Sepakbola Indonesia, dan Gemuruh dalam Hati
Wednesday, 10 June 2015 | 08:24
Selasa, 9 Juni 2015, 19.06 WIB.
Seperti malam lainnya, bintang berlomba menunjukkan cahayanya. Seperti malam lainnya juga, sudut-sudut Bandung menggeliat di permulaan malam. Berbagai ragam kuliner berat maupun ringan menunggu untuk disapa, disinggahi, dijamah, dan dinikmati.
Seperti malam sepi lainnya, penulis singgah di satu gerobak penjual Soto Kambing. Makanan ini memang menjadi menu favorit penulis di satu sudut jalan. Pengunjungnya banyak, baik yang makan di sana, atau sekadar untuk dibawa pulang. Dengan lampu yang cukup terang, tersedia jejeran kursi dan beberapa meja di sana. Di satu meja sebelah tengah, teronggok sebuah televisi, yang saat itu sedang menyajikan acara talkshow yang sesekali diselingi lagu “itu-itu saja”.
Penjualnya entah orang mana, karena penulis belum menganggap penting dari mana dia dan istrinya itu berasal. Bagi penulis, rasa Soto Kambingnya yang cukup enak sudah cukup menjadi informasi penting kehidupan beliau, lainnya tidak. Lagi pula seperti malam-malam lainnya, si mang penjual Soto Kambing ini tidak pernah terlihat beranjak dari tempatnya, tertunduk, sibuk untuk melayani pembeli. Tempatnya seperti altar pemujaan yang tidak bisa beliau tinggalkan, walau sejenak.
Setelah memesan menu yang biasa penulis beli, penulis langsung memburu tempat duduk dengan meja yang ada TV nya itu. Tanpa permisi, penulis langsung mengganti channel TV menuju TVRI. Menuju siaran langsung pertandingan Indonesia melawan Filipina.
Pesanan sebenarnya sudah beres terbungkus dan ada di tangan penulis, tapi penulis tetap anteng untuk menatap TV flat yang mirip monitor komputer, atau memang monitor komputer yang jadi TV, atau entahlah, siapa peduli.Kerinduan dalam diri saja tidak pernah ada yang peduli, apalagi ini cuma TV. Yang penting, penulis bisa melihat penampilan Evan Dimas dan kawannya yang sudah unggul 1-0 di menit 6 itu.
Suara sepakbola itu khas dan mudah dikenali, selevel mudah dikenalnya suara khas dua insan yang sedang merayakan malam pertama. Suara sepakbola seperti suara tembakan bola, teriakan pemain, dan gemuruh penonton sepertinya sampai ke telinga penjual soto tadi. Dengan antusias, beliau meninggalkan tempat kerjanya itu, tempat yang sangat keramat, karena sekali lagi, tidak pernah sekalipun penulis lihat beliau meninggalkan tempatnya itu. Untuk satu tujuan dia melupakan tempat dan aktifitasnya sejenak, sepakbola.
Matanya berbinar melihat tim indonesia yang diwakili anak usia U23 bermain melawan Filipina. Binar mata semangat untuk mendukung tim yang mewakili negaranya bermain, dan cinta.
Melihat kejadian itu, penulis membayangkan ada ratusan ribu bahkan jutaan pasang mata lainnya sedang melakukan dan merasakan hal yang sama. Mata mereka berbinar terbakar semangat mendukung tim nasional merah putih bermain malam itu. Mereka lupa, kalau sebenarnya negara ini sedang dihukum oleh FIFA karena intervensi pemerintah yang ingin federasinya transparan dalam masalah keuangan organisasi dan hal lainnya. Mereka lupa, kalau tim nasional ini adalah tim nasional “terakhir” yang membawa nama Indonesia di kancah internasional. Negara yang sebenarnya tidak terlalu peduli pada pembinaan pemain muda dan kesehatan kompetisi lokalnya.
Mungkin ada beribu bahkan berjuta pecinta sepakbola seperti mang penjual Soto Kambing ini di Indonesia. Mata mereka berbinar bersemangat menyaksikan tim nasional Indonesia bertanding. Mereka memilih sunyi, meninggalkan semua kegiatan mereka sejenak demi meyaksikan pemain-pemain kebanggaannya tampil membela negara. Sunyi, jauh terpisah dari hiruk pikuk rebutan kekuasaan sepakbola di sana.
Mereka bergemuruh, dalam hati ….
