Rindu Yang Tuntas! Sementara!
Saturday, 22 November 2014 | 16:00
Memang saya tidak senekad bobotoh lainnya yang rela mengambil cuti, menjual barang atau menggadai stnk demi berangkat ke Palembang untuk menjadi bagian sejarah dimana ada peluang menyaksikan Persib bisa menjadi juara di Liga kasta tertinggi sepakbola Indonesia.
Ya, Gelar juara yang 19 tahun para bobotoh sejagad raya ini rindukan. Terakhir tahun 1995 di Liga Indonesia pertama masih teringat jelas di memori saya, gol tunggal Sutiono Lamso bergulir manja di gawang petrokimia gresik yang dikawal kiper asing asal Trinidad Tobago, Derryl Sinnerine, cukup mengantarkan Persib menjadi kampiun di Kasta tertinggi sepakbola Indoneisia. Rakyat Jawa Barat dan Bandung pada khususnya larut dalam sukacita.
Masih segar dalam ingatan, saya dengan seragam merah putih (SD), dengan beberapa teman sekolah berjalan dari pasirkoja sampai Asia Afrika untuk menyaksikan arak-arakan para pahlawan yang memamerkan piala. Ketika itu saya berdiri di jembatan penyebrangan tepat yang menghubungkan palaguna dengan gedung pln asia afrika, sehingga bisa leluasa menyaksikan Robby Darwis, Yudi Guntara, Yusuf Bachtiar dkk di atas kendaraan yang mereka tumpangi.
Entah darimana awalnya kecintaan saya terhadap Persib ini tumbuh. Di Dalam keluarga saya yang memang asli Sunda, saya tidak melihat sosok di keluarga ada yang “sepersib” saya. Semenjak SD pun saya sudah berlangganan koran Pikiran Rakyat hanya untuk melihat halaman belakang saja yang memang selalu menyajikan berita tentang Persib.
Bahkan awal pertama saya masuk ke stadion siliwangi pun dilakukan tanpa izin orangtua karena saat itu masih SD. Kebetulan tetangga saya yang sebaya mengajak nonton persib, dengan bermodalkan ongkos saja 300 perak naik angkot abdulmuis – cicaheum (via aceh) kita turun di jalan lombok, dan tepat di depan gerbang tiketing tribun selatan. Saya diajarkan oleh teman untuk memelas pada bapak-bapak untuk ikut masuk dalam stadion dan ternyata mudah waktu itu, dan kita menyaksikan tim kebanggaan membela kehormatan warga bandung di lapangan. Bersorak, mencaci maki wasit dan tim lawan (ikutan orang dewasa di stadion), Persib menang, dan kami pulang ke rumah di daerah otista dengan berjalan kaki dengan ribuan bobotoh lainya ke arah selatan kota.
Kembali lagi pada momen bersejarah itu, Hari Jum’at, 7 November 2014. Persib menginjakkan kakinya di Final, bukan hanya memperebutkan gelar juara dan piala saja, ada hal yang lebih besar dan penting dari itu, yaitu memuaskan dahaga rindu yang beranak pinak di setiap dada para bobotoh, rindu yang semakin menjadi karena manajemen selalu menargetkan juara di setiap awal liga, kemudian merevisinya di akhir liga.
Ya, saya cuman bisa salut dan respect kepada bobotoh yang meninggalkan segala urusannya di bandung untuk tandang ke Palembang, tidak seperti saya yang kalah dengan urusan pekerjaan. Akhirnya saya putuskan untuk nonton bareng dengan teman kantor yang mengadakan event nonbar di daerah cipadung cibiru, agar merasakan suasana hingar bingar final.
Jalanan Bandung basah saat itu karena diguyur hujan semenjak sorenya. Untunglah venue nonbar diadakan indoor di ruko setengah jadi. Amunisi rokok favorit dan segelas kopi hitam panas sudah tersedia untuk dihajar jika kami sedikit gemas atau kesal dengan kejadian yang ada di tembok putih yang disulap menjadi layar besar tempat memantulkan siaran TV dari infocus yang disewa.
