Memahami Gedebage, Memahami Bandung
Thursday, 02 April 2015 | 19:06
Kabar baiknya, Walikota Bandung Ridwan Kamil telah membeberkan konsep “Bandung Teknopolis” yang akan dibangun di daerah Gedebage. Kota berkonsep teknologi semacam Silicon Valley-nya Indonesia itu rencananya akan dibangun dengan dilengkapi dua buah danau buatan. Kota terpadu tersebut akan dengan mudah diakses melalui jalan tol Padaleunyi dan kereta super cepat Jakarta Bandung yang berstasiun akhir di Gedebage. Dan Stadion Gelora Bandung lautan Api (GBLA) akan menjadi bagian dari kota tersebut. (Baca: Ridwan Kamil Janji Segera Sosialisasikan Bandung Teknopolis kepada Warga).
Kabar buruknya, stadion yang sedang berbenah menyambut Pekan Olahraga Nasional (PON) 2016 itu mengalami gangguan karena telah terjadi penurunan tanah di bawahnya. Dengan cepat, penurunan tanah ini akan segera dipelajari oleh tim dari Pemkot Bandung. (Baca: Pemkot Bandung Bentuk Tim untuk Meneliti Penurunan Stadion GBLA).
Dan juga, peristiwa ini berbarengan dengan adanya indikasi korupsi di GBLA yang muncul akhir-akhir ini. Namun, penulis tidak akan membahas masalah tersebut di tulisan ini.
Yang menjadi perhatian penulis adalah mengapa terjadi penurunan tanah di daerah Gedebage? Di sini, Penulis akan mengkaji peristiwa penurunan tanah GBLA dari perspektif sejarah Bandung sebagai refleksi bagi masa depan kota Bandung.
Gedebage menurut Nina Lubis terdiri dari dua kata, Gede dan Bage. Profesor sejarah asal Universitas Padjadjaran itu menerangkan kalau gede berarti besar, dan bage berarti bahagia (Baca: Tim Kajian Stadion Hanya Rekomendasikan Dua Nama). Jadi Gedebage bisa diartikan kebahagiaan yang besar.
Gedebage dan sekitarnya, di masa lalu adalah daerah yang merupakan rawa-rawa sisa peninggalan danau purba yang terbentuk di jaman Plestosen akhir. Di kedalaman danau sampai 52 meter, daerah Gedebage merupakan daerah terdalam dari danau tersebut (Bachtiar, 2004: 133). Surutnya danau Bandung Purba, menyisakan banyak danau-danau kecil dan rawa-rawa payau di daerah Bandung. Itulah mengapa di Bandung banyak daerah yang mengandung nama ci (cai), ranca, ujung, bojong, dll, yang menunjukkan pernah ada genangan air di daerah tersebut.

Di buku Kuncen Bandung Haryoto Kunto, terdapat peta Bandung tempo dulu dari F De Haan. Di sana, daerah Gedebage menjadi bagian dari rawa bernama Muras Geger Hanjuang. Muras ini membentang dari jalan raya pos di utara, sampai Citarum di selatan (Kunto, 1984: 152). Tim dari Asian Disaster Reduction Center (ADRC) mencatat, Geger Hanjuang merupakan salah satu rawa besar di kota Bandung. Rawa lain adalah Ciloeun, Ranca Gede, dan rawa dekat Ciendog Rancaekek. ADRC juga menyebutkan, ada 15 sungai yang bermuara di Geger Hanjuang. Penduduk Bandung saat itu bermukim di pinggir-pinggir rawa, seperti Ujung Berung (Tim ADRC, 2001, Bab II).
Rawa-rawa ini bisa jadi membelokkan rencana Daendels akan jalan raya pos yang melewati kota Bandung di tahun 1810. Penulis mengambil hipotesis, jika keberadaan rawa itu membuat Daendels mengambil keputusan untuk membelokkan jalan raya pos menuju arah timur laut di Simpang Lima. Jalan raya ini akhirnya menyusuri jalan kecil menuju Cicaheum, Ujung Berung, daripada lurus untuk memperpendek jarak menuju Gatot Subroto sekarang, menuju Cibiru.
