Persib vs Arema, Kekalahan yang Tepat Pada Waktunya
Monday, 02 February 2015 | 16:23
Apa yang bisa kita petik dari kekalahan melawan Arema semalam? Jawabannya adalah evaluasi. Bahwa sesungguhnya setelah melalui fase juara ISL, Persib ternyata harus menemui fase turbulensi. Ada transisi yang harus dilalui terutama dalam beberapa pergantian posisi pemain. Adaptasi terhadap posnya Dedi Kusnandar di engine room, adaptasi setelah hengkangnya Ferdinand Alfred ke Sriwijaya, ataupun harus menyesuaikan cara bermain dengan penyerang ahli surga paling sabar seantero jagad raya semodel Maycon Calijuri misalnya.
Kekalahan yang menurut saya justru datang tepat pada waktunya. Kekalahan yang memang (sedang) dibutuhkan oleh Persib. Artinya, Persib jadi tahu bahwa mereka masih mempunyai banyak PR yang bagusnya terjadi bukan di Liga yang sebenarnya. Kekalahan yang bukan di ISL, ACL, ataupun AFC Cup. Perihal Arema yang akhirnya menjadi juara IIC 2014, ya persetan. Toh, itu turnamen yang gak prestisius-prestisius-amat-kok.
Jadi begini, mari kita dudukkan perkara ini dengan sebenar-benarnya. Bahwa tujuan utama Persib di tahun 2015 adalah berprestasi di tiga ajang. ISL, Kompetisi Asia (hal yang HANYA bisa diikuti oleh Juara dan Runner Up Liga Indonesia, bukan Juara IIC, *uhuk*), dan Piala Indonesia. Nah, sebelum liga resmi itu dimulai, sudah lazim dan memang kodratnya bagi setiap klub mengadakan agenda pemusatan latihan sebelum musim dimulai. Istilah sederhananya adalah pra musim.
Tujuan utama pra musim adalah untuk membentuk sebuah tim menemukan peak performance ketika perang yang sesungguhnya dimulai, yaitu liga. Menata konsep bermain, menyatukan visi tim, menemukan chemistry satu sama lain, dan yang terpenting tapi sering luput adalah menemukan kekurangan tim. Nah, bagaimana caranya menemukan kekurangan tim Persib ini? Beruntunglah kalian bahwa ada turnamen bernama IIC 2014. Persib menjadi tahu kekurangan tim, berkah dari kekalahan di turnamen gila ini.
Bukankah kekalahan itu haram hukumnya? Iya, jika itu terjadi di Liga resmi , apalagi di semifinal ISL (*uhuk lagi*), tetapi menjadi makruh jika kekalahan itu terjadi pada turnamen pra musim. Sama halnya dengan kemenangan. Wajib hukumnya jika terjadi di liga resmi (termasuk semifinal ISL :p) tetapi menjadi sunnah muakad jika kejadiannya di pra musim. Artinya, kemenangan dan kekalahan bukanlah tujuan pra musim. Tujuan pra musim adalah mencari bentuk dan membangun kesiapan. Saya tidak pernah melihat ada yang sampai menangis tersedu-sedu ketika ada tim yang kalah di Trofeo Berlusconi. Atau pemain yang sangat menyesali kekalahan ketika bermain di Emirates Cup. Kenapa? Karena mereka sadar itu hanyalah turnamen invitation. Menang syukur, gak menang pun gak apa-apa.
*Kembali ke pertandingan semalam
Suharno dengan Arema-nya sadar betul bahwa dua tim dengan penyerangan terbaik di Indonesia adalah Persib dan Persipura. Dia juga sadar bahwa Arema tidak mempunyai kemampuan sebaik Persib dan Persipura di sektor penyerangan. Hitung saja nama pemain yang bertipikal menyerang yang masuk ke Malang dari tiga tahun terakhir. Marcio Souza, Keith Kayamba Gumbs, El Locco Gonzalez, Greg Nwokolo, Beto Goncalves, Dzumafo Herman, Gustavo Lopez, Syamsul Arif. Apa yang mereka berikan? Juara? Tidak. Tidak ada gelar juara Liga.
Suharno mencoba mengubah konsep itu musim ini. Dia menciptakan anti-teori untuk menghadapi Persib dan Persipura. Dia belajar dari kekalahan semifinal musim lalu. Dia mengganti konsep dengan lebih mengutamakan pertahanan. Purwaka Yudi, Victor Igbonefo, Fabiano Beltrame di sektor pertahanan. Bustomi, Juan Revi, Sukadana, Ferri Aman Saragih, Hendro Siswanto di tengah. Semua gelandang Arema dengan tipikal gelandang bertahan. Tidak ada lagi nama Gustavo Lopez atau gelandang-gelandang dengan tipe kreator yang flamboyan.