Gol Ian kabes di menit awal, membuat saya tidak percaya. Harus berapa lama lagi rindu ini kami (bobotoh) simpan, sambil membayangkan jika 90 menit waktu normal skor akhir tidak berubah, mungkin saya kembali tidak ingin membaca koran dan melihat TV untuk beberapa hari ke depan.
Gol bunuh diri Imannuel Wanggai di awal babak ke dua, cukup menerbitkan asa, rindu ini belum pupus tahun ini. Apalagi gol tambahan M. Ridwan membuat kami mabuk kepayang, membayangkan Persib menjadi juara, dan rindu pun tuntas. Tapi tunggu, Boas Salossa kembali membuyarkan kebahagiaan kami, semua orang terdiam, memegang kepalanya masing-masing dengan kedua tangannya sebagai tanda kesal, juara di depan mata kembali tertunda. Semenjak saat itu dada saya merasa sesak, berat, berdetak tak berarturan setiap pahabol mendapatkan bola. Do’a-Do’a pun terus mengalir agar Yang Maha Pengasih lagi Penyayang meridhoi Persib menjadi juara tahun ini, dan menuntaskan rindu kita para bobotoh.
Setelah 2×15 menit babak tambahan waktu yang menegangkan, akhirnya pertandingan dilanjutkan dengan adu penalti. Dalam hati saya berbisik Persib akan juara hari ini, tapi sudut hati yang lainnya seolah tidak percaya saat melihat wajah-wajah pemain Persib yang akan menendang. Wajah konate yang lelah, langkah supardi, ferdinand dan tony sucipto yang tidak yakin membuat kami menyiapkan hati untuk kemungkinan terburuk. Tapi Alhamdulillah dengan izin-Nya mereka sukses menyarangkan bola ke gawang Dede Sulaiman. Dan ketika tendangan Nelson Alom ditepis mantap oleh I Made, seketika saya, teman dan penonton lainnya bersurak kegirangan, berjingkrak tak beraturan, saling berpelukan, entah dengan siapa saja saya berpelukan waktu itu, yang jelas ada warga setempat yang saya pun tidak kenal saya peluk. Tinggal Ahmad Jufrianto yang bisa memastikan apakah rindu ini bisa tunai.
Dan, Goooooolll…! kami kembali bersurak, berpelukan kembali, beberapa orang terlihat sujud syukur. Terima kasih Ya Allah Engkau ridhoi tim yang kami cintai dan banggakan menjadi Juaranya Indonesia. Rindu yang mengendap di tiap dada para bobotoh akhirnya tunai.
Setelah menyaksikan penyerahan medali dan piala, tanpa dikomando kami semua turun ke jalanan dengan sepeda motor, mencoba menikmati kerinduan ini, rindu sekali ingin menyanyikan campione… campione… dijalan dengan selantang mungkin, akhirnya terwujud di malam itu. Saya yang sebenarnya pemalu bernyanyi campione selantang yang saya bisa, indahnya malam itu.
Pada hari minggunya, 9 November 2014 dari jam 2 siang, saya sudah berdiri di jembatan penyebrangan Asia Afrika, tempat yang sama dimana 19 tahun yang lalu saya berdiri menyaksikan Robby Darwis dkk. mengarak piala. Adzan Magrib tiba, mengecek twitter Kang Emil, ternyata arak-arakan cuman sampai simpang lima. Kecewa? pasti! tapi itu semua tidak mengurangi kebahagiaan saya, Persib yang bagi saya bukan hanya tim sepakbola saja, tapi sudah menjadi HARGA DIRI Bandung bagi saya, kota dimana saya lahir, tumbuh dan besar.
Ya, kini rindu yang 19 tahun tersimpan di tiap dada para bobotoh sudah tuntas. Tapi bukan dengan rindu yang tuntas kami lalu puas!. Kami selalu rindu Persib Juara! tahun 2015 misalanya hehe..
oleh Ades Sebastian (@magnifidez)

Memang saya tidak senekad bobotoh lainnya yang rela mengambil cuti, menjual barang atau menggadai stnk demi berangkat ke Palembang untuk menjadi bagian sejarah dimana ada peluang menyaksikan Persib bisa menjadi juara di Liga kasta tertinggi sepakbola Indonesia.
