Menerka Kembali Moralitas Persib, dan Kemenangan Sebagai Jalan
Monday, 04 October 2021 | 16:32
Dimulainya kembali Liga Indonesia memberikan secercah oase bagi kita semua. Satu tahun lebih, denyut jantung sepak bola Indonesia berhenti. Pemain tak bisa beraktifitas, masyarakat kehilangan hiburan, klub kehilangan pendapatan, ekonomi tersendat tak berputar, dan segudang masalah lain yang melanda negeri ini. Pandemi covid19 betul-betul menghancurkan sendi-sendi sepak bola dunia, termasuk Indonesia.
Kini pelan-pelan dunia berangsur pulih, liga Indonesia kembali berputar, dahaga hiburan lewat sepak bola itu melahirkan harapan besar bagi seluruh pencinta sepakbola. Tak terkecuali Bandung, Kota Kembang tempat nama besar bernama Persib Bandung yang selalu diagungkan hampir di setiap sudut kota. Squad dengan segudang bintang, bermaterikan pemain nasional, produk akademi, asing hingga naturalisasi. Rasa-rasa Belanda juga teramat kental. Squad mewah yang sejak masuknya Robert Rene Albert beberapa musim terakhir memberikan banyak harapan bobotoh, agar klub kebanggaan Bandung ini kembali mengangkat prestasi tertingginya di level nasional. Robert bukan pelatih sembarangan, ia pernah bawa Arema yang mana meraih prestasi di levelnya.
Asa itu terus terpupuk dibhati para bobotoh. Finis di posisi ke-2 pada turnamen pra-musim di Piala Menpora 2021 dan kalah oleh rival abadi Persija Jakarta bukan berarti Persib aman dan nyaman. Kritik bermunculan, ‘teror’ dilakukan agar klub kebanggaan Jawa Barat ini bangkit dan mawas diri untuk berbenah di liga sebenarnya. Masuknya Rasyid dan Marc Klok ke Persib dari klub rival bak angin surga bagi banyak orang, ibarat La Parasiens dengan segudang bintang yang memberi harapan dan gegap gempita fans Manchester United yang diuntungkan kehadiran bintang besar macam Cristiano Ronaldo yang menambah gairah tontonan. Ada harapan, ada ekspetasi di angan-angan para bobotoh. Squad mumpuni bertabur bintang, harus dijawab tentunya dengan prestasi, determinasi permainan, dan tiga poin angka mutlak yang harusnya jadi jaminan. Dalam standar ukur rasio prestasi, dengan materi luar biasa harusnya ini berbanding lurus dengan pencapaian.
Awalnya kita menilai Robert Rene Albert sebagai juru taktik asli Belanda akan membawa filosofi permainan total football yang indah dipandang dalam setiap pertandingan. Prinsip ini bak selalu bersifat empiris, mengingat kedalaman squad Persib saat ini diisi talenta-talenta hebat. Seperti halnya filsuf Jerman Immanuel Kant yang menyatakan bahwa prinsip mensyaratkan objek dari hasrat sebagai dasar penentu kehendak. Ya, materi luar biasa ini harus beririsan dengan hasrat kemauan untuk menang. Ini adalah prinsip umum dalam sepak bola yang berkaitan dengan cinta, kebanggaan dan kesenangan semua pihak baik klub, pemain, bobotoh dan juga termasuk para oligarki sekalipun yang berpikir hanya menambang cuan dari industri sepak bola.
Tapi, alih-alih ekspetasi itu kita dapatkan, 6 pertandingan dilalui Persib dengan 2 kemenangan dan 4 kali seri berurutan. Berada di peringkat ke 5 di seri pertama BRI Liga1. Memasukkan 6 gol, dan kebobolan 4 gol. Ironisnya semua gol dicetak oleh para gelandang tak satupun diciptakan oleh lini depan Persib. Permainan pun seolah tanpa pola, tak ada determinasi, tak ada fighting spirit dari para pemain, minim taktik, permainan monoton dan seolah tidak ada daya kretifitas dan ide-ide brilian membongkar pertahanan lawan. Teringat perkataaan kakek tercinta Teh Dita Moechtar sang maestro gelandang kreator Persib di masa lalu yang juga pernah menjabat sebagai Rektor Unpad alm Prof dr. Himendra Wargahadibrata, “Bermain bola itu harus cerdas, harus bersenang-senang. Rek naon main bola ai tidak senang dan tidak menang”, tuturnya satu waktu dalam sebuah diskusi di Unpad.
