Selaput Kuning Dalem Bandung; Kontradiksi Persib-Persikab
Wednesday, 14 January 2015 | 11:20
Kabupaten Bandung adalah Bandung yang lebih tua dari kotanya. Begitulah sejarah mencatat. Jauh sebelum Daendels menancapkan tongkat dipinggiran sungai cikapundung sebagai titik nol Kota Bandung pada tahun 1810, Kabupaten Bandung telah bernafas sejak pertengahan abad ke- 17 Masehi.
Namun Kabupaten Bandung adalah kontradiksi. Setidaknya dalam sepakbola. Persib Bandung, tim yang dianggap sebagai buah dari Kota Bandung jauh lebih tua dari Persikab yang notabene adalah tim dari Kabupaten Bandung. Meski belum ada catatan yang valid, namun banyak yang mengatakan Persikab resmi didirikan pada Juli 1963, terpaut 30 tahun dari Persib yang berdiri sejak tahun 1933.
Tidak hanya dalam pembentukan, dari sisi prestasipun kontradiksi itu jelas tergambarkan. November lalu Kota Bandung baru saja menggelar pesta dengan kembalinya trofi juara divisi tertinggi Liga Indonesia untuk kedua kalinya. Total Persib telah merengkuh 5 trofi Perserikatan, dengan 8 kali sebagai runner up, dan 2 trofi Liga Indonesia. Jelas berbeda dengan Persikab yang belum sekalipun menyinggahkannya ke dalem Bandung. Prestasi terbaik Persikab adalah menjadi juara Divisi I, selebihnya, hanya perjuangan yang terus memaksa mereka untuk lebih berprestasi.
Memiliki ladang “peperangan” tak membuat senang dan bahagia Persikab. Bagaimana tidak, monumen besar bernama Si Jalak Harupat selalu dijejali bobotoh (supporter Persib) saat Persib bertarung. Sedangkan saat Persikab yang bertumpah keringat, untuk mendapat simpatipun rasanya sulit.
Ukiran tinta dan cat di perbatasan kota dan kabupaten, atau di kawasan kabupatennya sekalipun, hanya nama Persib dan entitas suporter-nya yang lantang terlihat. Sulit sekali menemukan bekas coretan kuas yang menyebut ketangguhan tim Dalem Bandung di tanahnya sendiri.
Namun sejenak lupakan kontradiksi-kontradiksi itu, mari pulangkan ingatan pada musim liga indonesia 1999/2000, di stadion Siliwangi, ada derby yang mempertemukan dua tim dari Bandung. Laga panas dan sarat akan emosi yang berujung pada kerusuhan. (Sumber pustaka: mengbal.com)
Berungtunglah Persikab, pada tahun itu memiliki ketua umumsekelas H.U. Hatta Djatipermana yang juga menjabat sebagai bupati Kabupaten Bandung, yang mencurahkan perhatian besarnya kepada tim Persikab. Hal ini juga tidak luput dilandasi atas kecintannya yang besar terhadap sepakbola. Selama periode 1995-2000, Persikab menjelma menjadi tim yang disegani lawannya.
Raut wajah Hatta terlihat tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannyasore itu begitu peluit panjang ditiupkan oleh wasit. Gol tunggal yang dicetak oleh Harry Rafni Kotari pada menit 39 membuat Persib harus menunduk atas adik kecilnya.
Sebagaimana mestinya pertandingan derby sekota, tensi tinggi adalah nilai mutlak. Namun tidaklah berlaku bagi derby Bandung. Padapertandingan sebelum musim itu, tensi pertandingan relatif biasa saja. Anggapan bahwa Jawa Barat adalah Persib yang mungkin membuat derby Bandung terkesan tak sehangat derby super classico ala Boca Junior vs River Plate di Buenos Aires sana.
Tidak ada baku hantam di atas tribun, tidak terdengar yel-yel saling ejek antar suporter, tidak ada letupan senapan polisi, tidak ada gas airmata untuk membubarkan kerusuhan. Semua itu tidak ada. Kota relatif kondusif jika dibandingkan dengan pertandingan yang katanya derby Indonesia, Persib vs Persija.
Namun untuk derby di musim Liga Indonesia 1999/2000 itu, tensi berubah menjadi sedikit tinggi. Kerusuhan terjadi selepas pertandingan atas kemarahan dari biang kekalahan Persib. Saat pertandingan berjalanpun, di dalam lapangan terlihat permainan ngotot kedua tim.
Naiknya tensi pertandingan sore itu disinyalir karena berlabuhnya beberapa nama besar yang telah menjadi identitas Persib selama ini. Robby Darwis menjadi pengawal langkah yang kemudian diikuti oleh Yadi Mulyadi, Asep Dayat, dan kiper Gatot Prsasetyo.
