Perjalanan Spiritual (Bag 2)
Thursday, 20 November 2014 | 19:00
Akhirnya kita berhasil mendapatkan tiket dan langsung menuju tribun timur stadion Jakabaring, yang memang diperuntukkan bagi bobotoh yang hadir di Palembang. Suasana di luar stadion sangat mirip dengan suasana di stadion Si Jalak Harupat, di mana banyak sekali warna biru dan simbol khas bobotoh mendominasi di area stadion Jakabaring. Ketika hendak masuk stadion, antriannya mirip dengan menangantri untuk masuk ke stadion Siliwangi, padedet, pintu gerbang yang dibuka hanya satu, dan ada besi di dekat pintu masuk, yang bisa membuat kacepet, khas stadion Siliwangi. Begitu masuk, standar keamanan pertandingan ISL langsung terlihat, tas-tas diperiksa, dan minuman dari botol dipindahkan pada plastik bening. Anehnya, di dalam stadion masih saja ada yang menjual minuman dalam botol, sudah biasa dan konyol.
Stadion sudah penuh, dipadati oleh ribuan bobotoh yang hadir langsung ke Jakabaring. Bahkan saya sempat melihat kehadiran vokalis Pas Band di tribun timur stadion. Pemain pun melakukan pemanasan, begitu juga wasitnya, yang sebelumnya dirahasiakan namanya. Benar-benar mirip di Soreang, hanya saja di Jakabaring terasa sedikit panas cuacanya. Pertandingan dimulai, seperti biasa, nyanyian sebelum pertandingan dimulai lebih meriah dibandingkan saat pertandingan berlangsung. Belum apa-apa suara saya sudah serak duluan. Dan tertinggalah Persib 0-1 dari Persipura, hal-hal yang sebenarnya tidak ingin saya bayangkan, tiba-tiba hadir berusaha masuk pada otak saya. Beragam ucapan yang entah katanya berasal dari mana, mulai keluar dari para mulut bobotoh, khas sekali jika bobotoh ada di dalam stadion. Emosi memuncak seiring dengan harapan keinginan untuk menang. Yang saya khawatirkan adalah pemain terbebani karena kehadiran ribuan bobotoh di Palembang. Namun saya keliru …
Cinta saya pada Persib jauh sekali jika dibandingkan cinta Mang Ayi pada Persib. Saya masih menghitung untung rugi. Malam itu, saya akan sangat sedih jika Persib kalah, karena sudah datang langsung jauh-jauh dari Bandung, tapi Persib kalah dengan permainan yang seadanya. Dari dulu, jika permainan Persib kurang bagus, saya selalu ingin mengatakan pada pemain, “Lepas jersey itu, pemain Persib tidak bermain seperti itu!” Dan akhirnya gol bunuh diri dari pemain Persipura membuat skor menjadi 1-1, bobotoh mulai riuh kembali. Dengan melihat pertandingan ini yang habis-habisan oleh kedua tim, mustahil pertandingan ini telah diatur sebelumnya. Ini membuktikan jika Persib bermain tulus, total, tanpa adanya bantuan dari para mafia sepak bola negeri ini. Ketika istirahat, suasana tribun timur semakin penuh, hingga beberapa bobotoh harus berdiri, karena tidak kebagian tempat duduk. Nah loh sebenarnya berapa tiket yang dibuat hingga tribun timur seperti tidak kuat menampung banyaknya bobotoh?
Babak kedua dimulai, Persib langsung bisa unggul atas Persipura, berkat gol dari pak Haji, M. Ridwan, skor 2-1. Dari saat itu bobotoh mulai tak hentinya meluapkan rasa gembiranya, karena Persib juara sudah sangat di depan mata. Semuanya ceria, bobotoh disekeliling saya sangat bergembira dan bahagia, hingga … Boas mecetak gol untuk menyamakan kedudukan menjadi 2-2. Bobotoh akhirnya harus terdiam lagi, bagaimana tidak, seakan-akan tidak percaya karena Persib melawan 10 orang pemain! Bio sudah di kartu merah. Pikiran-pikiran negatif mulai menghampiri otak saya lagi. Entah ada apa dengan Vladimir, karena saat Persib butuh kekuatan, dia malah terkena kartu merah!