Gelombang kritik dari bobotoh di social media lewat kata BUTUT dan sebagian berimbas menjadi gerakan di lapangan lewat pencegatan bus Persib di flyover Pasoepati ketika Persib kembali selepas pertandingan adalah respon sejati para supporter yang memang menuntut hasil lebih. Kita juga menyayangkan reaksi defensif dan reaktif dari klub dan pelatih, yang berharap supporter memberikan dukungan yang positif yang dimaknai dengan cara sopan dan santun. Wahai klub, patut diingat bobotoh juga sepertinya memahami betul apa yang difatwakan Immanuel Kant, “bahwa orang-orang yang kritis selalu percaya bahwa mereka dapat menemukan perbedaan antara hasrat tingkat rendah dan hasrat tingkat tinggi” lewat konsepsi-konsepsi permainan, taktik, komposisi permainan, dan determinasi di setiap pertandingan. Melihat objektifikasi materil di pertandingan wajar rasanya bobotoh kecewa, dan menuntut hasil lebih.
Kemenangan adalah tujuan dari sepak bola. Kemenangan melahirkan rasa bahagia bagi setiap insan sepakbola. Kant berujar bahwa rasa bahagia adalah hasrat setiap makluk yang rasional. Rasa senang adalah meteri hasrat dalam diri setiap manusia tentang kebutuhan-kebutuhannya. Perasaan senang dan tidak senang menentukan apa yang kita butuhkan untuk memperoleh kepuasan dengan kondisi tersebut. Persib sebagai sebuah entitas klub harus paham bahwa membangun kebahagiaan berjamaah juga harus selaras pada tujuan itu sendiri. Bermaterikan pemain cukup baik, bermodalkan kondisi klub yang sehat, supporter yang loyal harusnya Persib mampu memberikan determinasi yang cukup memberikan kebahagiaan bagi semua pihak. Jangan ada lagi pledoi, yang berujung pada kecewaan para bobotoh yang kemudian bisa berbuntut panjang yang melahirkan gerakan lebih luas. Jangan ada blunder arogansi manajemen yang kemudian karena dasar “keakuan dan kepemilikan” tiba-tiba ingin memindahkan homebase ke kota lainnya jika supporter menekan seperti yang terjadi pada sahabat kita temen-temen PSS Sleman. Naudzubillah min zalik. Ulah nepikeun. Amit-amit Yaa Allah.
Dalam prinsip Kant, orang yang kalah dalam suatu permainan akan merasa kesal dan kurang hati-hati. Bahkan ketika menyadari telah bermain curang, sekalipun menang, manusia pasti merasa hina secara moral. Dalam permainan sepak bola, sportivitas adalah kaidah utama dalam prinsip olahragawan. Moralitas harus mampu diimplementasikan menjadi spirit kemenangan dengan prinsip-prinsip dan ide-ide taktik yang mampu diterjemahkan secara baik oleh pelatih ke pemain. Bagi orang Bandung, Persib main cantik dan menang itu harga mati. Seri saja sudah dianggap kalah dan gagal. Di tatar Sunda, standar moralitas itu tinggi. Empat hasil seri tanpa kalah, memang bukan jaminan Persib berada pada track yang benar dan ini bukan hasil yang membahagiakan kendati duduk di peringkat 5 liga di seri pertama. Jeleknya hari ini, kadang manajemen seolah selalu saja menyalahkan keadaan (culpability). Ketika Persib bermain seri 4 pertandingan berturut-turut, dianggap kurang beruntung, pemain dianggap masih beradaptasi karena lama tak bermain bola karena pandemi, dan segudang narasi pledoi lainnya. Merawat klub sebesar Persib ini tak mudah, sorotan ada dimana-mana, ekspetasi berlebih, tekanannya besar dan bergelombang. Tak mudah menahkodai Persib yang jika di seri ke 2 (Jawa Tengah) bulan Oktober ini tak kunjung juga meraih tren kemenangan, maka Persib bisa saja masuk fase-fase menkhawatirkan sebagai sebuah identitas klub besar nasional. Perlu terobosan dalam berbagai hal, manajemen krisis, kesepahaman semua pihak mengembalikan jati diri klub pada posisi yang semestinya.
