Loyalitas Tanpa Jarak
Saturday, 22 November 2014 | 08:00
Tidak ada riuh nyanyian. Tidak ada teriakan atau sekedar mengaduh ketika pemain salah memberikan umpan. Pertandingan final yang begitu menegangkan dinikmati melalui layar netbook dengan volume seminimum mungkin. Hanya suara ketikkan keyboard yang menuliskan kalimat menggerutu atau pun semangat pada kolom “What’s happening?”
Jarak yang terbentang antara Indonesia dan Kanada membuat Indonesia lebih cepat 14 jam dari waktu setempat. Pertandingan final pun dimulai pada pukul 04.30 dini hari, 3 jam menuju terbitnya matahari pada hari itu. Beginilah hidup di negeri orang, ketika sepakbola kalah populer dari “hockey”, menonton pertandingan saat orang-orang terlelap tidak semudah saat kita menonton liga Champion atau piala dunia di Indonesia.
Permainan saling serang dengan tensi yang begitu tinggi seakan menghipnotis penonton untuk menikmati setiap detik pertandingan. Pun bagi saya, ketegangan semakin menjadi-jadi ketika site yang saya gunakan untuk streaming hanya menampilkan layar hitam dengan tulisan “reconnecting” berulang-ulang. Me-refresh page yang dimana hanya kolom komentar yang terus dipenuhi hujatan karena terhentinya siaran partai final. Di tengah-tengah kepanikan itu, saya tertawa lirih. Perjuangan bobotoh untuk menyaksikan tim kesayangan begitu besar sampai menyebrang pulau sementara saya masih berkutat di pencarian link streaming.¬
Sembari mencari link dan tanya sana sini, saya terus memantau lini masa Twitter yang terus mengabarkan jalannya pertandingan. Perasaan sedih, takut, penuh harap bercampur ketika babak perpanjangan waktu tidak mampu menentukan juara liga. Tidak terbayang bagaimana perasaan bobotoh yang sudah jauh-jauh datang sampai harus menjual barang-barang kesayangan jika sampai Persib gagal di adu penalti. Kecewa apabila gelar juara di depan mata tidak mampu diraih kembali. Perasaan penuh pengharapan akan hausnya kemenangan.
Bertepatan dengan persiapan adu penalti, tampilan sebuah saluran yang menayangkan pertandingan puncak mendadak jadi jelas kembali. Rasanya, sanggup tidak sanggup untuk melihat babak penentu juara liga tertinggi di Indonesia. Jam telah menunjukkan waktunya untuk bersiap-siap menjalani aktivitas sehari-hari di sini. Penghuni rumah sudah mulai sibuk melakukan ini itu. Menambah ketegangan saya yang masih menatap tajam layar monitor menunggu detik-detik para punggawa menendang si kulit bundar. Satu, dua, tiga, para algojo menendang dengan sukses ke arah gawang. Tensi menjadi naik dimana beban mental penendang akhir akan semakin bertambah dan semua yang menyaksikan dapat merasakannya. Namun ketegangan sedikit mereda ketika tendangan Alom berhasil ditepis I Made. Kegagalan penendang dari Persipura dalam sekejap menyulut harapan bahwa kemenangan sudah ada di genggaman tangan. Do’a tiada henti mengalir agar penendang penentu Persib, Ahmad Jufriyanto, berhasil melesakkan bola ke gawang Dede Sulaiman. Hingga akhirnya goal!!! Sujud penuh rasa syukur karena tim yang selama ini dibanggakan menuntaskan puasa juaranya.
