KAA, dan Hadiah Rakyat Mali Bernama Konate
Thursday, 23 April 2015 | 09:46
“Di mana-mana orang berbicara tentang ‘Semangat Bandung’. Dan setiap kali mendengar itu, yakin lah: ini bukan hanya semangat, ini merupakan sebuah kekuatan. Ini kekuatan dari Bandung, ini kekuatan persatuan negara-negara Asia Afrika. Ini merupakan kekuatan kemerdekaan.” – Sukarno, 1955.
Kota Bandung sedang menyelenggarakan sebuah hajat besar. Hajatan ini akan dihadiri oleh beberapa pemimpin internasional di kawasan Asia dan Afrika. Hajat berskala internasional itu bernama peringatan Konferensi Asia Afrika (KAA) yang ke-60.
Tahun 1955, tepatnya tanggal 22-24 April, kota Bandung menjadi pusat perhatian dunia. Di waktu itu, Bandung menyelenggarakan konferensi tingkat tinggi yang dihadiri pemimpin dari negara-negara merdeka di kawasan Asia dan Afrika. Sebuat saja Nehru dari India, Gamal Abdul Naseer dari Mesir, Pangeran Faisal dari Saudi, Zhou Enlai dari RRC dan masih banyak lagi. Konferensi ini membahas dekolonisasi negara-negara terjajah, pertumbuhan ekonomi, dan perdamaian dunia di tengah gejolak perang dingin.
Konferensi ini pada akhirnya membuat kesepakatan yang diberi nama Dasasila Bandung yang intinya menghormati kemerdekaan bangsa-bangsa di dunia dan kesetaraan. “Semangat bandung” masa itu mendorong banyak negara di berbagai kawasan untuk bergerak dan isu anti imperialism di kawasan Asia dan Afrika cukup meningkat.
KAA ternyata memberikan efek domino yang cukup dahsyat. Hasil nyata dari konferensi itu adalah merdekanya banyak negara di kawasan Asia dan Afrika dari belenggu kolonialisme Eropa, termasuk negara-negara di Afrika yang kemudian menggelar Konferensi Kemerdekaan bangsa-bangsa di Afrika di Ghana pada tahun 1958. Pergerakan rakyat Afrika pasca konferensi Asia Afrika dan konferensi kemerdekaan bangsa-bangsa di Afrika membuat beberapa negara di Afrika mendaulatkan diri sebagai negara merdeka, termasuk Mali.
Mali merupakan sebuah negara di sebelah barat benua Afrika yang belum menjadi negara merdeka saat KAA berlangsung di tahun 1955. Dalam sejarahnya, jalur perdagangan lintas Sahara di sekitar abad 8 membawa garam, emas, gading, dll dari daerah ini menuju peradaban yang lebih maju di Afrika Utara. Kerajaan Mali mengalami puncak kejayaan di abad 11 dan 14. Namun, di abad 17 sampai 18, mereka ada di bawah kekuasaan Maroko, sampai Perancis mengambil alih di abad 19.
Pada awalnya, Perancis menjadikan Mali sebagai bagian dari daerah “French West Afrika”. Tahun 1946, daerah ini dikenal sebagai bagian daerah “French Sudan” yang masih berada di bawah penguasaan Perancis. Daerah ini membentuk Federasi Mali bersama Senegal di tahun 1958.
Setelah keduanya kemudian berpisah, Mali berdiri sebagai negara merdeka pada tahun 1960 dan langsung aktif di dunia internasional dengan bergabung dengan African Union dan gerakan non-blok.
Walau mungkin tidak terlihat dan tidak terasa secara langsung, KAA 1955 memberikan dampak yang nyata bagi negara Mali. Dampak itu tentu saja berupa dorongan kekuatan untuk mencapai kemerdekaan. Kemerdekaan itu kemudian membuat Mali, walaupun sampai saat ini masih dapat dikatakan terpuruk, dapat hidup bebas dan bisa menentukan nasibnya sendiri.