Menemukan moralitas, budaya malu atas hasil seri apalagi kalah harus betul-betul disadari oleh jajaran klub. Efek pandemi tak boleh lagi menjadi alasan karena pemain dan pelatih lama tak menemukan iklim kompetisi resmi sehingga hilang rasa, sentuhan dan mendadak tidak cerdas dalam permainan. Ingatlah wahai Opa Rene Robert Albert, bahwa kelebihan Sapiens daripada makhluk lainnya adalah ia mampu memproduksi dan mengolah informasi dan dengan informasi itu manusia akan terus belajar. Empat hasil seri dari 6 pertandingan adalah ambang batas toleransi bobotoh pada klub yang dicintainya.
Ingatlah bahwa Kant mengklaim bahwa sifat rasional adalah tujuan itu sendiri. Kemenangan bagi Persib adalah rasio yang harus diwujudkan lewat indera yang menghasilkan konsep-konsep strategi dan taktik. Tradisi bobotoh yang mengkritik klub ketika Persib tidak baik-baik saja sebagaimana petuah Adjat Sudrajat, “Besar karena cacian, pujian adalah racun” adalah bentuk sensitifitas moralitas dalam budaya ‘PePersib-an’. Sebagaimana Kant mengatakan bahwa satu-satunya hal yang tanpa kecuali sebelum melakukan sesuatu adalah “niat baik”. Kritik sekeras apapun bentuknya selama ia tidak menjurus kepada aspek tindak pidana adalah “niat baik” pada klub kebanggaannya.
Penting bagi manajemen klub, memahami bobotoh bahwa mereka menjaga moralitas ini agar terus terbangun dalam budaya dan karakter Persib, seperti halnya Kant memaknai bahwa kemanusiaan yang bermoral adalah mereka yang memiliki harga diri. Persib adalah harga diri orang Bandung dan masyarakat Jawa Barat, ia perlu dirawat, ditumbuhkan dengan perasaan cinta dengan karakter yang kuat dan abadi. Sib, ingat kembali petuah suhu panditfootball Zen RS, “Hidup memang berlangsung bukan dari waktu ke waktu, tapi dari suasana ke suasana”. Maka berpaculah dengan waktu untuk meraih kemenangan, dan suasana kebahagiaan yang bisa dirasakan oleh semua orang dengan cinta dan kebanggaan.
Penulis adalah seorang bobotoh, Nugroho Adinegoro, juga alumni Universitas Padjadjaran. Pemilik Akun Twitter @kangnugo85.

Dimulainya kembali Liga Indonesia memberikan secercah oase bagi kita semua. Satu tahun lebih, denyut jantung sepak bola Indonesia berhenti. Pemain tak bisa beraktifitas, masyarakat kehilangan hiburan, klub kehilangan pendapatan, ekonomi tersendat tak berputar, dan segudang masalah lain yang melanda negeri ini. Pandemi covid19 betul-betul menghancurkan sendi-sendi sepak bola dunia, termasuk Indonesia.
Kini pelan-pelan dunia berangsur pulih, liga Indonesia kembali berputar, dahaga hiburan lewat sepak bola itu melahirkan harapan besar bagi seluruh pencinta sepakbola. Tak terkecuali Bandung, Kota Kembang tempat nama besar bernama Persib Bandung yang selalu diagungkan hampir di setiap sudut kota. Squad dengan segudang bintang, bermaterikan pemain nasional, produk akademi, asing hingga naturalisasi. Rasa-rasa Belanda juga teramat kental. Squad mewah yang sejak masuknya Robert Rene Albert beberapa musim terakhir memberikan banyak harapan bobotoh, agar klub kebanggaan Bandung ini kembali mengangkat prestasi tertingginya di level nasional. Robert bukan pelatih sembarangan, ia pernah bawa Arema yang mana meraih prestasi di levelnya.
Asa itu terus terpupuk dibhati para bobotoh. Finis di posisi ke-2 pada turnamen pra-musim di Piala Menpora 2021 dan kalah oleh rival abadi Persija Jakarta bukan berarti Persib aman dan nyaman. Kritik bermunculan, ‘teror’ dilakukan agar klub kebanggaan Jawa Barat ini bangkit dan mawas diri untuk berbenah di liga sebenarnya. Masuknya Rasyid dan Marc Klok ke Persib dari klub rival bak angin surga bagi banyak orang, ibarat La Parasiens dengan segudang bintang yang memberi harapan dan gegap gempita fans Manchester United yang diuntungkan kehadiran bintang besar macam Cristiano Ronaldo yang menambah gairah tontonan. Ada harapan, ada ekspetasi di angan-angan para bobotoh. Squad mumpuni bertabur bintang, harus dijawab tentunya dengan prestasi, determinasi permainan, dan tiga poin angka mutlak yang harusnya jadi jaminan. Dalam standar ukur rasio prestasi, dengan materi luar biasa harusnya ini berbanding lurus dengan pencapaian.