Pembuktian diri bahwa mereka masih mampu bermain sepakbola adalah alasan kuat yang membuat motivasi berlipat itu mengenyampingkan sejenak rasa cinta pada tim sepakbola yang melambungkan namanya. Seperti apa yang ditulis Pikiran Rakyat edisi 12 November 1999, yang mengutip pernyataan Yadi Mulyadi. “Saya ingin membuktikan kemampuan saya, hingga penampilan kami kesetanan.”
Waktu berjalan dari situsi menuju situasi lainnya. Keadaan berubah mengikuti perkembangan yang terjadi. Dalam sepakbola, industri menjadi imbuhan kental yang mau tak mau harus mengikat setiap tim menjadi profesional dalam pengelolaan dan tidak lagi berbasis pendanaan pada APBD.
Ada tim yang mampu, tidak sedikit juga yang harus rela bertunduk. Pun juga bagi Persib dan Persikab, yang kini memiliki arus sendiri dalam menapaki jalannya masing-masing. Persib berada di divisi tertinggi, sedang Persikab masih terus berjuang menjulurkan tangannya untuk kembali bertatap muka dengan Persib.
Tak berlebihan rasanya jika menyebut warga Bandung kembali memimpikan bergegas ke stadion dengan secarik tiket bertajuk “Derby Bandung”. Menyaksikan laga yang mungkin akan berlangsung dengan tensi biasa saja. Bukan menyoal rivalitas, tapi lebih pada mengencani nostalgia pertandingan dua tim sekota sebagai pertaruhan siapa yang lebih hebat, apakah Pangeran Biru dengan segala kekuatan yang dimilikinya saat ini? Ataukah selaput kuning dari dalem Bandung?
Persikab adalah kontradiksi jika disandingkan dengan Persib. Julukan “Dalem Bandung” untuk Persikab dan “Pangeran Biru” untuk Persib, seolah menjadi penegas strata sosial mereka di masyarakat. Persib yang kini menjadi Los Galacticos-nya Indonesia, memang berbanding terbalik dengan Persikab yang menjadi tim semenjana yang teramat jauh dari kemapanan.
Uang kerap masih menjadi sosok mengerikan bagi sebagian tim di Indonesia, termasuk Persikab di dalamnya. Tahun 2013, Persikab hampir saja gagal mengikuti kompetisi Divisi Utama Liga Primer Indonesia karena jelang hari pertandingan berlangsung, kantung dana belum juga menyentuh tim ini. Malah pada dua laga awal Persikab harus rela melobi PSIS Semarang dan Persipon Pontianak untuk mau memundurkan jadwal pertandingannya.
Itu pula mungkin yang menjadi alasan melempemnya performa Persikab di musim lalu. Dari rilis yang dikeluarkan oleh SoccerWay, tercatat dari 14 pertandingan yang dijalani, Persikab hanya mampu sekali menang, dua kali imbang, dan sisanya mendera kekalahan. Mencetak 14 gol dan kebobolan 42 gol, dengan hanya meraup 5 poin dan menjadikan juru kunci sebagai tempat di akhir musim.
Sepakbola kadang menjadi hal yang menyebalkan. Setidaknya untuk beberapa tim yang memang merasa kesulitan bernafas dengan kondisi sepakbola di era industri seperti saat ini. Ketika sulit mendapatkan uang, jangankan untuk berlari mengejar asa, untuk berjalan ringkihpun tebasan datang dari sana sini.
Dengan meminjam kalimat terakhir dari buku Soccernomics, yang menuliskan: Dalam dunia yang baru, jarak tidak lagi memisahkan suatu negara dari sepakbola terbaik. Hanya kemiskinan yang menjadi penghambat.
Namun lupakanlah endemi tentang uang dan kemiskinan. Toh, jauh dari kemapanan seharusnya membuat kita mampu lebih berjuang dengan hati terbaik.
Terus nyalakan api semangat, Persikab! Meski tensi yang akan terjadi sulit diprediksi, namunBandung sudah sejak lama merindukan derby sesungguhnya dalam ruang kompetisi yang nyata.
Sumber pustaka dan ide tulisan:
1. mengbal.com
2. Pikiran Rakyat
3. sindonews.com
4. soccerway.com
Ditulis oleh Giri Burhani Ahmad, dengan akun twitter @kiipeeng.

Kabupaten Bandung adalah Bandung yang lebih tua dari kotanya. Begitulah sejarah mencatat. Jauh sebelum Daendels menancapkan tongkat dipinggiran sungai cikapundung sebagai titik nol Kota Bandung pada tahun 1810, Kabupaten Bandung telah bernafas sejak pertengahan abad ke- 17 Masehi.
