Stadion Galuh dan Perlawanan Terhadap Sejarah Ciamis
Sunday, 22 March 2015 | 15:14
Jangan ditanya apa fungsi stadion sepakbola kepada para penggemar olahraga yang melibatkan 22 pemain aktif di lapangan itu. Mereka akan sepakat menjawab stadion sebagai tempat untuk berinteraksi, berekspresi, dll, baik secara jasmani maupun rohani. Stadion bagi mereka adalah tempat suci, kuil dan altar yang menguras emosi, sisi religius, bahkan semangat perlawanan.
Di Indonesia, stadion dapat dikatakan sebagai identitas masyarakat setempat. Banyak sekali stadion di negeri ini diberi nama dengan nama yang berhubungan dengan sejarah atau kebudayaan masyarakat setempat. Maka, kita akan menemukan stadion dengan nama Siliwangi dan Si Jalak harupat di Bandung, Dadaha di Tasikmalaya, Singaperbangsa di Karawang, dll. Di luar Jawa Barat, ada stadion bernama Gelora Bung Karno, Gelora Sriwijaya, Gelora 10 November, dll.
Di Ciamis, penduduk dan pemerintah setempat memberi nama stadion kebanggaan mereka dengan nama Stadion Galuh. Penamaan nama Galuh sendiri merupakan hal yang cukup istimewa, karena nama ini berhubungan dengan sejarah dan emosi penduduk kota yang cukup sepi ini.
Galuh sendiri disinyalir berasal dari Galeuh yang berarti bagian inti pohon kayu yang berwarna kehitaman dan keras. Kata ini juga identik dengan kata galih yang berarti kolbu. Nama ini, sebagai nama kerajaan waktu itu, telah terpatri kuat di hati semua penduduk di sana, bahkan sampai sekarang. Kata “Galuh” masih digunakan oleh masyarakat Ciamis sebagai identitas kebanggaan mereka, termasuk penamaan stadion.
Menurut sejarawan Sobana Hardjasaputra, Galuh adalah nama sebuah kerajaan yang muncul abad ke-7 di sekitar daerah Karangkamulyan sekarang. Di abad 8, Galuh sempat menjadi pusat kerajaan Sunda, setelah dua kerajaan besar yaitu Sunda di sebelah barat sungai Citarum dan kerajaan Galuh yang berada di sebelah timurnya disatukan. Keadaan ini berlangsung sampai abad 16, dimana kerajaan Sunda Galuh jatuh ke tangan Mataram. Di bawah pemerintahan mataram, kerajaan Galuh berubah menjadi sebuah pemerintah setingkat kabupaten, Kabupaten Galuh. Nama Galuh sendiri bertahan sampai masa pemerintahan Bupati R.A.A. Sastrawinata, yang mengubah nama Galuh menjadi Ciamis dengan arti dan alasan yang kurang jelas di tahun 1916.
Sejarawan Mumuh Muhsin bahkan mengatakan bahwa saat ini muncul penafsiran negatif bahwa Bupati R.A.A. Sastrawinata, yang berasal dari Karawang namun merupakan turunan dari Galuh melalui bupati Karawang pertama, Adipati Singaperbangsa I, ingin memutuskan mata rantai kesinambungan (kontinuitas) sejarah. Ini berarti, perubahan nama dari Galuh menjadi Ciamis ini bisa jadi bertujuan supaya masyarakat Galuh terputus dari sejarahnya.
Pemutusan sejarah masyarakat Galuh ini disesalkan oleh berbagai pihak. Seperti diungkapkan sastrawan Godi Suwarna, perasaan masyarakat Ciamis sebagai masyarakat Galuh sangatlah kuat. Kang Godi memakai bahasa nasionalisme dalam kasus ini, di mana dia berkata bahwa nasionalisme kegaluhan orang Ciamis sangat kuat. Hal ini bisa menjadi sebab, mengapa bupati saat itu yang juga berada di bawah pengawasan pemerintah Hindia Belanda mengganti nama Galuh dengan Ciamis.