Ketika perpanjangan waktu, banyak sekali bobotoh yang mengatakan hal apa saja. Sudah sulit untuk menyanyi bersama-sama, karena semuanya sudah fokus dan bergantung pada pertandingan di lapangan. Teman saya berteriak seharusnya Hariono diganti, karena sudah kelelahan oleh M. Taufik, dia bingung pada Djanur yang menurutnya jarang sekali mengganti pemain. Dia bicara pada saya mengenai Hariono itu, dan saya juga dengan nada yang sedikit naik karena mungkin sudah emosi, mengatakan “Kita lihat saja, jika Persib juara, strategi Djanur benar, tapi jika Persib kalah, Djanur salah!” Hingga ketika semuanya sudah berada seperti di titik bawah -bobotoh dan pemain Persib-, tiba-tiba munculah suara dari depan. “Ayolah kau Persib … ayolah kau Persib … ayolah kau Persib … Jayalah Persibku!” Saya merasakan sesuatu, mungkin merinding. Entah Jaya atau Usab yang menyanyikan lagu Si Bolang itu di depan, yang jelas seakan-akan Mang Ayi hadir di antara kita, di tribun timur. Nyanyian anak sang panglima itu seakan-akan menyentuh hati bobotoh, khususnya saya. Saya suara serak karena nyanyi berteriak-teriak, mungkin tanpa hati, berbeda dengan anak Mang Ayi, bernyanyi dengan menggunakan hati, membuat siapa pun yang mendengar akan merasakan sesuatu hal yang berbeda.
Pertandingan harus dilanjutkan dengan adu penalti. Di sini semuanya menjadi tegang, karena satu saja penendang tidak bisa memasukan bola, bisa berakibat fatal. Bisa dibayangkan betapa bagusnya mental pemain Persib di pertandingan kali ini. Ketika penendang terakhir dari Persipura, saya tidak berharap dia gagal menendang bola, itu tidak fair! Saya hanya berharap I Made bisa tampil bagus dengan menahan tendangan itu. Sebelumnya banyak sekali doa bobotoh yang aneh-aneh saat pertandingan final ini. Dan akhirnya I Made bisa menahan tendangan dari pemain Persipura itu, teman dekat saya menangis pada saya. Saya bilang ini belum seleasai, masih ada satu lagi tendangan, dan jika itu masuk, Persib juara! Semua bersorak ketika I Made berhasil menahan tendangan terakhir dari pemain Persipura itu.
Dan penendang terakhir dari Persib adalah Jupe! Semua mata tertuju padanya. Hingga dia menendang bola dan … masuk! Semua bersorak dan berteriak Persib Juara! Teman dekat saya menangis, entah kenapa saya juga merasakan ada air mata yang keluar dari mata saya. Apakah ini yang dinamakan cinta? Apakah ini yang dinamakan tangisan kebahagiaan? Saya hanya mengepalkan tangan dan memandang lagit, berteriak “Juara, juara, juara!” Sejak dulu saya hanya diceritakan bagaimana kehebatan Persib hingga bisa juara berkali-kali, tapi kali ini saya mengalami sendiri Persib menjadi jurara. Bahagia tak terkira! Ada bobotoh yang meneriakan nama Mang Ayi. Untuk Persib juara tahun ini, jika harus dikatakan penukaran harga, terlalu mahal rasanya nyawa Mang Ayi untuk Persib juara. Namun apa harus dikata, beliau tiada ketika Persib juara! Bagaimana para Vikers tak tersentuh hatinya!
Kita berpesta di Jakabaring, hingga keluar stadion kebahagiaan itu masih terasa. Ketika memesan mie goreng, saya memegang saku celana dan ternyata smartphone saya hilang! Teman dekat saya bingung, dia meminta untuk saya agar mengeluarkan semua isi di dalam tas. Sedangkan si orang Cimahi menyarankan bagaimana kalau masuk stadion lagi? Saya bilang tidak salah lagi saya menaruh ponsel itu di dalam saku saya. Dan sekarang ponsel itu tidak ada, ini sudah pasti hilang! Salah saya juga yang teledor, karena ketika adu penlati saya sudah tidak bisa fokus pada apa-apa, hanya fokus pada tendangan penalti itu. Ponsel hilang, data-data hilang, dan beberapa data harus diganti dengan yang baru, termasuk akun-akun online saya. Entah hilang karena dicopet, atau memang terjatuh di dalam stadion, tapi saya lebih memilih pilihan kedua. Karena betul kata teman dekat saya, masa sih bobotoh tega pada bobotoh lainnya ketika berada di Palembang ini, di mana kita sama-sama dibilang sedang susah.
