Romantisme Bobotoh Kolot, Foklor dan Obrolan Warung Kopi
Monday, 26 May 2014 | 17:04
Melawan kumpulan sesama pemain bangkotan dari Manchester United memang pada akhirnya Persib Legends harus kalah dengan skor telak. Gatot Prasetyo harus merelakan gawangnya diberondong lima kali dan hanya berbalas sebiji gol melalui sontekan Asep “jhon” Dayat.
Tak ada raut kekecewaan tampak di muka mang Tarsa, sambil menghisap rokok kreteknya dalam2 lelaki separuh baya tersebut hanya tersenyum-senyum sendiri melihat Adjat Sudrajat dan kawan2 tampak geboy meladeni permainan Scoles dan kompatriotnya. Mang Tarsa adalah seorang security di tempat saya bekerja, lewat mulutnya kemudian saya banyak mendengar kisah epik tentang kehebatan nama2 seperti Yusuf Bachtiar, Samai Setiadi, Wawan ”si balok” Karnawan dan tentu saja Adjat Sudrajat.
Sembari menonton charity match kemarin, saya dan mang Tarsa terlibat sedikit obrolan ala warung kopi. Lelaki paruh baya itu bercerita tentang bagaimana pengalamannya dahulu ketika ngabobotohan. Sebagai seorang bobotoh kolot dia mengenang tiap kali Persib bermain, (kala itu masih di Siliwangi) suasana stadion akan riuh ramai tak hanya lewat teriakan dan dukungan penonton. Seperangkat kendang dan tarompet penca khas sunda yang sering digunakan dalam pertunjukan adu domba di Garut akan membuat para pemain yang kebetulan saat itu semuanya asli putra daerah seperti mendapat suntikan energi tambahan.
Saya kemudian membayangkan, pantas saja jika tim yang dahulu mayoritas pemainnya di isi oleh urang sunda tersebut menjadi tim yang hebat pada jamannya. Bermain bersama2 menggunakan bahasa yang sama, kebiasaan yang sama dan dibentuk dalam kultur yang sama membuat Persib kala itu kompak luar dalam. Belum ditambah dengan alunan musik penca tadi menambah kebanggaan yang tak boleh kalah oleh daerah yang lain.
Barangkali mungkin hanya di Bandung, dimana sepakbola lestari hidup lewat hikayat dan cerita obrolan ala warung kopi mang Tarsa tadi. Masih banyak Tarsa2 yang lain, masih banyak bobotoh kolot lain yang masih setia menonoton di stadion. Atau paling tidak yang masih mengenang romantismenya dahulu, seperti mang Tarsa yang bertutur harus naik carry bueuk untuk away day ke Senayan di final lawan Petrokimia.
Di Bandung bahkan mungkin pula di Jawa Barat, Persib begitu dinarasikan dengan sangat indah dan cantik. Obrolan ala warung kopi tentang Persib seolah menjadi foklor yang masyur hingga berpuluh2 tahun ke depan. Tengok bagaimana “halik ku aing” Robby Darwis kerap kali diceritakan. Atau simak bagaimana bobotoh begitu mencintai sekaligus sedikit membenci Adjat Sudrajat karena menyebrang ke Bandung Raya. Samapai hari ini pun patungnya masih tegar berdiri dan begitu heroik untuk diceritakan kembali.
Folklor sering diidentikkan dengan tradisi dan kesenian yang berkembang pada zaman sejarah dan telah menyatu dalam kehidupan masyarakat. Begitu pula dengan Persib, tim yang berjuluk pangeran biru tersebut adalah sebuah tradisi yang telah berkembang dari dulu hingga kini. Menurut Alan Dundes pengertian folklor adalah bagian dari kebudayaan yang disebarkan dan diwariskan secara tradisional, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.
Persib beserta sejumlah atribusinya yang lain, juga merupakan sebuah ciri pengenal baik itu fisik, sosial maupun kebudayaan. Sebuah ciri yang telah diwariskan turun temurun baik secara lisan maupun melalui contoh serta membedakan dengan ciri kelompok sosial lainnya. Baik lewat lisan bertutur ala obrolan warung kopi seperti perbincangan saya dengan mang Tarsa, atau bahkan mungkin dengan bersama2 menonton ke stadion -yang menurut mang Tarsa dahulu sangat aman dan nyaman tak seperti sekarang- bobotoh kolot seolah menjadi penyambung cerita rakyat (foklor) yang tak boleh putus lintas generasi.
Pada akhirnya dengan harapan juara di tahun inilah kita berharap hikayat Persib sebagai sebuah foklor atau cerita rakyat dapat tetap hidup. Narasi yang dapat terus menerus direproduksi oleh semua bobotoh dalam berbagai versi. Juara dan tidak juara sejatinya hanyalah sebuah pelengkap romantisme seorang bobotoh kolot tentang hikayat bernama Persib.
Namun saya ingin merangkainya menjadi narasi dan cerita yang berbeda sebelum saya menjadi bobotoh kolot…
Penulis yang artikelnya tak penting ini adalah mahasiswa tingkat akhir sekaligus karyawan swasta yang mencari makan, minum dan membuang hajat di kota Bandung tercinta. Terlahir menjadi bobotoh dan milanisti, dan berakun twitter @yogi_adhi

Melawan kumpulan sesama pemain bangkotan dari Manchester United memang pada akhirnya Persib Legends harus kalah dengan skor telak. Gatot Prasetyo harus merelakan gawangnya diberondong lima kali dan hanya berbalas sebiji gol melalui sontekan Asep “jhon” Dayat.
