Menjadi Dewasa di Jakarta
Monday, 04 April 2016 | 08:03
Jakarta sungguhlah menggoda. Banyak orang menjadi besar dengan menetap di sana. Jakarta sungguhlah istimewa, tak ada yang mampu mengalahkan pesonanya. Katanya, Jakarta itu Indonesia kecil; tempat di mana hampir semua suku bangsa terlahir. Dulu, ada suku Betawi yang menghuni; namun kini semua suku bersemi, mulai dari Sunda, Jawa, Batak, sampai suku Dani.
Jakarta membuat saya kagum dan gentar. Jakarta adalah tempat yang membuat saya ingin tinggal sekaligus menghindar. Jakarta memberikan mimpi. Jakarta memiliki gedung yang tinggi-tinggi; yang membuatnya terlihat hebat untuk ditinggali. Namun, Jakarta juga menghadirkan cerita menakutkan, mulai dari orang-orang yang berperang, sampai ragam aksi kejahatan. Ke Jakarta kami semua ingin pergi; ingin meraih kembali mimpi-mimpi.
***
Hanya ke Bandung-lah, aku kembali pada cintaku yang sebenarnya. Presiden Sukarno agaknya mengerti betul bagaimana rasanya menjadi seorang Bandung. Memang banyak daerah yang penduduknya ramah.Banyak pula kota yang pemandangannya megah. Tapi, cuma Bandung yang kuanggap sebagai rumah; cintaku yang sebenarnya. Cinta tak mengenal dimensi ruang dan waktu. Cinta tak pernah terkikis meski lama waktu tak berpenghuni. Berapa lama waktu yang dibutuhkan Bobotoh untuk melihat Persib kembali juara? Itu adalah jumlah waktu yang sama untuk membuat seorang bayi tumbuh remaja.
Kesabaran pada akhirnya membuat cinta kembali mengalir tak tenggelam. Dalam waktu dua tahun, Persib meraih dua gelar; yang dua di antaranya dirayakan di Jakarta; sebuah kota yang katanya “Musuh kita semua”; dengan satu di antaranya berakhir dengan kaca bus yang hancur dan pecah-pecah.
Sadarkah kita semua, kalau setiap tahun, setiap dari kita mulai dewasa? Tahun lalu, apa yang kita lakukan, di GBK, saat ada remaja tanggung mengejek dan menghina Persib Bandung, kesebelasan kesayangan kita? Kita tidak membalasnya dengan sebuah pukulan, tapi yang kita lakukan jauh lebih nyaring daripada sebuah tamparan. Kita bertepuk tangan; bersorak-sorai menyanyikan “Halo-Halo Bandung”, yang akan dikenang sepanjang zaman. Kita tahu kalau hinaan dan ejekan adalah sebatas provokasi belaka, dari mereka yang entah siapa.
Di stadion, nyanyian khas “Dibunuh Saja” durasinya sudah semakin berkurang. Agaknya kita mulai sadar kalau nyanyian semacam itu tak berarti apa-apa. Kita sadar kalau kita adalah sebuah kesatuan yang begitu besar, yang tak perlu membuat mereka tenar. Kita semakin sadar kalau nyanyian “Dibunuh Saja”, bukan cuma dari lirik, tetapi juga komposisi musik, sama sekali tidak mencerminkan semangat kita. Lagu itu kelewat mendayu-dayu, yang kalau lama-lama dinyanyikan bisa membikin kepala ngilu.
Biarlah kita membikin malu, suporter lawan yang berteriak begitu. Di stadion Gelora Bung Karno semalam, pada awalnya kita terpancing; tersulut emosi saat berkali-kali “Suporter Terbaik di Indonesia” itu berulah provokasi. Lambat laun, kita sadar kalau balasan dengan cara serupa tidaklah berarti. Lalu, kita melawannya dengan menunjukkan jati diri. Tribun stadion kita, sontak berwarna-warni.
Pertandingan semalam memang jauh dari harapan. Kita juga sadar kalau masih banyak yang harus kembali dikembangkan. Persib ripuh; Persib rapuh.
Namun, pertandingan di Gelora Bung Karno semalam bukanlah soal adu taktik pelatih Eropa Timur berlisensi Pro Eropa. Bukan adu kokoh Vladimir dan Goran; bukan pula adu ganteng antara Kim Kurniawan dan Hamka Hamzah. Semalam adalah sebuah pertunjukan; pertunjukan dari tumbuh kembangnya sebuah kedewasaan. Bukan para pemain, manajemen, penyelenggara liga, polisi, apalagi wasit. Tapi ini menyangkut kedewasaan kita, Bobotoh sa alam dunya.