Jam 12 malam rombongan bus berangkat lagi menuju Bandung. Ketika hendak berangkat, ada lagi bus yang mogok, dan bobotoh di dalamnya dimasukkan ke dalam bus-bus yang lain, termasuk ke dalam bus saya, karena 2 orang bobotoh dari bus saya akan pulang menggunakan pesawat. Bobotoh sudah lelah, dan akhirnya di perjalanan banyak yang tertidur. Hingga siang sekitar jam 1, sebelum pelabuhan Baukaheuni bobotoh berkumpul di sebuah tempat persitirahatan yang luas. Ada kabar bahwa dua bus yang sedang berada di pelabuhan diserang entah oleh siapa. Oleh karena itu, untuk berjaga-jaga, kita menyiapkan batu seadanya dan apa saja yang bisa diambil, seperti potongan kayu. Setelah bobotoh berkumpul dalam jumlah yang banyak, entah berapa puluh bus, akhirnya kita melaju menuju pelabuhan. Ketika di perjalanan dan di pelabuhan ternyata tidak ada apa-apa. Akhirnya bus yang saya tumpangi masuk ke dalam kapal feri. Sekarang, kapal yang saya tumpangi berbeda dengan kapal sebelumnya, sedikit kurang bagus. Tapi karena sekarang sore, indah rasanya bisa melihat sunset di kapal ini. Dan lagi-lagi saya berjumpa teman SD saya yang sekarang busnya berjalan sendiri-sendiri dengan bus saya. Dan bus dialah yang diisukan diserang oleh beberapa orang. Ternyata kenyataannya bukan diserang, hanya masalah kecil. Supir sebuah truk berusaha untuk menyalip bus rombongan bobotoh, karena dianggap terlalu berbahaya, bobotoh marah dan keluar dari bus. Supir truk juga marah dan dia keluar dengan membawa senjata tajam, golok! Akhirnya terjadilah keributan kecil.
Di selat Sunda, kapal yang kita tumpangi mematikan mesinnya, menunggu rombongan bobotoh dari kapal feri yang masih berada di belakang. Hingga akhirnya kita tiba di Merak dan belum seberapa jauh kita melaju, banyak bobotoh yang turun di bus, ada pelemparan! Siapa lagi kalau bukan suporter tim ibu kota itu? Padahal ini tempat yang bagus jika ada bentrokan, karena kita berada di atas jalan, dan mereka di bawah. Kita melaju lagi dengan teror yang terus menghantui kita. Ada pelemparan sedikit, kita kompak untuk turun dan melawan! Kita tidak mencari gara-gara, hanya saja jika kita diusik dan diserang, kita sepakat untuk tidak diam! Hingga tiba di daerah macet, ada pelemparan lagi, kali ini suporter tim ibu kota terlihat! Semua bobotoh di bus saya keluar, ketika saya hendak keluar, saya melihat si perempuan berkerudung, perempuan satu-satunya tidak ada yang menjaga di dalam bus, begitu juga si kakek yang sedari tadi memberikan wajah yang hariwang. Ya sudah, saya di dalam bus saja mejaga mereka, melakukan pertahanan jika ada suporter tim ibu kota masuk ke dalam bus.
