Mimpi
Monday, 17 November 2014 | 11:56
Ini adalah kontemplasi pribadi atas peristiwa tadi malam (Final LSI 2014, 7 November 2014 – Red.). Kenapa saya bisa berteriak menjerit-jerit begitu histeris dan berkaca-kaca setelah Ahmad Jufriyanto, sang pengeksekusi pinalti terakhir, berhasil mengelabui kiper Persipura dan memberikan gelar untuk Persib dan semua bobotoh. Tapi saya akan bercerita sedikit terlebih dahulu tentang kejadian tadi malam.
Setelah lelah meloncat-loncat dan berteriak, saya dan beberapa teman saya -yang memang sudah lapar dan harus menahan hingga tiga jam- pergi ke tempat makan. Tiba di jalan, rangkaian konvoi mulai muncul dan seketika rasa lelah tadi hilang. Dengan bersemangat dan setengah berlari, saya mendekati badan jalan dan merentangkan tangan. Toss kepada bobotoh peserta konvoi yang berteriak sahut-menyahut ‘Persib juara!’. Ada sekitar 100 meter kami berjalan ke tempat makan. Dan setiap ada konvoi, saya melakukan hal yang sama. Setiap ada orang berkumpul dengan atribut Persib, saya hampiri dan toss. Beberapa bahkan saya peluk. Saat lewat satu tempat makan nasi goreng, saya berteriak di depan para pegawai dan pengunjung. Tak ada rasa malu dan canggung karena mereka berseri dan menyambut dengan sahutan yang sama. Semua bergembira. Larut dalam bahagia. Baur dalam sukacita.
Mungkin itu malam paling mengesankan sepanjang hidup saya. Ini tidak berhenti sampai kami tiba di tempat yang dituju. Setelah memesan makanan, ada jeda waktu hingga semua siap disantap. Seperti sebelumnya, setiap ada konvoi, saya pasti menghampiri dan melakukan hal sama. Ada satu rombongan yang beberapa meter setelah lewat tempat saya makan sengaja berkumpul dan berhenti di tengah jalan. Dari kendaraan mereka yang kebanyakan motor mereka melompat dan meneriakkan yel-yel. Saya tak mau kehilangan momentum. Saya hampiri, kali ini dengan berlari, dan langsung masuk ke tengah kerumunan. Hanya dua sampai tiga menit hingga mereka kembali melanjutkan konvoi. Selanjutnya, suara saya serak.
***
Seberapa sering kita mendapatkan kesempatan untuk mengalami cerita dongeng? Sebuah kisah (atau legenda) yang diceritakan turun temurun begitu lama sampai terpupuk begitu dalam di alam bawah sadar kita. Bagaimana rasanya jika kesempatan itu tiba dan menjadi kenyataan? Untuk lebih mudah membayangkan, bagaimana jika ada seekor laba-laba hasil eksperimen mutasi genetis menggigit dan merubah susunan DNA hingga sistem metabolisme kita sehingga kita memiliki kekuatan yang adhi? Bagaimana dan bagaimana.
Kita terbiasa dengan cerita dan cerita memiliki efek menggugah atau menggerakan (moving) yang lebih besar dari media apapun. Kali ini, cerita itu adalah tentang euforia warga Jawa Barat saat Persib juara 19 tahun yang lalu. Sukacita merata yang tak mungkin bisa direpresentasi oleh kata-kata. Saat mereka -yang bahagia- tersenyum dan bersemangat ketika bertutur mengenang memori kala itu. Bandung mengharu biru. 19 tahun kemudian, banyak orang mengalami mimpi itu lagi. Mimpi menjadi pasti. Khayalan menjadi kenyataan.
