PERSIB is not Enough
Sunday, 06 December 2015 | 08:04
Jika ada hal yang mengejutkan terkait “slek” antara Firman Utina dan PT.PBB, sebenarnya itu adalah respon bobotoh terhadap peristiwa itu, karena peristiwanya sendiri ya biasa pisan, standar, tak istimewa. Karena, ketidaksepakatan para pihak dalam suatu perjanjian adalah sesuatu yang lumrah terjadi.
Namun, rentetan peristiwa eksodusnya mantan bintang ISL 2014 & Piala Presiden 2015 menjadi penting dan menjadi pembelajaran bagi seluruh elemen (PT.PBB, pemain, bobotoh) bahwa ketika bobotoh menganggap PERSIB adalah suatu hal yang sangat cukup dan menjadi segalanya, ternyata masih ada pihak-pemain dengan segala pertimbangan yang menganggap bahwa PERSIB tidaklah cukup untuk menghentikan langkah mereka. Sekaligus mengindikasikan bahwa segala predikat positif yang mungkin membuat PT.PBB merasa memberi tawaran yang sangat-sangat “kaharti” untuk level sepak bola Indonesia ternyata tak menjamin seluruh pemain bersedia tunduk tanpa berhitung-hitung kembali. PERSIB is not enough.
Menakar Kepentingan
Sebenarnya apa sih tujuan didirikannya PT (Perseroan Terbatas)? Tujuannya tentu saja keuntungan, profit, laba, alias bati. Maka cara berpikir perusahaan seperti PT.PBB ya menjaga agar jumlah pemasukan lebih besar dari jumlah pengeluaran, terlepas dari strategi jangka waktu BEP dsb, namun prinsip ekonomi jelas harus menjadi acuan utama. Maka seandainya PERSIB tidak juara selama puluhan tahun pun sebenarnya PT.PBB tak dapat dikatakan gagal-ditinjau dari perspektif ekonomi, selama neraca keuangan mereka dalam kurun waktu puluhan itu tetap surplus. Tapi jangan lupa, bahwa PERSIB adalah sebuah klub sepak bola, sehingga parameter keberhasilannya tentu tak bisa ditakar sekedar profit belaka, namun juga prestasi dan raihan gelar, dua hal inilah yang kemudian menjadi patokan utama bobotoh untuk menilai keberhasilan PT.PBB, padahal tim PERSIB sebenarnya “hanyalah” bagian dari garapan besar PT.PBB.
Dengan ketidakpastian kompetisi seperti saat ini maka tiga sumber pemasukan utama mendapat hantaman yang berat, yaitu sponsorship, penjualan tiket pertandingan dan hak siar TV, sehingga kondisi ini tentu membuat perusahaan harus berpikir ulang secara lebih rasional, kontrak dengan pemain pun tentunya ditinjau ulang, revisi dsb dan tentunya dengan hasil yang tak akan semenggiurkan ketika persepakbolaan nasional berada dalam kondisi normal. Ketika kontrak yang lebih rasional itu bertemu dengan kepentingan dan kebutuhan pemain yang mungkin tetap sama seperti sebelum sanksi FIFA dijatuhkan, maka negosiasi menjadi penting dan jika kemudian negosiasi itu tak mencapai kesepakatan, ya sudah tak perlu lagi ada kerjasama, sebenarnya sesederhana itu.
Terkait adanya klausul-klausul yang memberatkan pemain, sponsor pribadi dsb sebenarnya itu semua adalah hal yang bisa dibicarakan. Pada prinsipnya, pemain boleh melakukan apa saja sepanjang tak bertentangan dengan kepentingan perusahaan dan kesepakatan para sponsor utama dengan klub itu sendiri.
Adapun pernyataan tentang pemain tak digaji selama turnamen, bonus tak sesuai dsb, saya hanya bisa memberi gambaran bahwa PT.PBB yang sekarang bukanlah PT.PBB generasi pertama dulu yang bentuknya PT-PT an, kali ini PT.PBB memiliki SDM-SDM yang teruji dan berpengalaman, termasuk bagian legalnya. Rasanya mereka tak akan sebodoh itu melakukan pengingkaran kesepakatan secara “jorok” dan vulgar. Jikalau ada hal-hal yang mengecewakan, saya rasa semuanya sudah disepakati dan disetujui.