Penyerangan terus terjadi di sepanjang perjalanan, hingga kita berhenti di suatu tempat. Di tempat ini, ada mobil patroli polisi yang mengintruksikan untuk terus berjalan, karena ibu kota menurutnya sedang dalam keadaan aman. Tiga bus mengikuti mobil polisi itu, termasuk bus saya di posisi terkahir. Tetapi ketika melihat ke belakang rombongan tidak ikut melaju, akhirnya bus kita berhenti tidak mengikuti dua bus di depan. Tidak lama kemudian, muncul kabar bahwa dua bus yang di depan hancur oleh orang-orang yang mengatasnamakan warga. Mungkin malu, tidak berterus terang jika mereka suporter tim ibu kota. Dua bus itu meminta bantuan pada kita, dan kita juga bingung. Meminta bantuan pada rombongan di belakang, mereka mengatakan “Jug kaditu weh, urang mah nungguan rombongan nu ditukang, meh lobaan!” Kita bingung, toh jika melaju ke depan pun itu sama artinya dengan bunuh diri. Di sini terlihatlah sikap paaing-aing dan pamaneh-maneh, tidak satu suara. Akhirnya kordinator bus kita memutuskan untuk menunggu satu rombongan besar lagi yang sedang melaju dari pelabuhan Merak. Kita menunggu mereka.
Ketika menunggu, saya melihat ponsel teman saya, bobotoh di dua bus depan yang tadi sudah melaju itu membuat tweet yang isisnya sangat menusuk hati. Mereka mengatakan tidak mendapat bantuan dari sesama bobotoh, mereka merasa dikorbankan! Dan ketika saya melihat kondisi busnya di ponsel itu, sangat mengenaskan! Bagaimana banyaknya masa di depan sana sudah tidak terbayangkan, bahkan hingga ada bobotoh yang terjun dari atas jembatan tol, itu menggambarkan bagaimana mencekamnya kondisi malam itu di depan sana. Malam minggu yang seharusnya bahagia, bisa diisi dengan bercinta dengan kekasih, main bersama rekan-rekan, atau menghibur diri dengan kesenangan-kesenangan duniawi. Sayangnya suporter tim ibu kota seperti tidak ada kegiatan lain di malam minggu itu, selain dari menyerang kita. Ya, sejujurnya kita diserang, bukan menyerang!
Bersambung ke bag 3
Penulis adalah seorang bobotoh yang masih tercatat namanya sebagai mahasiswa filsafat di salah satu Perguruan Tinggi di Bandung. Bisa dihubungi melalui @filsufmungil.

Akhirnya kita berhasil mendapatkan tiket dan langsung menuju tribun timur stadion Jakabaring, yang memang diperuntukkan bagi bobotoh yang hadir di Palembang. Suasana di luar stadion sangat mirip dengan suasana di stadion Si Jalak Harupat, di mana banyak sekali warna biru dan simbol khas bobotoh mendominasi di area stadion Jakabaring. Ketika hendak masuk stadion, antriannya mirip dengan menangantri untuk masuk ke stadion Siliwangi, padedet, pintu gerbang yang dibuka hanya satu, dan ada besi di dekat pintu masuk, yang bisa membuat kacepet, khas stadion Siliwangi. Begitu masuk, standar keamanan pertandingan ISL langsung terlihat, tas-tas diperiksa, dan minuman dari botol dipindahkan pada plastik bening. Anehnya, di dalam stadion masih saja ada yang menjual minuman dalam botol, sudah biasa dan konyol.
