

Adeng Hudaya, Bandung, 2021
Hampir tak terusik, figurnya tak tergantikan. Bagaimana bisa ban kapten Persib saat era perserikatan tak pernah lepas dari lengan libero tangguh bernomor punggung 7, Adeng Hudaya from Cikajang. 15 tahun ia membela Persib, 15 tahun pula ia mengemban tugas kapten jadi komando pasukan Maung Bandung.
Adeng adalah seorang yang terdidik, menuntut ilmu dari kampung ke kota. Dari kampungnya di Cikajang Garut, ia menuntut ilmu ke Bandung dengan masuk perguruan tinggi FKIK IKIP Bandung (sekarang FPOK UPI). Mimpinya saat itu adalah ingin merasakan atmosfer bermain di Senayan saat malam hari.
Pada era Kompetisi Perserikatan dahulu, hanya tim-tim elit yang masuk semi final dan babak final bisa bermain di Senayan Jakarta, Stadion Utama Gelora Bung Karno. Adeng harus menjalaninya dari titik terbawah dengan bergabung PS UNI Bandung sambil menjalankan sekolahnya di perguruan.
“Dulu di Bandung ini Persib punya klub yang disebut 36 klub (36 Persatuan Sepakbola) di situ rotasi kompetisinya jalan, sehingga para pemain itu terpantau dari hasil kompetisi yang ada di Bandung. Saya dari Garut pindah ke Bandung sekolah di FKIK, kemudian masuk klub UNI,” kata Adeng ditemui di lapangan sintetis Lodaya Bandung (19/1/2021).
Dari UNI ia menjalani kompetisi intern Persib (diikuti 36 PS), hingga akhirnya terpilih bergabung dengan tim Persib yang berlaga di Kompetisi Perserikatan tahun 1978. Tak menyangka dalam pemilihan kapten secara demokrasi ia dipercaya rekan-rekan satu tim. Padahal saat itu masih ada nama Risnandar dan Encas Tonif.
“Saya masuk tahun 1978 di Persib kebetulan pada saat itu lagi rame Kompetisi Perserikatan. Tahun 78 dinobatkan jadi kapten kesebelasan berakhir tahun 1993, hanya tiga kali bawa juara Persib. Saya masuk di situ masih ada kakak senior saya ada angkatan Kang Encas Tonif, Kang Risnandar, kebetulan ada Giantoro keluarga Soendoro semua dari UNI,” papar Adeng.
“Setelah senior tidak ada baru saya naik (junior ke) senior, di senior ini pemilihan kapten itu tidak oleh manajer, ini oleh tim sendiri jadi hasil keputusan ada di para pemain (demokarasi). Siapa kira-kira yang bisa dituakan di lapangan karena kapten ini batu loncatan dari pemain ke pengurus/manajemen,” cerita Adeng.
Tidak mudah menjadi leader sebuah tim, ia harus menjadi panutan, yang menjaga sikap baik di dalam maupun di luar lapangan. Adeng juga mampu menyatukan berbagai karakter dan ego pemain bintang, dimana pada saat itu bercokol nama Djadjang Nurdjaman, Adjat Sudrajat, Robby Darwis, Encas Tonif, Yusuf Bachtiar, Sobur dkk.
“Kalau dulu semuanya saya anggap semua rata. Yang satu bintang itu dibilang bintang hasil omongan penonton, penilaian penonton kan, kalau di lapangan tidak, tetap kalau salah kita sebut salah,” tegas pemain yang mendapat julukan Franz Beckenbauer-nya Persib ini.
Ada sesi dimana Adeng inisiatif mengumpulkan hanya pemain saja dalam sebuah class room. Di sana tempat setiap pemain mengeluarkan segala keluh kesah, unek-unek, menjaga kondusivitas, dan kehangatan ruang ganti, termasuk menjalankan misi dalam sebuah pertandingan.
“Namanya ada agenda class room, saya mengharapkan dalam satu tim ada TC nah itu kesempatan mempersatukan karakter A, B, C. Class room mengeluarkan unek-unek yang ada, tidak di lapangan. Di situ menyatukan keinginan si A gimana, kalau dapat bola harus begini, ngasih bola ke si A begini, itu di luar lapangan di class room itu, kalau di lapangan itu pelaksanaan,” bebernya.
Sebelum 19 tahun penantian gelar 2014, Persib pernah lebih lama mengalami panceklik gelar, yakni selama 25 tahun. Saat terakhir kali juara 1961, baru tahun 1986 di tangan Adeng Hudaya cs Persib mampu mengangkat piala lagi. Selama menjadi kapten Persib Adeng total menyumbangkan tiga trofi Perserikatan, selain tahun 1986, juga pada tahun 1989/1990 dan 1993/1994.