Awalnya kita menilai Robert Rene Albert sebagai juru taktik asli Belanda akan membawa filosofi permainan total football yang indah dipandang dalam setiap pertandingan. Prinsip ini bak selalu bersifat empiris, mengingat kedalaman squad Persib saat ini diisi talenta-talenta hebat. Seperti halnya filsuf Jerman Immanuel Kant yang menyatakan bahwa prinsip mensyaratkan objek dari hasrat sebagai dasar penentu kehendak. Ya, materi luar biasa ini harus beririsan dengan hasrat kemauan untuk menang. Ini adalah prinsip umum dalam sepak bola yang berkaitan dengan cinta, kebanggaan dan kesenangan semua pihak baik klub, pemain, bobotoh dan juga termasuk para oligarki sekalipun yang berpikir hanya menambang cuan dari industri sepak bola.
Tapi, alih-alih ekspetasi itu kita dapatkan, 6 pertandingan dilalui Persib dengan 2 kemenangan dan 4 kali seri berurutan. Berada di peringkat ke 5 di seri pertama BRI Liga1. Memasukkan 6 gol, dan kebobolan 4 gol. Ironisnya semua gol dicetak oleh para gelandang tak satupun diciptakan oleh lini depan Persib. Permainan pun seolah tanpa pola, tak ada determinasi, tak ada fighting spirit dari para pemain, minim taktik, permainan monoton dan seolah tidak ada daya kretifitas dan ide-ide brilian membongkar pertahanan lawan. Teringat perkataaan kakek tercinta Teh Dita Moechtar sang maestro gelandang kreator Persib di masa lalu yang juga pernah menjabat sebagai Rektor Unpad alm Prof dr. Himendra Wargahadibrata, “Bermain bola itu harus cerdas, harus bersenang-senang. Rek naon main bola ai tidak senang dan tidak menang”, tuturnya satu waktu dalam sebuah diskusi di Unpad.
Gelombang kritik dari bobotoh di social media lewat kata BUTUT dan sebagian berimbas menjadi gerakan di lapangan lewat pencegatan bus Persib di flyover Pasoepati ketika Persib kembali selepas pertandingan adalah respon sejati para supporter yang memang menuntut hasil lebih. Kita juga menyayangkan reaksi defensif dan reaktif dari klub dan pelatih, yang berharap supporter memberikan dukungan yang positif yang dimaknai dengan cara sopan dan santun. Wahai klub, patut diingat bobotoh juga sepertinya memahami betul apa yang difatwakan Immanuel Kant, “bahwa orang-orang yang kritis selalu percaya bahwa mereka dapat menemukan perbedaan antara hasrat tingkat rendah dan hasrat tingkat tinggi” lewat konsepsi-konsepsi permainan, taktik, komposisi permainan, dan determinasi di setiap pertandingan. Melihat objektifikasi materil di pertandingan wajar rasanya bobotoh kecewa, dan menuntut hasil lebih.
Kemenangan adalah tujuan dari sepak bola. Kemenangan melahirkan rasa bahagia bagi setiap insan sepakbola. Kant berujar bahwa rasa bahagia adalah hasrat setiap makluk yang rasional. Rasa senang adalah meteri hasrat dalam diri setiap manusia tentang kebutuhan-kebutuhannya. Perasaan senang dan tidak senang menentukan apa yang kita butuhkan untuk memperoleh kepuasan dengan kondisi tersebut. Persib sebagai sebuah entitas klub harus paham bahwa membangun kebahagiaan berjamaah juga harus selaras pada tujuan itu sendiri. Bermaterikan pemain cukup baik, bermodalkan kondisi klub yang sehat, supporter yang loyal harusnya Persib mampu memberikan determinasi yang cukup memberikan kebahagiaan bagi semua pihak. Jangan ada lagi pledoi, yang berujung pada kecewaan para bobotoh yang kemudian bisa berbuntut panjang yang melahirkan gerakan lebih luas. Jangan ada blunder arogansi manajemen yang kemudian karena dasar “keakuan dan kepemilikan” tiba-tiba ingin memindahkan homebase ke kota lainnya jika supporter menekan seperti yang terjadi pada sahabat kita temen-temen PSS Sleman. Naudzubillah min zalik. Ulah nepikeun. Amit-amit Yaa Allah.