Stadion sudah penuh, dipadati oleh ribuan bobotoh yang hadir langsung ke Jakabaring. Bahkan saya sempat melihat kehadiran vokalis Pas Band di tribun timur stadion. Pemain pun melakukan pemanasan, begitu juga wasitnya, yang sebelumnya dirahasiakan namanya. Benar-benar mirip di Soreang, hanya saja di Jakabaring terasa sedikit panas cuacanya. Pertandingan dimulai, seperti biasa, nyanyian sebelum pertandingan dimulai lebih meriah dibandingkan saat pertandingan berlangsung. Belum apa-apa suara saya sudah serak duluan. Dan tertinggalah Persib 0-1 dari Persipura, hal-hal yang sebenarnya tidak ingin saya bayangkan, tiba-tiba hadir berusaha masuk pada otak saya. Beragam ucapan yang entah katanya berasal dari mana, mulai keluar dari para mulut bobotoh, khas sekali jika bobotoh ada di dalam stadion. Emosi memuncak seiring dengan harapan keinginan untuk menang. Yang saya khawatirkan adalah pemain terbebani karena kehadiran ribuan bobotoh di Palembang. Namun saya keliru …
Cinta saya pada Persib jauh sekali jika dibandingkan cinta Mang Ayi pada Persib. Saya masih menghitung untung rugi. Malam itu, saya akan sangat sedih jika Persib kalah, karena sudah datang langsung jauh-jauh dari Bandung, tapi Persib kalah dengan permainan yang seadanya. Dari dulu, jika permainan Persib kurang bagus, saya selalu ingin mengatakan pada pemain, “Lepas jersey itu, pemain Persib tidak bermain seperti itu!” Dan akhirnya gol bunuh diri dari pemain Persipura membuat skor menjadi 1-1, bobotoh mulai riuh kembali. Dengan melihat pertandingan ini yang habis-habisan oleh kedua tim, mustahil pertandingan ini telah diatur sebelumnya. Ini membuktikan jika Persib bermain tulus, total, tanpa adanya bantuan dari para mafia sepak bola negeri ini. Ketika istirahat, suasana tribun timur semakin penuh, hingga beberapa bobotoh harus berdiri, karena tidak kebagian tempat duduk. Nah loh sebenarnya berapa tiket yang dibuat hingga tribun timur seperti tidak kuat menampung banyaknya bobotoh?
Babak kedua dimulai, Persib langsung bisa unggul atas Persipura, berkat gol dari pak Haji, M. Ridwan, skor 2-1. Dari saat itu bobotoh mulai tak hentinya meluapkan rasa gembiranya, karena Persib juara sudah sangat di depan mata. Semuanya ceria, bobotoh disekeliling saya sangat bergembira dan bahagia, hingga … Boas mecetak gol untuk menyamakan kedudukan menjadi 2-2. Bobotoh akhirnya harus terdiam lagi, bagaimana tidak, seakan-akan tidak percaya karena Persib melawan 10 orang pemain! Bio sudah di kartu merah. Pikiran-pikiran negatif mulai menghampiri otak saya lagi. Entah ada apa dengan Vladimir, karena saat Persib butuh kekuatan, dia malah terkena kartu merah!
Ketika perpanjangan waktu, banyak sekali bobotoh yang mengatakan hal apa saja. Sudah sulit untuk menyanyi bersama-sama, karena semuanya sudah fokus dan bergantung pada pertandingan di lapangan. Teman saya berteriak seharusnya Hariono diganti, karena sudah kelelahan oleh M. Taufik, dia bingung pada Djanur yang menurutnya jarang sekali mengganti pemain. Dia bicara pada saya mengenai Hariono itu, dan saya juga dengan nada yang sedikit naik karena mungkin sudah emosi, mengatakan “Kita lihat saja, jika Persib juara, strategi Djanur benar, tapi jika Persib kalah, Djanur salah!” Hingga ketika semuanya sudah berada seperti di titik bawah -bobotoh dan pemain Persib-, tiba-tiba munculah suara dari depan. “Ayolah kau Persib … ayolah kau Persib … ayolah kau Persib … Jayalah Persibku!” Saya merasakan sesuatu, mungkin merinding. Entah Jaya atau Usab yang menyanyikan lagu Si Bolang itu di depan, yang jelas seakan-akan Mang Ayi hadir di antara kita, di tribun timur. Nyanyian anak sang panglima itu seakan-akan menyentuh hati bobotoh, khususnya saya. Saya suara serak karena nyanyi berteriak-teriak, mungkin tanpa hati, berbeda dengan anak Mang Ayi, bernyanyi dengan menggunakan hati, membuat siapa pun yang mendengar akan merasakan sesuatu hal yang berbeda.
Pertandingan harus dilanjutkan dengan adu penalti. Di sini semuanya menjadi tegang, karena satu saja penendang tidak bisa memasukan bola, bisa berakibat fatal. Bisa dibayangkan betapa bagusnya mental pemain Persib di pertandingan kali ini. Ketika penendang terakhir dari Persipura, saya tidak berharap dia gagal menendang bola, itu tidak fair! Saya hanya berharap I Made bisa tampil bagus dengan menahan tendangan itu. Sebelumnya banyak sekali doa bobotoh yang aneh-aneh saat pertandingan final ini. Dan akhirnya I Made bisa menahan tendangan dari pemain Persipura itu, teman dekat saya menangis pada saya. Saya bilang ini belum seleasai, masih ada satu lagi tendangan, dan jika itu masuk, Persib juara! Semua bersorak ketika I Made berhasil menahan tendangan terakhir dari pemain Persipura itu.
