Perjalanan Spiritual (Bag 3-Tamat)
Thursday, 20 November 2014 | 20:00
Setelah satu rombongan besar datang, akhirnya rombongan kita menjadi semakin banyak, dan kita pun melaju perlahan-lahan. Tapi tidak lama, kita semua, puluhan bus itu berhenti, karena mendengar masa di depan sudah sangat banyak dan sudah tidak terkontrol. Saya sempat melihat foto bobotoh yang berdarah dan bus yang hancur dari smartphone teman saya, dan saya berpikir tidak mungkin untuk melewat ke depan sekarang. Akhirnya rombongan kita memutuskan untuk menutup jalan, dengan memarkirkan bus di jalan raya. Jalan pun menjadi macet, tidak bergerak. Bus saya berada di posisi paling belakang, ada juga beberapa mobil pribadi yang ikut ke dalam rombongan besar ini. Kita tertahan entah di km berapa di tol yang namanya entah apa pula. Hingga datanglah seseorang yang berasal dari salah satu ormas di Jawa Barat, mengatakan lebih baik maju dan lawan saja, dan dia pun dan beberapa kawannya akan ikut membantu, karena sama-sama urang Sunda. Tapi apakah benar seperti itu? Bagaimana jika kita hanya ditumbalkan untuk mereka yang sepertinya perjalanannya terganggu oleh kemacetan yang kita buat? Untungnya di antara kita masih ada yang bisa berpikir jernih di saat situasi genting seperti itu.
Bobotoh mulai mengusahakan segala cara agar bisa segera pulang, karena memang sudah lelah juga. Mulai dari menghubungi pak wali, yang mungkin sedang tidur, menghubungi polisi polda DKI dan Jabar, yang satu mungkin personilnya sedikit, karena sudah larut malam, yang satu mungkin merasa itu berada di luar daerahnya. Kita bingung harus melakukan apa, sedangkan situasi masih mencekam. Teriakan-teriakan jihad, wani paeh, kagok edan, mulai terdengar di dalam bus saya. Di luar bus, ketika kita sedang berkumpul, tiba-tiba lewatlah seorang laki-laki, berpakaian rapi dan berjalan terburu-buru, mengatakan jika di belakang ada The Jak. Saya dan beberapa teman yang busnya berada paling belakang, akan sedikit kewalahan juga jika tiba-tiba suporter kurang kerjaan itu menyerbu dari belakang, karena posisi kita terkunci. Salah seorang yang dituakan dalam rombongan, mengatakan lebih baik maju saja, kita habis-habisan di depan, dari pada diam seperti ini, masa di depan semakin siang akan semakin banyak, dan bisa saja mereka tiba-tiba menyerang dari belakang. Tiba-tiba polisi datang dengan mengucapkan beberapa hal yang wajahnya difoto oleh beberapa bobotoh. Akhirnya kita memutuskan untuk maju saja, dengan kawalan beberapa polisi yang sudah datang entah dari mana, dan entah cukup atau tidak mengawal kita.
Di dalam bus, saya berteriak gaspol pir! Sementara beberapa bobotoh yang lain masih belum percaya jika bus akan melaju, karena semua tahu, taruhannya nyawa! Semua bersiap-siap dengan posisinya masing-masing, tas-tas sudah disiapkan di sisi kaca bus. Semuanya sudah siap dan sudah pasrah pada-Nya. Seorang bobotoh yang duduk di barisan kiri bus, sempat berteriak, “Hampura urangnya lur!” Menurut saya ini kepasrahan diri yang sudah total! Si orang Cimahi di kanan saya memberi kabar entah lewat SMS atau BBM yang entah ditujukan pada siapa, mungkin keluarganya. Sementara teman dekat saya masih was-was dan melihat-lihat kondisi jalan dan bersiap jika ada batu yang melayang masuk. Smentara saya hanya tertunduk, menutupi kepala dengan tangan, melindunginya jika ada batu yang tak diundang datang. Semuanya sudah siap dengan nyawa mereka yang satu-satunya, sudah pasrah, karena kita tahu suporter tim ibu kota tidak segan untuk membunuh, sudah terbukti! Mungkin nyawa bagi mereka adalah barang yang murah. Sementara kita, masih memiliki sisi kemanusiaan, masih menghargai nyawa. Jika pun bentrok dengan suporter lain, paling banter kita hanya memukulinya dan melepas atributnya, tidak sampai menghilangkan nyawa! Belum ada suporter tim ibu kota yang mati di kota kembang! Sementara di ibu kota? Harus berapa korban lagi?
