
Persib pernah merasakan terpuruk pasca juara 2014. Musim-musim dimana Maung Bandung tertatih-tatih di klasemen berkutat di papan tengah kelas medioker musim 2017. Setelah itu, musim fenomenal atas sulap yang dilakukan pelatih asal Argentina Mario Gomez. Kedatangan Mario Gomez ke Bandung adalah terobosan besar manajemen menyongsong musim 2018, kendati dirasa telat.
Pelatih yang membawa juara Johor Darul Ta’zim (Malaysia) di AFC Cup itu resmi diumumkan ketika klub-klub Liga 1 telah sukses mendatangkan pemain-pemain kelas satu di kompetisi Indonesia. Tidak banyak pilihan Mario ketika itu, di samping belum hafalnya tipikal pemain-pemain Indonesia. Ia mengandalkan agen-agen serta masukan asistennya Fernando Soler yang pernah berkarier di Indonesia.
Nama-nama pemain yang bisa dikatakan termasuk kelas dua didaratkan di Bandung, yaitu In-Kyun Oh, Ghozali Siregar, Eka Ramdani, Airlangga, siapa pula yang mengenal sebelumnya Ardi Idrus, M Fisabillah, Joni Bauman. Buat semua realistis dengan materi pemain seada-adanya.
Persib memulai liga dengan tidak begitu meyakinkan, ditahan imbang PS Tira, serta dijungkalkan Sriwijaya FC. Baru lah mereka bangkit di laga ketiga vs Mitra Kukar, Mario Gomez justru mengubah susunan starting eleven dengan memasang Ardi Idrus gantikan sosok senior Tony Sucipto. Ghozali Siregar pula diplot sebagai pengganti Atep di sisi kiri. Jonatan Bauman mulai pahami kemauan dari strategi pelatihnya.
Waktu yang singkat bagi Gomez menyulap skuad materi seadanya menjadi beringas. Ia menekankan pemainnya guna menunjukkan karakter. Gomez justru mengarahkan pemain memahami fungsi, memaksimalkan potensi. Tak ada yang mengira In-Kyun, Ghozali, Ardi, dan Bauman berperan penting dalam sistem yang dibangun Gomez tanpa pemain bintang.
Mario Gomez mengantarkan Persib kepada fase terbaiknya di musim itu, mereka tak terkalahkan dalam tujuh pertandingan. Bahkan dalam 12 laga Supardi cs hanya alami satu kekalahan. Fase tersebut yang mengantarkan mereka bisa menjauh dari pesaing-pesaing mereka di puncak klasemen. Para rival menyadari jika Persib adalah pesaing yang wajib dijatuhkan dengan cara apa pun.
Tiba lah momen-momen tepat untuk menjatuhkan Persib di puncak klasemen. 23 September 2018 Persib menghadapi Persija di Gelora Bandung Lautan Api (GBLA). Krusial tim biru keluar sebagai pemenang dengan skor 3-2 mengalahkan tim ibukota (yang akhirnya jadi juara di akhir musim).
Euforia kemenangan dirasakan sesaat, satu jam pasca kemenangan kabar duka tentang kematian suporter Persija di GBLA mencuat dan menjadi isu nasional. Persib dan Bobotoh jadi perbincangan hangat dalam hari-hari berikutnya. Problem tersebut adalah titik kejatuhan tim arahan Mario Gomez, masa-masa yang begitu berat dipikul Persib melawan dunia.
Persib disudutkan, mereka sendirian, citra negatif dihadapkan kepada seluruh elemen Persib, manajemen, tim, menampar Bobotoh akibat ulah oleh beberapa oknum. Hukuman demi hukuman dijatuhkan Komisi Disiplin PSSI kepada Persib. Paling berpengaruh adalah harus terusirnya laga kandang di Pulau Jawa sekaligus tanpa penonton. Mereka sampai harus mengungsi ke Balikpapan dan Bali.
Bukan hanya itu, beberapa pemain dijatuhi larangan tampil, mesin gol Ezechiel N’Douassel, Jonatan Bauman, serta Bojan Malisic. Soal teknis, beberapa laga Persib dirugikan akibat kepemimpinan wasit. Isu pengaturan skor mengusik kondusivitas internal tim antara pelatih dan pemain.
Dari 12 laga tersisa, Persib hanya mampu menang sekali. Kemerosotan posisi puncak terjadi di 12 pekan itu. Merelakan posisi puncak kepada Persija di akhir musim yang keluar sebagai juara. Sementara Mario Gomez dan pasukannya harus meratapi nasib finis posisi empat. Mimpi yang terbunuh.
cupZ
26/06/2020 at 08:08
inget kejadian ini jd sedih lagi.. dan kangen abah gomez pun membuncah.. semoga suatu hari busa kembali bah