Jika budaya adalah sebuah kebiasaan (custom) yang berterima dalam satu kelompok masyarakat, maka sama halnya dengan Persib. It’s one common thing that Jawa Barat citizens can share to each other. Kenapa ini begitu meriah dan akbar? Wajar. 19 tahun adalah waktu yang cukup lama untuk (beberapa) generasi berkembang dan berlipat sementara folklor itu terus bergulir. Tak hanya waktu, cakupan wilayah dimana cerita ini tersebar juga luas. Jawa Barat. Yang beberapa orang menjadi pembawa risalah ke seluruh Indonesia, bahkan dunia. Saya tak mengada-ada. Walau satu-dua, ada saja yang dengan bangga mengidentifikasi dirinya dengan memakai atribut Persib di negara Asia hingga Eropa.
Kembali ke cerita tadi, momen juara adalah scene klimaks saat Peter Parker mengalahkan musuh dan mengungkapkan jati dirinya pada Mary Jane, setelah menyelamatkan nyawa wanita yang dia idamkan sejak kecil itu. Apa rasanya mengalami kejadian yang menjadi legenda? Bagiku, dan mungkin bagi semua bobotoh, seperti itulah rasanya. Ini alasan pertama.
Hal yang kedua, menurut saya, karena Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa, maka ‘kompetisi’ akan siapa yang lebih unggul adalah hal lumrah. Disadari atau tidak, dengan keluarnya Persib sebagai juara, ia menjadi sebuah prestasi yang bisa dibanggakan orang Sunda. Persib adalah Sunda. Persib adalah juara liga sepakbola di Indonesia (terbaik se-Indonesia). Premisnya? Terima kasih, 100. Jawabannya benar. Sunda yang terbaik diantara suku-suku yang lain. Patutlah kita berbangga karena kita yang terbaik.
Yang terakhir melibatkan sesuatu yang agak sulit berkompromi dengan nalar. Cinta. Love is for the fools. Bagaimana kau bisa menasihati orang yang sedang jatuh cinta? Jawa Barat (atau bobotoh untuk lebih spesifik) sudah kadung cinta Persib. Believe me, honey. You don’t wanna mess with lovers.
Hidup Persib.
Terima kasih sudah memberiku malam paling membahagiakan.
Bandung, 8 November 2014,
Sore hari sambil menunggu hujan reda.
Ditulis oleh Wafi Wifqatillah

Ini adalah kontemplasi pribadi atas peristiwa tadi malam (Final LSI 2014, 7 November 2014 – Red.). Kenapa saya bisa berteriak menjerit-jerit begitu histeris dan berkaca-kaca setelah Ahmad Jufriyanto, sang pengeksekusi pinalti terakhir, berhasil mengelabui kiper Persipura dan memberikan gelar untuk Persib dan semua bobotoh. Tapi saya akan bercerita sedikit terlebih dahulu tentang kejadian tadi malam.
Setelah lelah meloncat-loncat dan berteriak, saya dan beberapa teman saya -yang memang sudah lapar dan harus menahan hingga tiga jam- pergi ke tempat makan. Tiba di jalan, rangkaian konvoi mulai muncul dan seketika rasa lelah tadi hilang. Dengan bersemangat dan setengah berlari, saya mendekati badan jalan dan merentangkan tangan. Toss kepada bobotoh peserta konvoi yang berteriak sahut-menyahut ‘Persib juara!’. Ada sekitar 100 meter kami berjalan ke tempat makan. Dan setiap ada konvoi, saya melakukan hal yang sama. Setiap ada orang berkumpul dengan atribut Persib, saya hampiri dan toss. Beberapa bahkan saya peluk. Saat lewat satu tempat makan nasi goreng, saya berteriak di depan para pegawai dan pengunjung. Tak ada rasa malu dan canggung karena mereka berseri dan menyambut dengan sahutan yang sama. Semua bergembira. Larut dalam bahagia. Baur dalam sukacita.
Mungkin itu malam paling mengesankan sepanjang hidup saya. Ini tidak berhenti sampai kami tiba di tempat yang dituju. Setelah memesan makanan, ada jeda waktu hingga semua siap disantap. Seperti sebelumnya, setiap ada konvoi, saya pasti menghampiri dan melakukan hal sama. Ada satu rombongan yang beberapa meter setelah lewat tempat saya makan sengaja berkumpul dan berhenti di tengah jalan. Dari kendaraan mereka yang kebanyakan motor mereka melompat dan meneriakkan yel-yel. Saya tak mau kehilangan momentum. Saya hampiri, kali ini dengan berlari, dan langsung masuk ke tengah kerumunan. Hanya dua sampai tiga menit hingga mereka kembali melanjutkan konvoi. Selanjutnya, suara saya serak.