Namun Kabupaten Bandung adalah kontradiksi. Setidaknya dalam sepakbola. Persib Bandung, tim yang dianggap sebagai buah dari Kota Bandung jauh lebih tua dari Persikab yang notabene adalah tim dari Kabupaten Bandung. Meski belum ada catatan yang valid, namun banyak yang mengatakan Persikab resmi didirikan pada Juli 1963, terpaut 30 tahun dari Persib yang berdiri sejak tahun 1933.
Tidak hanya dalam pembentukan, dari sisi prestasipun kontradiksi itu jelas tergambarkan. November lalu Kota Bandung baru saja menggelar pesta dengan kembalinya trofi juara divisi tertinggi Liga Indonesia untuk kedua kalinya. Total Persib telah merengkuh 5 trofi Perserikatan, dengan 8 kali sebagai runner up, dan 2 trofi Liga Indonesia. Jelas berbeda dengan Persikab yang belum sekalipun menyinggahkannya ke dalem Bandung. Prestasi terbaik Persikab adalah menjadi juara Divisi I, selebihnya, hanya perjuangan yang terus memaksa mereka untuk lebih berprestasi.
Memiliki ladang “peperangan” tak membuat senang dan bahagia Persikab. Bagaimana tidak, monumen besar bernama Si Jalak Harupat selalu dijejali bobotoh (supporter Persib) saat Persib bertarung. Sedangkan saat Persikab yang bertumpah keringat, untuk mendapat simpatipun rasanya sulit.
Ukiran tinta dan cat di perbatasan kota dan kabupaten, atau di kawasan kabupatennya sekalipun, hanya nama Persib dan entitas suporter-nya yang lantang terlihat. Sulit sekali menemukan bekas coretan kuas yang menyebut ketangguhan tim Dalem Bandung di tanahnya sendiri.
Namun sejenak lupakan kontradiksi-kontradiksi itu, mari pulangkan ingatan pada musim liga indonesia 1999/2000, di stadion Siliwangi, ada derby yang mempertemukan dua tim dari Bandung. Laga panas dan sarat akan emosi yang berujung pada kerusuhan. (Sumber pustaka: mengbal.com)
Berungtunglah Persikab, pada tahun itu memiliki ketua umumsekelas H.U. Hatta Djatipermana yang juga menjabat sebagai bupati Kabupaten Bandung, yang mencurahkan perhatian besarnya kepada tim Persikab. Hal ini juga tidak luput dilandasi atas kecintannya yang besar terhadap sepakbola. Selama periode 1995-2000, Persikab menjelma menjadi tim yang disegani lawannya.
Raut wajah Hatta terlihat tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannyasore itu begitu peluit panjang ditiupkan oleh wasit. Gol tunggal yang dicetak oleh Harry Rafni Kotari pada menit 39 membuat Persib harus menunduk atas adik kecilnya.
Sebagaimana mestinya pertandingan derby sekota, tensi tinggi adalah nilai mutlak. Namun tidaklah berlaku bagi derby Bandung. Padapertandingan sebelum musim itu, tensi pertandingan relatif biasa saja. Anggapan bahwa Jawa Barat adalah Persib yang mungkin membuat derby Bandung terkesan tak sehangat derby super classico ala Boca Junior vs River Plate di Buenos Aires sana.
Tidak ada baku hantam di atas tribun, tidak terdengar yel-yel saling ejek antar suporter, tidak ada letupan senapan polisi, tidak ada gas airmata untuk membubarkan kerusuhan. Semua itu tidak ada. Kota relatif kondusif jika dibandingkan dengan pertandingan yang katanya derby Indonesia, Persib vs Persija.
Namun untuk derby di musim Liga Indonesia 1999/2000 itu, tensi berubah menjadi sedikit tinggi. Kerusuhan terjadi selepas pertandingan atas kemarahan dari biang kekalahan Persib. Saat pertandingan berjalanpun, di dalam lapangan terlihat permainan ngotot kedua tim.
Naiknya tensi pertandingan sore itu disinyalir karena berlabuhnya beberapa nama besar yang telah menjadi identitas Persib selama ini. Robby Darwis menjadi pengawal langkah yang kemudian diikuti oleh Yadi Mulyadi, Asep Dayat, dan kiper Gatot Prsasetyo.
Pembuktian diri bahwa mereka masih mampu bermain sepakbola adalah alasan kuat yang membuat motivasi berlipat itu mengenyampingkan sejenak rasa cinta pada tim sepakbola yang melambungkan namanya. Seperti apa yang ditulis Pikiran Rakyat edisi 12 November 1999, yang mengutip pernyataan Yadi Mulyadi. “Saya ingin membuktikan kemampuan saya, hingga penampilan kami kesetanan.”