Perlawanan ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, termasuk sepakbola. Selain menggunakan nama Galuh sebagai stadion, masyarakat Ciamis menggunakan nama Galuh di nama kesebelasan kebanggaan mereka itu. Peneliti sejarah Sepakbola Indonesia Novan Herfiyana menemukan data jika PSGC (Persatuan Sepakbola Galuh Ciamis) asalnya bernama Persigal (Persatuan Sepakbola Indonesia Galuh). Nama Persigal ini juga menggantikan nama Persig (Persatuan Sepakbola Indonesia Galuh) yang digunakan pra kemerdekaan.
Penamaan sesuatu dengan kata “Galuh” merupakan suatu kebanggaan bagi masyarakat Ciamis. Sepertinya, masyarakat Ciamis ingin mempertahankan identitas mereka sendiri yang telah terpaksa diubah namanya dan ada perlawanan di sana. Penamaan sesuatu dengan nama “Galuh” dapat dikatakan sebagai bentuk perlawanan masyarakat Ciamis atas hak identitas mereka.
Sumber:
A. Sobana Hardjasaputra, Ciamis Kembalikan Lagi ke Galuh, Makalah dalam seminar sehari di Kampus Unigal, 2012
Mumuh Muhsin, Galuh atau Ciamis, Makalah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran, Jatinangor, 2012.
Novan Herfiyana, 26 Agustus 1990-2010: PSGC A (Ciamis) Menjuarai Piala Galuh 1990, https://novanmediaresearch.wordpress.com/2010/08/26/26-agustus-1990-2010-psgc-a-ciamis-menjuarai-piala-galuh-1990/
Ditulis oleh @hevifauzan , admin @simamaung, bobotoh keturunan Galuh.
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili pendapat redaksi keseluruhan.

Jangan ditanya apa fungsi stadion sepakbola kepada para penggemar olahraga yang melibatkan 22 pemain aktif di lapangan itu. Mereka akan sepakat menjawab stadion sebagai tempat untuk berinteraksi, berekspresi, dll, baik secara jasmani maupun rohani. Stadion bagi mereka adalah tempat suci, kuil dan altar yang menguras emosi, sisi religius, bahkan semangat perlawanan.
Di Indonesia, stadion dapat dikatakan sebagai identitas masyarakat setempat. Banyak sekali stadion di negeri ini diberi nama dengan nama yang berhubungan dengan sejarah atau kebudayaan masyarakat setempat. Maka, kita akan menemukan stadion dengan nama Siliwangi dan Si Jalak harupat di Bandung, Dadaha di Tasikmalaya, Singaperbangsa di Karawang, dll. Di luar Jawa Barat, ada stadion bernama Gelora Bung Karno, Gelora Sriwijaya, Gelora 10 November, dll.
Di Ciamis, penduduk dan pemerintah setempat memberi nama stadion kebanggaan mereka dengan nama Stadion Galuh. Penamaan nama Galuh sendiri merupakan hal yang cukup istimewa, karena nama ini berhubungan dengan sejarah dan emosi penduduk kota yang cukup sepi ini.
Galuh sendiri disinyalir berasal dari Galeuh yang berarti bagian inti pohon kayu yang berwarna kehitaman dan keras. Kata ini juga identik dengan kata galih yang berarti kolbu. Nama ini, sebagai nama kerajaan waktu itu, telah terpatri kuat di hati semua penduduk di sana, bahkan sampai sekarang. Kata “Galuh” masih digunakan oleh masyarakat Ciamis sebagai identitas kebanggaan mereka, termasuk penamaan stadion.
Menurut sejarawan Sobana Hardjasaputra, Galuh adalah nama sebuah kerajaan yang muncul abad ke-7 di sekitar daerah Karangkamulyan sekarang. Di abad 8, Galuh sempat menjadi pusat kerajaan Sunda, setelah dua kerajaan besar yaitu Sunda di sebelah barat sungai Citarum dan kerajaan Galuh yang berada di sebelah timurnya disatukan. Keadaan ini berlangsung sampai abad 16, dimana kerajaan Sunda Galuh jatuh ke tangan Mataram. Di bawah pemerintahan mataram, kerajaan Galuh berubah menjadi sebuah pemerintah setingkat kabupaten, Kabupaten Galuh. Nama Galuh sendiri bertahan sampai masa pemerintahan Bupati R.A.A. Sastrawinata, yang mengubah nama Galuh menjadi Ciamis dengan arti dan alasan yang kurang jelas di tahun 1916.
