Kultur Sepakbola Ala Cikajang
Sunday, 30 January 2022 | 19:49
Banyak pemain sepakbola yang lahir dan terasah di Cikajang. Selain Adeng Hudaya, ada nama seperti Uut Kuswendi, Nyangnyang, Yaris Riyadi, Giman Nurjaman, Nova Zaenal, Zaenal Arif, Yandi Sofyan, dll. Selainmeramaikan khazanah persepakbolaan di tanah air, beberapa dari mereka merupakan punggawa Tim Nasional Indonesia di masanya.
Baca Juga: Adeng Hudaya, Kapten Juara dari Cikajang
Secara geografis, Cikajang merupakan daerah yang cukup terpencil di tengah Priangan. Kota besar yang terdekat adalah Garut yang merupakan ibukota kabupaten. Walaupun terpencil dan dikelilingi hutan, sawah, dan perkebunan teh, sepakbola dengan mudah masuk ke pedalaman Cikajang.
Di masa lalu, orang-orang Belanda membawa sepakbola ke Priangan termasuk ke Garut. Selain hanya memainkan sepakbola sebagai hiburan, mereka membentuk klub-klub sepakbola sebagai ajang kompetisi antar mereka. Dalam Koran berbahasa Belanda, Preangerbode tahun 1916, tim sepakbola Garut melakukan pertandingan eksebisi ke Bandung. Salah satu tim yang dihadapi adalah UNI, yang mengalahkan mereka dengan skor 0-7.
Pada tahun 1930, Koran de Koerier mencatat turnamen sepakbola bernama Piala Garut Cikajang . Beberapa tim seperti YTT, Siod, GSV, CVC, Olympia, dan Goentoer ambil bagian dalam turnamen ini. Turnamen yang berakhir bulan oktober ini dimenangkan oleh Siod.
Geliat sepakbola Cikajang di masa lalu menjadi cerita yang diturunkan ke generasi penerus. Menurut penuturan Zaenal Arif, para orang tua di Cikajang dahulu pernah bertanding dengan orang-orang Belanda. Ini menguatkan bahwa gairah sepakbola di Garut, khususnya di Cikajang sudah berlangsung sejak lama.
Kesuksesan banyak pemain Cikajang untuk bermain di klub sebesar Persib dan beberapa klub Indonesia membuat Cikajang terkenal sebagai penghasil pesepakbola handal. Kenyataan ini tidak lepas dari kultur sepakbola yang sudah sangat lama terbentuk di kota dengan tinggi 1200 meter di atas permukaan laut tersebut. Satu lapangan yang diyakini menjadi Kawah Candradimuka para pemain di Cikajang adalah lapangan Ibrahim Ajie.
Menurut cerita, Lapangan Sepakbola Ibrahim Ajie dibangkitkan dari tidur lamanya oleh Ibrahim Ajie di bulan Agustus tahun 1962. Pria yang saat itu menjabat sebagai Pangdam Siliwangi baru saja menuntaskan tugasnya menangkap pemimpin DI/TII Kartosuwiryo di salah satu gunung di perbatasan Kabupaten Garut dan Bandung. Saat itu, Garut dan Gunung Guntur menjadi salah satu pusat kegiatan pemberantasan dan penangkapan pemimpin DI/TII.
Dalam kisah yang dituturkan warga lokal, Lapangan Ibrahim Ajie pada awalnya menjadi tempat menyimpan kayu gelondongan. Kayu-kayu ini diminta disingkirkan oleh sang Panglima sehingga menyisakan satu lapangan luas. Lapangan ini kemudian dijadikan lapangan sepakbola, dan diberi nama sesuai dengan nama Panglima Siliwangi saat itu. Seiring perkembangan waktu, lapangan Ibrahim Ajie menjadi tempat berkumpulnya talenta-talenta sepakbola dari Cikajang, Garut, bahkan Priangan. Beberapa pemain Persib pun pernah berlaga di lapangan ini, baik sekedar menjajal kemampuan, maupun meminta tuah dari lapangan yang diyakini mempunyai kekuatan gaib oleh penduduk setempat.
Beberapa tahun terakhir, turnamen besar bernama Muspika Cup selalu digelar di Lapangan Ibrahim Ajie. Gairah, kultur, skill, sampai emosi tertumpah di turnamen ini. Turnamen ini menjadi magnet yang mampu menyedot perhatian masyarakat dan pemain-pemain bertalenta. Turnamen ini melahirkan beberapa pemain bintang, seperti Ferdinand Sinaga yang berlaga di turnamen-turnamen awal Muspika Cup.
Sayangnya, emosi berlebihan membuat turnamen ini harus vakum. Sebuah perkelahian besar di satu pertandingan membuat pemerintah dan keamanan setempat menghentikan turnemen bersangkutan. Bahkan, turnamen ini harus menerima hukuman dan harus “diliburkan” selama 5 tahun.
Jika diibaratkan api yang besar, kegiatan sepakbola di Lapangan Ibrahim Ajie Cikajang sekarang masih berupa percikan-percikan api kecil. Lapangan ini tetap tidak pernah sepi dari kegiatan sepakbola, dari sekedar hiburan, mencari keringat, sampai tempat menyemai harapan. Mereka tetap menjaga semangat dan kultur sepakbola di Cikajang. Mereka masih mempunyai keyakinan, kalau dari Cikajang ini akan lahir kembali bintang sepakbola yang baru.
Bersambung
Ditulis oleh Hevi Abu Fauzan, Bobotoh Persib, penikmat sejarah Kota Bandung, berakun Twitter dan Instagram di @pahepipa.
Artikel ini merupakan bagian kedua dari tulisan bertema Sejarah dan Budaya Sepakbola di Cikajang.