Dan penendang terakhir dari Persib adalah Jupe! Semua mata tertuju padanya. Hingga dia menendang bola dan … masuk! Semua bersorak dan berteriak Persib Juara! Teman dekat saya menangis, entah kenapa saya juga merasakan ada air mata yang keluar dari mata saya. Apakah ini yang dinamakan cinta? Apakah ini yang dinamakan tangisan kebahagiaan? Saya hanya mengepalkan tangan dan memandang lagit, berteriak “Juara, juara, juara!” Sejak dulu saya hanya diceritakan bagaimana kehebatan Persib hingga bisa juara berkali-kali, tapi kali ini saya mengalami sendiri Persib menjadi jurara. Bahagia tak terkira! Ada bobotoh yang meneriakan nama Mang Ayi. Untuk Persib juara tahun ini, jika harus dikatakan penukaran harga, terlalu mahal rasanya nyawa Mang Ayi untuk Persib juara. Namun apa harus dikata, beliau tiada ketika Persib juara! Bagaimana para Vikers tak tersentuh hatinya!
Kita berpesta di Jakabaring, hingga keluar stadion kebahagiaan itu masih terasa. Ketika memesan mie goreng, saya memegang saku celana dan ternyata smartphone saya hilang! Teman dekat saya bingung, dia meminta untuk saya agar mengeluarkan semua isi di dalam tas. Sedangkan si orang Cimahi menyarankan bagaimana kalau masuk stadion lagi? Saya bilang tidak salah lagi saya menaruh ponsel itu di dalam saku saya. Dan sekarang ponsel itu tidak ada, ini sudah pasti hilang! Salah saya juga yang teledor, karena ketika adu penlati saya sudah tidak bisa fokus pada apa-apa, hanya fokus pada tendangan penalti itu. Ponsel hilang, data-data hilang, dan beberapa data harus diganti dengan yang baru, termasuk akun-akun online saya. Entah hilang karena dicopet, atau memang terjatuh di dalam stadion, tapi saya lebih memilih pilihan kedua. Karena betul kata teman dekat saya, masa sih bobotoh tega pada bobotoh lainnya ketika berada di Palembang ini, di mana kita sama-sama dibilang sedang susah.
Jam 12 malam rombongan bus berangkat lagi menuju Bandung. Ketika hendak berangkat, ada lagi bus yang mogok, dan bobotoh di dalamnya dimasukkan ke dalam bus-bus yang lain, termasuk ke dalam bus saya, karena 2 orang bobotoh dari bus saya akan pulang menggunakan pesawat. Bobotoh sudah lelah, dan akhirnya di perjalanan banyak yang tertidur. Hingga siang sekitar jam 1, sebelum pelabuhan Baukaheuni bobotoh berkumpul di sebuah tempat persitirahatan yang luas. Ada kabar bahwa dua bus yang sedang berada di pelabuhan diserang entah oleh siapa. Oleh karena itu, untuk berjaga-jaga, kita menyiapkan batu seadanya dan apa saja yang bisa diambil, seperti potongan kayu. Setelah bobotoh berkumpul dalam jumlah yang banyak, entah berapa puluh bus, akhirnya kita melaju menuju pelabuhan. Ketika di perjalanan dan di pelabuhan ternyata tidak ada apa-apa. Akhirnya bus yang saya tumpangi masuk ke dalam kapal feri. Sekarang, kapal yang saya tumpangi berbeda dengan kapal sebelumnya, sedikit kurang bagus. Tapi karena sekarang sore, indah rasanya bisa melihat sunset di kapal ini. Dan lagi-lagi saya berjumpa teman SD saya yang sekarang busnya berjalan sendiri-sendiri dengan bus saya. Dan bus dialah yang diisukan diserang oleh beberapa orang. Ternyata kenyataannya bukan diserang, hanya masalah kecil. Supir sebuah truk berusaha untuk menyalip bus rombongan bobotoh, karena dianggap terlalu berbahaya, bobotoh marah dan keluar dari bus. Supir truk juga marah dan dia keluar dengan membawa senjata tajam, golok! Akhirnya terjadilah keributan kecil.