Prinsip Suharno jelas, Arema sudah siap main bertahan ketika menghadapi Persib ataupun tim-tim dengan mindset menyerang. Asal tidak kalah sudah cukup. Rapat, rapat dan rapat. Sriwijaya dikalahkan oleh satu peluang yang berhasil dikonversi menjadi gol oleh El Locco, Persib dikalahkan oleh kesabaran Arema untuk terus menunggu. Menunggu penalti dan akhirnya berani menyerang ketika kondisi pemain sudah 11 melawan 9. Secara kesiapan, Suharno dan tim sangat siap bermain dengan skema bertahan. Sesekali mereka mengalirkan bola ke Gonzales untuk kemudian dipantulkan ke lini kedua.
Persib sendiri datang ke final IIC dengan tanpa kekalahan sekalipun di partai pra musim. TC Bandung penuh kemenangan melawan Tiki Taka FC dan Persibat Batang, meraih gelar juara di turnamen Walikota Padang, terakhir membabat TC Ciamis dengan mengalahkan PSGC dan Kuningan FC. Hal yang dirasa baik-baik saja sebelum akhirnya ada kekalahan melawan Arema.
Ada beberapa catatan saya setelah partai melawan Arema semalam. Tentang kebutuhan seorang penyerang pembunuh, entah itu tipenya false nine, complete forward, poacher atau apalah itu. Persib masih membutuhkan minimal satu lagi “pemain jadi” di luar kesediaan stok penyerang dalam diri Rudiyana dan Yandi Sofyan Munawar.
Selain itu, pengisi flank untuk mem-back up Ridwan, Atep dan Tantan ketika mereka menemui deadlock juga harus mulai diperhatikan. Saya yakin coach Djanur dan tim sudah memikirkan beberapa nama di kantong mereka untuk posisi ini.
Faktor terakhir yang cukup besar yang saya lihat semalam adalah pentingnya peran sentral sosok pemimpin di lapangan. Tanpa mengecilkan peran pemain lain, ketika tidak ada Firman Utina, tim kelihatan sekali kehilangan sosok yang disegani oleh kawan, lawan dan wasit. Bagaimana Hasim Kipuw bisa seenaknya cengengesan ketika membabat Atep tanpa mendapat perhatian wasit. Hal yang tidak terjadi ketika Firman masuk. Firman disenggol sedikit saja, wasit langsung meniup peluit dan tentu saja, kali ini tanpa raut muka cengengesan dari Kipuw karena dia segan terhadap Firman. Bagaimana tim menjadi terjaga dan penuh konsentrasi setelah sosok “leader” masuk adalah salah satu catatan utama saya. Bisa main enak lagi, mencetak gol penyeimbang, lalu bobol lagi setelah Firman keluar. Terlalu influential. Satu pelajaran berharga yang bisa didapat dari gelaran IIC semalam.
Kekalahan ini membuka mata kita akan kelemahan dan kesalahan Persib. Dan bagi saya, ini adalah hal yang baik untuk tim. Setidaknya, Persib masih bisa berbenah dalam dua sampai tiga minggu ke depan. Tim ini jadi tahu bahwa semua sedang tidak baik-baik saja seperti di permukaan.
Seperti dalam kasus percintaan, terluka itu baik agar kita tahu cara mengatasi luka di kemudian hari. No pain no gain. Tidak hanya rasa cinta dan bahagia yang selalu hadir di waktu yang tepat, ada kalanya kekalahan juga datang di saat yang kita butuhkan.
Terima kasih telah mengalahkan kami, Arema. Tetapi di Liga resmi, kami yang akan mengalahkan kalian. Mengalahkan di saat yang tepat, seperti malam terang di Palembang saat semifinal lalu. Ketika kami dengan lantang menyanyikan chant “singanya jadi kucing….”
