Meninjau Rasisme Dalam Sepakbola: “Dosa” Supporter Adalah “Dosa” Klub
Monday, 27 January 2014 | 15:11
Menjelang bergulirnya Indonesia Super League musim 2014, saya ingin sedikit berbagi mengenai sesuatu yang belakangan dianggap penyakit laten dalam dinamika sepakbola Indonesia, yaitu rasisme. Rasisme yang ingin saya bicarakan di sini bukanlah tentang tinjauan maupun definisi menurut kamus ataupun pengertian-pengertian gramatikal lain yang hanya menyentuh hal normatif, namun persepsi-persepsi berdasarkan konteks sepakbola, khususnya di Indonesia
Beberapa tahun yang lalu PT Liga Indonesia dan PSSI menyelenggarakan rangkaian workshop di Kota Bandung. Salah satunya adalah tentang sosialisasi pasal-pasal rasis. Acara ini diselenggarakan di Grha Persib Jalan Sulajana dengan menghadirkan dua orang narasumber, yaitu Hintja Panjaitan Ketua Komdis PSSI dan H Umuh Muchtar dari PT PBB (PT Persib Bandung Bermartabat). Acara ini pun dihadiri oleh perwakilan elemen suporter di Kota Bandung. Saya sendiri kebetulan diminta menjadi moderator dalam acara tersebut.
Ada perdebatan-perdebatan dan ketidaksepakatan mengenai rasis itu sendiri. Ketika komdis mengutuk nyanyian-nyanyian yang dianggap rasis, sementara beberapa pihak (khususnya supporter) menganggap mereka tidak melakukan tindakan rasis karena tidak menyerang etnis, kesukuan, agama dan ras tertentu, dan tentunya tidak salah juga jika para supporter menganggap kategori rasis hanyalah sebatas hal-hal yang berbau SARA (Suku, Agama, Ras, Antar Golongan). Saya sendiri saat itu mempertanyakan pembatasan rasisme yang cenderung meluas, sementara sebenarnya ada kesepakatan-kesepakatan universal terkait rasisme yang berlaku secara internasional. Jangan-jangan kita kembali menjadi negara yang kebablasan, bahkan untuk sesuatu yang baik, niat baik justru membuat sulit diri sendiri. Saya sendiri berpendapat bahwa ejekan-ejekan terhadap lawan adalah bumbu yang harus ada dalam konteks supporter sepakbola, sehingga mempermanis rivalitas dalam sepakbola. Namun tentu saja dalam batas-batas yang tak menyentuh SARA dan rasisme. Lalu mengapa komdis menganggap seluruh lagu yang ditujukan kepada lawan adalah lagu rasis, maka cerita di bawah akan menjawabnya
Jika acara di atas cenderung formal, maka yang berikut ini adalah sebuah dialektika informal di sela-sela acara saya ngobrol sembari makan siang dengan ketua komdis Hintja Panjaitan dan juga sekretaris panpel PERSIB sekaligus tokoh pemuda Kota Bandung yang dikenal kharismatik…Budi Bram Rachman
Sebagai seorang dengan jabatan penting di induk organisasi sepakbola tertinggi tanah air, Hintja Panjaitan mampu mengemas diri dengan baik dan memberi batasan-batasan tegas mengenai hal yang perlu disampaikan atau tidak dengan lawan bicara sesuai konteksnya. Agak sulit memang untuk “masuk” saat mengawali pembicaraan meski dalam situasi informal, apalagi dengan status saya dan Hintja, ibarat wartawan-Ketua Komdis PSSI dan juga moderator-narasumber. Pembicaraan mulai agak cair saat Hintja mengetahui bahwa almamater S2 kami sama yaitu magister hukum tata negara UNPAD. Maka dimulailah Hintja bertukar pikiran tak semata sisi sepakbola semata, namun juga tatanan dan pandangan hukum secara umum