Artikel Bagian 1: Adeng Hudaya, Kapten Juara dari Cikajang

Banyak pemain sepakbola yang lahir dan terasah di Cikajang. Selain Adeng Hudaya, ada nama seperti Uut Kuswendi, Nyangnyang, Yaris Riyadi, Giman Nurjaman, Nova Zaenal, Zaenal Arif, Yandi Sofyan, dll. Selainmeramaikan khazanah persepakbolaan di tanah air, beberapa dari mereka merupakan punggawa Tim Nasional Indonesia di masanya.
Baca Juga: Adeng Hudaya, Kapten Juara dari Cikajang
Secara geografis, Cikajang merupakan daerah yang cukup terpencil di tengah Priangan. Kota besar yang terdekat adalah Garut yang merupakan ibukota kabupaten. Walaupun terpencil dan dikelilingi hutan, sawah, dan perkebunan teh, sepakbola dengan mudah masuk ke pedalaman Cikajang.
Di masa lalu, orang-orang Belanda membawa sepakbola ke Priangan termasuk ke Garut. Selain hanya memainkan sepakbola sebagai hiburan, mereka membentuk klub-klub sepakbola sebagai ajang kompetisi antar mereka. Dalam Koran berbahasa Belanda, Preangerbode tahun 1916, tim sepakbola Garut melakukan pertandingan eksebisi ke Bandung. Salah satu tim yang dihadapi adalah UNI, yang mengalahkan mereka dengan skor 0-7.
Pada tahun 1930, Koran de Koerier mencatat turnamen sepakbola bernama Piala Garut Cikajang . Beberapa tim seperti YTT, Siod, GSV, CVC, Olympia, dan Goentoer ambil bagian dalam turnamen ini. Turnamen yang berakhir bulan oktober ini dimenangkan oleh Siod.
Geliat sepakbola Cikajang di masa lalu menjadi cerita yang diturunkan ke generasi penerus. Menurut penuturan Zaenal Arif, para orang tua di Cikajang dahulu pernah bertanding dengan orang-orang Belanda. Ini menguatkan bahwa gairah sepakbola di Garut, khususnya di Cikajang sudah berlangsung sejak lama.
Kesuksesan banyak pemain Cikajang untuk bermain di klub sebesar Persib dan beberapa klub Indonesia membuat Cikajang terkenal sebagai penghasil pesepakbola handal. Kenyataan ini tidak lepas dari kultur sepakbola yang sudah sangat lama terbentuk di kota dengan tinggi 1200 meter di atas permukaan laut tersebut. Satu lapangan yang diyakini menjadi Kawah Candradimuka para pemain di Cikajang adalah lapangan Ibrahim Ajie.
Menurut cerita, Lapangan Sepakbola Ibrahim Ajie dibangkitkan dari tidur lamanya oleh Ibrahim Ajie di bulan Agustus tahun 1962. Pria yang saat itu menjabat sebagai Pangdam Siliwangi baru saja menuntaskan tugasnya menangkap pemimpin DI/TII Kartosuwiryo di salah satu gunung di perbatasan Kabupaten Garut dan Bandung. Saat itu, Garut dan Gunung Guntur menjadi salah satu pusat kegiatan pemberantasan dan penangkapan pemimpin DI/TII.
Dalam kisah yang dituturkan warga lokal, Lapangan Ibrahim Ajie pada awalnya menjadi tempat menyimpan kayu gelondongan. Kayu-kayu ini diminta disingkirkan oleh sang Panglima sehingga menyisakan satu lapangan luas. Lapangan ini kemudian dijadikan lapangan sepakbola, dan diberi nama sesuai dengan nama Panglima Siliwangi saat itu. Seiring perkembangan waktu, lapangan Ibrahim Ajie menjadi tempat berkumpulnya talenta-talenta sepakbola dari Cikajang, Garut, bahkan Priangan. Beberapa pemain Persib pun pernah berlaga di lapangan ini, baik sekedar menjajal kemampuan, maupun meminta tuah dari lapangan yang diyakini mempunyai kekuatan gaib oleh penduduk setempat.
Beberapa tahun terakhir, turnamen besar bernama Muspika Cup selalu digelar di Lapangan Ibrahim Ajie. Gairah, kultur, skill, sampai emosi tertumpah di turnamen ini. Turnamen ini menjadi magnet yang mampu menyedot perhatian masyarakat dan pemain-pemain bertalenta. Turnamen ini melahirkan beberapa pemain bintang, seperti Ferdinand Sinaga yang berlaga di turnamen-turnamen awal Muspika Cup.
Sayangnya, emosi berlebihan membuat turnamen ini harus vakum. Sebuah perkelahian besar di satu pertandingan membuat pemerintah dan keamanan setempat menghentikan turnemen bersangkutan. Bahkan, turnamen ini harus menerima hukuman dan harus “diliburkan” selama 5 tahun.
Jika diibaratkan api yang besar, kegiatan sepakbola di Lapangan Ibrahim Ajie Cikajang sekarang masih berupa percikan-percikan api kecil. Lapangan ini tetap tidak pernah sepi dari kegiatan sepakbola, dari sekedar hiburan, mencari keringat, sampai tempat menyemai harapan. Mereka tetap menjaga semangat dan kultur sepakbola di Cikajang. Mereka masih mempunyai keyakinan, kalau dari Cikajang ini akan lahir kembali bintang sepakbola yang baru.
Bersambung
Ditulis oleh Hevi Abu Fauzan, Bobotoh Persib, penikmat sejarah Kota Bandung, berakun Twitter dan Instagram di @pahepipa.
Artikel ini merupakan bagian kedua dari tulisan bertema Sejarah dan Budaya Sepakbola di Cikajang.
Artikel Bagian 1: Adeng Hudaya, Kapten Juara dari Cikajang