Seandainya Daendels mengambil jalur lurus, bisa jadi pula Ujung Berung akan berpindah mendekati jalan Raya Pos, seperti berpindahnya Dayeuhkolot ke Bandung sekarang, atau Andawadak ke Tanjung Sari. Mungkin saja, kasus malaria di kota lama Batavia membuat Daendels menghindari rawa yang juga mempunyai persoalan yang sama dengan persoalan di ibu kota Hindia Belanda saat itu, sehingga Jalan Raya Pos dibuat melingkar ke utara.
Menurut Kang Anto Sumiarto Widjaya, seorang peneliti sejarah Ujung Berung. Rawa-rawa Geger Hanjuang kemudian mulai dikeringkan oleh penduduk. Orang pernama yang berusaha mengeringkan rawa tersebut adalah pendatang asal Indramayu bernama Kanten. Rawa pun beralih fungsi menjadi sawah yang membentang sampai Cicalengka.
Pada tahun 1884, jalur kereta api Cianjur Cicalengka berhasil dibangun di atas bekas rawa-rawa tersebut. Karena penulis belum menemukan kronologis mengeringnya rawa tersebut, penulis belum mengetahui apakah jalan kereta api dibangun sebelum Kanten dan penduduk lainnya mengeringkan rawa atau sesudahnya. Yang jelas, di sekitar akhir abad 19, berakhirlah kisah Muras Geger Hanjuang yang menutupi sebagian lahan Bandung saat itu. Hal yang juga didorong kebijakan Bupati RA Wiranatakusumah IV untuk menaikkan hasil pertanian rakyat lewat pembukaan pesawahan di sekitar tahun 1864 (Hardjasaputra, 2002: 160).
Karena merupakan bekas rawa dan menjadi titik terendah danau Bandung, sifat tanah di daerah Gedebage ini terbilang unik karena sangat labil. Pemkot Bandung pernah merilis pernyataan bahwa tanah endapan yang lunak itu mencapai kedalaman 30 meter (Baca: Evaluasi Kinerja Pembangunan Stadion Utama Sepakbola (SUS) Gedebage). Direktur Utama Penta Rekayasa Architecture, Forest Jieprang mengatakan kondisi tanah di Gedebage itu termasuk very soft silty clay atau tanah yang kekerasannya hampir menyerupai bubur (Baca: SUS Gedebage Dipastikan Tidak Akan Selesai Akhir Tahun Ini).
Kondisi alam di Gedebage ini memang menarik sekaligus memberi tantangan kepada manusia yang diberi akal untuk terus berinovasi mengatasinya. Mengutip teori Arnold Toynbee, alam sebagai tempat tinggal manusia tidak akan selamanya memenuhi kebutuhan manusia. Alam, menurut filosof sejarah asal Jerman itu, akan selalu memberikan tantangan, dan sebaliknya, manusia harus bisa menjawabnya. Jika manusia bisa menaklukkan tantangan alam ini, maka kehidupan mereka akan lebih baik karena dapat lebih leluasa untuk berpikir , proses yang melahirkan banyak kebudayaan dan peradaban (Toynbee, 2006: 96).
Jawaban manusia atas tantangan alam dapat kita lihat pada proses pembentukan dan perjalanan peradaban Mesir kuno. Dalam proses menuju peradaban yang tinggi, orang-orang Mesir saat itu dengan berani menghadapi tantangan alam utama mereka, Sungai Nil. Penaklukkan atas Sungai nil membuat mereka menjadi bangsa yang maju dan menjadi pusat peradaban dunia saat itu.
Kembali ke masalah kota Bandung, pergeseran tanah di Gedebage selain menjadi semacam warning bukan saja atas stadion GBLA saja, tetapi atas penduduk Bandung seluruhnya. Bagi penduduk kota Bandung yang sebagian besar tinggal di tanah bekas endapan danau purba, peristiwa ini hendaknya disikapi dengan rasa hati-hati. T Bachtiar yang merupakan anggota dari Kelompok Riset Cekungan Bandung dan Masyarakat Geografi Indonesia mengatakan, tanah yang dipijak dan dihuni oleh penduduk kota Bandung merupakan tanah yang cukup labil, dan membahayakan jika terjadi gempa.
