
Robert Rene Alberts kini dikenal sebagai pelatih kawakan yang punya rekam jejak gemilang di kompetisi Indonesia. Reputasinya juga terbilang mumpuni di kawasan Asia karena pernah menerima pekerjaan di Malaysia, Thailand dan Korea Selatan. Tapi karir sepakbolanya ternyata sudah dibangun sejak tahun 1966.
Dirinya mengawali kisah di dunia sepakbola sejak 1966, ketika mengais asa menjadi pemain profesional. Latar belakang daerah tempat tinggalnya di Amsterdam, Belanda yang sangat menggilai sepakbola yang membuatnya tertarik. Mimpi untuk menjadi pemain Ajax Amsterdam pun ditanamkan sejak kecil.
“Saat saya masih muda, kita bicara era 1960-an, Ajax tentunya di Belanda sudah menjadi klub dengan reputasi besar. Tapi di Amsterdam itu sendiri, ada beberapa klub saat itu dan beberapa adalah klub profesional,” ujar Robert mengawali cerita tentang awal karir sepakbolanya.
“Ada Blauw-Wit, DWS dan De Volewijckers, setelah itu Blauw-wit dan DWS bergabung menjadi FC Amsterdam meski tidak bertahan lama. De Volewijckers juga berhenti menjadi klub profesional. Jadi mimpi besar setiap anak muda ialah bermain untuk Ajax dan bermain di stadion bernama De Meer yang letaknya di sebelah Timur Amsterdam,” jelasnya.
Robert kecil pun tidak mau kalah bersaing dengan anak-anak di usianya. Dirinya mengikuti seleksi terbuka untuk membela skuat junior Ajax usia 12 tahun. Setiap akhir pekan dia tidak ingin melewatkan kesempatan untuk terus melaju ke fase seleksi yang berikutnya dengan mencoba menarik perhatian para talent scout.
“Saat saya berumur 12 tahun, saya lahir tahun 1954, jadi yang kami bicarakan ini adalah apa yang terjadi di tahun 1966, saya masuk dari ajang seleksi terbuka yang dilakukan di Ajax. Jadi setiap anak muda yang mempunyai bakat datang dan bermain di depan banyak orang,” jelasnya.
“Lalu orang-orang memandu bakat mereka dan ada juga pemain dari tim utama Ajax atau mantan pemain yang datang. Kami memainkan small sided games. Jadi pemain yang berpotensi, dicatat namanya, dan ketika hari pertama seleksi selesai, mereka yang terpilih diminta untuk datang lagi pada akhir pekan berikutnya,” jelas Robert.
Perjuangannya berbuah hasil, Robert mampu menyingkirkan hingga lima ribu anak seumurannya untuk masuk ke tim Ajax Amsterdam. Hanya saja waktu itu ia bercerita bahwa akademi sepakbola Ajax belum seperti sekarang. Saat itu proses pembinaan masih seperti pelatihan biasa namun dengan tenaga pelatih yang berkualitas.
“Usai melalui proses beberapa akhir pekan, saya lolos setelah menyingkirkan sekitar 5 ribu pemain dan masuk tim junior Ajax untuk kelompok usia 12 hingga 14. Dari sana saya memulai karir. Jadi bisa dibilang ini bukan akademi yang sesungguhnya, tetapi lebih mirip modul latihan biasa,” jelasnya.
“Meski setiap pelatih yang bekerja di tim junior Ajax memiliki kualifikasi tinggi dalam bidangnya. Jadi itu yang membedakan Ajax dengan klub-klub lain, di sana ada banyak pelatih berkelas dunia,” kenang Robert.
Komentar Bobotoh