Penulis berpendidikan agama kuat. Berakun twitter @riphanpradipta

Apa yang bisa kita petik dari kekalahan melawan Arema semalam? Jawabannya adalah evaluasi. Bahwa sesungguhnya setelah melalui fase juara ISL, Persib ternyata harus menemui fase turbulensi. Ada transisi yang harus dilalui terutama dalam beberapa pergantian posisi pemain. Adaptasi terhadap posnya Dedi Kusnandar di engine room, adaptasi setelah hengkangnya Ferdinand Alfred ke Sriwijaya, ataupun harus menyesuaikan cara bermain dengan penyerang ahli surga paling sabar seantero jagad raya semodel Maycon Calijuri misalnya.
Kekalahan yang menurut saya justru datang tepat pada waktunya. Kekalahan yang memang (sedang) dibutuhkan oleh Persib. Artinya, Persib jadi tahu bahwa mereka masih mempunyai banyak PR yang bagusnya terjadi bukan di Liga yang sebenarnya. Kekalahan yang bukan di ISL, ACL, ataupun AFC Cup. Perihal Arema yang akhirnya menjadi juara IIC 2014, ya persetan. Toh, itu turnamen yang gak prestisius-prestisius-amat-kok.
Jadi begini, mari kita dudukkan perkara ini dengan sebenar-benarnya. Bahwa tujuan utama Persib di tahun 2015 adalah berprestasi di tiga ajang. ISL, Kompetisi Asia (hal yang HANYA bisa diikuti oleh Juara dan Runner Up Liga Indonesia, bukan Juara IIC, *uhuk*), dan Piala Indonesia. Nah, sebelum liga resmi itu dimulai, sudah lazim dan memang kodratnya bagi setiap klub mengadakan agenda pemusatan latihan sebelum musim dimulai. Istilah sederhananya adalah pra musim.
Tujuan utama pra musim adalah untuk membentuk sebuah tim menemukan peak performance ketika perang yang sesungguhnya dimulai, yaitu liga. Menata konsep bermain, menyatukan visi tim, menemukan chemistry satu sama lain, dan yang terpenting tapi sering luput adalah menemukan kekurangan tim. Nah, bagaimana caranya menemukan kekurangan tim Persib ini? Beruntunglah kalian bahwa ada turnamen bernama IIC 2014. Persib menjadi tahu kekurangan tim, berkah dari kekalahan di turnamen gila ini.
Bukankah kekalahan itu haram hukumnya? Iya, jika itu terjadi di Liga resmi , apalagi di semifinal ISL (*uhuk lagi*), tetapi menjadi makruh jika kekalahan itu terjadi pada turnamen pra musim. Sama halnya dengan kemenangan. Wajib hukumnya jika terjadi di liga resmi (termasuk semifinal ISL :p) tetapi menjadi sunnah muakad jika kejadiannya di pra musim. Artinya, kemenangan dan kekalahan bukanlah tujuan pra musim. Tujuan pra musim adalah mencari bentuk dan membangun kesiapan. Saya tidak pernah melihat ada yang sampai menangis tersedu-sedu ketika ada tim yang kalah di Trofeo Berlusconi. Atau pemain yang sangat menyesali kekalahan ketika bermain di Emirates Cup. Kenapa? Karena mereka sadar itu hanyalah turnamen invitation. Menang syukur, gak menang pun gak apa-apa.
*Kembali ke pertandingan semalam
Suharno dengan Arema-nya sadar betul bahwa dua tim dengan penyerangan terbaik di Indonesia adalah Persib dan Persipura. Dia juga sadar bahwa Arema tidak mempunyai kemampuan sebaik Persib dan Persipura di sektor penyerangan. Hitung saja nama pemain yang bertipikal menyerang yang masuk ke Malang dari tiga tahun terakhir. Marcio Souza, Keith Kayamba Gumbs, El Locco Gonzalez, Greg Nwokolo, Beto Goncalves, Dzumafo Herman, Gustavo Lopez, Syamsul Arif. Apa yang mereka berikan? Juara? Tidak. Tidak ada gelar juara Liga.
Suharno mencoba mengubah konsep itu musim ini. Dia menciptakan anti-teori untuk menghadapi Persib dan Persipura. Dia belajar dari kekalahan semifinal musim lalu. Dia mengganti konsep dengan lebih mengutamakan pertahanan. Purwaka Yudi, Victor Igbonefo, Fabiano Beltrame di sektor pertahanan. Bustomi, Juan Revi, Sukadana, Ferri Aman Saragih, Hendro Siswanto di tengah. Semua gelandang Arema dengan tipikal gelandang bertahan. Tidak ada lagi nama Gustavo Lopez atau gelandang-gelandang dengan tipe kreator yang flamboyan.