Bagi kota Bandung, dampak dari kemerdekaan Mali itu dirasakan oleh warga Bandung 54 tahun kemudian. Jika di tahun 1955, kota Bandung dengan ikhlas menyelenggarakan dan mensukseskan KAA yang berimbas pada kemerdekaan banyak negara, maka perjuangan Makan Konate dan Coulibaly Djibril untuk membawa Persib juara di musim 2014 merupakan “hadiah” yang elegan dari negara Mali atas usaha penduduk kota Bandung 1955.
Di sini Penulis melihat, ada kebaikan yang dibalas dengan kebaikan dalam hubungan tak terlihat antara kota Bandung dan negara Mali yang dijembatani Konate yang kini menjadi satu-satunya pemain Mali yang berjuang untuk Persib di liga dan AFC Cup 2015. Dan bagi sebagian penduduk Bandung, balasan kebaikan dari Mali ini terasa setimpal, karena gelar juara bagi mereka, mempunyai makna yang setara dengan kebebasan dan kemerdekaan.
Ditulis oleh @hevifauzan, admin @simamaung, untuk menyambut KAA yang digelar di kota Bandung di akhir bulan April 2015.
Bacaan yang direkomendasikan:
Bandung Conference (Asian-African Conference) 1955 (https://history.state.gov/milestones/1953-1960/bandung-conf)
Mali, History & Politics (http://www.our-africa.org/mali/history-politics)
April 01, 1955, Report from the Chinese Foreign Ministry, ‘The Asian-African Conference’, (http://digitalarchive.wilsoncenter.org/document/112893)
Ali AlʼAmin Mazrui dan Christophe Wondji. Africa Since 1935, Unesco: . International Scientific Committee for the Drafting of a General History of Africa, (California: University of California Press, 1993), (https://books.google.co.id/books?id=2HipiRhXmugC)
Martinus Nijhoff, Internacional Documents, 1961, (https://books.google.co.id/books?id=Jpfycydp4r8C)

“Di mana-mana orang berbicara tentang ‘Semangat Bandung’. Dan setiap kali mendengar itu, yakin lah: ini bukan hanya semangat, ini merupakan sebuah kekuatan. Ini kekuatan dari Bandung, ini kekuatan persatuan negara-negara Asia Afrika. Ini merupakan kekuatan kemerdekaan.” – Sukarno, 1955.
Kota Bandung sedang menyelenggarakan sebuah hajat besar. Hajatan ini akan dihadiri oleh beberapa pemimpin internasional di kawasan Asia dan Afrika. Hajat berskala internasional itu bernama peringatan Konferensi Asia Afrika (KAA) yang ke-60.
Tahun 1955, tepatnya tanggal 22-24 April, kota Bandung menjadi pusat perhatian dunia. Di waktu itu, Bandung menyelenggarakan konferensi tingkat tinggi yang dihadiri pemimpin dari negara-negara merdeka di kawasan Asia dan Afrika. Sebuat saja Nehru dari India, Gamal Abdul Naseer dari Mesir, Pangeran Faisal dari Saudi, Zhou Enlai dari RRC dan masih banyak lagi. Konferensi ini membahas dekolonisasi negara-negara terjajah, pertumbuhan ekonomi, dan perdamaian dunia di tengah gejolak perang dingin.
Konferensi ini pada akhirnya membuat kesepakatan yang diberi nama Dasasila Bandung yang intinya menghormati kemerdekaan bangsa-bangsa di dunia dan kesetaraan. “Semangat bandung” masa itu mendorong banyak negara di berbagai kawasan untuk bergerak dan isu anti imperialism di kawasan Asia dan Afrika cukup meningkat.
KAA ternyata memberikan efek domino yang cukup dahsyat. Hasil nyata dari konferensi itu adalah merdekanya banyak negara di kawasan Asia dan Afrika dari belenggu kolonialisme Eropa, termasuk negara-negara di Afrika yang kemudian menggelar Konferensi Kemerdekaan bangsa-bangsa di Afrika di Ghana pada tahun 1958. Pergerakan rakyat Afrika pasca konferensi Asia Afrika dan konferensi kemerdekaan bangsa-bangsa di Afrika membuat beberapa negara di Afrika mendaulatkan diri sebagai negara merdeka, termasuk Mali.