Konsorsium yang menghandle PERSIB sekarang bukan orang baru dalam bidang investasi dan corporate. Dalam beberapa kepentingan kantor, saya bertemu dengan komisaris independen salah satu perusahaan milik konsorsium, dan mereka adalah orang-orang terbaik dibidangnya. Jika kita telisik perusahaan-perusahaan (termasuk perusahaan multi nasional) yang mereka garap, bisa jadi PT.PBB tak sampai 5% nya aset mereka. But busines is busines, setiap rupiah yang keluar harus jelas juntrungannya dan dapat dipertanggungjawabkan. Sungguh berbeda dengan PERSIB dimasa lalu, yang seenaknya menggunakan uang rakyat.
Jangan lupakan pula kenyataan bahwa secara de jure PERSIB kini adalah milik para pemegang saham. Segelintir orang itulah pemilik PERSIB sesungguhnya. Tentunya kuasa dari “memiliki beneran” jauh berbeda dengan “rasa memiliki” yang selalu dibanggakan oleh jutaan bobotoh di luar lingkaran PT.
Transparansi
Namun demikian, fakta bahwa secara de jure PERSIB kini adalah milik segelintir orang bukan berarti PT.PBB boleh menutup banyak hal dari publik, karena begitu banyak aspek yang beririsan dengan kepentingan publik, seperti contoh: masalah pendistribusian tiket yang bisa berujung kepada terganggunya ketertiban umum, dll.
Kenyataan bahwa saat ini PT.PBB bukanlah PT terbuka yang melepas sahamnya kepada publik. Namun langkah menuju IPO, go publik dan tahapan-tahapan berikutnya haruslah dianggap suatu keniscayaan, seiring itu pula maka transparansi harus dibiasakan. Mungkin saat ini bukan hal yang bijak jika membuka nilai kontrak secara utuh ke publik. Karena tak hanya sekedar aturan perusahaan, tapi kultur pun rasanya belum siap. Namun suatu saat ketika tahapan go publik tercapai, tentunya itu menjadi suatu keharusan. Terlebih, bahwa sesungguhnya UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas menghendaki terwujudnya good corporate governance di mana salah satu aspeknya adalah terkait keterbukaan/transparansi.
Alasan lain mengapa keterbukaan harus dibiasakan adalah karena PERSIB tak dapat terlepas dari ikatan historis dan emosional masyarakat. Secara de facto, pemilik PERSIB bukan hanya PT.PBB saja. Peralihan dan transformasi menjadi badan hukum hanyalah suatu konsekuensi logis sepak bola profesional, sangat normatif dan tak dapat dijadikan pembenaran untuk “merampas” dan mengeksploitasi PERSIB tanpa batasan. Misalnya saja: PT.PBB membuka gerai-gerai minimarket modern dengan mengusung bendera PERSIB. Padahal, minimarket modern adalah isu yang bertentangan dengan perekonomian masyarakat kecil. Ketika di beberapa tempat masyarakat sudah melakukan pertahanan mandiri dengan tegas menolak kehadiran minimarket di wilayah mereka, eh tiba-tiba datanglah minimarket yang mengusung PT.PBB alias PERSIB. Maka pertahanan ekonomi masyarakat pun menjadi goyah dan jebol karena dibuat dilematis ketika yang meminta izin membawa-bawa nama klub sepak bola kesayangan mereka. Inilah kondisi ketika “kebanggaan masyarakat menggilas masyarakat”.
