Piala dan Penuntasan Cita-cita
Saturday, 15 November 2014 | 17:04
Ketidak-percayaan piala yang kembali menyapa Bandung masih mengepung alam sadar dan kewarasan. Itulah kalimat yang terus mengendap, sampai batas yang tak pernah tahu akan sampai kapan menggelumi isi kepala. Bila kalian tidak peercaya dengan pernyataan itu, maka kalianpun telah terjebak pada lingkaran ketidak-percayaan. Bagaimana rasanya, tidak percaya, bukan?
Manusia lantas hadir dengan kendali dan kontrol yang berbeda-beda. Sedikitnya, itulah pemandangan yang menghiasi langit Jakabaring 7 November lalu. Ada emosi yang pecah dengan airmata, ada gairah yang berujung jingkrak-jingkrakan, pelukan seorang sahabat menjadi simpul yang teramat indah dimalam itu. Sah saja semua itu terjadi, dengan kendali dan kontrol yang manapun, semua adalah luapan dahaga bahagia. Bahkan, sampai ada satu kawan yang harus berulang kali menghentak-hentakkan kepalanya hanya untuk meyakinkan bahwa fantasi itu memang nyata.
Di luar sisi ketidak-percayaan, kendali, dan kontrol itu, ada sisi penghubung yang membuat semuanya dapat bereaksi dengan cepat. Yaitu sisi penuntasan, penuntasan rindu, penuntasan harap, dan penuntasan mimpi. Sembilan belas tahun bukan waktu yang singkat untuk selalu kuat mengubur rindu, harapan, dan mimpi pada setiap tahunnya. Hanya akan menjadi elegi jika bukan orang-orang yang berjiwa besar yang menjalaninya.
Setiap keringkihan selalu dibalut dengan api semangat yang tak pernah sedikitpun padam. Kita sadar betul menuju Palembang itu bukanlah “piknik” yang akan mengasyikan. Saat peluit panjang ditiup, kita tidak pernah tahu akhirnya akan seperti apa. Dan peneguhan hati itu terlalu kuat untuk digoyahkan teror-teror kampungan yang tak penting. Maka siapapun akan bergidik bulu kuduknya ketika sadar ada puluhan ribu bobotoh dengan riuh rendahnya menggairahkan Jakabaring. Darat, laut, dan udara menjadi trip bobotoh demi memberikan tenaga untuk para pahlawannya. Lelah menjadi senyap, afeksi menjadi berlipat ganda di ujung pengharapan jalan. Suasana yang rasanya mustahil dibayangkan sebelum waktu itu benar-benar tiba.
Dengan permainan yang tidak bagus-bagus amat, Persib juara!
Saya hanyalah penonton bola amatiran, awam sekali tentang taktik sepakbola. Rasanya, akan menjadi ambigu jika saya harus menelaah jalannya pertandingan. Yang jelas, 120 menit pertandingan berjalan, kedudukan sama kuat 2-2. Adu penalti menjadi jalan terakhir untuk menentukan sang juara.
Lalu kemudian muncul kekhawatiran saat seorang bapak-bapak berkata, “Aduh.. Mun pipinaltian teh sok eleh!” Pusaran kenangan si bapak itu menjadi sesuatu yang boleh dibilang ‘mengerikan’. Bagaimana tidak, kata “sok eleh” seolah menjadi penegas bahwa Persib bukanlah tim spesialis adu penalti. Ada catatan sejarah, memang, yang mengisahkan Persib harus tunduk dipartai final tahun 1985 melawan PSMS Medan melalui adu tendangan penalti. Namun sejarah mencatat kisah baru, di tahun 2014, ada Persib yang merajai Indonesia lewat adu tendangan penalti.
Adalah ketika I Made Wirawan yang dengan lugas menghentikan laju bola tendangan Nelson Alom. Sesaat sebelumnya, Made menyandarkan diri di sela-sela jarring gawang. Entah apa yang dia pikirkan, mungkin doa, atau apapun itu, yang jelas, tangan Made tak akan pernah terhapus dari ingatan bobotoh. Situasi semakin berpacu hebat antara harapan dan kecemasan. Beban itu akan terasa paling berat bagi Ahmad Jufrianto, sang eksekutor penentu. Mundur beberapa langkah ke belakang, dia tarik nafas panjang. Dia sadar, akan ada hal luar biasa dari kakinya. Jika saja bola itu tidak masuk, mungkin dia akan menjadi orang yang paling dengan sangat memohonkan permintaan maaf kepada setiap orang yang berada di Jakabaring ataupun Jawa Barat.
Kakinya akan menjadi pertaruhan. Daaaaan… Goool! Bola itu ternyata tidak bisa ditepis kiper Persipura, Dede Sulaiman. Persib juara di Palembang. Pecahlah kendali dan kontrol puluhan ribu bobotoh di Jakabaring. Tangis haru kebahagian menjadi penerang dimalam itu. Di Bandung, Kota menjadi lumpuh oleh pesta jalanan yang membiru. Hal yang sangat wajar dalam penuntasan rindu Sembilan belas tahun.