Prinsip Suharno jelas, Arema sudah siap main bertahan ketika menghadapi Persib ataupun tim-tim dengan mindset menyerang. Asal tidak kalah sudah cukup. Rapat, rapat dan rapat. Sriwijaya dikalahkan oleh satu peluang yang berhasil dikonversi menjadi gol oleh El Locco, Persib dikalahkan oleh kesabaran Arema untuk terus menunggu. Menunggu penalti dan akhirnya berani menyerang ketika kondisi pemain sudah 11 melawan 9. Secara kesiapan, Suharno dan tim sangat siap bermain dengan skema bertahan. Sesekali mereka mengalirkan bola ke Gonzales untuk kemudian dipantulkan ke lini kedua.
Persib sendiri datang ke final IIC dengan tanpa kekalahan sekalipun di partai pra musim. TC Bandung penuh kemenangan melawan Tiki Taka FC dan Persibat Batang, meraih gelar juara di turnamen Walikota Padang, terakhir membabat TC Ciamis dengan mengalahkan PSGC dan Kuningan FC. Hal yang dirasa baik-baik saja sebelum akhirnya ada kekalahan melawan Arema.
Ada beberapa catatan saya setelah partai melawan Arema semalam. Tentang kebutuhan seorang penyerang pembunuh, entah itu tipenya false nine, complete forward, poacher atau apalah itu. Persib masih membutuhkan minimal satu lagi “pemain jadi” di luar kesediaan stok penyerang dalam diri Rudiyana dan Yandi Sofyan Munawar.
Selain itu, pengisi flank untuk mem-back up Ridwan, Atep dan Tantan ketika mereka menemui deadlock juga harus mulai diperhatikan. Saya yakin coach Djanur dan tim sudah memikirkan beberapa nama di kantong mereka untuk posisi ini.
Faktor terakhir yang cukup besar yang saya lihat semalam adalah pentingnya peran sentral sosok pemimpin di lapangan. Tanpa mengecilkan peran pemain lain, ketika tidak ada Firman Utina, tim kelihatan sekali kehilangan sosok yang disegani oleh kawan, lawan dan wasit. Bagaimana Hasim Kipuw bisa seenaknya cengengesan ketika membabat Atep tanpa mendapat perhatian wasit. Hal yang tidak terjadi ketika Firman masuk. Firman disenggol sedikit saja, wasit langsung meniup peluit dan tentu saja, kali ini tanpa raut muka cengengesan dari Kipuw karena dia segan terhadap Firman. Bagaimana tim menjadi terjaga dan penuh konsentrasi setelah sosok “leader” masuk adalah salah satu catatan utama saya. Bisa main enak lagi, mencetak gol penyeimbang, lalu bobol lagi setelah Firman keluar. Terlalu influential. Satu pelajaran berharga yang bisa didapat dari gelaran IIC semalam.
Kekalahan ini membuka mata kita akan kelemahan dan kesalahan Persib. Dan bagi saya, ini adalah hal yang baik untuk tim. Setidaknya, Persib masih bisa berbenah dalam dua sampai tiga minggu ke depan. Tim ini jadi tahu bahwa semua sedang tidak baik-baik saja seperti di permukaan.
Seperti dalam kasus percintaan, terluka itu baik agar kita tahu cara mengatasi luka di kemudian hari. No pain no gain. Tidak hanya rasa cinta dan bahagia yang selalu hadir di waktu yang tepat, ada kalanya kekalahan juga datang di saat yang kita butuhkan.
Terima kasih telah mengalahkan kami, Arema. Tetapi di Liga resmi, kami yang akan mengalahkan kalian. Mengalahkan di saat yang tepat, seperti malam terang di Palembang saat semifinal lalu. Ketika kami dengan lantang menyanyikan chant “singanya jadi kucing….”
Penulis berpendidikan agama kuat. Berakun twitter @riphanpradipta

mantap bro, ulasan yang cerdas!
maycon alus kusabarna mah
tapi jiga nu eraan euy maen na teu lepas jeung grogi
koh troure mungkin kirang waktos kanggo nga buktikeun
kesalahan kamari mah cuman finishing hungkul
tinu permainan mah geus meunang urng t
jadi bae lah
emng bener kita kalah tepat pada waktunya
tih eta mah liga ga jelas
mun ceuk abbi mah pertama di layar mata saya
soal na ngampleung dugi sataun jang final uae ge
Persib Salawasna
Sae lur tulisana. Tulisan kaya gini mah cocok pisan dimuat di koran.