Mereka Bermain Dengan Gembira
Tuesday, 19 February 2013 | 11:47Penulis: Hevi Abu Fauzan
Sepakbola adalah salah satu olahraga populer di dunia. Minimal hanya bermodalkan bola dan dua buah gawang, dua tim bisa pura-pura menjadi musuh dan kemudian memainkan bola dengan tujuan gawang lawan. Menyenangkan, karena sepakbola bisa dimainkan di mana saja, di tanah kebun, sawah kering, emper toko, bahkan tengah jalan yang kosong. Di level berbeda, selain keolah ragaan, kita bisa mengkaji sepakbola dari sudut ilmu-ilmu lain, seperti statistic, ekonomi, bahkan psikologi.
Sisi psikologi selalu menjadi perhatian menarik penulis saat mengamati suatu permainan sepakbola. Penulis pernah membayangkan bagaimana perasaan Endra Prasetya dan beberapa pemain IPL yang tiba-tiba menjadi pemain tim nasional dan harus membela Indonesia di beberapa ajang internasional. Padahal sebelumnya, mereka dapat dikatakan bukan pemain papan atas di negeri ini. Di setiap replay gol yang terjadi dalam suatu pertandingan, mata penulis selalu tertuju ke bangku penonton. Memperhatikan euphoria penonton yang timnya bisa mencetak gol, atau kesedihan penonton lain saat timnya kebobolan menjadi santapan rohani tersendiri bagi penulis.
Pasca pertandingan Persisam vs Persib, Sabtu (16/2/13) kemarin, penulis membayangkan bagaimana perasaan anak-anak muda Samarinda yang berhasil menekuk Persib di dua ajang berbeda secara berturut-turut. Padahal dalam hitungan waktu mundur, mereka bukan siapa-siapa. Sebut saja, Bayu Gatra Sanggiawan (22 tahun), Wahyu Kristanto (21 tahun), Sandi (21 tahun) atau jangan melupakan Aldeir Makatindu (21 tahun) pemain yang absen dalam pertandingan kemarin tapi pencetak gol pertama ke gawang Persib di ajang Inter Island Cup 2013 lalu di Stadion Manahan Solo. Dengan gembiranya, mereka berhasil mematahkan setiap serangan yang dilancarkan tim Maung Bandung, bahkan berhasil mengacak-acak skema tim yang bertabur bintang tersebut.
Persisam Samarinda sepertinya berhasil mengasah permata mentah yang mereka miliki menjadi permata yang siap bersinar. Di bawah asuhan pelatih yang sarat pengalaman, Sartono Anwar, Persisam memang mengakomodasi pemain muda potensial mereka musim ini. Selain pemain-pemain di atas, kita bisa menyebut nama seperti Radiansyah 22 tahun, Loudry Meilana Setiawan (22), Imam Baihaqi (20), Mochammad Mari Siswanto (22), Muhammad Ramdani (21). Selain bermain di Persisam U21, mereka adalah tulang punggung tim Kalimantan Timur yang berhasil merebut medali emasi PON Riau 2013.
Nama dan kekuatan Persib Bandung mungkin bukan hal yang asing bagi mereka. Di halaman 239 buku Jejak Maung Ngora yang ditulis wartawan senior Endan Suhendra, mereka adalah bagian dari skuad Persisam yang berhasil mengalahkan Persib U21 di Soemantri Brodjonegoro, 30 April 2011. Dalam pertandingan terakhir babak 6 besar tersebut, mereka menang 2-0 sekaligus menyingkirkan Persib sebagai juara bertahan liga. Tak diduga, anak-anak muda ini kemudian berhasil mengalahkan tim Persib senior hanya dalam kurun 2 tahun. Mereka bermain kesetanan seolah-olah mengalahkan Persib adalah cita-cita terluhur mereka sekaligus mematahkan harapan sebagian bobotoh yang menganggap musim ini selesai lebih cepat dari perkiraan.
