Little India, Bagai Jarum di Tumpukan Jerami
Wednesday, 11 February 2015 | 20:06
Berkunjung ke sebuah daerah atau bahkan negara lain, tidak lengkap jika tidak melakukan wisata kuliner. Saya pun sadar betul akan hal itu ketika pertama kali menjejakan kaki di Ha Noi. Namun hasrat untuk mencoba seluruh makanan unik di Negeri Paman Ho itu sirna seketika ketika melihat apa saja yang dijajakan para penjual makanan tersebut. Naluri saya mengatakan bahwa semua makanan yang ada itu tidak halal untuk kami yang muslim.
Entah karena saya paranoid atau apalah namanya, saya menjadi takut untuk mencoba masakan yang ada baik itu jajanan kaki lima atau bahkan restoran mewah. Begitu juga rekan saya, terlebih dia adalah seorang vegetarian. Memang perlu diakui bahwa untuk menemukan makanan halal di Vietnam itu bagai mencari jarum di tumpukan jerami.

Selama 3 hari berada di Ha Noi, kami hanya makan menu sarapan dari hotel tempat menginap berupa mie goreng, telur dadar dan roti. Sedangkan untuk siang dan malam hari, menu restoran siap saji yang juga bisa dengan mudah dijumpai di Bandung lah yang menjadi solusi.
Bosan dengan menu makanan yang itu-itu saja, akhirnya kami mulai mencari masakan halal yang ada di Ha Noi. Setelah mencari tahu informasi lewat internet, saya dan rekan saya akhirnya melangkahkan kaki di Restoran Little India yang terletak di 32 Hang Tre Street, Hoang Kiem District. Kebetulan tempatnya tidak jauh dari tempat tinggal sementara kami selama bertugas kota berpenduduk 7,1 juta jiwa ini.

Ketika tiba di lokasi, tampak restoran ini tidak begitu berbeda dengan bangunan lainnya yang ada di kawasan Hoan Kiem. Hanya neon box bertuliskan logo halal yang membedakan toko ini dengan toko lain yang kami lihat selama di Vietnam. Ketika masuk ke dalam, sambutan hangat langsung terdengar dari sang pelayan. “Selamat datang, dari Malaysia?” ungkapnya. Mungkin mereka sudah familiar dengan wajah-wajah konsumen Melayu yang kerap berkunjung ke sana. Kami yang cukup surprise dengan sambutan tersebut hanya membalas, “Bukan, kami dari Indonesia.”
Makanan India memang menjadi andalan di restoran Little India. Dalam deskripsi yang saya baca di buku menu, restoran ini terfokus pada masakan India bagian utara dengan menonjolkan cita rasa pedas. Meski begitu, variasi sajian dari Malaysia dan China tetap disediakan di restoran ini. Selain itu Little India murni menyajikan masakan yang halal dan hal itu jarang dijumpai di sentero Vietnam. Mereka juga menjamin kebersihan bahan-bahan yang digunakan. Termasuk bumbu, rempah, sayuran dan buah-buahan yang sesuai dengan syariat Islam.

Kami pun langsung yakin bahwa ini adalah tempat yang tepat untuk mengusir kebosanan akan asupan gizi yang itu-itu saja. Namun setelah melihat list makanan yang ada, saya dan kawan justru teringat akan makanan Indonesia yaitu nasi goreng. Rindu akan rumah memang membuat kami mengesampingkan keinginan mencoba nuansa baru dalam urusan makan.
Dan ketika pesanan kami datang, kesan puas dengan rasa nasi goreng itu pun terpancar dari wajah kami. Dengan porsi yang cukup besar, kami makan dengan lahap. Hampir tidak ada yang berbeda dengan nasi goreng yang kerap dijumpai di tanah air, hanya beras yang digunakan adalah beras khas kawasan timur tengah yang bentuknya agak panjang.
Puas dengan nasi goreng, kami ingin mencoba makanan India. Kami pun memesan makanan yang asing ditelinga yaitu Chilli Potato Bhaji. Penasaran dengan bagaimana wujud panganan tersebut, pesanan pun datang berupa 4 cabai hijau utuh dengan isian kentang rebus dan digoreng dalam balutan tepun panir. Mungkin kita lebih mengenalnya dengan kroket dengan tambahan cabai hijau. Hasilnya, cukup terasa asing di lidah.

Untuk urusan harga, perlu diakui bahwa untuk seporsi makanan disini lebih mahal dari restoran lain di Ha Noi atau bahkan makanan siap saji yang kerap kami kunjungi sebelumnya. Untuk seporsi nasi goreng ayam, saya harus merogoh kocek sebesar 75 ribu Dong (Rp 32.500).
Ya, Little India memang bisa menjadi pahlawan bagi orang-orang seperti kami. Kami juga mengambil pelajaran agar lain kali harus lebih matang dalam menyiapkan perbekalan sebelum pergi ke tempat asing. Seperti yang dilakukan penjaga gawang Persib, Deden Natshir yang membawa gepuk khas Bandung untuk menjadi lauk dalam makan malamnya.