Ya, Gelar juara yang 19 tahun para bobotoh sejagad raya ini rindukan. Terakhir tahun 1995 di Liga Indonesia pertama masih teringat jelas di memori saya, gol tunggal Sutiono Lamso bergulir manja di gawang petrokimia gresik yang dikawal kiper asing asal Trinidad Tobago, Derryl Sinnerine, cukup mengantarkan Persib menjadi kampiun di Kasta tertinggi sepakbola Indoneisia. Rakyat Jawa Barat dan Bandung pada khususnya larut dalam sukacita.
Masih segar dalam ingatan, saya dengan seragam merah putih (SD), dengan beberapa teman sekolah berjalan dari pasirkoja sampai Asia Afrika untuk menyaksikan arak-arakan para pahlawan yang memamerkan piala. Ketika itu saya berdiri di jembatan penyebrangan tepat yang menghubungkan palaguna dengan gedung pln asia afrika, sehingga bisa leluasa menyaksikan Robby Darwis, Yudi Guntara, Yusuf Bachtiar dkk di atas kendaraan yang mereka tumpangi.
Entah darimana awalnya kecintaan saya terhadap Persib ini tumbuh. Di Dalam keluarga saya yang memang asli Sunda, saya tidak melihat sosok di keluarga ada yang “sepersib” saya. Semenjak SD pun saya sudah berlangganan koran Pikiran Rakyat hanya untuk melihat halaman belakang saja yang memang selalu menyajikan berita tentang Persib.
Bahkan awal pertama saya masuk ke stadion siliwangi pun dilakukan tanpa izin orangtua karena saat itu masih SD. Kebetulan tetangga saya yang sebaya mengajak nonton persib, dengan bermodalkan ongkos saja 300 perak naik angkot abdulmuis – cicaheum (via aceh) kita turun di jalan lombok, dan tepat di depan gerbang tiketing tribun selatan. Saya diajarkan oleh teman untuk memelas pada bapak-bapak untuk ikut masuk dalam stadion dan ternyata mudah waktu itu, dan kita menyaksikan tim kebanggaan membela kehormatan warga bandung di lapangan. Bersorak, mencaci maki wasit dan tim lawan (ikutan orang dewasa di stadion), Persib menang, dan kami pulang ke rumah di daerah otista dengan berjalan kaki dengan ribuan bobotoh lainya ke arah selatan kota.
Kembali lagi pada momen bersejarah itu, Hari Jum’at, 7 November 2014. Persib menginjakkan kakinya di Final, bukan hanya memperebutkan gelar juara dan piala saja, ada hal yang lebih besar dan penting dari itu, yaitu memuaskan dahaga rindu yang beranak pinak di setiap dada para bobotoh, rindu yang semakin menjadi karena manajemen selalu menargetkan juara di setiap awal liga, kemudian merevisinya di akhir liga.
Ya, saya cuman bisa salut dan respect kepada bobotoh yang meninggalkan segala urusannya di bandung untuk tandang ke Palembang, tidak seperti saya yang kalah dengan urusan pekerjaan. Akhirnya saya putuskan untuk nonton bareng dengan teman kantor yang mengadakan event nonbar di daerah cipadung cibiru, agar merasakan suasana hingar bingar final.
Jalanan Bandung basah saat itu karena diguyur hujan semenjak sorenya. Untunglah venue nonbar diadakan indoor di ruko setengah jadi. Amunisi rokok favorit dan segelas kopi hitam panas sudah tersedia untuk dihajar jika kami sedikit gemas atau kesal dengan kejadian yang ada di tembok putih yang disulap menjadi layar besar tempat memantulkan siaran TV dari infocus yang disewa.