***
Seberapa sering kita mendapatkan kesempatan untuk mengalami cerita dongeng? Sebuah kisah (atau legenda) yang diceritakan turun temurun begitu lama sampai terpupuk begitu dalam di alam bawah sadar kita. Bagaimana rasanya jika kesempatan itu tiba dan menjadi kenyataan? Untuk lebih mudah membayangkan, bagaimana jika ada seekor laba-laba hasil eksperimen mutasi genetis menggigit dan merubah susunan DNA hingga sistem metabolisme kita sehingga kita memiliki kekuatan yang adhi? Bagaimana dan bagaimana.
Kita terbiasa dengan cerita dan cerita memiliki efek menggugah atau menggerakan (moving) yang lebih besar dari media apapun. Kali ini, cerita itu adalah tentang euforia warga Jawa Barat saat Persib juara 19 tahun yang lalu. Sukacita merata yang tak mungkin bisa direpresentasi oleh kata-kata. Saat mereka -yang bahagia- tersenyum dan bersemangat ketika bertutur mengenang memori kala itu. Bandung mengharu biru. 19 tahun kemudian, banyak orang mengalami mimpi itu lagi. Mimpi menjadi pasti. Khayalan menjadi kenyataan.
Jika budaya adalah sebuah kebiasaan (custom) yang berterima dalam satu kelompok masyarakat, maka sama halnya dengan Persib. It’s one common thing that Jawa Barat citizens can share to each other. Kenapa ini begitu meriah dan akbar? Wajar. 19 tahun adalah waktu yang cukup lama untuk (beberapa) generasi berkembang dan berlipat sementara folklor itu terus bergulir. Tak hanya waktu, cakupan wilayah dimana cerita ini tersebar juga luas. Jawa Barat. Yang beberapa orang menjadi pembawa risalah ke seluruh Indonesia, bahkan dunia. Saya tak mengada-ada. Walau satu-dua, ada saja yang dengan bangga mengidentifikasi dirinya dengan memakai atribut Persib di negara Asia hingga Eropa.
Kembali ke cerita tadi, momen juara adalah scene klimaks saat Peter Parker mengalahkan musuh dan mengungkapkan jati dirinya pada Mary Jane, setelah menyelamatkan nyawa wanita yang dia idamkan sejak kecil itu. Apa rasanya mengalami kejadian yang menjadi legenda? Bagiku, dan mungkin bagi semua bobotoh, seperti itulah rasanya. Ini alasan pertama.
Hal yang kedua, menurut saya, karena Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa, maka ‘kompetisi’ akan siapa yang lebih unggul adalah hal lumrah. Disadari atau tidak, dengan keluarnya Persib sebagai juara, ia menjadi sebuah prestasi yang bisa dibanggakan orang Sunda. Persib adalah Sunda. Persib adalah juara liga sepakbola di Indonesia (terbaik se-Indonesia). Premisnya? Terima kasih, 100. Jawabannya benar. Sunda yang terbaik diantara suku-suku yang lain. Patutlah kita berbangga karena kita yang terbaik.
Yang terakhir melibatkan sesuatu yang agak sulit berkompromi dengan nalar. Cinta. Love is for the fools. Bagaimana kau bisa menasihati orang yang sedang jatuh cinta? Jawa Barat (atau bobotoh untuk lebih spesifik) sudah kadung cinta Persib. Believe me, honey. You don’t wanna mess with lovers.
Hidup Persib.
Terima kasih sudah memberiku malam paling membahagiakan.
Bandung, 8 November 2014,
Sore hari sambil menunggu hujan reda.
Ditulis oleh Wafi Wifqatillah