Saya pun tertunduk dan merasa tenang, meski pun beberapa waktu solat sejak dari Jakabaring belum sempat dikerjakan. Saya merasa bahagia pernah merasakan hidup dan menjadi bobotoh Persib. Saya berpikir, jika banyak masa di depan, dengan segala jenis senjata tajamnya, mungkin kita akan mati, dan kita mati hanya gara-gara pertandingan partai final sepak bola. Apakah itu layak? Setidaknya, dalam perjalan kali ini niat saya adalah menonton Persib di final dan jalan-jalan, bukan yang lainnya. Saya teringat perempuan berkerudung yang duduk berdua entah dengan pacarnya atau bukan di dalam bus saya. Jika mereka kelak menikah, perjalanan kisah cinta mereka sungguh menarik, pernah merasakan menonton partai final Persib bersama-sama hingga kondisi di perjalanan yang mencekam. Mereka mungkin bisa menceritakan kejadian ini pada anak-anak mereka kelak, yang ketika lahir tidak tahu menahu tiba-tiba sudah menjadi seorang bobotoh Persib.
Bus terus melaju dengan suara sirine polisi yang tidak teratur, kadang di belakang, kadang di depan, kadang di kiri, dan kadang di kanan. Saya khawatir bus ini kehabisan bensin, dan hancur oleh masa. Karena bensin memang tidak penuh, dan ketika di Sumatera bus ini pernah mogok sekali karena kehabisan bensin. Saat bus mogok itu, teman-teman bobotoh mendatangi satu buah warung yang menawarkan soto dengan harga yang murah, 5 ribu! Murah jika dibandingkan harga makanan lainnya di sepanjang perjalanan menuju Palembang. Seperti biasa, bobotoh yang darmaji (dahar lima ngaku hiji) ada saja. Itu membuat kita harus paham dan dewasa, kita harus membayar dengan layak, karena tidak semua bobotoh sama. Manusia saja berbeda-beda, begitu juga bobotoh. Sebagai bobotoh yang tidak darmaji, kita –saya dan teman-teman- membayar dengan seadanya dan selayaknya, tidak harus sama dengan bobotoh yang darmaji. Tapi bobotoh yang darmaji juga tidak bisa disalahkan bukan? Bukankah ketika di bus cerita darmaji ini selalu menjadi bahan candaan yang membuat kita menggelengkan kepala, aya-aya wae!
Bus terus melaju, hingga hampir saja saya tertidur dan bermimpi. Saya melihat si orang Cimahi di kanan saya sudah tidur, melihat teman dekat saya di kiri saya sudah menundukkan kepalanya pada jok depan, tertidur. Kebanyakan bobotoh tertidur di dalam bus itu! Saya hanya berharap, tidak ada kejadian yang menyusahkan pak supir ini, karena dia telah baik mengantarkan bobotoh ke Palembang pulang pergi. Semoga tidak ada kaca bus yang pecah, karena itu akan menyusahkan pak supir. Melaju dan terus melaju, hingga saya ikut sedikit tertidur. Ketika sadar, bus berhenti di sebuah tol dan di depan ada sebuah mobil polisi, sementara bus lain tidak ada! Kita melaju dan masuk ke dalam sebuah pom bensin. Di situ mobil polisi entah pergi ke mana, dan yang saya heran rombongan bus yang banyak itu yang berisi banyak bobotoh pada ke mana? Mungkin kita menyebar, hingga di pom bensin inilah bus kita hanya sendirian, tidak ada bus lain. Saya berpikir, bagaimana jika semalam, bus ini ikut dengan dua bus di depannya, tidak berhenti, mungkin bus ini akan hancur. Tapi begitulah, sekarag kita berada entah di pom bensin mana.