Sah-sah saja jika penulis kemudian menyimpulkan bahwa mereka beruntung tumbuh dan berkembang di Samarinda karena bakat sepakbola mereka tersalurkan dengan benar di tim yang bermarkas di Stadion Segiri tersebut. Setelah dipakai di tim Persisam yunior, bermain di PON, mereka kemudian diberi kesempatan mengabdikan dirinya di tim senior.
Andai saja Persisam mempertahankan dan mematangkan anak-anak muda ini, penulis yakin mereka akan sejajar dengan tim-tim lain yang juga selalu mengasah potensi pemain lokalnya untuk menjadi prajurit yang berteknik tinggi dan bermental juara dengan pemain-pemain low profile-nya, seperti Persipura misalnya. Jika ini terjadi, gelar juara bukan tidak mungkin akan mendekati mereka.
Dengan manajemen yang selalu percaya akan kemampuan mereka, kota Samarinda menjadi surga bagi mereka. Sekali lagi, mereka beruntung menemukan tempat bersepak bola seramah Samarinda.
Penulis adalah bobotoh biasa yang kebetulan menjadi wartawan Simamaung.com, ber-akun twitter di: @hevifauzan

Penulis: Hevi Abu Fauzan
Sepakbola adalah salah satu olahraga populer di dunia. Minimal hanya bermodalkan bola dan dua buah gawang, dua tim bisa pura-pura menjadi musuh dan kemudian memainkan bola dengan tujuan gawang lawan. Menyenangkan, karena sepakbola bisa dimainkan di mana saja, di tanah kebun, sawah kering, emper toko, bahkan tengah jalan yang kosong. Di level berbeda, selain keolah ragaan, kita bisa mengkaji sepakbola dari sudut ilmu-ilmu lain, seperti statistic, ekonomi, bahkan psikologi.
Sisi psikologi selalu menjadi perhatian menarik penulis saat mengamati suatu permainan sepakbola. Penulis pernah membayangkan bagaimana perasaan Endra Prasetya dan beberapa pemain IPL yang tiba-tiba menjadi pemain tim nasional dan harus membela Indonesia di beberapa ajang internasional. Padahal sebelumnya, mereka dapat dikatakan bukan pemain papan atas di negeri ini. Di setiap replay gol yang terjadi dalam suatu pertandingan, mata penulis selalu tertuju ke bangku penonton. Memperhatikan euphoria penonton yang timnya bisa mencetak gol, atau kesedihan penonton lain saat timnya kebobolan menjadi santapan rohani tersendiri bagi penulis.
Pasca pertandingan Persisam vs Persib, Sabtu (16/2/13) kemarin, penulis membayangkan bagaimana perasaan anak-anak muda Samarinda yang berhasil menekuk Persib di dua ajang berbeda secara berturut-turut. Padahal dalam hitungan waktu mundur, mereka bukan siapa-siapa. Sebut saja, Bayu Gatra Sanggiawan (22 tahun), Wahyu Kristanto (21 tahun), Sandi (21 tahun) atau jangan melupakan Aldeir Makatindu (21 tahun) pemain yang absen dalam pertandingan kemarin tapi pencetak gol pertama ke gawang Persib di ajang Inter Island Cup 2013 lalu di Stadion Manahan Solo. Dengan gembiranya, mereka berhasil mematahkan setiap serangan yang dilancarkan tim Maung Bandung, bahkan berhasil mengacak-acak skema tim yang bertabur bintang tersebut.
Persisam Samarinda sepertinya berhasil mengasah permata mentah yang mereka miliki menjadi permata yang siap bersinar. Di bawah asuhan pelatih yang sarat pengalaman, Sartono Anwar, Persisam memang mengakomodasi pemain muda potensial mereka musim ini. Selain pemain-pemain di atas, kita bisa menyebut nama seperti Radiansyah 22 tahun, Loudry Meilana Setiawan (22), Imam Baihaqi (20), Mochammad Mari Siswanto (22), Muhammad Ramdani (21). Selain bermain di Persisam U21, mereka adalah tulang punggung tim Kalimantan Timur yang berhasil merebut medali emasi PON Riau 2013.