Sesaat setelah piala itu diacungkan ke angkasa, saya kirimkan pesan singkat untuk orangtua di Bandung. Kira-kira isinya seperti ini: “Mah, Pah, Persib juaraaaa!.” Tidak lama berselang pesan balasanpun datang. Isinya: “Alhamdulillah. Persib tos juara. Sok ayeuna mah tinggal beresan kuliah.”
Walikota Ridwan Kamil bernazar menggunduli rambutnya. Ada juga, nazar mencari jodoh, rajin sholat, sampai menikah jika Persib juara. Walau dengan sentimentil lelucon, tapi setidaknya, Persib telah membuka jalan untuk kebaikan. Nazar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti janji (pada diri sendiri) hendak berbuat sesuatu jika maksud tercapai. Namun nazar di sini, saya lebar luaskan menjadi janji dan cita- cita.
Kita tentunya punya cita-cita lain selain melihat Persib juara yang masih ingin dicapai. Begitupun bagi saya pribadi yang masih menyimpan keinginan untuk merampungkan sisa- sisa asa kemarin sore. Tahun ini, setelah piala itu kembali menyapa kota ini, bagi saya, wisuda adalah harga mati! : )))
Kawan, penantian rindu panjang ini telah berakhir dengan pesta kemenangan, setelah tiga sampai empat hari dada kalian busungkan demi menempuh Palembang dengan segala momentum yang akan terakam abadi. Kini, tibalah saatnya untuk menuntaskan janji dan angan lain yang ingin kalian rasakan. Piala itu sudah tersenyum di kota ini. Selamat menuntaskan cita-cita kalian yang lain. Jangan biarkan taburan bintang-bintang itu hanya berkerlip bebas. Gapai dan raihlah.
*Tulisan ini didedikasikan untuk teman, kawan, sahabat. Kita yang masih berjuang bersama dalam ranah dan di tanah yang berbeda namun berada pada satu simpul. Juga untuk kengkawan yang telah bersama-sama menikmati segala momentum patai final dan kisah satu malam di Polsek dan Polres Palembang.
Penulis berakun twitter @kiipeeng.
Artikel ini dimuat dalam rangka lomba menulis #PersibJuara yang berhadiah total 2 merchandise @simamaung dan batas pengiriman akan berakhir hari Senin, 17 November 2014 pukul 23.59 wib.
Untuk bobotoh yang ingin tulisannya dimuat, silahkan kirim ke simamaung(.)com(@)gmail(.)com, terima kasih

Ketidak-percayaan piala yang kembali menyapa Bandung masih mengepung alam sadar dan kewarasan. Itulah kalimat yang terus mengendap, sampai batas yang tak pernah tahu akan sampai kapan menggelumi isi kepala. Bila kalian tidak peercaya dengan pernyataan itu, maka kalianpun telah terjebak pada lingkaran ketidak-percayaan. Bagaimana rasanya, tidak percaya, bukan?
Manusia lantas hadir dengan kendali dan kontrol yang berbeda-beda. Sedikitnya, itulah pemandangan yang menghiasi langit Jakabaring 7 November lalu. Ada emosi yang pecah dengan airmata, ada gairah yang berujung jingkrak-jingkrakan, pelukan seorang sahabat menjadi simpul yang teramat indah dimalam itu. Sah saja semua itu terjadi, dengan kendali dan kontrol yang manapun, semua adalah luapan dahaga bahagia. Bahkan, sampai ada satu kawan yang harus berulang kali menghentak-hentakkan kepalanya hanya untuk meyakinkan bahwa fantasi itu memang nyata.
Di luar sisi ketidak-percayaan, kendali, dan kontrol itu, ada sisi penghubung yang membuat semuanya dapat bereaksi dengan cepat. Yaitu sisi penuntasan, penuntasan rindu, penuntasan harap, dan penuntasan mimpi. Sembilan belas tahun bukan waktu yang singkat untuk selalu kuat mengubur rindu, harapan, dan mimpi pada setiap tahunnya. Hanya akan menjadi elegi jika bukan orang-orang yang berjiwa besar yang menjalaninya.
Setiap keringkihan selalu dibalut dengan api semangat yang tak pernah sedikitpun padam. Kita sadar betul menuju Palembang itu bukanlah “piknik” yang akan mengasyikan. Saat peluit panjang ditiup, kita tidak pernah tahu akhirnya akan seperti apa. Dan peneguhan hati itu terlalu kuat untuk digoyahkan teror-teror kampungan yang tak penting. Maka siapapun akan bergidik bulu kuduknya ketika sadar ada puluhan ribu bobotoh dengan riuh rendahnya menggairahkan Jakabaring. Darat, laut, dan udara menjadi trip bobotoh demi memberikan tenaga untuk para pahlawannya. Lelah menjadi senyap, afeksi menjadi berlipat ganda di ujung pengharapan jalan. Suasana yang rasanya mustahil dibayangkan sebelum waktu itu benar-benar tiba.