Tak selamanya kekalahan membuat malam menjadi kelam. Kekalahan membuat kita kembali merasakan apa yang dirasakan 150 ribu Bobotoh dalam final yang melegenda pada 1985. Saat itu, Persib kalah dua kali di final dalam tiga musim terakhir. Kekalahan ini membuat kita memandang langit dengan perasaan yang sama seperti 31 tahun lalu di SUGBK. Kekalahan ini membuat kita sadar betapa pentingnya sebuah arti kemenangan. Jauh lebih hebat daripada itu, kekalahan ini membuat kita sadar kalau dengan bersikap dewasa, mereka-mereka itu bukanlah siapa-siapa.
PS: Bobotoh mendapatkan penghargaan “Suporter Terbaik” di Piala Bhayangkara.
Dulu, Jakarta tak bisa dicapai dalam sepandangan mata. Jakarta adalah tempat nun jauh di sana. Berangkat Lohor, saat Magrib baru sampai Bogor. Kini, Jakarta benarlah disebut tetangga. Waktu tempuhnya terkadang tak lebih lama dari Soreang-Sulanjana. Jakarta kian mendekat, kian teringat lalu melekat.
Jakarta selalu istimewa, meski tahun lalu kita pernah ada di sana. Tahun ini, kita kembali, meski tak lagi ber-haha-hihi. Di Jakarta, Persib pernah juara, dan akan kembali ke sana. Segera!
Ditulis oleh Frasetya Vady Aditya. Berakun twitter di @Aditz92

Jakarta sungguhlah menggoda. Banyak orang menjadi besar dengan menetap di sana. Jakarta sungguhlah istimewa, tak ada yang mampu mengalahkan pesonanya. Katanya, Jakarta itu Indonesia kecil; tempat di mana hampir semua suku bangsa terlahir. Dulu, ada suku Betawi yang menghuni; namun kini semua suku bersemi, mulai dari Sunda, Jawa, Batak, sampai suku Dani.
Jakarta membuat saya kagum dan gentar. Jakarta adalah tempat yang membuat saya ingin tinggal sekaligus menghindar. Jakarta memberikan mimpi. Jakarta memiliki gedung yang tinggi-tinggi; yang membuatnya terlihat hebat untuk ditinggali. Namun, Jakarta juga menghadirkan cerita menakutkan, mulai dari orang-orang yang berperang, sampai ragam aksi kejahatan. Ke Jakarta kami semua ingin pergi; ingin meraih kembali mimpi-mimpi.
***
Hanya ke Bandung-lah, aku kembali pada cintaku yang sebenarnya. Presiden Sukarno agaknya mengerti betul bagaimana rasanya menjadi seorang Bandung. Memang banyak daerah yang penduduknya ramah.Banyak pula kota yang pemandangannya megah. Tapi, cuma Bandung yang kuanggap sebagai rumah; cintaku yang sebenarnya. Cinta tak mengenal dimensi ruang dan waktu. Cinta tak pernah terkikis meski lama waktu tak berpenghuni. Berapa lama waktu yang dibutuhkan Bobotoh untuk melihat Persib kembali juara? Itu adalah jumlah waktu yang sama untuk membuat seorang bayi tumbuh remaja.
Kesabaran pada akhirnya membuat cinta kembali mengalir tak tenggelam. Dalam waktu dua tahun, Persib meraih dua gelar; yang dua di antaranya dirayakan di Jakarta; sebuah kota yang katanya “Musuh kita semua”; dengan satu di antaranya berakhir dengan kaca bus yang hancur dan pecah-pecah.
Sadarkah kita semua, kalau setiap tahun, setiap dari kita mulai dewasa? Tahun lalu, apa yang kita lakukan, di GBK, saat ada remaja tanggung mengejek dan menghina Persib Bandung, kesebelasan kesayangan kita? Kita tidak membalasnya dengan sebuah pukulan, tapi yang kita lakukan jauh lebih nyaring daripada sebuah tamparan. Kita bertepuk tangan; bersorak-sorai menyanyikan “Halo-Halo Bandung”, yang akan dikenang sepanjang zaman. Kita tahu kalau hinaan dan ejekan adalah sebatas provokasi belaka, dari mereka yang entah siapa.
Di stadion, nyanyian khas “Dibunuh Saja” durasinya sudah semakin berkurang. Agaknya kita mulai sadar kalau nyanyian semacam itu tak berarti apa-apa. Kita sadar kalau kita adalah sebuah kesatuan yang begitu besar, yang tak perlu membuat mereka tenar. Kita semakin sadar kalau nyanyian “Dibunuh Saja”, bukan cuma dari lirik, tetapi juga komposisi musik, sama sekali tidak mencerminkan semangat kita. Lagu itu kelewat mendayu-dayu, yang kalau lama-lama dinyanyikan bisa membikin kepala ngilu.
Biarlah kita membikin malu, suporter lawan yang berteriak begitu. Di stadion Gelora Bung Karno semalam, pada awalnya kita terpancing; tersulut emosi saat berkali-kali “Suporter Terbaik di Indonesia” itu berulah provokasi. Lambat laun, kita sadar kalau balasan dengan cara serupa tidaklah berarti. Lalu, kita melawannya dengan menunjukkan jati diri. Tribun stadion kita, sontak berwarna-warni.