Hari sudah pagi, banyak bobotoh mulai terbangun dari tidurnya, dan kita sudah berada di Cipularang. Gorden yang menutupi kaca bus mulai dibuka, dan melihat indahnya pagi di jalan tol. Dan ketika melihat gerbang tol Pasteur, semuanya bergembira. Banyak yang bersyukur kita sampai di kota Bandung dengan selamat, apalagi kaca bus kita tidak ada yang pecah, aman. Senang tak terkira seperti biasanya sehabis tour, jika melihat kota Bandung lagi. Rasanya seakan-akan kita adalah para pejuang yang baru kembali dari medan pertempuran. Kita bernyanyi di dalam bus itu sampai di lapangan Gasibu. Banyak bobotoh yang memadati lapangan Gasibu. Beberapa bus sudah sampai terlebih dahulu, dengan kondisi yang mengenaskan. Semuanya pasti merasa kelelahan, Bandung, kita pulang …
Sesampainya di rumah, saya langsung mengatakan jika ponsel saya hilang pada ibu saya, makanya tidak bisa memberi kabar. Ibu saya malah bilang, untung bisa pulang dengan selamat dan tidak luka juga, di berita banyak yang menjadi korban penyerangan katanya, dan dirawat di rumah sakit. Mendengar itu, saya hanya tersenyum saja. Dan saya bilang, mungkin jika ponsel itu jatuh, dan ditemukan orang baik, mungkin akan kembali lagi, karena di situ banyak nomor kontak yang bisa dihubungi. Tapi apa kata ibu saya? Katanya di zaman seperti sekarang ini sulit ada orang baik! Beliau begitu pesimis pada orang-orang masa kini. Ya sudahlah, tidak apa juga ponsel hilang, toh ketika kejadian mencekam tadi malam, kita siap kan untuk kehilangan segalanya? Dan ini hanya sekedar ponsel, yang tidak akan di bawa ke dunia akhirat nanti.
Di daerah rumah saya ramai sekali orang-orang dengan memakai baju Persib, padahal ini di dalam gang. Saya dan teman saya siangnya langsung ikut konvoi pemain Persib, ingin melihat mereka membawa piala dari dekat! Dan ketika di jalanan, luar biasa, bobotoh Persib di mana-mana, ini mengingatkan saya dulu ketika Persib main, bobotoh Persib di mana-mana. Semua jalan di kota Bandung pasti ada bobotoh di situ. Sampai ketika saya dan teman saya masuk ke gang-gang kecil untuk mencari jalan tikus, masih saja ada bobotoh, masih saja ada orang yang memakai baju Persib di dalam gang kecil sekali pun! Luar biasa, inilah kita, bobotoh Persib Bandung! Tidak ada perbedaan dan sekat di antara kita ketika Persib menjadi nama yang sama-sama kita pegang. Tak ada hal lain di Bandung yang bisa seperti ini, selain Persib!
Ketika konvoi malam itu, saya sempat melihat berita di media yang sangat menyudutkan sekali. Khususnya situs berita online yang katanya terbesar di negeri ini, memberitakan jika bobotoh menyerang dan merusak rumah warga. Konyolnya, berita itu hanya bernarasumber satu pihak saja, yaitu orang yang katanya warga Jakarta. Dalam berita itu tidak sedikit pun mengutip atau bernarasumber bobotoh! Ketika membaca berita itu, sakit sekali rasanya, sakitnya tuh di sini! Ketika kita ada dan mengalami peristiwa itu, tetapi media memberitakan lain, ah sudahlah, kita sudah terbiasa dengan ini, kita lebih besar dari mereka! Untungnya beberapa media, seperti media asing cabang Indonesia, memberitakan dengan lebih fair mengenai kronologis peristiwa malam itu. Memangnya anda yang sedang membaca tulisan ini, pernah melihat foto rumah dirusak oleh bobotoh? Adakah foto rumah rusak? Atau yang anda lihat adalah foto-foto bus yang rusak?
Di Bandung juga, kita mengobrol dengan bobotoh-bobotoh lain yang pergi ke Palembang. Dan mereka lebih parah, bertemu dengan suporter tim ibu kota yang membawa samurai! Itu baru samurai, belum lagi barang-barang lainnya khas tawuran warga ibu kota. Kalau ini sih niatnya sudah jelas, ingin membunuh! Lihat saja barang yang dibawa pasukan penghalang di jalan tol itu. Untungnya bobotoh yang mengobrol dengan saya itu bisa pulang dengan selamat. Pasti banyak peristiwa yang lainnya yang lebih menarik dan bisa memberikan inspirasi, dari para bobotoh yang seharusnya menuliskan dan menceritakan peristiwa yang mereka alami.