Adeng Hudaya (tengah) mengangkat piala juara Kompetisi Perserikatan, 1986. Foto: Istimewa.
Catatan unik lainnya Adeng hanya dihukum satu kartu kuning oleh wasit selama 15 tahun memperkuat Persib. Adeng mengungkapkan jika tipe permainannya bukan seorang back yang bermain keras atau tempramen. Sepakbola Bandung dahulu juga dikenal sebagai permainannya yang cantik dengan skill individu dan kekompakan. Adeng bermain disiplin dengan kemampuan teknik dan berpikir.
Ceritanya mendapat kartu kuning sungguh lucu, bukan ia melanggar melakukan tackle kepada lawan, namun dengan sengaja memeluk bola dalam situasi genting. Kala itu pertandingan melawan Persija hujan turun, Tonny Tanamal melepaskan umpan lambung langsung ke jantung pertahanan Persib.
Adeng yang saat itu jadi orang paling dekat dengan bola beradu lari dengan pemain cepat Persija, Kamarudin Betay. Tahu Betay memiliki kecepatan di atas rata-rata, Adeng memutuskan untuk mencuri bola dengan memeluknya dengan tangan. Tanpa ragu wasit memberi hadiah kartu kuning.
“15 tahun saya berkompetisi hanya sekali kartu kunig, itu juga bukan pelanggaran yang apa (keras). Saya melakukan waktu itu lawan Persija, hujan gerimis. Ada pemain Persija namanya Tonny Tanamal nendang bola ke depan bolanya mantul. Pemikiran saya karena saya paling belakang, kalau diajak lari sama Kamarudin Betay itu larinya kaya si Febri (Hariyadi) sekarang, saya kalah. Sudah tahu saya akan kalah, untuk menanggulangi itu saya melakukan (aksi) nangkap bola di tengah lapangan, itu kalau sekarang kartu merah tidak boleh, kalau dulu kartu kuning,” kenangnya.

Adeng Hudaya (kiri) bersama pemain Persija, Tonny Tanamal, 1986. Foto: Istimewa.
Bukan mendapat cibiran, Adeng justru mendapatkan selamat dari rekan-rekan dan pengurus/manajemen Persib saat itu. Andai Adeng tak melakukan itu, Betay bisa saja menjebol gawang Persib yang berujung kekalahan untuk Maung Bandung.
“Saya bukan dimarahin sama pengurus, malahan disalamin. Kalau saya tidak melakukan itu bisa gol, Persib kalah. Ini makanya, intinya wasit, pengurus, semua bukan marah tapi memberi selamat, kalau itu tidak dilakukan Persib kalah,” paparnya.
Jarang absen di pertandingan akibat kartu kuning, Adeng pernah tak bermain untuk Persib di ajang international Turnamen Hassanal Bolkiah 1986. Adeng absen karena harus melakukan pemusatan latihan Timnas Indonesia ke Brasil. Ban kapten diberikan kepada Adjat Sudrajat. Persib keluar sebagai juara dengan mengalahkan Malaysia, 1-0, di final lewat gol semata wayang pemain pinjaman dari Perkesa 78 Sidoarjo, Yusuf Bachtiar.
Saat ban kapten ada di tangan Adjat, Adeng bercerita pernah terjadi perseteruan antara sesama pemain Persib. “Wakil kapten ada kang Adjat, ada Robby Darwis. Tapi mohon maaf waktu saya di Brasil, Persib main di Yogyakarta kalah waktu kapten Adjat nih,” tuturnya.
“Itu berantem anak-anak Persib sama Persib ada ketegangan. Mungkin salah satu kepemimpinannya kurang, kalau kapten itu harus mengayomi di lapangan bukan ‘oh saya ini kapten’, tidak begitu,” imbuhnya.

Adeng Hudaya (berdiri, paling kanan) dalam starting eleven Persib, Kompetisi Perserikatan 1991-1992. Foto: Istimewa
Baginya seorang kapten harus menjadi representasi pemain lain. Seorang yang menjadi panutan dan disegani kawan dan lawan. Bertanggung jawab besar, pasalnya saat prestasi tim jeblok kapten tim yang akan menjadi sorotan terlebih dahulu. Menghindari hal tersebut, kapten harus punya energi lebih untuk memotivasi rekan setim serta memberi komando selama 90 menit di lapangan.
“Suka dukanya jadi kapten banyak pemikiran-pemikiran pantas atau tidak melakukan ini, pantas-tidak melakukan itu. Jadi kapten itu bukan gaya-gayaan tapi tanggung jawab besar jadi contoh di lapangan. Segala sesuatu yang bertanggung jawab di lapangan bukan pelatih, tapi kapten,” paparnya.
“Kalau bertanding dia pake sistem ini harus bagaimana kita komunikasi dengan teman-teman. Ada momen (harus berteriak) woooy mundur-mundur, maju-maju, sebelah sana kosong. Jadi komando di lapangan. Jadi kapten itu urusan di lapangan, mau kalah menang tanggung jawab kapten, kapten jadi sorotan,” serunya.
Ditulis oleh Adil Nursalam, jurnalis Simamaung berakun Twitter @yasseradil dan Instagram @yasser_adil
___
Komentar Bobotoh