Atau, keterbukaan itu bisa kita mulai dengan penjelasan apa sesungguhnya kesepakatan antara pengurus PT.PBB generasi pertama dengan PT.PBB generasi sekarang ketika tiba-tiba sudah ada peralihan dengan jumlah saham sekian persen dipegang si anu, si anu kebagian sekian persen dll. Apa dasarnya? Karena dokumentasi surat kabar sekitar 5 tahun yang lalu hanya memberitakan bahwa sekelompok pengusaha asal Bandung yang sukses di Jakarta akan memberi “PINJAMAN LUNAK” kepada PERSIB, bukannya mengambil alih seperti sekarang. Di antara 3 orang yang saya anggap mengetahui persoalan ini, sebenarnya salah satunya sudah akan memberi penjelasan kepada publik. Sayalah yang mendesak beliau saat itu karena ada peristiwa yang terputus- suatu kesepakatan yang seakan disembunyikan dan merembet kepada klub-klub internal PERSIB sebagai pemilik yang sesungguhnya. Namun ketika di detik-detik terakhir saya menghubungi beliau, ternyata HP beliau sudah berada di tangan KPK. Terakhir kali membesuk beliau di lapas Sukamiskin pun, saya segan membicarakan hal itu karena memang bukan di tempat dan saat yang tepat. Maka marilah berharap penjelasan itu datang dari PT.PBB sendiri, di saat sepak bola kita tengah di titik nadir.
*penulis adalah bobotoh PERSIB, berakun twitter @ekomaung
Ingin curhat atau punya tulisan menarik tentang Persib? Bobotoh bisa mengirim tulisan ke simamaung.com@gmail.com, minimal 1 halaman Microsoft Word. Nuhun.

Jika ada hal yang mengejutkan terkait “slek” antara Firman Utina dan PT.PBB, sebenarnya itu adalah respon bobotoh terhadap peristiwa itu, karena peristiwanya sendiri ya biasa pisan, standar, tak istimewa. Karena, ketidaksepakatan para pihak dalam suatu perjanjian adalah sesuatu yang lumrah terjadi.
Namun, rentetan peristiwa eksodusnya mantan bintang ISL 2014 & Piala Presiden 2015 menjadi penting dan menjadi pembelajaran bagi seluruh elemen (PT.PBB, pemain, bobotoh) bahwa ketika bobotoh menganggap PERSIB adalah suatu hal yang sangat cukup dan menjadi segalanya, ternyata masih ada pihak-pemain dengan segala pertimbangan yang menganggap bahwa PERSIB tidaklah cukup untuk menghentikan langkah mereka. Sekaligus mengindikasikan bahwa segala predikat positif yang mungkin membuat PT.PBB merasa memberi tawaran yang sangat-sangat “kaharti” untuk level sepak bola Indonesia ternyata tak menjamin seluruh pemain bersedia tunduk tanpa berhitung-hitung kembali. PERSIB is not enough.
Menakar Kepentingan
Sebenarnya apa sih tujuan didirikannya PT (Perseroan Terbatas)? Tujuannya tentu saja keuntungan, profit, laba, alias bati. Maka cara berpikir perusahaan seperti PT.PBB ya menjaga agar jumlah pemasukan lebih besar dari jumlah pengeluaran, terlepas dari strategi jangka waktu BEP dsb, namun prinsip ekonomi jelas harus menjadi acuan utama. Maka seandainya PERSIB tidak juara selama puluhan tahun pun sebenarnya PT.PBB tak dapat dikatakan gagal-ditinjau dari perspektif ekonomi, selama neraca keuangan mereka dalam kurun waktu puluhan itu tetap surplus. Tapi jangan lupa, bahwa PERSIB adalah sebuah klub sepak bola, sehingga parameter keberhasilannya tentu tak bisa ditakar sekedar profit belaka, namun juga prestasi dan raihan gelar, dua hal inilah yang kemudian menjadi patokan utama bobotoh untuk menilai keberhasilan PT.PBB, padahal tim PERSIB sebenarnya “hanyalah” bagian dari garapan besar PT.PBB.
Dengan ketidakpastian kompetisi seperti saat ini maka tiga sumber pemasukan utama mendapat hantaman yang berat, yaitu sponsorship, penjualan tiket pertandingan dan hak siar TV, sehingga kondisi ini tentu membuat perusahaan harus berpikir ulang secara lebih rasional, kontrak dengan pemain pun tentunya ditinjau ulang, revisi dsb dan tentunya dengan hasil yang tak akan semenggiurkan ketika persepakbolaan nasional berada dalam kondisi normal. Ketika kontrak yang lebih rasional itu bertemu dengan kepentingan dan kebutuhan pemain yang mungkin tetap sama seperti sebelum sanksi FIFA dijatuhkan, maka negosiasi menjadi penting dan jika kemudian negosiasi itu tak mencapai kesepakatan, ya sudah tak perlu lagi ada kerjasama, sebenarnya sesederhana itu.