Malam pesta konvoi itu, terdengar isu bahwa beberapa bobotoh di Pasteur merusak mobil berplat B. Saya dan teman dekat saya langsung melaju ke daerah Pasteur. Teman saya marah, karena bobotoh yang merusak itu tidak ikut ke Palembang, tapi di Bandung malah membuat onar. Akhirnya kita pergi ke daerah Pasteur untuk niatnya melindungi mobil dengan plat B. Karena mobil itu bisa saja isinya orang Bandung, atau orang Jakarta yang memang tidak tahu apa-apa. Yang jelas, meski pun kita diperlakukan buruk ketika melintas di Jakarta, di Bandung kita jangan melakukan itu pada warga berplat B, karena kita tidak sama dengan mereka! Dan tong saruana!
Tour kali ini sebenarnya si orang Cimahi, sempat berdebat ketika hendak pergi ke Palembang dengan ayahnya. Begitu juga teman dekat saya, sempat berdebat karena tidak dibolehkan oleh ayahnya. Tapi kenapa saya mau berjalan bersama mereka, karena mereka telah mendapat restu dari ibu mereka, karena yang penting bagi saya adalah restu dan izin dari ibu. Doa dari ibu lebih ampuh dari apa pun, saya sangat percaya itu. Karena Mang Ayi pun tidak ditattoo karena memang tidak boleh oleh ibunya. Jadi kalau kata saya, ibumu, ibumu, ibumu, pacarmu (isterimu), dan …. Persib!
Ada Tangan yang mengatur semua ini, entah kita bisa merasakannya atau tidak. Yang jelas, dari awal perjalanan Persib tahun ini, dan awal perjalan kita ke Palembang, sulit untuk mengatakan jika semuanya terjadi karena kebetulan-kebetulan yang berulang. Tidak, itu semua sudah ada yang membuat skenarionya. Dan kita sebagai wayang, terkadang malah ingin melawan dalangnya, bahkan keluar dari cerita yang telah dituliskan. Padahal sebagai wayang, hidup itu gampang, hanya membiarkan Sang Dalang menggerakan dan menuntun kita, untuk sampai pada akhir cerita.
Menonton Persib bagi saya adalah ibadah. Ibadah tidak hanya terbatas pada ibadah ‘super’, seperti naik haji dan umroh, solat berjamaah di masjid, membangun masjid besar. Tetapi mencintai sesama, di sini bobotoh, itu juga ibadah yang penting. Ibadah horizontal kita, ibadah sosial kita, terbuka lebar ketika Persib bertanding. Memanusiakan manusia, memberdayakan bobotoh, saling tolong menolong, saling mambagi makanan, saling membahagiakan sesama, itu hanya sedikit hal yang bisa dilakukan ketika kita berada dalam kumpulan-kumpulan bobotoh. Karena ketika bersama bobotoh, di situ ada potensi kita untuk melakukan ibadah, ibadah pada Tuhan baik, dan lebih baik lagi jika ibadah kita pada Tuhan, memberikan dampak yang positif dan baik bagi sesama (bobotoh). Terakhir dari saya, hiduplah dengan bahagia, bersyukurlah, sesungguhnya kita memang-memang beruntung sudah hidup, dan menjadi bobotoh Persib. Dan bagi saya pribadi, tour ke Palembang kemarin bukan hanya sekedar perjalanan biasa, tetapi perjalanan spiritual, yang sedikit atau banyak, memberikan dampak pada diri sendiri. Meski pun dengan itu, resikonya saya tidak mengikuti UTS, dan semakin jauhlah saya pada lulus untuk mendapatkan gelar sarjana. Hidup Persib!
Tamat
#PersibJuara
Penulis adalah seorang bobotoh yang masih tercatat namanya sebagai mahasiswa filsafat di salah satu Perguruan Tinggi di Bandung. Bisa dihubungi melalui @filsufmungil.