“Kawasan bekas endapan danau purba memiliki tanah yang cenderung bersifat labil dan mudah terkena getaran gempa, sehingga lebih berpotensi terkena dampak,” ujar T Bachtiar yang merupakan anggota dari Kelompok Riset Cekungan Bandung dan Masyarakat Geografi Indonesia (Baca: Bandung Selatan Rawan Gempa).
Dengan mempelajari sifat alam tersebut, siapapun diharap berhati-hati saat membangun bangunan di atas kota. Bagi pemkot Bandung, peristiwa pergeseran tanah ini juga memberikan kesempatan bagi mereka untuk mempelajari sifat tanah di Bandung khususnya di Gedebage. Konsep kota teknopolis di sana memang merupakan konsep ideal yang bagus untuk dilaksanakan. Akan tetapi, momen pergeseran tanah ini bisa dipakai pihak pemkot untuk mempelajari sifat tanah di sana lebih dalam. Ini dilakukan supaya proyek teknopolis itu berjalan dengan baik, lancar, dan tidak menemui hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.
Tantangan alam yang dihadapi penduduk Bandung dan pemkot ini harus direspon dengan pemahaman yang arif dan sikap yang positif. Seperti kata Toynbee, pemahaman terhadap alam sekitar akan membawa manusia ke arah yang lebih baik. Dan Jika manusia telah menuju ke arah yang baik, tentu dia akan bahagia, seperti arti nama Gedebage, kebahagiaan yang besar.
Sekian
Penulis adalah bobotoh biasa, pecinta Bandung dan sejarahnya, berakun twitter @hevifauzan.
Sumber Buku:
Bachtiar, T, Bandung Purba: Panduan Wisata Bumi, Bandung: Pustaka Jaya, cet ke-2, 2004.
Kunto, Haryoto, Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, Bandung: Granesia, 1984.
Toynbee, Arnold, Sejarah umat Manusia: Uraian Analisis, Kronologis, Naratif, dan Komparatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Karya Tulis/Disertasi:
Hardjasaputra, Sobana, Perubahan Sosial di Bandung 1810-1906, Disertasi, Depok: Program Pasca Sarjana Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 2002
Tim ADRC, Community-Based Flood Mitigation Project; The Case of Bandung City, Indonesia, ADRC Project Report
No. 1, Asian Disaster Reduction Center, 2001 – http://www.adrc.asia/publications/Cooperative_projects/Indonesia/no_1.htm
Internet:
Kompas.com
Galamedianews.com
Ceritamu.com
Demokratnews.com
Bandung.go.id
jabar.tribunnews.com

Kabar baiknya, Walikota Bandung Ridwan Kamil telah membeberkan konsep “Bandung Teknopolis” yang akan dibangun di daerah Gedebage. Kota berkonsep teknologi semacam Silicon Valley-nya Indonesia itu rencananya akan dibangun dengan dilengkapi dua buah danau buatan. Kota terpadu tersebut akan dengan mudah diakses melalui jalan tol Padaleunyi dan kereta super cepat Jakarta Bandung yang berstasiun akhir di Gedebage. Dan Stadion Gelora Bandung lautan Api (GBLA) akan menjadi bagian dari kota tersebut. (Baca: Ridwan Kamil Janji Segera Sosialisasikan Bandung Teknopolis kepada Warga).
Kabar buruknya, stadion yang sedang berbenah menyambut Pekan Olahraga Nasional (PON) 2016 itu mengalami gangguan karena telah terjadi penurunan tanah di bawahnya. Dengan cepat, penurunan tanah ini akan segera dipelajari oleh tim dari Pemkot Bandung. (Baca: Pemkot Bandung Bentuk Tim untuk Meneliti Penurunan Stadion GBLA).
Dan juga, peristiwa ini berbarengan dengan adanya indikasi korupsi di GBLA yang muncul akhir-akhir ini. Namun, penulis tidak akan membahas masalah tersebut di tulisan ini.
Yang menjadi perhatian penulis adalah mengapa terjadi penurunan tanah di daerah Gedebage? Di sini, Penulis akan mengkaji peristiwa penurunan tanah GBLA dari perspektif sejarah Bandung sebagai refleksi bagi masa depan kota Bandung.