Di selat Sunda, kapal yang kita tumpangi mematikan mesinnya, menunggu rombongan bobotoh dari kapal feri yang masih berada di belakang. Hingga akhirnya kita tiba di Merak dan belum seberapa jauh kita melaju, banyak bobotoh yang turun di bus, ada pelemparan! Siapa lagi kalau bukan suporter tim ibu kota itu? Padahal ini tempat yang bagus jika ada bentrokan, karena kita berada di atas jalan, dan mereka di bawah. Kita melaju lagi dengan teror yang terus menghantui kita. Ada pelemparan sedikit, kita kompak untuk turun dan melawan! Kita tidak mencari gara-gara, hanya saja jika kita diusik dan diserang, kita sepakat untuk tidak diam! Hingga tiba di daerah macet, ada pelemparan lagi, kali ini suporter tim ibu kota terlihat! Semua bobotoh di bus saya keluar, ketika saya hendak keluar, saya melihat si perempuan berkerudung, perempuan satu-satunya tidak ada yang menjaga di dalam bus, begitu juga si kakek yang sedari tadi memberikan wajah yang hariwang. Ya sudah, saya di dalam bus saja mejaga mereka, melakukan pertahanan jika ada suporter tim ibu kota masuk ke dalam bus.
Penyerangan terus terjadi di sepanjang perjalanan, hingga kita berhenti di suatu tempat. Di tempat ini, ada mobil patroli polisi yang mengintruksikan untuk terus berjalan, karena ibu kota menurutnya sedang dalam keadaan aman. Tiga bus mengikuti mobil polisi itu, termasuk bus saya di posisi terkahir. Tetapi ketika melihat ke belakang rombongan tidak ikut melaju, akhirnya bus kita berhenti tidak mengikuti dua bus di depan. Tidak lama kemudian, muncul kabar bahwa dua bus yang di depan hancur oleh orang-orang yang mengatasnamakan warga. Mungkin malu, tidak berterus terang jika mereka suporter tim ibu kota. Dua bus itu meminta bantuan pada kita, dan kita juga bingung. Meminta bantuan pada rombongan di belakang, mereka mengatakan “Jug kaditu weh, urang mah nungguan rombongan nu ditukang, meh lobaan!” Kita bingung, toh jika melaju ke depan pun itu sama artinya dengan bunuh diri. Di sini terlihatlah sikap paaing-aing dan pamaneh-maneh, tidak satu suara. Akhirnya kordinator bus kita memutuskan untuk menunggu satu rombongan besar lagi yang sedang melaju dari pelabuhan Merak. Kita menunggu mereka.
Ketika menunggu, saya melihat ponsel teman saya, bobotoh di dua bus depan yang tadi sudah melaju itu membuat tweet yang isisnya sangat menusuk hati. Mereka mengatakan tidak mendapat bantuan dari sesama bobotoh, mereka merasa dikorbankan! Dan ketika saya melihat kondisi busnya di ponsel itu, sangat mengenaskan! Bagaimana banyaknya masa di depan sana sudah tidak terbayangkan, bahkan hingga ada bobotoh yang terjun dari atas jembatan tol, itu menggambarkan bagaimana mencekamnya kondisi malam itu di depan sana. Malam minggu yang seharusnya bahagia, bisa diisi dengan bercinta dengan kekasih, main bersama rekan-rekan, atau menghibur diri dengan kesenangan-kesenangan duniawi. Sayangnya suporter tim ibu kota seperti tidak ada kegiatan lain di malam minggu itu, selain dari menyerang kita. Ya, sejujurnya kita diserang, bukan menyerang!
Bersambung ke bag 3
Penulis adalah seorang bobotoh yang masih tercatat namanya sebagai mahasiswa filsafat di salah satu Perguruan Tinggi di Bandung. Bisa dihubungi melalui @filsufmungil.

bag 3 na ulah lami teuing di upload na, cai mata kuring kaburu saat,.. salut ka bobotoh. enggal min.