Nama dan kekuatan Persib Bandung mungkin bukan hal yang asing bagi mereka. Di halaman 239 buku Jejak Maung Ngora yang ditulis wartawan senior Endan Suhendra, mereka adalah bagian dari skuad Persisam yang berhasil mengalahkan Persib U21 di Soemantri Brodjonegoro, 30 April 2011. Dalam pertandingan terakhir babak 6 besar tersebut, mereka menang 2-0 sekaligus menyingkirkan Persib sebagai juara bertahan liga. Tak diduga, anak-anak muda ini kemudian berhasil mengalahkan tim Persib senior hanya dalam kurun 2 tahun. Mereka bermain kesetanan seolah-olah mengalahkan Persib adalah cita-cita terluhur mereka sekaligus mematahkan harapan sebagian bobotoh yang menganggap musim ini selesai lebih cepat dari perkiraan.
Sah-sah saja jika penulis kemudian menyimpulkan bahwa mereka beruntung tumbuh dan berkembang di Samarinda karena bakat sepakbola mereka tersalurkan dengan benar di tim yang bermarkas di Stadion Segiri tersebut. Setelah dipakai di tim Persisam yunior, bermain di PON, mereka kemudian diberi kesempatan mengabdikan dirinya di tim senior.
Andai saja Persisam mempertahankan dan mematangkan anak-anak muda ini, penulis yakin mereka akan sejajar dengan tim-tim lain yang juga selalu mengasah potensi pemain lokalnya untuk menjadi prajurit yang berteknik tinggi dan bermental juara dengan pemain-pemain low profile-nya, seperti Persipura misalnya. Jika ini terjadi, gelar juara bukan tidak mungkin akan mendekati mereka.
Dengan manajemen yang selalu percaya akan kemampuan mereka, kota Samarinda menjadi surga bagi mereka. Sekali lagi, mereka beruntung menemukan tempat bersepak bola seramah Samarinda.
Penulis adalah bobotoh biasa yang kebetulan menjadi wartawan Simamaung.com, ber-akun twitter di: @hevifauzan

Lers Kang, panuju jeung seratan Akang Hevi. Manstab.
Eta nu kudu di conto mah,,makin kadie makin alusss
sae pisan.. PERSIB mah hayang sagala instan, ya meuren karena sudah trlalu lama bobotoh merindukan PERSIB juara..
Persib slalu salah dalam memilih pelatih, harusnya dipilih pelatih yang punya karakter kuat, jelas track recordnya, sartono anwar coach persisam pelatih kawakan yg terkenal punya karakter keras dan kuat, sebenarnya sekarang masih bisa di selamatkan coba dengan materi mewah spt sekarang ambil pelatih yg punya karakter seperti nil maizar/arcan iurie, kalo mau keseimbangan asisten bisa diambil dari mantan persib, masih ada harapan masuk papan atas kalo cepat sadar ganti pelatih.
na kemod ngan nyalahkeun pelatih we bisa teh ,tuh tingali AREMA kurang kumaha ,pemain melebihi para pemain persib,pelatina komo deui waktuna medokmah medok we,ayeuna tingali BARCA sabarakali ganti pelatih tapi teu cuman sataun ganti sataun gati bari jg ngarombak pemain inti,permainan nana ttp sanajan beda pelatihge sabab naon ,tara ngarombak komposisi pemain paling hiji atawa dua urang ,ayeuna banding keun jg persib setiap gantu musim komposisi slalu ganti pemain dan pelatih dek bisa klop kumaha atuh ,jadi nusalah jelas meureun teu kudu disebutkeun si a atawa si b,nupuguhmah ,management jg bobotoh anu hayangna jadi juara secara instan ,sayamah wani tarohan lamun seug jigana pelatih diganti ku pepguardiola oge can tangtu malah bisa disebutkeun mustahil lamun hayang jadi juara instan,coba musim lamun musim kamari skudna dipertahankeun tong dirombak total moal kieu jiganamah ,masalh pelatihmah kumaha ceuk pemain nerapkeun instruksi dilapang….