Gedebage menurut Nina Lubis terdiri dari dua kata, Gede dan Bage. Profesor sejarah asal Universitas Padjadjaran itu menerangkan kalau gede berarti besar, dan bage berarti bahagia (Baca: Tim Kajian Stadion Hanya Rekomendasikan Dua Nama). Jadi Gedebage bisa diartikan kebahagiaan yang besar.
Gedebage dan sekitarnya, di masa lalu adalah daerah yang merupakan rawa-rawa sisa peninggalan danau purba yang terbentuk di jaman Plestosen akhir. Di kedalaman danau sampai 52 meter, daerah Gedebage merupakan daerah terdalam dari danau tersebut (Bachtiar, 2004: 133). Surutnya danau Bandung Purba, menyisakan banyak danau-danau kecil dan rawa-rawa payau di daerah Bandung. Itulah mengapa di Bandung banyak daerah yang mengandung nama ci (cai), ranca, ujung, bojong, dll, yang menunjukkan pernah ada genangan air di daerah tersebut.
Di buku Kuncen Bandung Haryoto Kunto, terdapat peta Bandung tempo dulu dari F De Haan. Di sana, daerah Gedebage menjadi bagian dari rawa bernama Muras Geger Hanjuang. Muras ini membentang dari jalan raya pos di utara, sampai Citarum di selatan (Kunto, 1984: 152). Tim dari Asian Disaster Reduction Center (ADRC) mencatat, Geger Hanjuang merupakan salah satu rawa besar di kota Bandung. Rawa lain adalah Ciloeun, Ranca Gede, dan rawa dekat Ciendog Rancaekek. ADRC juga menyebutkan, ada 15 sungai yang bermuara di Geger Hanjuang. Penduduk Bandung saat itu bermukim di pinggir-pinggir rawa, seperti Ujung Berung (Tim ADRC, 2001, Bab II).
Rawa-rawa ini bisa jadi membelokkan rencana Daendels akan jalan raya pos yang melewati kota Bandung di tahun 1810. Penulis mengambil hipotesis, jika keberadaan rawa itu membuat Daendels mengambil keputusan untuk membelokkan jalan raya pos menuju arah timur laut di Simpang Lima. Jalan raya ini akhirnya menyusuri jalan kecil menuju Cicaheum, Ujung Berung, daripada lurus untuk memperpendek jarak menuju Gatot Subroto sekarang, menuju Cibiru.
Seandainya Daendels mengambil jalur lurus, bisa jadi pula Ujung Berung akan berpindah mendekati jalan Raya Pos, seperti berpindahnya Dayeuhkolot ke Bandung sekarang, atau Andawadak ke Tanjung Sari. Mungkin saja, kasus malaria di kota lama Batavia membuat Daendels menghindari rawa yang juga mempunyai persoalan yang sama dengan persoalan di ibu kota Hindia Belanda saat itu, sehingga Jalan Raya Pos dibuat melingkar ke utara.
Menurut Kang Anto Sumiarto Widjaya, seorang peneliti sejarah Ujung Berung. Rawa-rawa Geger Hanjuang kemudian mulai dikeringkan oleh penduduk. Orang pernama yang berusaha mengeringkan rawa tersebut adalah pendatang asal Indramayu bernama Kanten. Rawa pun beralih fungsi menjadi sawah yang membentang sampai Cicalengka.
Pada tahun 1884, jalur kereta api Cianjur Cicalengka berhasil dibangun di atas bekas rawa-rawa tersebut. Karena penulis belum menemukan kronologis mengeringnya rawa tersebut, penulis belum mengetahui apakah jalan kereta api dibangun sebelum Kanten dan penduduk lainnya mengeringkan rawa atau sesudahnya. Yang jelas, di sekitar akhir abad 19, berakhirlah kisah Muras Geger Hanjuang yang menutupi sebagian lahan Bandung saat itu. Hal yang juga didorong kebijakan Bupati RA Wiranatakusumah IV untuk menaikkan hasil pertanian rakyat lewat pembukaan pesawahan di sekitar tahun 1864 (Hardjasaputra, 2002: 160).