Sejarawan Mumuh Muhsin bahkan mengatakan bahwa saat ini muncul penafsiran negatif bahwa Bupati R.A.A. Sastrawinata, yang berasal dari Karawang namun merupakan turunan dari Galuh melalui bupati Karawang pertama, Adipati Singaperbangsa I, ingin memutuskan mata rantai kesinambungan (kontinuitas) sejarah. Ini berarti, perubahan nama dari Galuh menjadi Ciamis ini bisa jadi bertujuan supaya masyarakat Galuh terputus dari sejarahnya.
Pemutusan sejarah masyarakat Galuh ini disesalkan oleh berbagai pihak. Seperti diungkapkan sastrawan Godi Suwarna, perasaan masyarakat Ciamis sebagai masyarakat Galuh sangatlah kuat. Kang Godi memakai bahasa nasionalisme dalam kasus ini, di mana dia berkata bahwa nasionalisme kegaluhan orang Ciamis sangat kuat. Hal ini bisa menjadi sebab, mengapa bupati saat itu yang juga berada di bawah pengawasan pemerintah Hindia Belanda mengganti nama Galuh dengan Ciamis.
Perlawanan ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, termasuk sepakbola. Selain menggunakan nama Galuh sebagai stadion, masyarakat Ciamis menggunakan nama Galuh di nama kesebelasan kebanggaan mereka itu. Peneliti sejarah Sepakbola Indonesia Novan Herfiyana menemukan data jika PSGC (Persatuan Sepakbola Galuh Ciamis) asalnya bernama Persigal (Persatuan Sepakbola Indonesia Galuh). Nama Persigal ini juga menggantikan nama Persig (Persatuan Sepakbola Indonesia Galuh) yang digunakan pra kemerdekaan.
Penamaan sesuatu dengan kata “Galuh” merupakan suatu kebanggaan bagi masyarakat Ciamis. Sepertinya, masyarakat Ciamis ingin mempertahankan identitas mereka sendiri yang telah terpaksa diubah namanya dan ada perlawanan di sana. Penamaan sesuatu dengan nama “Galuh” dapat dikatakan sebagai bentuk perlawanan masyarakat Ciamis atas hak identitas mereka.
Sumber:
A. Sobana Hardjasaputra, Ciamis Kembalikan Lagi ke Galuh, Makalah dalam seminar sehari di Kampus Unigal, 2012
Mumuh Muhsin, Galuh atau Ciamis, Makalah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran, Jatinangor, 2012.
Novan Herfiyana, 26 Agustus 1990-2010: PSGC A (Ciamis) Menjuarai Piala Galuh 1990, https://novanmediaresearch.wordpress.com/2010/08/26/26-agustus-1990-2010-psgc-a-ciamis-menjuarai-piala-galuh-1990/
Ditulis oleh @hevifauzan , admin @simamaung, bobotoh keturunan Galuh.
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili pendapat redaksi keseluruhan.

Hatur nuhun kanu parantos ngaguar sejarah galuh, masing mung saeutik ge tangtos ageung hartosna pikeun sim kuring.hayu warga galuh urang paheuyeuk heuyeuk leungeun jang ngabangun galuh ku pemikiran jeung ku atitude, tingaLikeun yen urang pantes nyandang predikat masyarakat galuh nu terhormat, melalui media naon bae anu bakal nanjungkeun ngaran galhu ciamis. Peun
Mudah mudahan warga galuh sing lewih maju ti bidang sepak bolana dll ,sing ngajomantara kamana mna,sing seueur dulur ,yu dukung ku sadayana ngarah pake conto yen masarakat galuh teh tiasa ,
Kuring oge katurunan galuh.
Pingback: My Blog | Stadion Galuh dan Perlawanan Terhadap Sejarah Ciamis