

Sutiono Lamso, Bandung, 2021
Siapa yang menyangka, seorang pengembara dari Purwokerto sukses menjelma sebagai predator paling berbahaya yang dimiliki Persib Bandung. Sutiono Lamso adalah mesin gol Maung Bandung dengan segudang prestasi yang diraih. Tidak main-main, golnya juga turut hadir di final kompetisi Perserikatan terakhir (1993/1994) dan Liga Indonesia I (1994/1995).
Simamaung mencatat Sutiono mencetak 42 gol sejak kompetisi Liga Indonesia I 1994/1995, ketika peserta dari kompetisi Perserikatan dan Galatama digabung. Jumlah yang belum bisa dicapai siapapun hingga musim 2020. Dan total gol yang pernah dicetak sang striker tentu lebih banyak jika ditambah kreasinya pada ajang Perserikatan dan turnamen lainnya sejak membela Persib di musim 1989/1990.
Tumbuh di Banyumas, dia memutuskan untuk merantau ke Bandung pada tahun 1988 dan bergabung dengan klub intern Persib, Produta. Di sana Sutiono tampil moncer hingga akhirnya dilirik membela tim utama Persib. Musim debutnya tahun 1989/1990 pun berbuah manis, Sutiono menjadi bagian dari tim yang berhasil merebut titel juara di partai final usai menundukkan Persebaya Surabaya.
Produktivitasnya pun terus terasah seperti saat mengikuti Piala Jawa Pos, Piala Gubernur Jawa Tengah dan Piala Utama. Satu tempat di posisi penyerang pun selalu menjadi milik pria kelahiran 19 Agustus 1966 tersebut. Padahal posisi awal dari Sutiono ketika merintis karir di level tarkam adalah gelandang serang. Tapi karena dia punya ketajaman dan kerap mencetak gol, akhirnya fungsi sebagai juru gedor ditempatinya ketika membela Persib.
“Saya full main striker itu di Persib, pas saya datang itu pas ga ada striker di Bandung dan saya punya naluri gol tinggi jadi saya main jadi striker. Memang sih awalnya kesulitan karena dijaga ketat dalam bermain tapi karena naluri gol yang setiap main ingin cetak gol jadi ya saya ditaruh di depan dan siap. Di situ kan saya juga belajar dari senior seperti kang Ajat (Sudradjat) yang mendorong saya,” terang Sutiono kepada Simamaung.
Menjadi seorang ujung tombak tentu bukan pekerjaan mudah, sehingga pria yang akrab disapa Suti ini mencari inspirasi dari pemain-pemain top dunia. Salah satu striker yang menjadi role model baginya adalah Marco van Basten. Bomber mematikan asal Belanda itu merupakan pemain yang diidolakan oleh Suti karena insting golnya yang tajam di depan gawang lawan.
“Saya dulu mengidolakan van Basten, pemain AC Milan itu dengan gol-golnya yang spektakuler, di situ kan dia kecil cuma dia punya kecepatan, naluri gol tinggi seperti gol tahun 88 bikin tendangan voli. Itu menginspirasi saya, saya belajar terus dari situ. Meski saya beda levelnya, tapi saya terus belajar dari van Basten. Kalau untuk Indonesia dulu saya mengidolakan Ricky Yacob,” tutur dia.
Dari sekian banyak gol yang dihasilkannya, gol-gol di saat genting tentu yang paling diingat terutama kreasi yang dihasilkan di final Perserikatan 1993/1994 dan Liga Indonesia I 1994/1995. Sutiono muncul menjadi pembeda di pertandingan itu berkat naluri membunuhnya masing-masing ke gawang PSM dan Petrokimia Putra. Sang pemain pun menjelaskan kunci sukses untuk ‘meledak’ di momen krusial.
“Jadi saya itu di awal sambil main itu sambil mencari kelemahan mereka dan konsentrasi mereka juga. Jadi mereka kan ga nyangka saya akan lebih fokus lagi, lebih fight lagi, lebih tenang lagi di menit akhir. Karena biasanya di menit akhir itu ada perubahan terutama di konsistensi permainan mereka, di situ saya memanfaatkan momen itu. Ketika dia lengah, di situ kita mengambil keuntungan,” jelasnya.
Gol di kedua final itu pula yang diakuinya menjadi peristiwa paling diingat ketika membela Persib di karir sepakbolanya. Dia masih ingat betul proses gol di final Perserikatan 1993/1994 ketika menghadapi PSM. Saat itu golnya menerima assist dari Yusuf Bachtiar mengunci kemenangan Persib setelah sebelumnya Yudi Guntara sudah membuka keunggulan.
“Memang harus pemain yang punya daya pikir yang cepat, kalau ga punya daya pikir cepat ga mungkin bisa bikin gol seperti itu. Kang Yusuf dribbling dari sebelah kiri, saya minta ke tiang dekat, lalu ditutup sama pemain sana dan saya mundur lagi. Kang Yusuf balikin bola ke area terakhir saya bergerak dan otomatis lawan ketipu dan begitu bola datang saya lansgung push. Ketika bola belum masuk saya bahkan sudah selebrasi karena kondisinya sudah kosong sih,” kenangnya.