Setelah satu rombongan besar datang, akhirnya rombongan kita menjadi semakin banyak, dan kita pun melaju perlahan-lahan. Tapi tidak lama, kita semua, puluhan bus itu berhenti, karena mendengar masa di depan sudah sangat banyak dan sudah tidak terkontrol. Saya sempat melihat foto bobotoh yang berdarah dan bus yang hancur dari smartphone teman saya, dan saya berpikir tidak mungkin untuk melewat ke depan sekarang. Akhirnya rombongan kita memutuskan untuk menutup jalan, dengan memarkirkan bus di jalan raya. Jalan pun menjadi macet, tidak bergerak. Bus saya berada di posisi paling belakang, ada juga beberapa mobil pribadi yang ikut ke dalam rombongan besar ini. Kita tertahan entah di km berapa di tol yang namanya entah apa pula. Hingga datanglah seseorang yang berasal dari salah satu ormas di Jawa Barat, mengatakan lebih baik maju dan lawan saja, dan dia pun dan beberapa kawannya akan ikut membantu, karena sama-sama urang Sunda. Tapi apakah benar seperti itu? Bagaimana jika kita hanya ditumbalkan untuk mereka yang sepertinya perjalanannya terganggu oleh kemacetan yang kita buat? Untungnya di antara kita masih ada yang bisa berpikir jernih di saat situasi genting seperti itu.
Bobotoh mulai mengusahakan segala cara agar bisa segera pulang, karena memang sudah lelah juga. Mulai dari menghubungi pak wali, yang mungkin sedang tidur, menghubungi polisi polda DKI dan Jabar, yang satu mungkin personilnya sedikit, karena sudah larut malam, yang satu mungkin merasa itu berada di luar daerahnya. Kita bingung harus melakukan apa, sedangkan situasi masih mencekam. Teriakan-teriakan jihad, wani paeh, kagok edan, mulai terdengar di dalam bus saya. Di luar bus, ketika kita sedang berkumpul, tiba-tiba lewatlah seorang laki-laki, berpakaian rapi dan berjalan terburu-buru, mengatakan jika di belakang ada The Jak. Saya dan beberapa teman yang busnya berada paling belakang, akan sedikit kewalahan juga jika tiba-tiba suporter kurang kerjaan itu menyerbu dari belakang, karena posisi kita terkunci. Salah seorang yang dituakan dalam rombongan, mengatakan lebih baik maju saja, kita habis-habisan di depan, dari pada diam seperti ini, masa di depan semakin siang akan semakin banyak, dan bisa saja mereka tiba-tiba menyerang dari belakang. Tiba-tiba polisi datang dengan mengucapkan beberapa hal yang wajahnya difoto oleh beberapa bobotoh. Akhirnya kita memutuskan untuk maju saja, dengan kawalan beberapa polisi yang sudah datang entah dari mana, dan entah cukup atau tidak mengawal kita.
Di dalam bus, saya berteriak gaspol pir! Sementara beberapa bobotoh yang lain masih belum percaya jika bus akan melaju, karena semua tahu, taruhannya nyawa! Semua bersiap-siap dengan posisinya masing-masing, tas-tas sudah disiapkan di sisi kaca bus. Semuanya sudah siap dan sudah pasrah pada-Nya. Seorang bobotoh yang duduk di barisan kiri bus, sempat berteriak, “Hampura urangnya lur!” Menurut saya ini kepasrahan diri yang sudah total! Si orang Cimahi di kanan saya memberi kabar entah lewat SMS atau BBM yang entah ditujukan pada siapa, mungkin keluarganya. Sementara teman dekat saya masih was-was dan melihat-lihat kondisi jalan dan bersiap jika ada batu yang melayang masuk. Smentara saya hanya tertunduk, menutupi kepala dengan tangan, melindunginya jika ada batu yang tak diundang datang. Semuanya sudah siap dengan nyawa mereka yang satu-satunya, sudah pasrah, karena kita tahu suporter tim ibu kota tidak segan untuk membunuh, sudah terbukti! Mungkin nyawa bagi mereka adalah barang yang murah. Sementara kita, masih memiliki sisi kemanusiaan, masih menghargai nyawa. Jika pun bentrok dengan suporter lain, paling banter kita hanya memukulinya dan melepas atributnya, tidak sampai menghilangkan nyawa! Belum ada suporter tim ibu kota yang mati di kota kembang! Sementara di ibu kota? Harus berapa korban lagi?