Adalah sangat wajar jika Hintja yang berlatar belakang hukum ketatanegaraan melihat fenomena hukum-sepakbola ini lebih luas daripada orang-orang yang berkecimpung dalam sepakbola melalui hukum bisnis, hukum ekonomi, hukum perdata, hukum pidana dsb. Sebagai contoh: Komisaris PT PBB, Kuswara S Taryono yang juga berprofesi sebagai notaris tentunya akan sangat paham tentang kontrak pemain dan aspek hukum perusahaan serta aturan main dengan sponsor-sponsor termasuk PT PBB. Namun dalam beberapa hal, dirinya bisa keliru, seperti pernyataannya beberapa waktu lalu yang akan mengadukan PSSI ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) ketika PERSIB mendapat sanksi yang tidak adil. Perlu diketahui bahwa beberapa kalangan hukum tertawa dan mencibir mendengar pernyataan itu, karena menganggap Kuswara tak paham mekanisme dan upaya hukum yang berlaku. Ataupun dalam konteks penegakan hukum pidana seperti mantan Kapolda Jawa Tengah Alex Bambang yang tiba-tiba menangkap Nova Zaenal dan Bernard Mamadou saat terjadi kericuhan pertandingan antara Persis Solo vs Gresik United sekitar 5 tahun lalu. Kalau kasus yang ini sih bukan hanya ditertawakan, tapi dikutuk dan digoblog-goblog oleh banyak pihak. Maka harap maklum jika karier Alex Bambang ibarat langsung tamat, dimutasi setelah insiden itu dan kini tak terdengar lagi kiprahnya, bahkan “kebodohan” aparat yang tak memahami lex spesialis dalam “yurisdiksi sepakbola” ini sering kali dijadikan contoh kasus dalam seminar-seminar terkait sport law. Ini saya alami sendiri ketika Profesor Ben Van Roumpey (Direktur Asser Institute and European Sport Law) asal Belanda mengangkat kasus ini dalam seminar nasional “Pembangunan Hukum Olahraga Dalam Sistem Hukum Nasional” yang diselenggarakan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga pada tanggal 25 November 2013 tahun lalu
Kembali kepada masalah rasisme, berikut adalah persepsi saya, bahwa sebagai orang Hukum Tata Negara, bisa jadi Hintja melihat dalam sepakbola terdapat korelasi negara dan warga negara secara lebih luas, tak sekedar hubungan personal namun condong kepada konsekuensi yang lebih luas, termasuk HAM(Hak Asasi Manusia). Dalam Hukum Tata Negara sendiri memang membicarakan HAM secara khusus, bicara HAM berarti bicara pula mengenai pemenuhan dan perlindungannya, bahwa setiap manusia (baca: warga negara) harus terbebas dari rasa takut dan ancaman. Maka sebenarnya yang Hintja permasalahkan adalah lagu-lagu dengan lirik permusuhan dan kebencian seperti kata-kata “dibunuh saja”, sepakat atau tidak, frase itu memang dapat dianggap sebuah ancaman dan menebar kebencian yang bisa jadi diartikan ancaman secara nyata. Hal ini dianggap tidak sejalan dengan spirit dan tujuan mulia yang diusung oleh sepakbola
Kemudian Hintja mengutarakan sesuatu yang sangat fundamental yaitu “dosa” supporter adalah “dosa” klub. Dalam artian walaupun yang melakukan pelanggaran secara nyata adalah supporter sepakbola namun yang akan mendapat hukuman adalah klub yang mereka dukung, dan selama ini memang seperti itu adanya. Selain di Indonesia yang jamak dengan sanksi pertandingan digelar tanpa penonton, pertandingan usiran, denda dsb, contoh lain terjadi di belahan dunia lain, seperti dicekalnya Liverpool diseluruh even sepakbola tingkat Eropa-yang merembet kepada klub Inggris lainnya akibat insiden tewasnya 39 supporter Juventus dalam tragedi Heysel berpuluh tahun silam ataupun denda dari UEFA kepada klub-klub yang suporternya terbukti bertindak rasis kepada pemain lawan
Sehingga prinsipnya pun jelas. Layaknya mencintai, jika kau mencintai seseorang maka janganlah menyakitinya. Jika kau mencintai klub kesayanganmu maka janganlah berbuat hal yang dapat “menyakiti” klub kesayanganmu seperti denda, pertandingan usiran tanpa pemasukan tiket, pencekalan pertandingan dll.