Gol Ian kabes di menit awal, membuat saya tidak percaya. Harus berapa lama lagi rindu ini kami (bobotoh) simpan, sambil membayangkan jika 90 menit waktu normal skor akhir tidak berubah, mungkin saya kembali tidak ingin membaca koran dan melihat TV untuk beberapa hari ke depan.
Gol bunuh diri Imannuel Wanggai di awal babak ke dua, cukup menerbitkan asa, rindu ini belum pupus tahun ini. Apalagi gol tambahan M. Ridwan membuat kami mabuk kepayang, membayangkan Persib menjadi juara, dan rindu pun tuntas. Tapi tunggu, Boas Salossa kembali membuyarkan kebahagiaan kami, semua orang terdiam, memegang kepalanya masing-masing dengan kedua tangannya sebagai tanda kesal, juara di depan mata kembali tertunda. Semenjak saat itu dada saya merasa sesak, berat, berdetak tak berarturan setiap pahabol mendapatkan bola. Do’a-Do’a pun terus mengalir agar Yang Maha Pengasih lagi Penyayang meridhoi Persib menjadi juara tahun ini, dan menuntaskan rindu kita para bobotoh.
Setelah 2×15 menit babak tambahan waktu yang menegangkan, akhirnya pertandingan dilanjutkan dengan adu penalti. Dalam hati saya berbisik Persib akan juara hari ini, tapi sudut hati yang lainnya seolah tidak percaya saat melihat wajah-wajah pemain Persib yang akan menendang. Wajah konate yang lelah, langkah supardi, ferdinand dan tony sucipto yang tidak yakin membuat kami menyiapkan hati untuk kemungkinan terburuk. Tapi Alhamdulillah dengan izin-Nya mereka sukses menyarangkan bola ke gawang Dede Sulaiman. Dan ketika tendangan Nelson Alom ditepis mantap oleh I Made, seketika saya, teman dan penonton lainnya bersurak kegirangan, berjingkrak tak beraturan, saling berpelukan, entah dengan siapa saja saya berpelukan waktu itu, yang jelas ada warga setempat yang saya pun tidak kenal saya peluk. Tinggal Ahmad Jufrianto yang bisa memastikan apakah rindu ini bisa tunai.
Dan, Goooooolll…! kami kembali bersurak, berpelukan kembali, beberapa orang terlihat sujud syukur. Terima kasih Ya Allah Engkau ridhoi tim yang kami cintai dan banggakan menjadi Juaranya Indonesia. Rindu yang mengendap di tiap dada para bobotoh akhirnya tunai.
Setelah menyaksikan penyerahan medali dan piala, tanpa dikomando kami semua turun ke jalanan dengan sepeda motor, mencoba menikmati kerinduan ini, rindu sekali ingin menyanyikan campione… campione… dijalan dengan selantang mungkin, akhirnya terwujud di malam itu. Saya yang sebenarnya pemalu bernyanyi campione selantang yang saya bisa, indahnya malam itu.
Pada hari minggunya, 9 November 2014 dari jam 2 siang, saya sudah berdiri di jembatan penyebrangan Asia Afrika, tempat yang sama dimana 19 tahun yang lalu saya berdiri menyaksikan Robby Darwis dkk. mengarak piala. Adzan Magrib tiba, mengecek twitter Kang Emil, ternyata arak-arakan cuman sampai simpang lima. Kecewa? pasti! tapi itu semua tidak mengurangi kebahagiaan saya, Persib yang bagi saya bukan hanya tim sepakbola saja, tapi sudah menjadi HARGA DIRI Bandung bagi saya, kota dimana saya lahir, tumbuh dan besar.
Ya, kini rindu yang 19 tahun tersimpan di tiap dada para bobotoh sudah tuntas. Tapi bukan dengan rindu yang tuntas kami lalu puas!. Kami selalu rindu Persib Juara! tahun 2015 misalanya hehe..
oleh Ades Sebastian (@magnifidez)

Waduh muhun pisan, abdi mah nuju nongton teh nuju diurut, da surak bari muringis tea geuningan teu nyangka Persib bakal juara…mantep lahh