Kultur Sepakbola Indonesia?
Sunday, 01 August 2010 | 10:12Penulis: Rima Intan
Berhari-hari saya dibingungkan dengan kata “kultur sepakbola Indonesia” kultur setau saya sinonim dari budaya, kebudayaan, pembudidayaan. Budaya berasal dari dua kata budi dan daya yang artinya kurang lebih hasil dari olah rasa dan akal budi dan daya manusia. Lalu pertanyaannya apa yang dimaksud dengan kultur/budaya sepakbola? Jika budaya itu sebuah budaya buruk apakah masih layak di sebut “budaya”?
Beberapa Negara memang sangat terkenal dengan trend sepakbola Negara masing-masing, Inggris dengan “kick and rush” yang sekarang mulai di tinggalkan, Belanda dengan “total voetbal”, Italy dengan “catenaccio”, Brazil dengan “samba”. Lalu pertanyaannya apakah trend tersebut yang saya tuliskan diatas yang disebut kultur sepakbola?
Menurut saya sepakbola Indonesia itu tanpa Identitas, sebab kita pun tidak tahu trend seperti apa yang kita kembangkan? Sepakbola Indonesia berkembang di era sepakbola terbuka, Negara-negara yang saya sebutkan diatas juga sudah meninggalkan trend tersebut dan lebih memilih bermaen terbuka meskipun sebagian ada yang memilih bermain pragmatis. Kita bisa lihat sepanjang pertandingan di piala dunia Afsel kemarin. Negara mana yang masih memegang pakem tersebut?
Para kritikus sepakbola pernah mengkritisi tentang minimnya jumlah gol yang yang tercipta di Afsel 2010, seolah semua kontestan bermain hati-hati dan tidak mau bermain terbuka. Meskipun setelah memasuki fase “knock out” para kontestan lebih berani bermain terbuka.
Begitupun ketika EURO 2004, kritikus banyak mengkritisi tentang kualitas pertandingan. “Ini era sepakbola industry” begitu salah satu ucapan kolumnis di Guardian, bagaimana penonton tertarik untuk menyaksikan atau datang langsung ke stadion jika kita disuguhi pertandingan monoton dan tertutup seperti ini? Ada juga yang lebih sinis, “dipertandingan tadi (Purtugal vs Yunani/ pertandingan pembukaan EURO 2004) saya dan rekan-rekan jurnalis yang lain tertidur, pertandingan yang buruk, tidak ada yang bisa saya nikmati selain menikmati kantuk” begitu kutipan kolumnis yang lain.
Mourinho pernah ngomong “sejarah hanya akan mencatat tim pemenang/juara, bukan tim yang bermain indah/bagus”. Ucapan Mourinho menuai banyak kecaman “Dia (Mourinho)tidak cocok terjun di industry sepakbola, dia membawa trend yang buruk. Apa yang mau dijual jika semua tim memainkan sepakbola seperti itu?” itu salah satu ucapan kritikus yang saya ingat.
Sepakbola bukan olahraga mesin, seperti Formula atau motoGP. Sepakbola sangat butuh keseimbangan, namun ternyata sekalipun motoGP olahraga mesin, Casey Stoner pernah mengeluh dengan motor Ducatinya.
”Motor ini memang bertenaga besar, saking besarnya sampai saya sulit untuk mengendalikannya” kalimat itu membuat saya berpikir jika olahraga mesin saja membutuhkan keseimbangan, apalagi dengan sepakbola yang dimainkan 11 orang manusia yang tanpa sedikitpun menggunakan intsrumen mesin.
Saya jadi berpikir kalo seandainya saya bekerja sebagai dosen di Negara orang dan yang mengikuti kuliah saya adalah mahasiswa dari semua penjuru dunia. Apakah saya harus mengetahui kultur semua mahasiswa saya satu per satu? Tulisan ini wujud dari kebingungan saya dalam memahami kalimat “kultur sepakbola Indonesia”, mungkin dulur bobotoh yang baca artikel ini ada yang tahu lebih dalam mengenai “kultur sepakbola Indonesia” seperti apa. Saya mohon pencerahan atas ketidaktahuan saya.
Viva PERSIB!!
Pendapat yang dinyatakan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan pendapat pribadi penulis, dan tidak mencerminkan pendapat redaksi Simamaung.

