Pemutar Film Bioskop yang Menjadi Legenda Persib
Tuesday, 02 April 2019 | 17:57Tulisan ini merupakan artikel ketiga dari seri tulisan Sepakbola di Bandung Baheula. Kali ini penulis membawa cerita bagaimana seorang pribumi yang bermain untuk klub Belanda, tetapi akhirnya menjadi legenda untuk tim Persib karena menjadi bagian dari tim yang menjuarai kejuaraan nasional tahun 1937 di Solo.
Sejak 1854, Pemerintah kolonial Hindia Belanda menerapkan politik kelas berdasarkan ras. Ada 3 kelas yang terbentuk akibat aturan itu, yaitu kelas kulit putih yang menjadi kelas teratas, kelas Asia Timur dan Arab, dan terakhir kelas pribumi. Penggolongan ini masuk hampir ke semua bidang kehidupan, sehingga meminjam kalimat dari Srie Agustina Palupi dalam buku Politik dan Sepakbola di Jawa, 1920-1942, pembatasan dalam pergaulan sosial antar ras ini menghalangi terjadinya interaksi sosial, kecuali di beberapa kondisi seperti di dalam tim sepak bola. Saat itu, Sepak bola berhasil memberi sedikit ruang bagi mereka yang berbeda ras untuk berbaur. Walaupun menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo, hal ini langka terjadi.

Para pemain Pribumi di antara para pemain Eropa, di Bandung 1925. Foto Koleksi KITLV.
Kelangkaan ini dialami oleh seorang pemain sepak bola pribumi bernama Kutjid. Seperti yang ditulis oleh R. Moech. A. Affandie dalam bukunya “Bandung Baheula, Djilid 2”, Buse, seorang pengusaha bioskop di Kota Bandung memasukan Kutjid, seorang karyawan pemutar film di bioskop Varia miliknya ke SIDOLIG, klub anggota Voetbal Bond Bandoeng en Omstreken (VBBO). Ini tentu saja merupakan hal yang cukup aneh di masa itu, karena Kutjid adalah seorang pribumi yang harus menjadi pemain yang membela klub “Belanda”.
Cerita tentang F. Buse bisa dilihat di artikel berjudul Pertandingan Veteran di Bandung Tempo Dulu.
Saat itu menurut R. Moech A. Affandie, orang pribumi yang bergabung dalam klub sepak bola orang Belanda, mendapat panggilan sindirian dengan sebutan “sinyoh”, sebuah panggilan yang hanya ditujukan bagi anak kecil keturunan Eropa. Bisa jadi panggilan ejekan ini disebabkan pemain pribumi tadi kadang mencantumkan nama majikan Eropa mereka dalam namanya. Seperti contohnya Sinyoh Kutjid tadi yang saat bermain untuk kesebelasan Sidolig, menuliskan namanya sebagai K. Buse. Tentu bagi orang yang tak mengenal Kutjid, nama tadi akan disangka sebagai “sinyoh” Karel Buse, anak atau saudara Si Raja Bioskop Sinyoh F. Buse tadi.
Uniknya, sebutan sinyoh ini memang hanya populer di kalangan pemain sepak bola di Bandung saja. Selain Kutjid, ada beberapa sinyoh lainnya seperti Sinyoh Karta, Sinyoh Mian, Sinyoh Sugeng, Sinyoh Max (Maksudi), Sinyoh Toha, Sinyoh Tjutju dan masih banyak lagi. Bagi Kutjid, bermain bagi klub sepakbola orang Belanda adalah satu keterpaksaan. Pemain pribumi harus main di klub Belanda karena biasanya terbebani pekerjaan seperti halnya Kutjid tadi.

Para pemain Pribumi di antara para pemain Eropa, di Bandung 1925. Foto Koleksi KITLV.
Saat itu kemudian muncul persatuan sepak bola orang-orang pribumi seperti Bandoengsche Inlandsche Voetbal Bond (BIVB) yang kelak menjadi PSIB, dan National Voetbal Bond (NVB) sebagai tandingan bagi perkumpulan sepak bola orang Belanda yaitu VBBO yang ada di bawah Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB). Di tahun 1933, PSIB dan NVB kemudian melakukan fusi dan menjelma menjadi Persib.
Baca juga: Sepak Bola, Hiburan Urang Bandung Baheula
Pada akhirnya, pemain pribumi seperti Kutjid tak bisa melawan kodratnya sebagi seorang bumiputra. Nama Kutjid, seperti yang dikutip pada buku “Persib Undercover, menjadi pemain Persib Bandung yang menjuarai kompetisi PSSI untuk pertama kali. Bersama rekan-rekannya, Kutjid yang berposisi di sayap kanan, mengalahkan tuan rumah Persis Solo di pertandingan final tanggal 17 Mei 1937.
Bagi Kutjid yang seorang pemutar film bioskop, toh panggilan sebagai anak bangsa rasanya lebih membanggakan daripada sekedar panggilan “sinyoh” palsu tadi.
(Bersambung)
Ditulis oleh Ariyono Wahyu Widjajadi, anggota Komunitas Aleut (@KomunitasAleut), Bobotoh Persib Bandung dengan akun Twitter @A13xtriple