Terkait adanya klausul-klausul yang memberatkan pemain, sponsor pribadi dsb sebenarnya itu semua adalah hal yang bisa dibicarakan. Pada prinsipnya, pemain boleh melakukan apa saja sepanjang tak bertentangan dengan kepentingan perusahaan dan kesepakatan para sponsor utama dengan klub itu sendiri.
Adapun pernyataan tentang pemain tak digaji selama turnamen, bonus tak sesuai dsb, saya hanya bisa memberi gambaran bahwa PT.PBB yang sekarang bukanlah PT.PBB generasi pertama dulu yang bentuknya PT-PT an, kali ini PT.PBB memiliki SDM-SDM yang teruji dan berpengalaman, termasuk bagian legalnya. Rasanya mereka tak akan sebodoh itu melakukan pengingkaran kesepakatan secara “jorok” dan vulgar. Jikalau ada hal-hal yang mengecewakan, saya rasa semuanya sudah disepakati dan disetujui.
Konsorsium yang menghandle PERSIB sekarang bukan orang baru dalam bidang investasi dan corporate. Dalam beberapa kepentingan kantor, saya bertemu dengan komisaris independen salah satu perusahaan milik konsorsium, dan mereka adalah orang-orang terbaik dibidangnya. Jika kita telisik perusahaan-perusahaan (termasuk perusahaan multi nasional) yang mereka garap, bisa jadi PT.PBB tak sampai 5% nya aset mereka. But busines is busines, setiap rupiah yang keluar harus jelas juntrungannya dan dapat dipertanggungjawabkan. Sungguh berbeda dengan PERSIB dimasa lalu, yang seenaknya menggunakan uang rakyat.
Jangan lupakan pula kenyataan bahwa secara de jure PERSIB kini adalah milik para pemegang saham. Segelintir orang itulah pemilik PERSIB sesungguhnya. Tentunya kuasa dari “memiliki beneran” jauh berbeda dengan “rasa memiliki” yang selalu dibanggakan oleh jutaan bobotoh di luar lingkaran PT.
Transparansi
Namun demikian, fakta bahwa secara de jure PERSIB kini adalah milik segelintir orang bukan berarti PT.PBB boleh menutup banyak hal dari publik, karena begitu banyak aspek yang beririsan dengan kepentingan publik, seperti contoh: masalah pendistribusian tiket yang bisa berujung kepada terganggunya ketertiban umum, dll.
Kenyataan bahwa saat ini PT.PBB bukanlah PT terbuka yang melepas sahamnya kepada publik. Namun langkah menuju IPO, go publik dan tahapan-tahapan berikutnya haruslah dianggap suatu keniscayaan, seiring itu pula maka transparansi harus dibiasakan. Mungkin saat ini bukan hal yang bijak jika membuka nilai kontrak secara utuh ke publik. Karena tak hanya sekedar aturan perusahaan, tapi kultur pun rasanya belum siap. Namun suatu saat ketika tahapan go publik tercapai, tentunya itu menjadi suatu keharusan. Terlebih, bahwa sesungguhnya UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas menghendaki terwujudnya good corporate governance di mana salah satu aspeknya adalah terkait keterbukaan/transparansi.
Alasan lain mengapa keterbukaan harus dibiasakan adalah karena PERSIB tak dapat terlepas dari ikatan historis dan emosional masyarakat. Secara de facto, pemilik PERSIB bukan hanya PT.PBB saja. Peralihan dan transformasi menjadi badan hukum hanyalah suatu konsekuensi logis sepak bola profesional, sangat normatif dan tak dapat dijadikan pembenaran untuk “merampas” dan mengeksploitasi PERSIB tanpa batasan. Misalnya saja: PT.PBB membuka gerai-gerai minimarket modern dengan mengusung bendera PERSIB. Padahal, minimarket modern adalah isu yang bertentangan dengan perekonomian masyarakat kecil. Ketika di beberapa tempat masyarakat sudah melakukan pertahanan mandiri dengan tegas menolak kehadiran minimarket di wilayah mereka, eh tiba-tiba datanglah minimarket yang mengusung PT.PBB alias PERSIB. Maka pertahanan ekonomi masyarakat pun menjadi goyah dan jebol karena dibuat dilematis ketika yang meminta izin membawa-bawa nama klub sepak bola kesayangan mereka. Inilah kondisi ketika “kebanggaan masyarakat menggilas masyarakat”.
