

Suwita Patha, Bandung, 2021
Tidak pernah muncul di pikiran untuk menjadi kapten kesebelasan Persib Bandung dalam karir sepakbola Suwita Pata. Namun jalan takdir mengharuskannya mengemban tugas sebagai komandan perang pasukan Maung Bandung di musim 2007 dan 2008. Bahkan hampir saja ia mampu mengikuti jejak Robby Darwis sebagai kapten yang mengangkat trofi kompetisi kasta tertinggi Indonesia.
Jalan terjal harus dilalui jebolan SSB FPOK UPI itu untuk bisa menjadi bagian penting Persib. Lama berkutat bersama PS Setia di kompetisi intern Persib, dia baru dipromosikan masuk ke tim yang tampil di Liga Indonesia 1999/2000, di saat usianya sudah menginjak 25 tahun. Kiprahnya pun tidak cemerlang hingga ‘terbuang’ dari tim di musim 2002/2003 dan membela PSS Sleman.
Pulang ke Bandung di musim 2004/2005, pria kelahiran 25 Maret 1974 itu harus merantau lagi di Liga Indonesia 2006 untuk membela PSIS Semarang. Di tahun ini nama Suwita mencuat lantaran mampu membawa Mahesa Jenar ke final. Sayang dia gagal mempersembahkan trofi usai dibekuk Persik Kediri dengan skor 1-0 lewat gol Cristian Gonzales di perpanjangan waktu.
Dengan pengalaman bermain yang sudah terkumpul dan usia yang dianggap sudah matang, Wita –sapaan akrab Suwita- akhirnya balik kandang. Dia diminta oleh manajemen untuk menjadi pemimpin dari tim besutan Arcan Iurie. Tanpa pikir panjang, tawaran Persib disambutnya dengan antusias.
“Waktu itu dipanggil ke Persib tahun 2007, kebetulan waktu itu Pak Yossi (Irianto) manajernya. Akhirnya dipanggil lagi dan dengan senang hati lah. Saya merespon siap untuk gabung lagi, meski akhirnya keluar masuk tapi kan itu iklim sepakbola,” terang Wita ketika diwawancara Simamaung.
Ini berarti jadi kesempatan ketiga dia datang menjadi pemain Persib. Namun berbeda dengan sebelumnya, perannya lebih besar karena dipercaya mengenakan ban kapten di lengannya. Menurutnya penunjukan tersebut cukup mengejutkan, karena dalam sejarahnya, kapten tim Persib merupakan sosok karismatik seperti Adeng Hudaya, Robby Darwis, Budiman hingga Dadang Hidayat.
Semula kapten tim di musim 2007 adalah Patricio ‘Pato’ Jimenez. Namun sesaat jelang liga dimulai ada pergeseran tampuk komando ke Suwita. Campur aduk perasaan pemain yang memiliki posisi bermain sebagai gelandang bertahan itu. Meski ada beban yang dipikul, Suwita akhirnya dengan gagah menerima kepercayaan itu sebagai tantangan.
“Tapi ga tahu seiring berjalannya waktu tiba-tiba dari pelatih atau pengurus, Wita yang jadi kapten. Satu sisi ada kebanggaan, satu ini ya berat. Beratnya itu kenapa, karena sekelas di Persib. Ga tahu alasannya apa tapi dicoba lah, kalau dari Wita pribadi juga ya dicoba saja dulu karena ini sebagai hadiah, bisa ga Wita mengemban tugas itu,” ujarnya.
“Awalnya sih Jimenez, ga tahu kenapa, terkendala bahasa mungkin. Dan yang keduanya mungkin mengayomi sesama pemain. Jadi di antara pemain yang ada bisa menjembatani antara pelatih, pengurus dan pemain, mungkin Wita masuk sebagai kriteria di situ. Akhirnya ditunjuk dan dijalani lah sampai selesai musim, tidak ada masalah. Ada kebanggaan tersendiri bisa menyematkan ban kapten, aduh tidak bermimpi, tapi mungkin itu lah perjalanan di sepakbola,” lanjutnya.