Ditulis oleh @hevifauzan

Selasa, 9 Juni 2015, 19.06 WIB.
Seperti malam lainnya, bintang berlomba menunjukkan cahayanya. Seperti malam lainnya juga, sudut-sudut Bandung menggeliat di permulaan malam. Berbagai ragam kuliner berat maupun ringan menunggu untuk disapa, disinggahi, dijamah, dan dinikmati.
Seperti malam sepi lainnya, penulis singgah di satu gerobak penjual Soto Kambing. Makanan ini memang menjadi menu favorit penulis di satu sudut jalan. Pengunjungnya banyak, baik yang makan di sana, atau sekadar untuk dibawa pulang. Dengan lampu yang cukup terang, tersedia jejeran kursi dan beberapa meja di sana. Di satu meja sebelah tengah, teronggok sebuah televisi, yang saat itu sedang menyajikan acara talkshow yang sesekali diselingi lagu “itu-itu saja”.
Penjualnya entah orang mana, karena penulis belum menganggap penting dari mana dia dan istrinya itu berasal. Bagi penulis, rasa Soto Kambingnya yang cukup enak sudah cukup menjadi informasi penting kehidupan beliau, lainnya tidak. Lagi pula seperti malam-malam lainnya, si mang penjual Soto Kambing ini tidak pernah terlihat beranjak dari tempatnya, tertunduk, sibuk untuk melayani pembeli. Tempatnya seperti altar pemujaan yang tidak bisa beliau tinggalkan, walau sejenak.
Setelah memesan menu yang biasa penulis beli, penulis langsung memburu tempat duduk dengan meja yang ada TV nya itu. Tanpa permisi, penulis langsung mengganti channel TV menuju TVRI. Menuju siaran langsung pertandingan Indonesia melawan Filipina.
Pesanan sebenarnya sudah beres terbungkus dan ada di tangan penulis, tapi penulis tetap anteng untuk menatap TV flat yang mirip monitor komputer, atau memang monitor komputer yang jadi TV, atau entahlah, siapa peduli.Kerinduan dalam diri saja tidak pernah ada yang peduli, apalagi ini cuma TV. Yang penting, penulis bisa melihat penampilan Evan Dimas dan kawannya yang sudah unggul 1-0 di menit 6 itu.
Suara sepakbola itu khas dan mudah dikenali, selevel mudah dikenalnya suara khas dua insan yang sedang merayakan malam pertama. Suara sepakbola seperti suara tembakan bola, teriakan pemain, dan gemuruh penonton sepertinya sampai ke telinga penjual soto tadi. Dengan antusias, beliau meninggalkan tempat kerjanya itu, tempat yang sangat keramat, karena sekali lagi, tidak pernah sekalipun penulis lihat beliau meninggalkan tempatnya itu. Untuk satu tujuan dia melupakan tempat dan aktifitasnya sejenak, sepakbola.
Matanya berbinar melihat tim indonesia yang diwakili anak usia U23 bermain melawan Filipina. Binar mata semangat untuk mendukung tim yang mewakili negaranya bermain, dan cinta.
Melihat kejadian itu, penulis membayangkan ada ratusan ribu bahkan jutaan pasang mata lainnya sedang melakukan dan merasakan hal yang sama. Mata mereka berbinar terbakar semangat mendukung tim nasional merah putih bermain malam itu. Mereka lupa, kalau sebenarnya negara ini sedang dihukum oleh FIFA karena intervensi pemerintah yang ingin federasinya transparan dalam masalah keuangan organisasi dan hal lainnya. Mereka lupa, kalau tim nasional ini adalah tim nasional “terakhir” yang membawa nama Indonesia di kancah internasional. Negara yang sebenarnya tidak terlalu peduli pada pembinaan pemain muda dan kesehatan kompetisi lokalnya.
Mungkin ada beribu bahkan berjuta pecinta sepakbola seperti mang penjual Soto Kambing ini di Indonesia. Mata mereka berbinar bersemangat menyaksikan tim nasional Indonesia bertanding. Mereka memilih sunyi, meninggalkan semua kegiatan mereka sejenak demi meyaksikan pemain-pemain kebanggaannya tampil membela negara. Sunyi, jauh terpisah dari hiruk pikuk rebutan kekuasaan sepakbola di sana.
Mereka bergemuruh, dalam hati ….
Ditulis oleh @hevifauzan

jero pisan lur…
Pingback: My Blog | Sepakbola Indonesia, dan Gemuruh dalam Hati