Stadion Senayan Jakarta, 11 Maret 1986, Robby Darwis berhasil menggagalkan serangan Perseman Manokwari di lini belakang. Bola gagal dikontrol Mathias Woof dan melaju ke area pertahanan Persib Bandung di menit 77. Si kulit bundar sejenak dikuasai sang kapten, Adeng Hudaya. Dengan sedikit gerakan mengecoh, Adeng mengarahkan bola ke Jajang Nurjaman. Suatu visi yang luar biasa dari sang kapten, karena tidak ada seorang pun yang menyangka bola akan diarahkan ke arah sayap lincah itu. Sejarah mencatat, Jajang Nurjaman menjadi pencetak gol tunggal di partai puncak Perserikatan 1985. Persib pun meraih juara, diwarnai catatan assist dari sang kapten.
Kemenangan Persib Bandung atas Perseman Manokwari menjadi puncak kebangkitan Persib Bandung di tahun 1980-an. Penantian panjang Bobotoh selama 25 tahun terbayar tuntas. Terakhir kali, Persib menjadi juara Perserikatan adalah di tahun 1961. Selain itu, banyak sekali peristiwa yang membuat Bobotoh dan tim Persib Bandung ingin sekali melupakan ingatan-ingatan lama, terutama di pergantian tahun 1970 ke tahun 1980-an.
Di akhir tahun 1970-an, PSSI memangkas jumlah peserta level kompetisi tertinggi Kompetisi Perserikatan menjadi 5 tim. Di penentuan peringkat 5, akhirnya Persib untuk pertama kali harus gagal berlaga di level tertinggi, karena dikalahkan Persiraja Banda Aceh.
Kegagalan ini menjadi titik balik Persib Bandung yang akhirnya bisa membentuk Generasi Emasnya sendiri. Para pemain muda ditempa dan mendapat didikan keras ala pelatih asal Eropa Timur, Marek Janota. Salah satu pemain muda itu adalah pemuda asal Cikajang, Garut, Adeng Hudaya.
Beberapa tahun sebelumnya, Adeng remaja datang ke Bandung untuk melanjutkan sekolah, sekaligus menyalurkan hobinya bersepakbola. Di lapangan hijau, Adeng bergabung dengan klub legendaris Kota Bandung, Uitspanning Na Inspanning atau yang lebih dikenal dengan nama UNI.
Adeng Hudaya datang dari kota kecil di dataran tinggi Garut sebelah selatan, Cikajang. Kota ini merupakan kota dengan suhu yang sangat dingin, karena berada di ketinggian sekitar 1200 meter di atas permukaan air laut. Di luar keistimewaan letak geografisnya, Kota Cikajang menyimpan sejarah panjang tentang sepakbola di Priangan.
Tanah Garut yang subur memang menjadi incaran orang Eropa untuk berusaha di sana. Pasca penerapan UU Agraria 1870, bisnis perkebunan sampai pariwisata dibuat di sana. Kecantikan dan kesejukan alam Garut mengundang decak kagum orang barat yang mengunjunginya. Mereka menyebut Garut dengan julukan Swiss dari Jawa.
Di dataran tinggi Cikajang, orang-orang Eropa mendirikan banyak perusahaan teh. Salah satu pengusaha teh yang terkenal adalah K.F. Holle, seorang Belanda yang mendirikan Kweekschool, sekolah guru yang bangunannya kini dipakai kantor Polrestabes Kota Bandung. Pengusaha teh yang juga aktif mempelajari Kebudayaan Sunda ini memiliki perusahaan teh di Cisaruni dan Giri Awas, di kaki Gunung Cikuray.
Perkebunan-perkebunan ini turut memberikan andil terhadap perkembangan sepakbola di sana. Afdeling-afdeling perkebunan teh mempunyai lapangan sepakbola dan juga memiliki tim sepakbolanya sendiri. Bentang alam yang bergelombang dan beroksigen tipis membantu para pemain sepakbola untuk meningkatkan stamina dan daya tahan mereka. Dikutip dari Portalbelanegara.com, Perkebunan Cisaruni misalnya, mempunyai tim sepakbola sendiri yang bernama Porcis atau Portjis. Tim perkebunan ini pernah melahirkan pemain Persib seperti Uut Kuswendi, yang menjadi pemain andalan dan membawa Porcis menjadi juara kompetisi antar perkebunan se-Jawa Barat.

Cerita tentang Cikajang memang tidak jauh bisa jauh dari sepakbola. Lapangan Ibrahim Adjie misalnya, menjadi melting pot bagi datangnya para pemain berbakat di Priangan. Para pesepakbola yang berasal dari perkebunan, desa sekitar, Kota Garut, bahkan dari luar Garut ikut merasakan atmosfir dan sihir yang ada di Cikajang. Mereka datang, berlatih, dan bertanding dengan harapan supaya bisa menjadi pemain besar seperti seorang Adeng Hudaya.
Setelah para pemain dari generasi emas Persib mulai dimainkan di awal tahun 1980-an, Adeng Hudaya diplot menjadi pemimpin, kapten tim. Generasi ini mulai menggoncang pesepakbolaan nasional setelah sempat menjadi runner up di 2 edisi Perserikatan secara berturut-turut di tahun 1983 dan 1985. Bahkan, Persib berhasil kembali masuk grand final Perserikatan untuk ketiga kalinya di tahun 1986. Di tahun ketiga inilah, Persib bisa juara setelah mengalahkan Perseman Manowari di final, lewat gol tunggal Jajang Nurjaman.
Karir sang kapten memang berakhir di Persib di musim 1993. Sebelumnya di tahun 1990, Adeng dan rekan-rekannya berhasil kembali menjadi juara Perserikatan di tahun 1990, setelah mengalahkan Persebaya di final dengan skor 2-0. Menjadi pemimpin di empat final level tertinggi amatir nasional dan dua di antaranya berhasil dimenangkan bukan merupakan prestasi yang biasa-biasa saja. Tugas ini hanya bisa diemban oleh seorang saja, Adeng Hudaya.
Bersambung
Ditulis oleh Hevi Abu Fauzan, Bobotoh Persib, penikmat sejarah Kota Bandung, berakun Twitter dan Instagram di @pahepipa.
Artikel ini merupakan bagian pertama dari tulisan bertema Sejarah dan Budaya Sepakbola di Cikajang.
Artikel Bagian 2: Kultur Sepakbola Ala Cikajang
Komentar Bobotoh