Sejujurnya terkadang saya pun aneh dengan tren belakangan ini yang menjangkiti supporter Bandung. Bagaimana bisa kota yang katanya dihuni oleh orang-orang kreatif dan cita rasa seni yang tinggi kok malah ikut-ikutan “terjerumus” menyanyikan lagu dengan koor “dibunuh saja”. Masalahnya tak semata esensi bernada serangannya, tapi itu kan lagu “ikut-ikutan”, “lagu pasaran”, “nyanyian pasaran”, “nyanyian standar” yang dinyanyikan oleh supporter kota lain seluruh Indonesia. Dan lagu itu justru berasal dari kota yang bukan menjadi barometer. Mengapa ini bisa terjadi? Terkesan Bandung yang selalu “berbeda” dan “inovatif” dalam bermacam aspek, kini menjadi standar, sama saja, bahkan cenderung pengekor, plagiat, penjiplak, peniru dan tak berbudaya
Bukan hanya saya, bahkan mungkin Hintja Panjaitan (dan masih banyak lainnya) yang pernah menempuh studi di Kota Bandung dan mengamini daya kreatifitas barudak Bandung, akan terheran-heran menerima kenyataan bahwa semua potensi Kota Kembang (dengan band-band-nya, artis-artisnya) itu sirna ketika melihat supporter sepakbolanya bernyanyi seperti kebanyakan supporter, tak ada bedanya. Bisa jadi hilang sudah respek dan pengakuan orang terhadap potensi kreatif urang Bandung. Rasa aneh dan tak nyaman itu sudah muncul ketika (entah siapa yang memulai)…orang-orang yang seharusnya menjadi barometer tren kreatif (kreatif pun jangan pula diartikan berjoget-joget gak jelas tanpa henti sepanjang pertandingan seperti kelompok sanggar tari yah!) di Indonesia itu malah ikut-ikutan menyanyikan lagu kelompok supporter lain dengan memulai nyanyian:
”yo ayooo…yo ayoooo…(nama klub bersangkutan) dst…” Entah siapa yang memulai. Namun sejak itu supporter Bandung (terlepas dari militansi, jumlah massa, dan euforia yang tetap tak tertandingi) telah “kalah”.
*penulis berkhidmat di akun twitter @ekomaung
Pendapat yang dinyatakan dalam karya ini sepenuhnya merupakan pendapat pribadi penulis, tidak mencerminkan pendapat redaksi Simamaung.
Ingin tulisannya dimuat di sini? silahkan kirim artikelmu ke email simamaung.com@gmail.com atau redaksi@simamaung.com


Menjelang bergulirnya Indonesia Super League musim 2014, saya ingin sedikit berbagi mengenai sesuatu yang belakangan dianggap penyakit laten dalam dinamika sepakbola Indonesia, yaitu rasisme. Rasisme yang ingin saya bicarakan di sini bukanlah tentang tinjauan maupun definisi menurut kamus ataupun pengertian-pengertian gramatikal lain yang hanya menyentuh hal normatif, namun persepsi-persepsi berdasarkan konteks sepakbola, khususnya di Indonesia
Beberapa tahun yang lalu PT Liga Indonesia dan PSSI menyelenggarakan rangkaian workshop di Kota Bandung. Salah satunya adalah tentang sosialisasi pasal-pasal rasis. Acara ini diselenggarakan di Grha Persib Jalan Sulajana dengan menghadirkan dua orang narasumber, yaitu Hintja Panjaitan Ketua Komdis PSSI dan H Umuh Muchtar dari PT PBB (PT Persib Bandung Bermartabat). Acara ini pun dihadiri oleh perwakilan elemen suporter di Kota Bandung. Saya sendiri kebetulan diminta menjadi moderator dalam acara tersebut.