Berkunjung ke sebuah daerah atau bahkan negara lain, tidak lengkap jika tidak melakukan wisata kuliner. Saya pun sadar betul akan hal itu ketika pertama kali menjejakan kaki di Ha Noi. Namun hasrat untuk mencoba seluruh makanan unik di Negeri Paman Ho itu sirna seketika ketika melihat apa saja yang dijajakan para penjual makanan tersebut. Naluri saya mengatakan bahwa semua makanan yang ada itu tidak halal untuk kami yang muslim.
Entah karena saya paranoid atau apalah namanya, saya menjadi takut untuk mencoba masakan yang ada baik itu jajanan kaki lima atau bahkan restoran mewah. Begitu juga rekan saya, terlebih dia adalah seorang vegetarian. Memang perlu diakui bahwa untuk menemukan makanan halal di Vietnam itu bagai mencari jarum di tumpukan jerami.
Selama 3 hari berada di Ha Noi, kami hanya makan menu sarapan dari hotel tempat menginap berupa mie goreng, telur dadar dan roti. Sedangkan untuk siang dan malam hari, menu restoran siap saji yang juga bisa dengan mudah dijumpai di Bandung lah yang menjadi solusi.
Bosan dengan menu makanan yang itu-itu saja, akhirnya kami mulai mencari masakan halal yang ada di Ha Noi. Setelah mencari tahu informasi lewat internet, saya dan rekan saya akhirnya melangkahkan kaki di Restoran Little India yang terletak di 32 Hang Tre Street, Hoang Kiem District. Kebetulan tempatnya tidak jauh dari tempat tinggal sementara kami selama bertugas kota berpenduduk 7,1 juta jiwa ini.
Ketika tiba di lokasi, tampak restoran ini tidak begitu berbeda dengan bangunan lainnya yang ada di kawasan Hoan Kiem. Hanya neon box bertuliskan logo halal yang membedakan toko ini dengan toko lain yang kami lihat selama di Vietnam. Ketika masuk ke dalam, sambutan hangat langsung terdengar dari sang pelayan. “Selamat datang, dari Malaysia?” ungkapnya. Mungkin mereka sudah familiar dengan wajah-wajah konsumen Melayu yang kerap berkunjung ke sana. Kami yang cukup surprise dengan sambutan tersebut hanya membalas, “Bukan, kami dari Indonesia.”
Makanan India memang menjadi andalan di restoran Little India. Dalam deskripsi yang saya baca di buku menu, restoran ini terfokus pada masakan India bagian utara dengan menonjolkan cita rasa pedas. Meski begitu, variasi sajian dari Malaysia dan China tetap disediakan di restoran ini. Selain itu Little India murni menyajikan masakan yang halal dan hal itu jarang dijumpai di sentero Vietnam. Mereka juga menjamin kebersihan bahan-bahan yang digunakan. Termasuk bumbu, rempah, sayuran dan buah-buahan yang sesuai dengan syariat Islam.
Kami pun langsung yakin bahwa ini adalah tempat yang tepat untuk mengusir kebosanan akan asupan gizi yang itu-itu saja. Namun setelah melihat list makanan yang ada, saya dan kawan justru teringat akan makanan Indonesia yaitu nasi goreng. Rindu akan rumah memang membuat kami mengesampingkan keinginan mencoba nuansa baru dalam urusan makan.
Dan ketika pesanan kami datang, kesan puas dengan rasa nasi goreng itu pun terpancar dari wajah kami. Dengan porsi yang cukup besar, kami makan dengan lahap. Hampir tidak ada yang berbeda dengan nasi goreng yang kerap dijumpai di tanah air, hanya beras yang digunakan adalah beras khas kawasan timur tengah yang bentuknya agak panjang.
Puas dengan nasi goreng, kami ingin mencoba makanan India. Kami pun memesan makanan yang asing ditelinga yaitu Chilli Potato Bhaji. Penasaran dengan bagaimana wujud panganan tersebut, pesanan pun datang berupa 4 cabai hijau utuh dengan isian kentang rebus dan digoreng dalam balutan tepun panir. Mungkin kita lebih mengenalnya dengan kroket dengan tambahan cabai hijau. Hasilnya, cukup terasa asing di lidah.
Untuk urusan harga, perlu diakui bahwa untuk seporsi makanan disini lebih mahal dari restoran lain di Ha Noi atau bahkan makanan siap saji yang kerap kami kunjungi sebelumnya. Untuk seporsi nasi goreng ayam, saya harus merogoh kocek sebesar 75 ribu Dong (Rp 32.500).
Ya, Little India memang bisa menjadi pahlawan bagi orang-orang seperti kami. Kami juga mengambil pelajaran agar lain kali harus lebih matang dalam menyiapkan perbekalan sebelum pergi ke tempat asing. Seperti yang dilakukan penjaga gawang Persib, Deden Natshir yang membawa gepuk khas Bandung untuk menjadi lauk dalam makan malamnya.

Kalo dibilang banyak yang haram ya iya sih di Hanoi atau Vietnam pada umumnya,tapi kata menurut pengalaman sih 60% makanan Vietnam bebas bahan haram jeung ngareunah deui.Rada lebar teu nyobian makanan Vietnam Kang
bisa jadi 60% secara bahan bebas haram, tapi lamun nu meuncit hayam misalna org non-muslim..maka eta hayam jadi haram dituang, sabab secara syar’i teu syah…mudah2an tiasa janten pencerahan