Perasaan saya saat itu tidak karuan. Senang, sedih, bangga, semuanya menjadi satu. Di saat merayakan kemenangan, tidak ada Ibu yang biasanya ikut teriak-teriak selama pertandingan, tidak ada seseorang yang biasanya duduk berdampingan di tribun stadion. Saya benar-benar merayakannya sendiri di sini. Dengan penuh haru dan tangis kemenangan, saya menyapa hostfamily yang pada pagi itu sudah bersiap pergi bekerja. Mereka cukup panik dan bertanya-tanya ada apa dengan saya. Ketika saya menjawab bahwa tim sepakbola kebanggaan saya menjadi juara, mereka tertawa sekaligus memberi selamat. Keheranan melihat perempuan begitu antusias menjadi fans olahraga laki-laki. Tidak percaya ketika saya bercerita seberapa sering saya ke stadion semenjak Sekolah Menengah Pertama. Dengan bangganya saya memperkenalkan Persib Bandung dan Bobotohnya yang santun kepada mereka, Canadian. Bagaimana saya tetap merasa aman untuk berada di tengah lautan pendukung yang mayoritas bukan perempuan. Rasanya pagi itu saya menyuguhkan sebuah presentasi singkat mengenai Persib kepada mereka. Bukan hanya mengenai prestasi, namun juga loyalitas pendukungnya yang benar-benar saya kagumi dan saya rasakan.
Berita terkait penyerangan terhadap bobotoh menambah nilai pada sejarah yang diukir oleh Persib tahun ini. Begitu besar pengorbanan dan perjuangan yang diberikan bobotoh untuk mendukung tim kesayangannya. Rela meluangkan waktu, menguras dompet, memangkas jarak, bahkan menghadapi bahaya. Pemain dan official yang mengalami pasang surut pun patut diapresiasi perjuangannya untuk menuntaskan puasa gelar yang hampir dua dekade. Usaha, do’a, dan kepercayaan yang mampu mengantarkan Persib ke tahta juara.
Kemenangan Persib yang kita tunggu selama 19 tahun menggenapi keistimewaan tahun ini. Meskipun tidak dapat merasakan euforia juara yang begitu besar bersama bobotoh lainnya, namun di sini saya sadar bahwa kecintaan kita terhadap sesuatu tidak akan berhenti hanya karena jarak. Apalagi terhadap Persib yang telah mendarah daging bagi kebanyakan warga Jawa Barat. Perjuangan Persib masih belum selesai. Gelar juara Inter Island Cup semoga menjadi hadiah bagi saya yang akan kembali ke tanah air Januari nanti.
Salam Juara dari Camrose, Kanada.
Ditulis oleh Bobotoh yang sedang tinggal di Kanada, Dena Ambar Sary, berakun twitter @denaamsar

Tidak ada riuh nyanyian. Tidak ada teriakan atau sekedar mengaduh ketika pemain salah memberikan umpan. Pertandingan final yang begitu menegangkan dinikmati melalui layar netbook dengan volume seminimum mungkin. Hanya suara ketikkan keyboard yang menuliskan kalimat menggerutu atau pun semangat pada kolom “What’s happening?”
Jarak yang terbentang antara Indonesia dan Kanada membuat Indonesia lebih cepat 14 jam dari waktu setempat. Pertandingan final pun dimulai pada pukul 04.30 dini hari, 3 jam menuju terbitnya matahari pada hari itu. Beginilah hidup di negeri orang, ketika sepakbola kalah populer dari “hockey”, menonton pertandingan saat orang-orang terlelap tidak semudah saat kita menonton liga Champion atau piala dunia di Indonesia.
Permainan saling serang dengan tensi yang begitu tinggi seakan menghipnotis penonton untuk menikmati setiap detik pertandingan. Pun bagi saya, ketegangan semakin menjadi-jadi ketika site yang saya gunakan untuk streaming hanya menampilkan layar hitam dengan tulisan “reconnecting” berulang-ulang. Me-refresh page yang dimana hanya kolom komentar yang terus dipenuhi hujatan karena terhentinya siaran partai final. Di tengah-tengah kepanikan itu, saya tertawa lirih. Perjuangan bobotoh untuk menyaksikan tim kesayangan begitu besar sampai menyebrang pulau sementara saya masih berkutat di pencarian link streaming.¬
Sembari mencari link dan tanya sana sini, saya terus memantau lini masa Twitter yang terus mengabarkan jalannya pertandingan. Perasaan sedih, takut, penuh harap bercampur ketika babak perpanjangan waktu tidak mampu menentukan juara liga. Tidak terbayang bagaimana perasaan bobotoh yang sudah jauh-jauh datang sampai harus menjual barang-barang kesayangan jika sampai Persib gagal di adu penalti. Kecewa apabila gelar juara di depan mata tidak mampu diraih kembali. Perasaan penuh pengharapan akan hausnya kemenangan.