Pertandingan semalam memang jauh dari harapan. Kita juga sadar kalau masih banyak yang harus kembali dikembangkan. Persib ripuh; Persib rapuh.
Namun, pertandingan di Gelora Bung Karno semalam bukanlah soal adu taktik pelatih Eropa Timur berlisensi Pro Eropa. Bukan adu kokoh Vladimir dan Goran; bukan pula adu ganteng antara Kim Kurniawan dan Hamka Hamzah. Semalam adalah sebuah pertunjukan; pertunjukan dari tumbuh kembangnya sebuah kedewasaan. Bukan para pemain, manajemen, penyelenggara liga, polisi, apalagi wasit. Tapi ini menyangkut kedewasaan kita, Bobotoh sa alam dunya.
Tak selamanya kekalahan membuat malam menjadi kelam. Kekalahan membuat kita kembali merasakan apa yang dirasakan 150 ribu Bobotoh dalam final yang melegenda pada 1985. Saat itu, Persib kalah dua kali di final dalam tiga musim terakhir. Kekalahan ini membuat kita memandang langit dengan perasaan yang sama seperti 31 tahun lalu di SUGBK. Kekalahan ini membuat kita sadar betapa pentingnya sebuah arti kemenangan. Jauh lebih hebat daripada itu, kekalahan ini membuat kita sadar kalau dengan bersikap dewasa, mereka-mereka itu bukanlah siapa-siapa.
PS: Bobotoh mendapatkan penghargaan “Suporter Terbaik” di Piala Bhayangkara.
Dulu, Jakarta tak bisa dicapai dalam sepandangan mata. Jakarta adalah tempat nun jauh di sana. Berangkat Lohor, saat Magrib baru sampai Bogor. Kini, Jakarta benarlah disebut tetangga. Waktu tempuhnya terkadang tak lebih lama dari Soreang-Sulanjana. Jakarta kian mendekat, kian teringat lalu melekat.
Jakarta selalu istimewa, meski tahun lalu kita pernah ada di sana. Tahun ini, kita kembali, meski tak lagi ber-haha-hihi. Di Jakarta, Persib pernah juara, dan akan kembali ke sana. Segera!
Ditulis oleh Frasetya Vady Aditya. Berakun twitter di @Aditz92

Salut..salut…dan saluttt bravo persibku…
Entah knapa…ada butiran airmata yang nimbrung ….selagi aku baca tulisan inih….
Maneh mah ogoan pisan tukang leweh. Hahahahaha
Heureuy mang
Luar biasa .. jayalah persibku
Sae pisan…
Punten lur eta tatanggi oge anu juara…sami wae masih keneh sering yel2 rasis ka bobotoh.
Komo pas dikandangna henteu maen sareng persib oge…nya kitu lah sesah bade dewasa teh ngan saukur cariosan
Stop yel2 rasis…mulai dr diri kita…mulai dr bobotoh&jgn mencontoh mereka yg mencemooh.
Persib kapayun kudu langkung sae…mumpung aya waktos kanggo ngabenahi skuad
@Sergio van dekok… kembalilah bela Persib…
Eta mun tilas eet tong dipicen ka lapang era ah. Eleh Menang PErsib, botoh moal anarkis.
Teu sadar gusti..dulur bobotoh saalam dunya,teu karasa cipanon netes kana pipi pas maca artikel ieu,teuing kumaha,teuing kunaon,,nyeredet,peurih..ngan kuring yakin tetesan cipanon ieu bakal jadi tetesan bangga di poe hareup…PERSIB DI JERO MANAH
Ogoan pisan ah make jeung leweh sagala jiga lain kolot wae, era ku budak
Sae gan,luaaaaarrrrr….biasa
Persib ttp dina hate
Aduh abah……..asa rada jero ieu artikel,sok ras ka zaman keur sakola keneh,ceurik ningali persib eleh ku psms…..kamari kaalaman deui eta lalakon…..
sing sabar mang darman,ceuk doel sumbang mah…persib bakal juara deui…
Mun abdi uih ka persib nya bade naon atuh kang…wawasuh mes persib kitu
hahahahahahaha laleweh…
saedan – edan na bobotoh da manusa keneh nyaa kang..
#ABDIbadeNgiringLewehOGEkang
stop yel2 rasis karena gk ada gunanya contoh bobotoh yg selalu bernyanyi dgn sopan dan memotivasi pemain2 persib.
#HIDUPPERSIBHIDUPBOBOTOH
Meni nyereset kieu kana hate…bravo persibku…bravo bobotoh
Tos bahe hate……bogohna tamplok ka persib
Kumaha oge ti aki2 nepi ka nini2 warga Asli Bekasi mah ngadukung Persib