Dengan permainan yang tidak bagus-bagus amat, Persib juara!
Saya hanyalah penonton bola amatiran, awam sekali tentang taktik sepakbola. Rasanya, akan menjadi ambigu jika saya harus menelaah jalannya pertandingan. Yang jelas, 120 menit pertandingan berjalan, kedudukan sama kuat 2-2. Adu penalti menjadi jalan terakhir untuk menentukan sang juara.
Lalu kemudian muncul kekhawatiran saat seorang bapak-bapak berkata, “Aduh.. Mun pipinaltian teh sok eleh!” Pusaran kenangan si bapak itu menjadi sesuatu yang boleh dibilang ‘mengerikan’. Bagaimana tidak, kata “sok eleh” seolah menjadi penegas bahwa Persib bukanlah tim spesialis adu penalti. Ada catatan sejarah, memang, yang mengisahkan Persib harus tunduk dipartai final tahun 1985 melawan PSMS Medan melalui adu tendangan penalti. Namun sejarah mencatat kisah baru, di tahun 2014, ada Persib yang merajai Indonesia lewat adu tendangan penalti.
Adalah ketika I Made Wirawan yang dengan lugas menghentikan laju bola tendangan Nelson Alom. Sesaat sebelumnya, Made menyandarkan diri di sela-sela jarring gawang. Entah apa yang dia pikirkan, mungkin doa, atau apapun itu, yang jelas, tangan Made tak akan pernah terhapus dari ingatan bobotoh. Situasi semakin berpacu hebat antara harapan dan kecemasan. Beban itu akan terasa paling berat bagi Ahmad Jufrianto, sang eksekutor penentu. Mundur beberapa langkah ke belakang, dia tarik nafas panjang. Dia sadar, akan ada hal luar biasa dari kakinya. Jika saja bola itu tidak masuk, mungkin dia akan menjadi orang yang paling dengan sangat memohonkan permintaan maaf kepada setiap orang yang berada di Jakabaring ataupun Jawa Barat.
Kakinya akan menjadi pertaruhan. Daaaaan… Goool! Bola itu ternyata tidak bisa ditepis kiper Persipura, Dede Sulaiman. Persib juara di Palembang. Pecahlah kendali dan kontrol puluhan ribu bobotoh di Jakabaring. Tangis haru kebahagian menjadi penerang dimalam itu. Di Bandung, Kota menjadi lumpuh oleh pesta jalanan yang membiru. Hal yang sangat wajar dalam penuntasan rindu Sembilan belas tahun.
Sesaat setelah piala itu diacungkan ke angkasa, saya kirimkan pesan singkat untuk orangtua di Bandung. Kira-kira isinya seperti ini: “Mah, Pah, Persib juaraaaa!.” Tidak lama berselang pesan balasanpun datang. Isinya: “Alhamdulillah. Persib tos juara. Sok ayeuna mah tinggal beresan kuliah.”
Walikota Ridwan Kamil bernazar menggunduli rambutnya. Ada juga, nazar mencari jodoh, rajin sholat, sampai menikah jika Persib juara. Walau dengan sentimentil lelucon, tapi setidaknya, Persib telah membuka jalan untuk kebaikan. Nazar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti janji (pada diri sendiri) hendak berbuat sesuatu jika maksud tercapai. Namun nazar di sini, saya lebar luaskan menjadi janji dan cita- cita.
Kita tentunya punya cita-cita lain selain melihat Persib juara yang masih ingin dicapai. Begitupun bagi saya pribadi yang masih menyimpan keinginan untuk merampungkan sisa- sisa asa kemarin sore. Tahun ini, setelah piala itu kembali menyapa kota ini, bagi saya, wisuda adalah harga mati! : )))
Kawan, penantian rindu panjang ini telah berakhir dengan pesta kemenangan, setelah tiga sampai empat hari dada kalian busungkan demi menempuh Palembang dengan segala momentum yang akan terakam abadi. Kini, tibalah saatnya untuk menuntaskan janji dan angan lain yang ingin kalian rasakan. Piala itu sudah tersenyum di kota ini. Selamat menuntaskan cita-cita kalian yang lain. Jangan biarkan taburan bintang-bintang itu hanya berkerlip bebas. Gapai dan raihlah.
*Tulisan ini didedikasikan untuk teman, kawan, sahabat. Kita yang masih berjuang bersama dalam ranah dan di tanah yang berbeda namun berada pada satu simpul. Juga untuk kengkawan yang telah bersama-sama menikmati segala momentum patai final dan kisah satu malam di Polsek dan Polres Palembang.
Penulis berakun twitter @kiipeeng.
Artikel ini dimuat dalam rangka lomba menulis #PersibJuara yang berhadiah total 2 merchandise @simamaung dan batas pengiriman akan berakhir hari Senin, 17 November 2014 pukul 23.59 wib.
Untuk bobotoh yang ingin tulisannya dimuat, silahkan kirim ke simamaung(.)com(@)gmail(.)com, terima kasih