Penulis: Rima Intan
Berhari-hari saya dibingungkan dengan kata “kultur sepakbola Indonesia” kultur setau saya sinonim dari budaya, kebudayaan, pembudidayaan. Budaya berasal dari dua kata budi dan daya yang artinya kurang lebih hasil dari olah rasa dan akal budi dan daya manusia. Lalu pertanyaannya apa yang dimaksud dengan kultur/budaya sepakbola? Jika budaya itu sebuah budaya buruk apakah masih layak di sebut “budaya”?
Beberapa Negara memang sangat terkenal dengan trend sepakbola Negara masing-masing, Inggris dengan “kick and rush” yang sekarang mulai di tinggalkan, Belanda dengan “total voetbal”, Italy dengan “catenaccio”, Brazil dengan “samba”. Lalu pertanyaannya apakah trend tersebut yang saya tuliskan diatas yang disebut kultur sepakbola?
Menurut saya sepakbola Indonesia itu tanpa Identitas, sebab kita pun tidak tahu trend seperti apa yang kita kembangkan? Sepakbola Indonesia berkembang di era sepakbola terbuka, Negara-negara yang saya sebutkan diatas juga sudah meninggalkan trend tersebut dan lebih memilih bermaen terbuka meskipun sebagian ada yang memilih bermain pragmatis. Kita bisa lihat sepanjang pertandingan di piala dunia Afsel kemarin. Negara mana yang masih memegang pakem tersebut?
Para kritikus sepakbola pernah mengkritisi tentang minimnya jumlah gol yang yang tercipta di Afsel 2010, seolah semua kontestan bermain hati-hati dan tidak mau bermain terbuka. Meskipun setelah memasuki fase “knock out” para kontestan lebih berani bermain terbuka.
Begitupun ketika EURO 2004, kritikus banyak mengkritisi tentang kualitas pertandingan. “Ini era sepakbola industry” begitu salah satu ucapan kolumnis di Guardian, bagaimana penonton tertarik untuk menyaksikan atau datang langsung ke stadion jika kita disuguhi pertandingan monoton dan tertutup seperti ini? Ada juga yang lebih sinis, “dipertandingan tadi (Purtugal vs Yunani/ pertandingan pembukaan EURO 2004) saya dan rekan-rekan jurnalis yang lain tertidur, pertandingan yang buruk, tidak ada yang bisa saya nikmati selain menikmati kantuk” begitu kutipan kolumnis yang lain.
Mourinho pernah ngomong “sejarah hanya akan mencatat tim pemenang/juara, bukan tim yang bermain indah/bagus”. Ucapan Mourinho menuai banyak kecaman “Dia (Mourinho)tidak cocok terjun di industry sepakbola, dia membawa trend yang buruk. Apa yang mau dijual jika semua tim memainkan sepakbola seperti itu?” itu salah satu ucapan kritikus yang saya ingat.
Sepakbola bukan olahraga mesin, seperti Formula atau motoGP. Sepakbola sangat butuh keseimbangan, namun ternyata sekalipun motoGP olahraga mesin, Casey Stoner pernah mengeluh dengan motor Ducatinya.
”Motor ini memang bertenaga besar, saking besarnya sampai saya sulit untuk mengendalikannya” kalimat itu membuat saya berpikir jika olahraga mesin saja membutuhkan keseimbangan, apalagi dengan sepakbola yang dimainkan 11 orang manusia yang tanpa sedikitpun menggunakan intsrumen mesin.
Saya jadi berpikir kalo seandainya saya bekerja sebagai dosen di Negara orang dan yang mengikuti kuliah saya adalah mahasiswa dari semua penjuru dunia. Apakah saya harus mengetahui kultur semua mahasiswa saya satu per satu? Tulisan ini wujud dari kebingungan saya dalam memahami kalimat “kultur sepakbola Indonesia”, mungkin dulur bobotoh yang baca artikel ini ada yang tahu lebih dalam mengenai “kultur sepakbola Indonesia” seperti apa. Saya mohon pencerahan atas ketidaktahuan saya.
Viva PERSIB!!
Pendapat yang dinyatakan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan pendapat pribadi penulis, dan tidak mencerminkan pendapat redaksi Simamaung.