Dalam prinsip Kant, orang yang kalah dalam suatu permainan akan merasa kesal dan kurang hati-hati. Bahkan ketika menyadari telah bermain curang, sekalipun menang, manusia pasti merasa hina secara moral. Dalam permainan sepak bola, sportivitas adalah kaidah utama dalam prinsip olahragawan. Moralitas harus mampu diimplementasikan menjadi spirit kemenangan dengan prinsip-prinsip dan ide-ide taktik yang mampu diterjemahkan secara baik oleh pelatih ke pemain. Bagi orang Bandung, Persib main cantik dan menang itu harga mati. Seri saja sudah dianggap kalah dan gagal. Di tatar Sunda, standar moralitas itu tinggi. Empat hasil seri tanpa kalah, memang bukan jaminan Persib berada pada track yang benar dan ini bukan hasil yang membahagiakan kendati duduk di peringkat 5 liga di seri pertama. Jeleknya hari ini, kadang manajemen seolah selalu saja menyalahkan keadaan (culpability). Ketika Persib bermain seri 4 pertandingan berturut-turut, dianggap kurang beruntung, pemain dianggap masih beradaptasi karena lama tak bermain bola karena pandemi, dan segudang narasi pledoi lainnya. Merawat klub sebesar Persib ini tak mudah, sorotan ada dimana-mana, ekspetasi berlebih, tekanannya besar dan bergelombang. Tak mudah menahkodai Persib yang jika di seri ke 2 (Jawa Tengah) bulan Oktober ini tak kunjung juga meraih tren kemenangan, maka Persib bisa saja masuk fase-fase menkhawatirkan sebagai sebuah identitas klub besar nasional. Perlu terobosan dalam berbagai hal, manajemen krisis, kesepahaman semua pihak mengembalikan jati diri klub pada posisi yang semestinya.
Menemukan moralitas, budaya malu atas hasil seri apalagi kalah harus betul-betul disadari oleh jajaran klub. Efek pandemi tak boleh lagi menjadi alasan karena pemain dan pelatih lama tak menemukan iklim kompetisi resmi sehingga hilang rasa, sentuhan dan mendadak tidak cerdas dalam permainan. Ingatlah wahai Opa Rene Robert Albert, bahwa kelebihan Sapiens daripada makhluk lainnya adalah ia mampu memproduksi dan mengolah informasi dan dengan informasi itu manusia akan terus belajar. Empat hasil seri dari 6 pertandingan adalah ambang batas toleransi bobotoh pada klub yang dicintainya.
Ingatlah bahwa Kant mengklaim bahwa sifat rasional adalah tujuan itu sendiri. Kemenangan bagi Persib adalah rasio yang harus diwujudkan lewat indera yang menghasilkan konsep-konsep strategi dan taktik. Tradisi bobotoh yang mengkritik klub ketika Persib tidak baik-baik saja sebagaimana petuah Adjat Sudrajat, “Besar karena cacian, pujian adalah racun” adalah bentuk sensitifitas moralitas dalam budaya ‘PePersib-an’. Sebagaimana Kant mengatakan bahwa satu-satunya hal yang tanpa kecuali sebelum melakukan sesuatu adalah “niat baik”. Kritik sekeras apapun bentuknya selama ia tidak menjurus kepada aspek tindak pidana adalah “niat baik” pada klub kebanggaannya.
Penting bagi manajemen klub, memahami bobotoh bahwa mereka menjaga moralitas ini agar terus terbangun dalam budaya dan karakter Persib, seperti halnya Kant memaknai bahwa kemanusiaan yang bermoral adalah mereka yang memiliki harga diri. Persib adalah harga diri orang Bandung dan masyarakat Jawa Barat, ia perlu dirawat, ditumbuhkan dengan perasaan cinta dengan karakter yang kuat dan abadi. Sib, ingat kembali petuah suhu panditfootball Zen RS, “Hidup memang berlangsung bukan dari waktu ke waktu, tapi dari suasana ke suasana”. Maka berpaculah dengan waktu untuk meraih kemenangan, dan suasana kebahagiaan yang bisa dirasakan oleh semua orang dengan cinta dan kebanggaan.
Penulis adalah seorang bobotoh, Nugroho Adinegoro, juga alumni Universitas Padjadjaran. Pemilik Akun Twitter @kangnugo85.