Saya pun tertunduk dan merasa tenang, meski pun beberapa waktu solat sejak dari Jakabaring belum sempat dikerjakan. Saya merasa bahagia pernah merasakan hidup dan menjadi bobotoh Persib. Saya berpikir, jika banyak masa di depan, dengan segala jenis senjata tajamnya, mungkin kita akan mati, dan kita mati hanya gara-gara pertandingan partai final sepak bola. Apakah itu layak? Setidaknya, dalam perjalan kali ini niat saya adalah menonton Persib di final dan jalan-jalan, bukan yang lainnya. Saya teringat perempuan berkerudung yang duduk berdua entah dengan pacarnya atau bukan di dalam bus saya. Jika mereka kelak menikah, perjalanan kisah cinta mereka sungguh menarik, pernah merasakan menonton partai final Persib bersama-sama hingga kondisi di perjalanan yang mencekam. Mereka mungkin bisa menceritakan kejadian ini pada anak-anak mereka kelak, yang ketika lahir tidak tahu menahu tiba-tiba sudah menjadi seorang bobotoh Persib.
Bus terus melaju dengan suara sirine polisi yang tidak teratur, kadang di belakang, kadang di depan, kadang di kiri, dan kadang di kanan. Saya khawatir bus ini kehabisan bensin, dan hancur oleh masa. Karena bensin memang tidak penuh, dan ketika di Sumatera bus ini pernah mogok sekali karena kehabisan bensin. Saat bus mogok itu, teman-teman bobotoh mendatangi satu buah warung yang menawarkan soto dengan harga yang murah, 5 ribu! Murah jika dibandingkan harga makanan lainnya di sepanjang perjalanan menuju Palembang. Seperti biasa, bobotoh yang darmaji (dahar lima ngaku hiji) ada saja. Itu membuat kita harus paham dan dewasa, kita harus membayar dengan layak, karena tidak semua bobotoh sama. Manusia saja berbeda-beda, begitu juga bobotoh. Sebagai bobotoh yang tidak darmaji, kita –saya dan teman-teman- membayar dengan seadanya dan selayaknya, tidak harus sama dengan bobotoh yang darmaji. Tapi bobotoh yang darmaji juga tidak bisa disalahkan bukan? Bukankah ketika di bus cerita darmaji ini selalu menjadi bahan candaan yang membuat kita menggelengkan kepala, aya-aya wae!
Bus terus melaju, hingga hampir saja saya tertidur dan bermimpi. Saya melihat si orang Cimahi di kanan saya sudah tidur, melihat teman dekat saya di kiri saya sudah menundukkan kepalanya pada jok depan, tertidur. Kebanyakan bobotoh tertidur di dalam bus itu! Saya hanya berharap, tidak ada kejadian yang menyusahkan pak supir ini, karena dia telah baik mengantarkan bobotoh ke Palembang pulang pergi. Semoga tidak ada kaca bus yang pecah, karena itu akan menyusahkan pak supir. Melaju dan terus melaju, hingga saya ikut sedikit tertidur. Ketika sadar, bus berhenti di sebuah tol dan di depan ada sebuah mobil polisi, sementara bus lain tidak ada! Kita melaju dan masuk ke dalam sebuah pom bensin. Di situ mobil polisi entah pergi ke mana, dan yang saya heran rombongan bus yang banyak itu yang berisi banyak bobotoh pada ke mana? Mungkin kita menyebar, hingga di pom bensin inilah bus kita hanya sendirian, tidak ada bus lain. Saya berpikir, bagaimana jika semalam, bus ini ikut dengan dua bus di depannya, tidak berhenti, mungkin bus ini akan hancur. Tapi begitulah, sekarag kita berada entah di pom bensin mana.