Atau, keterbukaan itu bisa kita mulai dengan penjelasan apa sesungguhnya kesepakatan antara pengurus PT.PBB generasi pertama dengan PT.PBB generasi sekarang ketika tiba-tiba sudah ada peralihan dengan jumlah saham sekian persen dipegang si anu, si anu kebagian sekian persen dll. Apa dasarnya? Karena dokumentasi surat kabar sekitar 5 tahun yang lalu hanya memberitakan bahwa sekelompok pengusaha asal Bandung yang sukses di Jakarta akan memberi “PINJAMAN LUNAK” kepada PERSIB, bukannya mengambil alih seperti sekarang. Di antara 3 orang yang saya anggap mengetahui persoalan ini, sebenarnya salah satunya sudah akan memberi penjelasan kepada publik. Sayalah yang mendesak beliau saat itu karena ada peristiwa yang terputus- suatu kesepakatan yang seakan disembunyikan dan merembet kepada klub-klub internal PERSIB sebagai pemilik yang sesungguhnya. Namun ketika di detik-detik terakhir saya menghubungi beliau, ternyata HP beliau sudah berada di tangan KPK. Terakhir kali membesuk beliau di lapas Sukamiskin pun, saya segan membicarakan hal itu karena memang bukan di tempat dan saat yang tepat. Maka marilah berharap penjelasan itu datang dari PT.PBB sendiri, di saat sepak bola kita tengah di titik nadir.
*penulis adalah bobotoh PERSIB, berakun twitter @ekomaung
Ingin curhat atau punya tulisan menarik tentang Persib? Bobotoh bisa mengirim tulisan ke simamaung.com@gmail.com, minimal 1 halaman Microsoft Word. Nuhun.

alhamdulillah bagi sy yg msh “bolon”, tulisan kang eko ini mampu memberikan penjelasan yang mudah dimengerti terkait kondisi klub yg slama ini sy “puja”.
d satu sisi, kemajuan yg d lakukan PT PBB memang patut d berikan apresiasi karna mampu menjadi role model klub sepakbola yg mandiri d tanah air ini.
namun yg sy harapkan saat ni adalah manajemen bisa belajar berkomunikasi dgn baik terhadap bobotoh memanfaatkan media sosial atau media lainnya tuk memberikan penjelasan terkait isu2 yg menerpa klub. karna sekali lg seperti yg kang eko katakan bahwa secara de facto persib tetaplah milik bobotoh dan yg sy yakini bahwa ke depan kehadiran bobotoh bisa memberikan dampak ekonomi yg lbh baik untuk PT PBB jika mereka mampu “memberikan kepuasan” kepada bobotoh. 😀
Kang eko maung sae pisan tulisanna. Jd bobotoh dibuat tambah mengerti, krn bobotoh dihadapkan pd dua posisi antara manajemen sebagai perusahaan dan pemain serta pelatih sebagai pekerja di perusahaan tsbt. Kami bobotoh bs d anggap jg sebagai konsumen wajib tau bagaimana perusahaan tersbut beroperasi/produksi, krn tanpa kami (Bobotoh) perusahaan tsbt pun bisa BANGKRUT!
Nah tulisan konstruktif beginilah yg diperlukan bobotoh dmn tdk memihak siapapun tp menjelaskan duduk masalahnya…..demi pencerahan sadulur bobotoh..keun we ari firman rek kaluar mah da eta hak na…ulah dibengberatan…n…firman oge ulah ngabubut PT. PBB..da tos 3 th teh gening..digaji ku PT. PBBB..lanacarkan tara nunggak…hehehe…
Paham ai kitu mah. Maju terus sib.