Selain itu, gol semata wayang saat menghadapi Petrokimia Putra di Liga Indonesia 1994/1995 pun tak akan pernah dilupakannya. Kembali Yusuf Bachtiar yang menjadi pelayan Sutiono dari lini kedua, kali ini operan jeniusnya diselesaikan oleh pemain bernomor punggung 9 ini untuk menaklukkan Darryl Sinerine pada menit 76. Gol ini membawa Persib juara dan mencatatkan Sutiono sebagai striker terganas Persib untuk satu musim.
“Dan yang kedua final itu (Liga Indonesia 1994/1995) dan sampai sekarang juga masih sering (ditonton) di youtube karena momen spesial. Karena pertama ada Liga Indonesia, kita dari Perserikatan, dan kita pemain lokal semua, terus kita bisa menang. Dan yang lebih karena saya yang cetak golnya, gol ke-21 dalam satu musim dan memang spesial karena gol itu. Bahkan saya juga ga sadar gimana bisa bikin gol, saya selebrasinya sebenarnya ingin kaya gimana tapi begitu karena sudah lepas kendali,” tutur dia.
Catatan 21 gol yang dikumpulkan dalam satu musim pun nyatanya hingga saat ini belum bisa dilewati oleh penerusnya yang mengisi slot striker Persib. Hanya Sergio van Dijk yang setidaknya sudah mampu menyamai apa yang ditorehkan Sutiono pada musim 2013. Pria yang kini bekerja sebagai ASN di Kota Bandung itu pun mengaku heran kenapa rekornya belum bisa terpecahkan.
“Sebetulnya saya engga ngerti juga ya, karena di kita ini kan banyak pemain asing. Kalau pemain lokal semakin berat lah ya karena sekarang di Persib ga ada striker lokal yang tajam. Sebenarnya engga sulit sih menurut saya karena mereka pemain asing, dulu juga pernah ada Gonzales yang jadi top skorer dimana-mana tapi pas ke Persib kan ga sampai,” ujarnya.
“Ekene Ikenwa dulu sempat, Barkaoui dan sebagainya sampai kemarin Eze, Eze juga kan sempat dari tujuh kali main sempat bisa bikin delapan gol waktu itu, artian kalau dia konsisten pasti saya lewat. Tapi ternyata main bola kan seperti itu, putaran pertama dia bagus tapi karena ada yang menghambat ini itu jadinya kan ga bisa ngejar saya. Ga tahu yah, saya juga aneh kenapa kok sulit bikin lebih dari 21 gol itu padahal itu pemain asing,” lanjutnya.
Menurutnya dibutuhkan konsistensi dan motivasi berlipat untuk bisa mencetak 21 gol dalam satu musim kompetisi. Hal itu yang dirasakan olehnya ketika masih aktif bermain dulu. Dia enggan mendapat cacian dari Bobotoh dan caranya adalah bagaimana bisa membawa tim meraih kemenangan. Sedangkan posisi dia sebagai striker yang mana ekspektasi suporter agar tim mencetak gol ada di pundaknya.

Sutiono Lamso bersama Roby Darwis, Bandung, 2019
“Sebetulnya waktu itu ga terlalu peduli dengan mencetak gol, yang ada di saya hanya main bola dan menang, karena waktu itu kan dituntut oleh masyarakat, Bobotoh. Kalau kita kalah itu dikekeak kan, ditambah saya pemain depan. ‘Wah butut striker, mandul’ nah itu yang memotivasi saya untuk ingin selalu mencetak gol. Karena saya pemain depan, tanggung jawab saya tinggi pasti, kalau kalah pasti ada ucapan ‘pemain depannya tidak bisa cetak gol’ dan itu suatu tantangan,” bebernya.
Hanya saja bukan berarti kiprah Sutiono di lini depan Persib berjalan mulus. Banyak tantangan dihadapi seperti bek-bek lawan yang setia mengadang. Menurutnya, trio bek Bandung Raya menjadi momok yang paling menyulitkannya. Selain ada dua bek langganan tim nasional seperti Nur Alim dan Herry Kiswanto, Bandung Raya juga menggunakan jasa bek asing dengan postur menjulang, Olinga Atangana.
“Dulu itu ada, waktu sama saya itu ya bek-bek Bandung Raya itu. Ada Olinga Atangana, Nur Alim sama Kang Herry Kiswanto, meski Kang Herry itu usianya sudah hampir 40 tahun tapi memang sulit ditembus lah,” ujarnya. “Dan mungkin mereka juga tahu sama-sama dari Bandung, pengaruh untuk tim itu untuk berebut suporter jadi yang terjadi seperti itu jadi saling motivasi jangan sampai kebobolan,” tutupnya.
Ditulis oleh Mohamad Anki Syaban, jurnalis Simamaung, berakun Twitter @Ankisyaban Instagram @anki_syaban.
Komentar Bobotoh