Hari sudah pagi, banyak bobotoh mulai terbangun dari tidurnya, dan kita sudah berada di Cipularang. Gorden yang menutupi kaca bus mulai dibuka, dan melihat indahnya pagi di jalan tol. Dan ketika melihat gerbang tol Pasteur, semuanya bergembira. Banyak yang bersyukur kita sampai di kota Bandung dengan selamat, apalagi kaca bus kita tidak ada yang pecah, aman. Senang tak terkira seperti biasanya sehabis tour, jika melihat kota Bandung lagi. Rasanya seakan-akan kita adalah para pejuang yang baru kembali dari medan pertempuran. Kita bernyanyi di dalam bus itu sampai di lapangan Gasibu. Banyak bobotoh yang memadati lapangan Gasibu. Beberapa bus sudah sampai terlebih dahulu, dengan kondisi yang mengenaskan. Semuanya pasti merasa kelelahan, Bandung, kita pulang …
Sesampainya di rumah, saya langsung mengatakan jika ponsel saya hilang pada ibu saya, makanya tidak bisa memberi kabar. Ibu saya malah bilang, untung bisa pulang dengan selamat dan tidak luka juga, di berita banyak yang menjadi korban penyerangan katanya, dan dirawat di rumah sakit. Mendengar itu, saya hanya tersenyum saja. Dan saya bilang, mungkin jika ponsel itu jatuh, dan ditemukan orang baik, mungkin akan kembali lagi, karena di situ banyak nomor kontak yang bisa dihubungi. Tapi apa kata ibu saya? Katanya di zaman seperti sekarang ini sulit ada orang baik! Beliau begitu pesimis pada orang-orang masa kini. Ya sudahlah, tidak apa juga ponsel hilang, toh ketika kejadian mencekam tadi malam, kita siap kan untuk kehilangan segalanya? Dan ini hanya sekedar ponsel, yang tidak akan di bawa ke dunia akhirat nanti.
Di daerah rumah saya ramai sekali orang-orang dengan memakai baju Persib, padahal ini di dalam gang. Saya dan teman saya siangnya langsung ikut konvoi pemain Persib, ingin melihat mereka membawa piala dari dekat! Dan ketika di jalanan, luar biasa, bobotoh Persib di mana-mana, ini mengingatkan saya dulu ketika Persib main, bobotoh Persib di mana-mana. Semua jalan di kota Bandung pasti ada bobotoh di situ. Sampai ketika saya dan teman saya masuk ke gang-gang kecil untuk mencari jalan tikus, masih saja ada bobotoh, masih saja ada orang yang memakai baju Persib di dalam gang kecil sekali pun! Luar biasa, inilah kita, bobotoh Persib Bandung! Tidak ada perbedaan dan sekat di antara kita ketika Persib menjadi nama yang sama-sama kita pegang. Tak ada hal lain di Bandung yang bisa seperti ini, selain Persib!
Ketika konvoi malam itu, saya sempat melihat berita di media yang sangat menyudutkan sekali. Khususnya situs berita online yang katanya terbesar di negeri ini, memberitakan jika bobotoh menyerang dan merusak rumah warga. Konyolnya, berita itu hanya bernarasumber satu pihak saja, yaitu orang yang katanya warga Jakarta. Dalam berita itu tidak sedikit pun mengutip atau bernarasumber bobotoh! Ketika membaca berita itu, sakit sekali rasanya, sakitnya tuh di sini! Ketika kita ada dan mengalami peristiwa itu, tetapi media memberitakan lain, ah sudahlah, kita sudah terbiasa dengan ini, kita lebih besar dari mereka! Untungnya beberapa media, seperti media asing cabang Indonesia, memberitakan dengan lebih fair mengenai kronologis peristiwa malam itu. Memangnya anda yang sedang membaca tulisan ini, pernah melihat foto rumah dirusak oleh bobotoh? Adakah foto rumah rusak? Atau yang anda lihat adalah foto-foto bus yang rusak?
Di Bandung juga, kita mengobrol dengan bobotoh-bobotoh lain yang pergi ke Palembang. Dan mereka lebih parah, bertemu dengan suporter tim ibu kota yang membawa samurai! Itu baru samurai, belum lagi barang-barang lainnya khas tawuran warga ibu kota. Kalau ini sih niatnya sudah jelas, ingin membunuh! Lihat saja barang yang dibawa pasukan penghalang di jalan tol itu. Untungnya bobotoh yang mengobrol dengan saya itu bisa pulang dengan selamat. Pasti banyak peristiwa yang lainnya yang lebih menarik dan bisa memberikan inspirasi, dari para bobotoh yang seharusnya menuliskan dan menceritakan peristiwa yang mereka alami.