mikir atuh ,ulah dibiasakeun disaat menang disanjung, sisaat kalah dicaci maki,keun we lalajomah lalajo weh bere kesempatan ka pemain jg pelatih ,da setiap klub oge euweuh nu hayangeun eleh kabehge hayang jadi juaramah memangna kompitisiteh pesertana persib hungkul
hade
Kanggo kang jajang,
Geus weh besar hati, jadi asisten pelatih heula. Mun bisa pilih pelatih nu bisa ngawangun jeung motivasi pemain. Mun saukur ngodok saku disisi lapang mah, geus jualan suuk we atawa jualan combro disisi lapang.
Akang akang sadayana ulah bisana nyalahken pelatih atuh ayena mah urang teuh teacan tiasa nilai alus apa goreng pelatih masalahna persib teuh main kakara 5 kali terus kakara eleh sakali ayena mah urang tingali bae sampe putaran pertama anu penting mah urang do’a ken bae setiap persib main mangka menang
bner ulah sok nalah ken pelatih nu penting mah ayena mah doa ken we persib teh sing jadi juara anu rumasa bobotoh
eleh sakali deui,. janur kudu diganti,.. ETA WAJIB HUKUMNA,. soalna jang tim anu hayang juara mah,. eleh sakali oge jadi masalah,. soalna materi pemaen mah geus kurang kumaha,. tapi naha pola permaenanna kitu kitu keneh, jadi cape lalajona oge,. kuduna tong kagok persib teh,. meuli pemaen marahal,. tong kagok,. meser pelatih anu maha,. jeung berkelas oge atuh,.
Anu anti kritik, karakter orang sempit, loyalitas buta, padahal dinamis, bukan barang haram pergantian pelatih, liat hasil dan permainan tim, pikir saha anu meragukan materi persib!!??, lamun materina jiga klub lain anu biasa wajar permainan jiga ayeuna, hasil cuma seri anu loba, meunang ngan 1 kali, ulah sempit euy, lamun pergantian pelatih jadi pilihan anu tepat, naha alasan naon deui dipertahankeun!!????
Persib dilatih janur bisa juara?? Mimpi,mimpi,mimpi di Siang bolong alias mustahiiil! Yg jadi masalah bukan pemaen Dan teknis tapi PELATIH!!!
Leungitkeun unsur like or dislike, liat secara objektif, memang tinu 5 kali maen, permainan persib kurang berkembang, gampang kabaca, eleh memang wajar, tapi lain eta mslhna ngan dinu permainan kurang hade, jadi wayahna ka manajemen, teangan deui pelatih anu lewih kualitasna, lain unsur sentimen tapi emang objektif persib kurang dina taktik dan strategi.
Ada celah di lini belakang Persib yang harus dibenahi yaitu sektor sayap kiri Persib yang ditempati Jajang Sukmara. Dua gol yang tercipta dari umpan silang yang berasal dari sayap kiri Persib.
Gol pertama berasal dari tendangan bebas sebelah kiri, namun pelanggaran tersebut dikarenakan Jajang Sukmara tidak berada pada posisinya sehingga Firman Utina dan Atep harus menutup Ferdinand Sinaga.
Gol kedua berasal dari umpan silang Ferdinand Sinaga, yang lagi-lagi terjadi dari sebelah kiri pertahanan Persib. Saat itu Jajang Sukmara tidak ada di posisinya sehingga naser harus menutup pertahanan sebelah kiri dan Supardi menutup celah di tengah. Hal tersebut membuat sisi kanan Persib terbuka sehingga Kone lolos dari pengawalan.
kenapa gak tony sucipto yag dimainkan dari awal pelatih terlalu main beresiko sch jdi we gatot
faktor pelatih…!!! kang djanur pelatih gagal,banyak bicara,dulu wktu di pelita jdi pelatih smntra(sblum RD)jeblok pisan di bawah,,,lihat RD,jeksen / lainny,,sedikit bicara tpi bprestasi,,,
kalah menang biasa. cuma main cantik ciri persib aku ga melihat permainan persib waktu main di samarinda.