sapanuju,hehe,punten ah
Duh kalahkah ngabahas nu lain2,nu penting mah tingali eusina tong cangkangna,loba org2 asli sunda nu teu bisa ngamumule sunda,nu jelas mah ieu tentang darso,persib,tulisana resep urang mah,ieu nu nulisna saha kitu?wartawan atawa saha?
nice! apresiasi positif utk kang Eko Maung yg mampu mengangkat tema yg unik. melihat bah darso dari sisi persib.. menyelimutinya dengan rasa pasundan!
Maju terus urang sunda.. dan hidup persib!
mantap kang, diantos tulisan2 nu sanesna….
Sisi lain dari persib, Persib dicintai semua kalangan, dari anak sekolah, kuliah, buruh, seniman, pengusaha, pemain band, aki-aki, nini-nini, bapak=bapak, ema-ema, budak cinta PERSIB
Bobobtoh ti Bekasi…