Malam pesta konvoi itu, terdengar isu bahwa beberapa bobotoh di Pasteur merusak mobil berplat B. Saya dan teman dekat saya langsung melaju ke daerah Pasteur. Teman saya marah, karena bobotoh yang merusak itu tidak ikut ke Palembang, tapi di Bandung malah membuat onar. Akhirnya kita pergi ke daerah Pasteur untuk niatnya melindungi mobil dengan plat B. Karena mobil itu bisa saja isinya orang Bandung, atau orang Jakarta yang memang tidak tahu apa-apa. Yang jelas, meski pun kita diperlakukan buruk ketika melintas di Jakarta, di Bandung kita jangan melakukan itu pada warga berplat B, karena kita tidak sama dengan mereka! Dan tong saruana!
Tour kali ini sebenarnya si orang Cimahi, sempat berdebat ketika hendak pergi ke Palembang dengan ayahnya. Begitu juga teman dekat saya, sempat berdebat karena tidak dibolehkan oleh ayahnya. Tapi kenapa saya mau berjalan bersama mereka, karena mereka telah mendapat restu dari ibu mereka, karena yang penting bagi saya adalah restu dan izin dari ibu. Doa dari ibu lebih ampuh dari apa pun, saya sangat percaya itu. Karena Mang Ayi pun tidak ditattoo karena memang tidak boleh oleh ibunya. Jadi kalau kata saya, ibumu, ibumu, ibumu, pacarmu (isterimu), dan …. Persib!
Ada Tangan yang mengatur semua ini, entah kita bisa merasakannya atau tidak. Yang jelas, dari awal perjalanan Persib tahun ini, dan awal perjalan kita ke Palembang, sulit untuk mengatakan jika semuanya terjadi karena kebetulan-kebetulan yang berulang. Tidak, itu semua sudah ada yang membuat skenarionya. Dan kita sebagai wayang, terkadang malah ingin melawan dalangnya, bahkan keluar dari cerita yang telah dituliskan. Padahal sebagai wayang, hidup itu gampang, hanya membiarkan Sang Dalang menggerakan dan menuntun kita, untuk sampai pada akhir cerita.
Menonton Persib bagi saya adalah ibadah. Ibadah tidak hanya terbatas pada ibadah ‘super’, seperti naik haji dan umroh, solat berjamaah di masjid, membangun masjid besar. Tetapi mencintai sesama, di sini bobotoh, itu juga ibadah yang penting. Ibadah horizontal kita, ibadah sosial kita, terbuka lebar ketika Persib bertanding. Memanusiakan manusia, memberdayakan bobotoh, saling tolong menolong, saling mambagi makanan, saling membahagiakan sesama, itu hanya sedikit hal yang bisa dilakukan ketika kita berada dalam kumpulan-kumpulan bobotoh. Karena ketika bersama bobotoh, di situ ada potensi kita untuk melakukan ibadah, ibadah pada Tuhan baik, dan lebih baik lagi jika ibadah kita pada Tuhan, memberikan dampak yang positif dan baik bagi sesama (bobotoh). Terakhir dari saya, hiduplah dengan bahagia, bersyukurlah, sesungguhnya kita memang-memang beruntung sudah hidup, dan menjadi bobotoh Persib. Dan bagi saya pribadi, tour ke Palembang kemarin bukan hanya sekedar perjalanan biasa, tetapi perjalanan spiritual, yang sedikit atau banyak, memberikan dampak pada diri sendiri. Meski pun dengan itu, resikonya saya tidak mengikuti UTS, dan semakin jauhlah saya pada lulus untuk mendapatkan gelar sarjana. Hidup Persib!
Tamat
#PersibJuara
Penulis adalah seorang bobotoh yang masih tercatat namanya sebagai mahasiswa filsafat di salah satu Perguruan Tinggi di Bandung. Bisa dihubungi melalui @filsufmungil.

tah gening aya bag 3 na, nuhun ah,.. urang baca heula. ngke bade koment deui,. 🙂
SALUT BOBOTOH,.. pengalaman berharga. HIDUP PERSIB, HIDUP BOBOTOH, JUARA salawasna.
Keren mang.. SALUT..!
Ꮤһat’s ᥙp, the whoⅼe tһing іs goіng well here ɑnd ofcourse еvery one is sharing data, that’s actսally excellent, қeep uρ writing.