Karena merupakan bekas rawa dan menjadi titik terendah danau Bandung, sifat tanah di daerah Gedebage ini terbilang unik karena sangat labil. Pemkot Bandung pernah merilis pernyataan bahwa tanah endapan yang lunak itu mencapai kedalaman 30 meter (Baca: Evaluasi Kinerja Pembangunan Stadion Utama Sepakbola (SUS) Gedebage). Direktur Utama Penta Rekayasa Architecture, Forest Jieprang mengatakan kondisi tanah di Gedebage itu termasuk very soft silty clay atau tanah yang kekerasannya hampir menyerupai bubur (Baca: SUS Gedebage Dipastikan Tidak Akan Selesai Akhir Tahun Ini).
Kondisi alam di Gedebage ini memang menarik sekaligus memberi tantangan kepada manusia yang diberi akal untuk terus berinovasi mengatasinya. Mengutip teori Arnold Toynbee, alam sebagai tempat tinggal manusia tidak akan selamanya memenuhi kebutuhan manusia. Alam, menurut filosof sejarah asal Jerman itu, akan selalu memberikan tantangan, dan sebaliknya, manusia harus bisa menjawabnya. Jika manusia bisa menaklukkan tantangan alam ini, maka kehidupan mereka akan lebih baik karena dapat lebih leluasa untuk berpikir , proses yang melahirkan banyak kebudayaan dan peradaban (Toynbee, 2006: 96).
Jawaban manusia atas tantangan alam dapat kita lihat pada proses pembentukan dan perjalanan peradaban Mesir kuno. Dalam proses menuju peradaban yang tinggi, orang-orang Mesir saat itu dengan berani menghadapi tantangan alam utama mereka, Sungai Nil. Penaklukkan atas Sungai nil membuat mereka menjadi bangsa yang maju dan menjadi pusat peradaban dunia saat itu.
Kembali ke masalah kota Bandung, pergeseran tanah di Gedebage selain menjadi semacam warning bukan saja atas stadion GBLA saja, tetapi atas penduduk Bandung seluruhnya. Bagi penduduk kota Bandung yang sebagian besar tinggal di tanah bekas endapan danau purba, peristiwa ini hendaknya disikapi dengan rasa hati-hati. T Bachtiar yang merupakan anggota dari Kelompok Riset Cekungan Bandung dan Masyarakat Geografi Indonesia mengatakan, tanah yang dipijak dan dihuni oleh penduduk kota Bandung merupakan tanah yang cukup labil, dan membahayakan jika terjadi gempa.
“Kawasan bekas endapan danau purba memiliki tanah yang cenderung bersifat labil dan mudah terkena getaran gempa, sehingga lebih berpotensi terkena dampak,” ujar T Bachtiar yang merupakan anggota dari Kelompok Riset Cekungan Bandung dan Masyarakat Geografi Indonesia (Baca: Bandung Selatan Rawan Gempa).
Dengan mempelajari sifat alam tersebut, siapapun diharap berhati-hati saat membangun bangunan di atas kota. Bagi pemkot Bandung, peristiwa pergeseran tanah ini juga memberikan kesempatan bagi mereka untuk mempelajari sifat tanah di Bandung khususnya di Gedebage. Konsep kota teknopolis di sana memang merupakan konsep ideal yang bagus untuk dilaksanakan. Akan tetapi, momen pergeseran tanah ini bisa dipakai pihak pemkot untuk mempelajari sifat tanah di sana lebih dalam. Ini dilakukan supaya proyek teknopolis itu berjalan dengan baik, lancar, dan tidak menemui hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.
Tantangan alam yang dihadapi penduduk Bandung dan pemkot ini harus direspon dengan pemahaman yang arif dan sikap yang positif. Seperti kata Toynbee, pemahaman terhadap alam sekitar akan membawa manusia ke arah yang lebih baik. Dan Jika manusia telah menuju ke arah yang baik, tentu dia akan bahagia, seperti arti nama Gedebage, kebahagiaan yang besar.
Sekian
Penulis adalah bobotoh biasa, pecinta Bandung dan sejarahnya, berakun twitter @hevifauzan.