Tak ada raut kekecewaan tampak di muka mang Tarsa, sambil menghisap rokok kreteknya dalam2 lelaki separuh baya tersebut hanya tersenyum-senyum sendiri melihat Adjat Sudrajat dan kawan2 tampak geboy meladeni permainan Scoles dan kompatriotnya. Mang Tarsa adalah seorang security di tempat saya bekerja, lewat mulutnya kemudian saya banyak mendengar kisah epik tentang kehebatan nama2 seperti Yusuf Bachtiar, Samai Setiadi, Wawan ”si balok” Karnawan dan tentu saja Adjat Sudrajat.
Sembari menonton charity match kemarin, saya dan mang Tarsa terlibat sedikit obrolan ala warung kopi. Lelaki paruh baya itu bercerita tentang bagaimana pengalamannya dahulu ketika ngabobotohan. Sebagai seorang bobotoh kolot dia mengenang tiap kali Persib bermain, (kala itu masih di Siliwangi) suasana stadion akan riuh ramai tak hanya lewat teriakan dan dukungan penonton. Seperangkat kendang dan tarompet penca khas sunda yang sering digunakan dalam pertunjukan adu domba di Garut akan membuat para pemain yang kebetulan saat itu semuanya asli putra daerah seperti mendapat suntikan energi tambahan.
Saya kemudian membayangkan, pantas saja jika tim yang dahulu mayoritas pemainnya di isi oleh urang sunda tersebut menjadi tim yang hebat pada jamannya. Bermain bersama2 menggunakan bahasa yang sama, kebiasaan yang sama dan dibentuk dalam kultur yang sama membuat Persib kala itu kompak luar dalam. Belum ditambah dengan alunan musik penca tadi menambah kebanggaan yang tak boleh kalah oleh daerah yang lain.
Barangkali mungkin hanya di Bandung, dimana sepakbola lestari hidup lewat hikayat dan cerita obrolan ala warung kopi mang Tarsa tadi. Masih banyak Tarsa2 yang lain, masih banyak bobotoh kolot lain yang masih setia menonoton di stadion. Atau paling tidak yang masih mengenang romantismenya dahulu, seperti mang Tarsa yang bertutur harus naik carry bueuk untuk away day ke Senayan di final lawan Petrokimia.
Di Bandung bahkan mungkin pula di Jawa Barat, Persib begitu dinarasikan dengan sangat indah dan cantik. Obrolan ala warung kopi tentang Persib seolah menjadi foklor yang masyur hingga berpuluh2 tahun ke depan. Tengok bagaimana “halik ku aing” Robby Darwis kerap kali diceritakan. Atau simak bagaimana bobotoh begitu mencintai sekaligus sedikit membenci Adjat Sudrajat karena menyebrang ke Bandung Raya. Samapai hari ini pun patungnya masih tegar berdiri dan begitu heroik untuk diceritakan kembali.
Folklor sering diidentikkan dengan tradisi dan kesenian yang berkembang pada zaman sejarah dan telah menyatu dalam kehidupan masyarakat. Begitu pula dengan Persib, tim yang berjuluk pangeran biru tersebut adalah sebuah tradisi yang telah berkembang dari dulu hingga kini. Menurut Alan Dundes pengertian folklor adalah bagian dari kebudayaan yang disebarkan dan diwariskan secara tradisional, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.
Persib beserta sejumlah atribusinya yang lain, juga merupakan sebuah ciri pengenal baik itu fisik, sosial maupun kebudayaan. Sebuah ciri yang telah diwariskan turun temurun baik secara lisan maupun melalui contoh serta membedakan dengan ciri kelompok sosial lainnya. Baik lewat lisan bertutur ala obrolan warung kopi seperti perbincangan saya dengan mang Tarsa, atau bahkan mungkin dengan bersama2 menonton ke stadion -yang menurut mang Tarsa dahulu sangat aman dan nyaman tak seperti sekarang- bobotoh kolot seolah menjadi penyambung cerita rakyat (foklor) yang tak boleh putus lintas generasi.
Pada akhirnya dengan harapan juara di tahun inilah kita berharap hikayat Persib sebagai sebuah foklor atau cerita rakyat dapat tetap hidup. Narasi yang dapat terus menerus direproduksi oleh semua bobotoh dalam berbagai versi. Juara dan tidak juara sejatinya hanyalah sebuah pelengkap romantisme seorang bobotoh kolot tentang hikayat bernama Persib.
Namun saya ingin merangkainya menjadi narasi dan cerita yang berbeda sebelum saya menjadi bobotoh kolot…
Penulis yang artikelnya tak penting ini adalah mahasiswa tingkat akhir sekaligus karyawan swasta yang mencari makan, minum dan membuang hajat di kota Bandung tercinta. Terlahir menjadi bobotoh dan milanisti, dan berakun twitter @yogi_adhi

BOBOTOH SEJATI tidak akan melakukan tindakan yang merugikan PERSIB BANDUNG
Jika masih ada yang menyalakan Flare,Petasan,Bom Asap dan melemparkan botol / benda lain ke dalam lapangan pertandingan dan kepada tim lawan maka mereka pantas disebut PENGKHIANAT & MUSUH BERSAMA para BOBOTOH se-alam dunia
#respect,noflare,nofireworks,noviolence
SATUJU pisan.. Kang