Ada perdebatan-perdebatan dan ketidaksepakatan mengenai rasis itu sendiri. Ketika komdis mengutuk nyanyian-nyanyian yang dianggap rasis, sementara beberapa pihak (khususnya supporter) menganggap mereka tidak melakukan tindakan rasis karena tidak menyerang etnis, kesukuan, agama dan ras tertentu, dan tentunya tidak salah juga jika para supporter menganggap kategori rasis hanyalah sebatas hal-hal yang berbau SARA (Suku, Agama, Ras, Antar Golongan). Saya sendiri saat itu mempertanyakan pembatasan rasisme yang cenderung meluas, sementara sebenarnya ada kesepakatan-kesepakatan universal terkait rasisme yang berlaku secara internasional. Jangan-jangan kita kembali menjadi negara yang kebablasan, bahkan untuk sesuatu yang baik, niat baik justru membuat sulit diri sendiri. Saya sendiri berpendapat bahwa ejekan-ejekan terhadap lawan adalah bumbu yang harus ada dalam konteks supporter sepakbola, sehingga mempermanis rivalitas dalam sepakbola. Namun tentu saja dalam batas-batas yang tak menyentuh SARA dan rasisme. Lalu mengapa komdis menganggap seluruh lagu yang ditujukan kepada lawan adalah lagu rasis, maka cerita di bawah akan menjawabnya
Jika acara di atas cenderung formal, maka yang berikut ini adalah sebuah dialektika informal di sela-sela acara saya ngobrol sembari makan siang dengan ketua komdis Hintja Panjaitan dan juga sekretaris panpel PERSIB sekaligus tokoh pemuda Kota Bandung yang dikenal kharismatik…Budi Bram Rachman
Sebagai seorang dengan jabatan penting di induk organisasi sepakbola tertinggi tanah air, Hintja Panjaitan mampu mengemas diri dengan baik dan memberi batasan-batasan tegas mengenai hal yang perlu disampaikan atau tidak dengan lawan bicara sesuai konteksnya. Agak sulit memang untuk “masuk” saat mengawali pembicaraan meski dalam situasi informal, apalagi dengan status saya dan Hintja, ibarat wartawan-Ketua Komdis PSSI dan juga moderator-narasumber. Pembicaraan mulai agak cair saat Hintja mengetahui bahwa almamater S2 kami sama yaitu magister hukum tata negara UNPAD. Maka dimulailah Hintja bertukar pikiran tak semata sisi sepakbola semata, namun juga tatanan dan pandangan hukum secara umum
Adalah sangat wajar jika Hintja yang berlatar belakang hukum ketatanegaraan melihat fenomena hukum-sepakbola ini lebih luas daripada orang-orang yang berkecimpung dalam sepakbola melalui hukum bisnis, hukum ekonomi, hukum perdata, hukum pidana dsb. Sebagai contoh: Komisaris PT PBB, Kuswara S Taryono yang juga berprofesi sebagai notaris tentunya akan sangat paham tentang kontrak pemain dan aspek hukum perusahaan serta aturan main dengan sponsor-sponsor termasuk PT PBB. Namun dalam beberapa hal, dirinya bisa keliru, seperti pernyataannya beberapa waktu lalu yang akan mengadukan PSSI ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) ketika PERSIB mendapat sanksi yang tidak adil. Perlu diketahui bahwa beberapa kalangan hukum tertawa dan mencibir mendengar pernyataan itu, karena menganggap Kuswara tak paham mekanisme dan upaya hukum yang berlaku. Ataupun dalam konteks penegakan hukum pidana seperti mantan Kapolda Jawa Tengah Alex Bambang yang tiba-tiba menangkap Nova Zaenal dan Bernard Mamadou saat terjadi kericuhan pertandingan antara Persis Solo vs Gresik United sekitar 5 tahun lalu. Kalau kasus yang ini sih bukan hanya ditertawakan, tapi dikutuk dan digoblog-goblog oleh banyak pihak. Maka harap maklum jika karier Alex Bambang ibarat langsung tamat, dimutasi setelah insiden itu dan kini tak terdengar lagi kiprahnya, bahkan “kebodohan” aparat yang tak memahami lex spesialis dalam “yurisdiksi sepakbola” ini sering kali dijadikan contoh kasus dalam seminar-seminar terkait sport law. Ini saya alami sendiri ketika Profesor Ben Van Roumpey (Direktur Asser Institute and European Sport Law) asal Belanda mengangkat kasus ini dalam seminar nasional “Pembangunan Hukum Olahraga Dalam Sistem Hukum Nasional” yang diselenggarakan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga pada tanggal 25 November 2013 tahun lalu