Bertepatan dengan persiapan adu penalti, tampilan sebuah saluran yang menayangkan pertandingan puncak mendadak jadi jelas kembali. Rasanya, sanggup tidak sanggup untuk melihat babak penentu juara liga tertinggi di Indonesia. Jam telah menunjukkan waktunya untuk bersiap-siap menjalani aktivitas sehari-hari di sini. Penghuni rumah sudah mulai sibuk melakukan ini itu. Menambah ketegangan saya yang masih menatap tajam layar monitor menunggu detik-detik para punggawa menendang si kulit bundar. Satu, dua, tiga, para algojo menendang dengan sukses ke arah gawang. Tensi menjadi naik dimana beban mental penendang akhir akan semakin bertambah dan semua yang menyaksikan dapat merasakannya. Namun ketegangan sedikit mereda ketika tendangan Alom berhasil ditepis I Made. Kegagalan penendang dari Persipura dalam sekejap menyulut harapan bahwa kemenangan sudah ada di genggaman tangan. Do’a tiada henti mengalir agar penendang penentu Persib, Ahmad Jufriyanto, berhasil melesakkan bola ke gawang Dede Sulaiman. Hingga akhirnya goal!!! Sujud penuh rasa syukur karena tim yang selama ini dibanggakan menuntaskan puasa juaranya.
Perasaan saya saat itu tidak karuan. Senang, sedih, bangga, semuanya menjadi satu. Di saat merayakan kemenangan, tidak ada Ibu yang biasanya ikut teriak-teriak selama pertandingan, tidak ada seseorang yang biasanya duduk berdampingan di tribun stadion. Saya benar-benar merayakannya sendiri di sini. Dengan penuh haru dan tangis kemenangan, saya menyapa hostfamily yang pada pagi itu sudah bersiap pergi bekerja. Mereka cukup panik dan bertanya-tanya ada apa dengan saya. Ketika saya menjawab bahwa tim sepakbola kebanggaan saya menjadi juara, mereka tertawa sekaligus memberi selamat. Keheranan melihat perempuan begitu antusias menjadi fans olahraga laki-laki. Tidak percaya ketika saya bercerita seberapa sering saya ke stadion semenjak Sekolah Menengah Pertama. Dengan bangganya saya memperkenalkan Persib Bandung dan Bobotohnya yang santun kepada mereka, Canadian. Bagaimana saya tetap merasa aman untuk berada di tengah lautan pendukung yang mayoritas bukan perempuan. Rasanya pagi itu saya menyuguhkan sebuah presentasi singkat mengenai Persib kepada mereka. Bukan hanya mengenai prestasi, namun juga loyalitas pendukungnya yang benar-benar saya kagumi dan saya rasakan.
Berita terkait penyerangan terhadap bobotoh menambah nilai pada sejarah yang diukir oleh Persib tahun ini. Begitu besar pengorbanan dan perjuangan yang diberikan bobotoh untuk mendukung tim kesayangannya. Rela meluangkan waktu, menguras dompet, memangkas jarak, bahkan menghadapi bahaya. Pemain dan official yang mengalami pasang surut pun patut diapresiasi perjuangannya untuk menuntaskan puasa gelar yang hampir dua dekade. Usaha, do’a, dan kepercayaan yang mampu mengantarkan Persib ke tahta juara.
Kemenangan Persib yang kita tunggu selama 19 tahun menggenapi keistimewaan tahun ini. Meskipun tidak dapat merasakan euforia juara yang begitu besar bersama bobotoh lainnya, namun di sini saya sadar bahwa kecintaan kita terhadap sesuatu tidak akan berhenti hanya karena jarak. Apalagi terhadap Persib yang telah mendarah daging bagi kebanyakan warga Jawa Barat. Perjuangan Persib masih belum selesai. Gelar juara Inter Island Cup semoga menjadi hadiah bagi saya yang akan kembali ke tanah air Januari nanti.
Salam Juara dari Camrose, Kanada.
Ditulis oleh Bobotoh yang sedang tinggal di Kanada, Dena Ambar Sary, berakun twitter @denaamsar