Sumber Buku:
Bachtiar, T, Bandung Purba: Panduan Wisata Bumi, Bandung: Pustaka Jaya, cet ke-2, 2004.
Kunto, Haryoto, Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, Bandung: Granesia, 1984.
Toynbee, Arnold, Sejarah umat Manusia: Uraian Analisis, Kronologis, Naratif, dan Komparatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Karya Tulis/Disertasi:
Hardjasaputra, Sobana, Perubahan Sosial di Bandung 1810-1906, Disertasi, Depok: Program Pasca Sarjana Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 2002
Tim ADRC, Community-Based Flood Mitigation Project; The Case of Bandung City, Indonesia, ADRC Project Report
No. 1, Asian Disaster Reduction Center, 2001 – http://www.adrc.asia/publications/Cooperative_projects/Indonesia/no_1.htm
Internet:
Kompas.com
Galamedianews.com
Ceritamu.com
Demokratnews.com
Bandung.go.id
jabar.tribunnews.com

Mantap…. belum tentu semua orang Bandung tau sejarah ini…
Bobotohna resep maca mang….#hade nya…hehehehhe
Cenah aya indikasi korup mang, sy baca di media….# cenah urugan kuduna 10cm, ieu diurug 5cm. Artina, aya kalakuan jelema anu teu sesuai prosedur… jd jelema” ebel keneh nu nyieun masalah….# usut, tuman!!!
Satuju kang,, proyek pengadaan kudu transparan bisi kajadian siga kasus UPS, soalna tos pasti seeur ucing geringna ari di proyek man sesah lmn hoyong 100% bersih mah..
Tinggal audit ue ngarah jentre,, terus kntun milarian solusi kmh crana sangkan meminimalisir ambles.. di bdg seeur anu parinter ngenaal hal eta mah, sugan ku alloh di widian asal niatna leres, ulah dijadikeun ldang keur ngisian kadut olangan..
#saveGBLA
Wawasan Bobotoh PERSIB memang jempolan,salah sahiji contona,nu disajikeun ku penulis ieu….Bobotoh PERSIB memang edun (beda jeung singo edan mang)
BRAVO BOBOTOH,BRAVO PERSIB…We proud become a part of it.
sebuah perspektif yang luar biasa kang, bobotoh dengan pemikiran mendalam dan wawasan luas seperti ini, pasti jauh dari anarkisme. Semoga persib makin jaya dengan orang2 seperti ini disekelilingnya…
HIDUP PERSIB!
Amiiin, yra.
resep maca namah..
ngan naha geus na mata asa muih nya..
teu kaotakan ku amang mah.. haha..
punteun ngiring ngawangkong, penurunan tanah yg terjadi di gedebage, kuduna sdh bs diprediksi,klo sya ada instrumen terpasang dan direncanakan dgn benar, seperti kebanyakan stadion di indonesia, stadion2yg ada di bangun di atas tanah lunak yg letaknya jauh dr kota dan dpt dipastikan akan terjadi penurunan (tp nya td tea,kuduna sdh bs diprediksi), contoh stad.jakabaring sriwijaya, nu kuring apal eta stadion diatas tanah lunak neupi ka kurang lebih18meter,untuk mencegah penurunan yg besar ketika konstruksi menggunakan vertical drain, cai nu aya dina tanah diangkat nya kurang leuwih na kitu lah, std.SJH oge soh rarasan siga nu oyag mun persib ngagolkeun, tp sdh direncakana eta stad boh tahan gempa na boh nanaona (punteun, sanes silih ngajarkeun, mung silih ngingetan,mugia stad gbla tiasa rengse enggal2tanpa aya masalah),persib juara salawasna
Mantap kang tulisana, abdi bobotoh anu sami2 resep kana sejarah bandung,..eta mun leres di korup trus nepi ka rugrug..dosa gede pisan..
Mantap artikelnya..
hatur nuhun nambihan wawasan,,,
Sae infona, panasaran keneh iraha nya jantenna atanapi dibukana gerbang tol di Gedebage teh tos lami pisan eta wacana teh.
Pingback: My Blog | Memahami Gedebage, Memahami Bandung