
Muhammad Ridwan menerima bola dari Firman Utina di sisi sayap kanan, berhadapan dengan bek lawan. Supardi berlari kencang di belakang Ridwan, ia tahu rekan sehatinya itu pasti memberikan bola menawan tanpa offside. Menipu, membongkar, mengobrak-abrik pertahanan lawan.
Kombinasi flank kanan Persib ketika itu sangat diwaspadai juga ditakuti setiap lawan. Selalu menebar ancaman jadi senjata andalan guna menciptakan peluang yang sering berbuah gol. Tak salah memang Jajang Nurjaman memboyong anak-anak asuhnya selama menjadi asisten pelatih di Pelita Jaya.
Firman, Ridwan, dan Supardi diboyong tahun 2013 jadi bagian tim Maung Bandung. Ketiganya kepingan paling berharga yang beruntung Persib miliki, memutus puasa gelar di tahun 2014. Mental juara tak usah ditanyakan lagi, ketiganya mengangkat trofi bersama di Sriwijaya FC (2012).
Lebih dari dua musim bersama, keakraban dan chemistry melekat kuat dalam diri mereka. Firman tahu kemana Ridwan akan menggiring bola, Ridwan pula tahu berapa cepat Supardi saat berlari di belakangnya, ahli memang memberi umpan/operan tanpa melihat, tanpa offside. Pemain bernomor punggung 23 itu bahkan mencetak 12 gol pada musim pertama berkostum Persib.
Di luar lapangan ketiganya kerap kali menghabiskan waktu bersama-sama. Supardi-Ridwan sering sekamar di mes maupun saat berpergian. Pengertian mereka terjalin di atas lapangan sebagaimana seharusnya setiap pemain miliki. Ini diyakini sebab intensitas komunikasi tentang berbagai hal, soal strategi, atau tentang kehidupan yang dijalani.
Kuartet dilengkapi musim 2014, Achmad Jufriyanto menyusul senior-seniornya ke Persib dari Sriwijaya FC. Visi yang sama, pemikiran yang sejalan, Vladimir Vujovic dibuat nyaman akan kebersamaan mereka berlima. Kuartet tersebut adalah fondasi atau pilar kekuatan tim yang menjuarai Indonesia Super League (2014) –tanpa mengesampingkan kontribusi pemain lainnya.
Kuartet itu disadari atau tidak mempunyai peran penting masing-masing sesuai kapasitasnya tanpa harus dibuat-buat. Seperti Firman Utina yang bisa mengkoneksikan unek-unek pemain ke pelatih bahkan hingga manajemen, ia kenyang akan pengalaman.
Firman pula buat seluruh pemain tahu punya batasan, contohnya tentu akan menjadi tidak kerasan ketika pulang larut malam ke mes saat Firman berada di sana. Ia adalah sosok yang disegani di dalam dan luar lapangan. Jangan berulah, jangan banyak tingkah.
Supardi dan Ridwan berperan aktif, menjadi pemain senior yang patut dicontoh dalam keseharian. Tak ada yang menyangkal bagaimana ketaatan dua pemain ini dalam beribadah. Tim memiliki kondisi yang kondusif dalam kontrol.
Mereka saling mendukung, menjaga, dan melindungi di dalam lapangan. Masih ingat beberapa laga krusial, seperti laga Persib vs Arema Cronus yang berbalik unggul di Si Jalak Harupat 2014, menghadapi Pelita Bandung Raya insiden handuk, semi final ISL dalam menjaga asa untuk juara, final ISL vs Persipura, hingga laga yang menyebalkan dan menguras emosi di Piala Presiden 2015 vs Borneo FC.
Setiap fase mereka lalui bersama, hingga rasa kehilangan mendalam untuk Bobotoh ketika kuartet itu pergi tahun 2016 menuju Sriwijaya FC. Perubahan drastis tanpa kehadiran mereka. Barangkali ini akan menjadi cerita untuk anak cucu kita.
Jika pada zaman Bobotoh merindu gelar, Persib pernah memiliki gelandang tua namun jenius disegani di seluruh Indonesia bernomor punggung 15. Flank kanan Persib menjadi paling ditakuti di Indonesia berkat kombinasi emas pasangan Supardi-Ridwan. Ada junior tangguh yang jadi penentu tuntasnya dahaga gelar bernama Achmad Jufriyanto.
Mereka lah kita sebut kuartet emas, seperti kita pernah menceritakan punya Adjat Sudrajat yang siap tarung kapan pun dimana pun dengan kata-kata emasnya ‘pujian adalah racun’, Robby Darwis si benteng kokoh pertahanan dengan slogan ‘halik ku aing’, Yusuf Bachtiar dijuluki si kancil yang jadi otak serangan Maung Bandung, Sutiono Lamso pencetak gol tunggal ketika Persib berjaga di Ligina 1994.
Komentar Bobotoh