Suwita Patha, Bandung, 2021
Uniknya, karakter Wita terbilang cukup kalem. Sedangkan kondisi tim saat ini dihuni oleh pemain-pemain top untuk level nasional. Ada Tema Mursadat, Nova Arianto, ‘rising star’ Eka Ramdani dan Zaenal Arif. Pemain asingnya pun tak main-main karena ada Cristian Bekamenga yang merupakan striker tim nasional Kamerun U-23. Lalu Lorenzo Cabanas, Patricio Jimenez, Redouane Barkaoui dan Nyeck Nyobe. Bahkan tersemat status dream team untuk skuad Persib musim 2007. Wita pun coba menjelaskan cara dia dalam memimpin tim ini.
“Yang dulu dialami (menjadi kapten) itu sebetulnya Wita hanya mendengarkan. Mendengarkan pemain baik itu asing maupun lokal. Misalnya dia menyampaikan unek-unek itu ke kapten dan kapten itu yang bertugas menyampaikan ke pelatih atau pengurus. Wita sendiri mungkin karena senang ngobrol, senang ngumpul-ngumpul jadi mungkin di situ basic-nya,” tuturnya.
Dia rajin mendengar keluhan dan curahan hati pemain, dan jika perlu dia menyampaikan itu pada pelatih atau manajemen. “Kalau asing kan itu terkendala bahasa, dia untuk penyampaian untuk ke yang lainnya (sulit). Dan yang keduanya itu kultur, Persib mungkin identik dengan pemain lokal. Mungkin dari yang senior-senior juga sama, jadi biar mempermudah komunikasi antara pengurus sama pemain,” kata dia.
Dalam perjalanannya, terutama hingga era 2000-an, memang kapten Persib biasanya merupakan sosok pribumi asli Sunda. Pernah ada beberapa pemain dari luar seperti Charis Yulianto maupun Antonio Claudio yang memegang ban kapten tapi mereka gagal membawa tim menunjukkan taringnya. Wita menyebut bahwa memang ada beberapa hal yang jadi keuntungan jika seorang kapten Persib adalah pituin. Seperti cara menjalin interaksi dengan manajemen atau Bobotoh.
“Nah kalau orang lokal itu kan komunikasi dengan pengurusnya lebih enak, tidak ribet, apa misalnya permasalahannya dan kita sampaikan, bisa dimusyawarahkan. Itu mungkin kenapa harus lokal, karena yang lokal itu lebih tahu tim Persib seperti apa. Kalau orang luar kan engga tahu iklim (sepakbola) di Bandung seperti apa, hubungan dengan Bobotoh seperti apa. Kalau lokal kan dengan Bobotoh dekat, dengan siapapun harus welcome, yang Wita rasakan seperti itu,” jelasnya.
Performa Maung Bandung di musim 2007 pun menjanjikan di awal. Di bawah kepemimpinan pria berusia 46 tahun itu, Persib garang di wilayah barat dan memuncaki klasemen putaran pertama. Namun di paruh musim, keputusan kontroversial Arcan Iurie meminjamkan Nyeck Nyobe dan merekrut Leontin ‘Leo’ Chitescu menjadi blunder. Sebagai kapten, Wita sudah berupaya untuk membuat kondisi tim tetap stabil.
“Sempat waktu itu Pak Yossi bilang ‘Wit, gimana ini timnya’ dan saya bilang waktu itu itu kurang setuju dan saya sudah bilang ke coach Arcan juga ‘Coach kenapa ada perubahan?’ tapi kan tetap keputusan itu ada di head coach. Termasuk ke Pak Yossi juga Wita bilang seperti itu ‘Pak, bapak aja yang langsung ngobrol sama coach Arcan kenapa ada pergantian pemain itu’ tapi saya tidak tahu hasil obrolannya seperti apa,” ujarnya.
“Termasuk yang paling dilihat itu performa Bekamenga. Dia juga awalnya grafiknya naik tapi tiba-tiba (melempem). Mungkin karena mereka (Bekamenga dan Nyeck) kan satu kamar, satu negara dan satu bahasa, karena dia kan pertama ke Indonesia itu ke Persib. Jadi ga ada teman curhat dan teman ngobrol. Ditambah waktu itu Bekamenga sering membela tim nasional U-23 Kamerun, sering izin pas bentrok sama liga dan itu pengaruh. Jadi efek itu berpengaruh juga ke tim secara keseluruhan,” imbuhnya.
Saat itu Persib menjadi kandidat kuat kampiun liga 2007 jika menilik performa di putaran pertama. Wita pun mengakui bahwa kans dia mengangkat trofi mengikuti jejak Robby Darwis yang terakhir mengangkat piala Liga Indonesia 1994/1995 sangat besar. Acuannya adalah tim bisa menang di laga tandang, padahal bisanya untuk membawa satu poin pun sulit. Kegagalan pun diakuinya menjadi penyesalan terbesar dalam karir sepakbolanya.
“Oh sangat, sangat disesali. Karena menurut Wita tim itu sudah solid, kompak baik dari pelatih, pemain dan manajemen. Padahal kan ada berbagai sifat dan karakter, nah itu yang disesali. Padahal kita putaran pertama itu bertengger di posisi kesatu. Tapi ya mungkin itu lah, perubahan yang sedikit tapi jadi sebab dan masalah, di putaran kedua akhirnya menurun seperti dari tingkat kepercayaan (diri). Seperti merasa ‘Duh euweuh si ieu euy, euweuh si Nyeck euy jadi leungit di tukangna’ dan dilihat dari putaran kedua itu berdampak,” jelasnya.
Gagal di musim 2007, pemilik nomor punggung 19 ini masih menjadi kapten kesebelan untuk musim 2008. Namun ada pergantian pelatih dari Arcan Iurie ke tangan Jaya Hartono. Gerbong pemain dari Deltras pun dibawa Jaya dan satu diantaranya adalah Hariono. Siapa sangka, ternyata posisi inti di pos gelandang bertahan akhirnya bergeser menjadi milik pria asal Klagen tersebut.

Hariono berlatih bersama tim Persib, 2016
Baginya persaingan di tim merupakan hal yang lumrah karena yang terpenting tim bisa mendapat hasil terbaik. Dengan usianya yang semakin uzur dan Hariono datang dengan tenaga yang prima, ia lalu dengan lapang dada mempersilakan ‘the destroyer’ untuk mengisi tempatnya di tim inti. Dan sejak musim 2009 Suwita akhirnya menuntaskan kiprahnya bersama Maung Bandung.
“Kalau Hariono itu masih segar-segarnya, masih fresh, ya ga apa-apa karena di satu posisi itu pasti ada pergeseran. Di situ awalnya sempat merasa ‘jangan sampai nih, harus pertahankan pemain inti’ karena ada kebanggaan lah jadi pemain inti. Tetapi berjalannya waktu ada perubahan, Wita harus nerima lah karena di situ ada pelatih kepala, mungkin ada pemikiran lain, solusi lain dan ada pergeseran,” tutup pria yang kini aktif melatih anak-anak di SSB Persada dan menjadi pengurus SSB Setia tersebut.
Ditulis oleh Mohamad Anki Syaban, jurnalis Simamaung, berakun Twitter @Ankisyaban dan Instagram @anki_syaban.
Komentar Bobotoh