Mali merupakan sebuah negara di sebelah barat benua Afrika yang belum menjadi negara merdeka saat KAA berlangsung di tahun 1955. Dalam sejarahnya, jalur perdagangan lintas Sahara di sekitar abad 8 membawa garam, emas, gading, dll dari daerah ini menuju peradaban yang lebih maju di Afrika Utara. Kerajaan Mali mengalami puncak kejayaan di abad 11 dan 14. Namun, di abad 17 sampai 18, mereka ada di bawah kekuasaan Maroko, sampai Perancis mengambil alih di abad 19.
Pada awalnya, Perancis menjadikan Mali sebagai bagian dari daerah “French West Afrika”. Tahun 1946, daerah ini dikenal sebagai bagian daerah “French Sudan” yang masih berada di bawah penguasaan Perancis. Daerah ini membentuk Federasi Mali bersama Senegal di tahun 1958.
Setelah keduanya kemudian berpisah, Mali berdiri sebagai negara merdeka pada tahun 1960 dan langsung aktif di dunia internasional dengan bergabung dengan African Union dan gerakan non-blok.
Walau mungkin tidak terlihat dan tidak terasa secara langsung, KAA 1955 memberikan dampak yang nyata bagi negara Mali. Dampak itu tentu saja berupa dorongan kekuatan untuk mencapai kemerdekaan. Kemerdekaan itu kemudian membuat Mali, walaupun sampai saat ini masih dapat dikatakan terpuruk, dapat hidup bebas dan bisa menentukan nasibnya sendiri.
Bagi kota Bandung, dampak dari kemerdekaan Mali itu dirasakan oleh warga Bandung 54 tahun kemudian. Jika di tahun 1955, kota Bandung dengan ikhlas menyelenggarakan dan mensukseskan KAA yang berimbas pada kemerdekaan banyak negara, maka perjuangan Makan Konate dan Coulibaly Djibril untuk membawa Persib juara di musim 2014 merupakan “hadiah” yang elegan dari negara Mali atas usaha penduduk kota Bandung 1955.
Di sini Penulis melihat, ada kebaikan yang dibalas dengan kebaikan dalam hubungan tak terlihat antara kota Bandung dan negara Mali yang dijembatani Konate yang kini menjadi satu-satunya pemain Mali yang berjuang untuk Persib di liga dan AFC Cup 2015. Dan bagi sebagian penduduk Bandung, balasan kebaikan dari Mali ini terasa setimpal, karena gelar juara bagi mereka, mempunyai makna yang setara dengan kebebasan dan kemerdekaan.
Ditulis oleh @hevifauzan, admin @simamaung, untuk menyambut KAA yang digelar di kota Bandung di akhir bulan April 2015.
Bacaan yang direkomendasikan:
Bandung Conference (Asian-African Conference) 1955 (https://history.state.gov/milestones/1953-1960/bandung-conf)
Mali, History & Politics (http://www.our-africa.org/mali/history-politics)
April 01, 1955, Report from the Chinese Foreign Ministry, ‘The Asian-African Conference’, (http://digitalarchive.wilsoncenter.org/document/112893)
Ali AlʼAmin Mazrui dan Christophe Wondji. Africa Since 1935, Unesco: . International Scientific Committee for the Drafting of a General History of Africa, (California: University of California Press, 1993), (https://books.google.co.id/books?id=2HipiRhXmugC)
Martinus Nijhoff, Internacional Documents, 1961, (https://books.google.co.id/books?id=Jpfycydp4r8C)

Mugia Mang Kokon betah di Bandung…ke pami tos gaduh isteri candak ka Bandung nya
saha mang kokon teh a ? Mang kokon tolong dong..
Thx Mali for give Us Makan Konate..!!
Nice post gan.
Semangat bandung..yel yel dan unak anik persib kudu semangat banduy euy nu kreatif jeung original…nyanyi heula ah..colenak beuleum peuyeum digulaan awas bobotoh rebu rebu mendukungmu..persib !
Pingback: My Blog | KAA, dan Hadiah Rakyat Mali Bernama Konate