Tulisan ini merupakan artikel ketiga dari seri tulisan Sepakbola di Bandung Baheula. Kali ini penulis membawa cerita bagaimana seorang pribumi yang bermain untuk klub Belanda, tetapi akhirnya menjadi legenda untuk tim Persib karena menjadi bagian dari tim yang menjuarai kejuaraan nasional tahun 1937 di Solo.
Sejak 1854, Pemerintah kolonial Hindia Belanda menerapkan politik kelas berdasarkan ras. Ada 3 kelas yang terbentuk akibat aturan itu, yaitu kelas kulit putih yang menjadi kelas teratas, kelas Asia Timur dan Arab, dan terakhir kelas pribumi. Penggolongan ini masuk hampir ke semua bidang kehidupan, sehingga meminjam kalimat dari Srie Agustina Palupi dalam buku Politik dan Sepakbola di Jawa, 1920-1942, pembatasan dalam pergaulan sosial antar ras ini menghalangi terjadinya interaksi sosial, kecuali di beberapa kondisi seperti di dalam tim sepak bola. Saat itu, Sepak bola berhasil memberi sedikit ruang bagi mereka yang berbeda ras untuk berbaur. Walaupun menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo, hal ini langka terjadi.

Para pemain Pribumi di antara para pemain Eropa, di Bandung 1925. Foto Koleksi KITLV.
Kelangkaan ini dialami oleh seorang pemain sepak bola pribumi bernama Kutjid. Seperti yang ditulis oleh R. Moech. A. Affandie dalam bukunya “Bandung Baheula, Djilid 2”, Buse, seorang pengusaha bioskop di Kota Bandung memasukan Kutjid, seorang karyawan pemutar film di bioskop Varia miliknya ke SIDOLIG, klub anggota Voetbal Bond Bandoeng en Omstreken (VBBO). Ini tentu saja merupakan hal yang cukup aneh di masa itu, karena Kutjid adalah seorang pribumi yang harus menjadi pemain yang membela klub “Belanda”.
Cerita tentang F. Buse bisa dilihat di artikel berjudul Pertandingan Veteran di Bandung Tempo Dulu.
Saat itu menurut R. Moech A. Affandie, orang pribumi yang bergabung dalam klub sepak bola orang Belanda, mendapat panggilan sindirian dengan sebutan “sinyoh”, sebuah panggilan yang hanya ditujukan bagi anak kecil keturunan Eropa. Bisa jadi panggilan ejekan ini disebabkan pemain pribumi tadi kadang mencantumkan nama majikan Eropa mereka dalam namanya. Seperti contohnya Sinyoh Kutjid tadi yang saat bermain untuk kesebelasan Sidolig, menuliskan namanya sebagai K. Buse. Tentu bagi orang yang tak mengenal Kutjid, nama tadi akan disangka sebagai “sinyoh” Karel Buse, anak atau saudara Si Raja Bioskop Sinyoh F. Buse tadi.
Uniknya, sebutan sinyoh ini memang hanya populer di kalangan pemain sepak bola di Bandung saja. Selain Kutjid, ada beberapa sinyoh lainnya seperti Sinyoh Karta, Sinyoh Mian, Sinyoh Sugeng, Sinyoh Max (Maksudi), Sinyoh Toha, Sinyoh Tjutju dan masih banyak lagi. Bagi Kutjid, bermain bagi klub sepakbola orang Belanda adalah satu keterpaksaan. Pemain pribumi harus main di klub Belanda karena biasanya terbebani pekerjaan seperti halnya Kutjid tadi.

Para pemain Pribumi di antara para pemain Eropa, di Bandung 1925. Foto Koleksi KITLV.
Saat itu kemudian muncul persatuan sepak bola orang-orang pribumi seperti Bandoengsche Inlandsche Voetbal Bond (BIVB) yang kelak menjadi PSIB, dan National Voetbal Bond (NVB) sebagai tandingan bagi perkumpulan sepak bola orang Belanda yaitu VBBO yang ada di bawah Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB). Di tahun 1933, PSIB dan NVB kemudian melakukan fusi dan menjelma menjadi Persib.
Baca juga: Sepak Bola, Hiburan Urang Bandung Baheula
Pada akhirnya, pemain pribumi seperti Kutjid tak bisa melawan kodratnya sebagi seorang bumiputra. Nama Kutjid, seperti yang dikutip pada buku “Persib Undercover, menjadi pemain Persib Bandung yang menjuarai kompetisi PSSI untuk pertama kali. Bersama rekan-rekannya, Kutjid yang berposisi di sayap kanan, mengalahkan tuan rumah Persis Solo di pertandingan final tanggal 17 Mei 1937.
Bagi Kutjid yang seorang pemutar film bioskop, toh panggilan sebagai anak bangsa rasanya lebih membanggakan daripada sekedar panggilan “sinyoh” palsu tadi.
(Bersambung)
Ditulis oleh Ariyono Wahyu Widjajadi, anggota Komunitas Aleut (@KomunitasAleut), Bobotoh Persib Bandung dengan akun Twitter @A13xtriple