Waktu berjalan dari situsi menuju situasi lainnya. Keadaan berubah mengikuti perkembangan yang terjadi. Dalam sepakbola, industri menjadi imbuhan kental yang mau tak mau harus mengikat setiap tim menjadi profesional dalam pengelolaan dan tidak lagi berbasis pendanaan pada APBD.
Ada tim yang mampu, tidak sedikit juga yang harus rela bertunduk. Pun juga bagi Persib dan Persikab, yang kini memiliki arus sendiri dalam menapaki jalannya masing-masing. Persib berada di divisi tertinggi, sedang Persikab masih terus berjuang menjulurkan tangannya untuk kembali bertatap muka dengan Persib.
Tak berlebihan rasanya jika menyebut warga Bandung kembali memimpikan bergegas ke stadion dengan secarik tiket bertajuk “Derby Bandung”. Menyaksikan laga yang mungkin akan berlangsung dengan tensi biasa saja. Bukan menyoal rivalitas, tapi lebih pada mengencani nostalgia pertandingan dua tim sekota sebagai pertaruhan siapa yang lebih hebat, apakah Pangeran Biru dengan segala kekuatan yang dimilikinya saat ini? Ataukah selaput kuning dari dalem Bandung?
Persikab adalah kontradiksi jika disandingkan dengan Persib. Julukan “Dalem Bandung” untuk Persikab dan “Pangeran Biru” untuk Persib, seolah menjadi penegas strata sosial mereka di masyarakat. Persib yang kini menjadi Los Galacticos-nya Indonesia, memang berbanding terbalik dengan Persikab yang menjadi tim semenjana yang teramat jauh dari kemapanan.
Uang kerap masih menjadi sosok mengerikan bagi sebagian tim di Indonesia, termasuk Persikab di dalamnya. Tahun 2013, Persikab hampir saja gagal mengikuti kompetisi Divisi Utama Liga Primer Indonesia karena jelang hari pertandingan berlangsung, kantung dana belum juga menyentuh tim ini. Malah pada dua laga awal Persikab harus rela melobi PSIS Semarang dan Persipon Pontianak untuk mau memundurkan jadwal pertandingannya.
Itu pula mungkin yang menjadi alasan melempemnya performa Persikab di musim lalu. Dari rilis yang dikeluarkan oleh SoccerWay, tercatat dari 14 pertandingan yang dijalani, Persikab hanya mampu sekali menang, dua kali imbang, dan sisanya mendera kekalahan. Mencetak 14 gol dan kebobolan 42 gol, dengan hanya meraup 5 poin dan menjadikan juru kunci sebagai tempat di akhir musim.
Sepakbola kadang menjadi hal yang menyebalkan. Setidaknya untuk beberapa tim yang memang merasa kesulitan bernafas dengan kondisi sepakbola di era industri seperti saat ini. Ketika sulit mendapatkan uang, jangankan untuk berlari mengejar asa, untuk berjalan ringkihpun tebasan datang dari sana sini.
Dengan meminjam kalimat terakhir dari buku Soccernomics, yang menuliskan: Dalam dunia yang baru, jarak tidak lagi memisahkan suatu negara dari sepakbola terbaik. Hanya kemiskinan yang menjadi penghambat.
Namun lupakanlah endemi tentang uang dan kemiskinan. Toh, jauh dari kemapanan seharusnya membuat kita mampu lebih berjuang dengan hati terbaik.
Terus nyalakan api semangat, Persikab! Meski tensi yang akan terjadi sulit diprediksi, namunBandung sudah sejak lama merindukan derby sesungguhnya dalam ruang kompetisi yang nyata.
Sumber pustaka dan ide tulisan:
1. mengbal.com
2. Pikiran Rakyat
3. sindonews.com
4. soccerway.com
Ditulis oleh Giri Burhani Ahmad, dengan akun twitter @kiipeeng.

Tulisan yang sangat berbobot, Kang Giri..
Karena yang namanya “Derby Bandung” itu sejatinya bukan PERSIB vs PBR..
Tapi PERSIB vs PERSIKAB!
Semoga Persikab bisa segera kebali meramaikan pentas utama jagat sepakbola di negeri ini bersama saudara tuanya.
Ayo PERSIKAB Terbang tinggi bersama Kakak mu PERSIB !!! Tunjukan kepada Dunia Bahwa BAndung adalah KOTA BOLA
Duh sedih macana ge
Ayo bangkit dalem bandung,lulugu sepenuhnya mendukungmu,jadikan persib sebagai motivasi,maju terus Persikab dan Persib.