Kembali kepada masalah rasisme, berikut adalah persepsi saya, bahwa sebagai orang Hukum Tata Negara, bisa jadi Hintja melihat dalam sepakbola terdapat korelasi negara dan warga negara secara lebih luas, tak sekedar hubungan personal namun condong kepada konsekuensi yang lebih luas, termasuk HAM(Hak Asasi Manusia). Dalam Hukum Tata Negara sendiri memang membicarakan HAM secara khusus, bicara HAM berarti bicara pula mengenai pemenuhan dan perlindungannya, bahwa setiap manusia (baca: warga negara) harus terbebas dari rasa takut dan ancaman. Maka sebenarnya yang Hintja permasalahkan adalah lagu-lagu dengan lirik permusuhan dan kebencian seperti kata-kata “dibunuh saja”, sepakat atau tidak, frase itu memang dapat dianggap sebuah ancaman dan menebar kebencian yang bisa jadi diartikan ancaman secara nyata. Hal ini dianggap tidak sejalan dengan spirit dan tujuan mulia yang diusung oleh sepakbola
Kemudian Hintja mengutarakan sesuatu yang sangat fundamental yaitu “dosa” supporter adalah “dosa” klub. Dalam artian walaupun yang melakukan pelanggaran secara nyata adalah supporter sepakbola namun yang akan mendapat hukuman adalah klub yang mereka dukung, dan selama ini memang seperti itu adanya. Selain di Indonesia yang jamak dengan sanksi pertandingan digelar tanpa penonton, pertandingan usiran, denda dsb, contoh lain terjadi di belahan dunia lain, seperti dicekalnya Liverpool diseluruh even sepakbola tingkat Eropa-yang merembet kepada klub Inggris lainnya akibat insiden tewasnya 39 supporter Juventus dalam tragedi Heysel berpuluh tahun silam ataupun denda dari UEFA kepada klub-klub yang suporternya terbukti bertindak rasis kepada pemain lawan
Sehingga prinsipnya pun jelas. Layaknya mencintai, jika kau mencintai seseorang maka janganlah menyakitinya. Jika kau mencintai klub kesayanganmu maka janganlah berbuat hal yang dapat “menyakiti” klub kesayanganmu seperti denda, pertandingan usiran tanpa pemasukan tiket, pencekalan pertandingan dll.
Sejujurnya terkadang saya pun aneh dengan tren belakangan ini yang menjangkiti supporter Bandung. Bagaimana bisa kota yang katanya dihuni oleh orang-orang kreatif dan cita rasa seni yang tinggi kok malah ikut-ikutan “terjerumus” menyanyikan lagu dengan koor “dibunuh saja”. Masalahnya tak semata esensi bernada serangannya, tapi itu kan lagu “ikut-ikutan”, “lagu pasaran”, “nyanyian pasaran”, “nyanyian standar” yang dinyanyikan oleh supporter kota lain seluruh Indonesia. Dan lagu itu justru berasal dari kota yang bukan menjadi barometer. Mengapa ini bisa terjadi? Terkesan Bandung yang selalu “berbeda” dan “inovatif” dalam bermacam aspek, kini menjadi standar, sama saja, bahkan cenderung pengekor, plagiat, penjiplak, peniru dan tak berbudaya
Bukan hanya saya, bahkan mungkin Hintja Panjaitan (dan masih banyak lainnya) yang pernah menempuh studi di Kota Bandung dan mengamini daya kreatifitas barudak Bandung, akan terheran-heran menerima kenyataan bahwa semua potensi Kota Kembang (dengan band-band-nya, artis-artisnya) itu sirna ketika melihat supporter sepakbolanya bernyanyi seperti kebanyakan supporter, tak ada bedanya. Bisa jadi hilang sudah respek dan pengakuan orang terhadap potensi kreatif urang Bandung. Rasa aneh dan tak nyaman itu sudah muncul ketika (entah siapa yang memulai)…orang-orang yang seharusnya menjadi barometer tren kreatif (kreatif pun jangan pula diartikan berjoget-joget gak jelas tanpa henti sepanjang pertandingan seperti kelompok sanggar tari yah!) di Indonesia itu malah ikut-ikutan menyanyikan lagu kelompok supporter lain dengan memulai nyanyian:
”yo ayooo…yo ayoooo…(nama klub bersangkutan) dst…” Entah siapa yang memulai. Namun sejak itu supporter Bandung (terlepas dari militansi, jumlah massa, dan euforia yang tetap tak tertandingi) telah “kalah”.
*penulis berkhidmat di akun twitter @ekomaung
Pendapat yang dinyatakan dalam karya ini sepenuhnya merupakan pendapat pribadi penulis, tidak mencerminkan pendapat redaksi Simamaung.
Ingin tulisannya dimuat di sini? silahkan kirim artikelmu ke email simamaung.com@gmail.com atau redaksi@simamaung.com

Gebugan gera dirigenna. Tuman pisan!
halig ku aing lah dirigena,,,,,,,,///////
leres pisan kang, pernah sakali ka stadion jauh-jauh ti bekasi bari mawa anak….ti dinya saya kapok, janjji saya di jero hate , moal dei saya ka stadion lamun kie wae mah…. boro-boro menikmati pertandingan nu aya hariwang nepi ka engges pertandingan….astagfirullah