Juara, di Hati Seorang ‘Asing’
Friday, 21 November 2014 | 14:00
“Hey, gimana tadi pawainya?”, Dia bertanya lewat pesan singkat dari balik layar sentuh ponsel saya.
“Gatau, aku gatau apa-apa”, jawabku dengan nada kesal.
Malam itu setelah sedari siangnya menunggu pawai Persib Juara, saya harus kesal karena rombongan pawai ternyata mengubah haluan. Sementara saya dan segerombolan berbaju biru lainnya menunggu mereka dengan harapan agar bisa berfoto selfie atau sekedar melambaikan tangan pada rombongan bis itu.
Saya emang gak ngerti bola kok, tidak pernah tertarik pada permainan ini. Tapi entah kenapa saya merasa momen ini seru dan sayang untuk dilewatkan. Melihat final Persib dan Persipura di kantor hanya dengan menggunakan proyektor yang diarahkan ke tembok kosong di lobby kantor, buat saya itu lebih dari cukup untuk ikut merasakan euforia ketika tim Bandung kami menang.
“Aku mau cerita”, lanjutnya. “Dari pandanganku pada media, dan share-share dari Twitter, dsb. Seandainya Aku ada di Bandung, Aku gak akan menghadiri arak-arakan tadi. Itu, karena Aku pikir sudah terlalu dipolitisi. Sudah banyak ‘penumpang gelap’ di piala itu. Banyak bobotoh yang belum pulang dari Palembang, terutama jalur darat karena diserang, eh, tetapi tetap saja dipaksakan hari ini arak-arakannya”.
Iya, diserang. Salah satu teman saya yang ikut dalam rombongan bis ke Palembang, Bahrul Ulum, menceritakan bagaimana kisruhnya kejadian saat itu.
“Ti Palembang keneh ge, geus diserang urang teh”, dia memulai ceritanya. “Tapi can terlalu loba massa-na. Terus ngenta dikawal ku polisi. Nyampe ka Merak teh aman. Nu teu aman mah pas di Jakartana. Urang siga diparabkeun ku polisi. Bis teh kan loba nepi puluhan, maenya dikawal ngan make mobil biasa ungkul. Tingali mun Persija main di Bandung, polisi Bandung mah ngawalna ge make Baracuda. Katingali pisan urang diparabkeun teh pas di tol, maenya ti arah sebalikna euweuh hiji-hiji acan mobil nu ngaliwat, siga di perbodenkeun kitu. Ti arah urang ge, nu ngaliwat ngan rombongan bis urang ungkul. Teu lila teh langsung bunyi kaca ‘tuk tuk tuk tuk’. Epekteh geus loba jelema nu ngahadang ngabaledogan kaca make batu, aya nu mawa rante, parang, polisina mah cicing wee na mobil. Saacana emang aya instruksi ti ketua rombongan teh, mun aya nanaon di jalan tong kalaluar, tapi sakirana ngabahayakeun nyawa arurang, nya eta mah kumaha deui. Ningali loba jelema di jalan siga kitu, aya nu panas meureun, kalaluar tah nu di jero bis. Pas arurang kaluar, epekteh tiditu kalaluar oge lobaan sigana mah sakampungeun. Ah geus didinya mah geus wee paamprok. Tapi untung barisaeun keneh kabur barudak urang teh, abus deui kana bis numana wee, nu penting abus heula. Ah! Mun nigalina eta urang mah bersyukur hirup keneh. Loba nu getihan di bis teh, kaca bis barolong”.
Semua itu menimbulkan tanya di kepala saya yang awam ini, Bobotoh sama The Jak kenapa sih harus musuhan? Kalau misalnya keadaannya berbalik, Persija yang menang, lalu rombongan mereka lewat ke Bandung, apa ngga bakal ada kemungkinan akan diserang bobotoh juga? Ah, entahlah.
“Panitianya belum siap”, teman ngobrol saya dibalik layar sentuh sana melanjutkan ceritanya. “Tadi jadi macet pisan, ngaret, jalur arak-arakan jadi berubah. Kasihan, banyak yang kecewa karena ga jadi liat tim Persib. Pertanyaannya, kenapa dipaksakan harus diarak hari ini?”
Iya betul. Saya juga kecewa karena jalur arak-arakannya berubah. Malah Teh Nunu, kakak kelas saya semasa kuliah dulu, ngedumel gara-gara Bandung berubah jadi bukan Bandung. Dia bilang, “Bandung, saat para simpatisan alay berhegemoni kemenangan. Yang kemaren bikin Bandung bukan Bandung lagi itu alay. In my point of view”, begitu ia mengekspresikan kekecewaannya.
Di layar sentuh saya masih tertera typing…, dia masih melanjutkan ceritanya. “Ya itu, tadi di acara puncak di Gasibu malah banyak yang ‘numpang’. Maksudku, emosinya sudah beda lagi. Jadi sudahlah, kamu tak usah kesal karena ga jadi datang. Aku berani jamin, malam dimana Ahmad Jufriyanto mencetak gol penentu dan kamu ikut konvoi bareng Ikrar, itulah malam paling baik merayakan juara Persib”.
Malam ketika saya konvoi bareng Ikrar itu klimaks banget. Sebelum pertandingan Persib-Persipura dimulai, hujan turun sangat deras, padahal saya dan Ikrar janjian nonton bareng di Balai Kota Bandung. Terpaksa, kami berdua nonton bareng di kantor saya bersama beberapa orang yang juga ngga bisa keluar gara-gara hujan. Menegangkan! Lalu MEMBAHAGIAKAN!
Setelah pertandingan selesai, Ikrar ngajak saya keluar ikut konvoi. Saya yang sebelumnya awam sepakbola dan antipati dengan para bobotoh saat konvoi, tiba-tiba ingin bergabung ikut konvoi. Haha. Guilty. Di jalanan Bandung malam itu, ratusan (atau mungkin ribuan?) pengendara motor beratribut biru, Persib. Anggapan saya tentang bobotoh yang urakan, yang mabuk-mabukan, yang ugal-ugalan, malam itu terpatahkan. Semuanya senang. “Teh, Persib juara, Teh!”. Beberapa bobotoh meneriakan kalimat itu sambil tertawa pada saya. “Persib aing juara, euy!”. Mereka semua terasa seperti keluarga bagi saya, kami bersatu dalam euforia kemenangan yang membahagiakan. Saya dan Ikrar berhenti di salah satu restoran cepat saji di daerah Riau. Gila! Yang makan disana semua beratribut biru!.
Dengan suasana hati yang menggebu-gebu, Ikrar bercerita, “Terakhir Persib juara waktu saya umur 5 tahun. Waktu itu saya belum kenal Persib sama sekali. Kata Ayah ini perayaan Persib juara, semua orang merayakan. Rame pisan! Mulai darisitu saya jatuh cinta sama Persib”. Seringkali ketika beberapa kelompok bobotoh bermotor lewat di depan restoran, Ikrar tersenyum sambil sesekali tertawa kecil melihat tingkah mereka mengekspresikan bahagianya masing-masing. Dengan tingkah seperti itu, Ikrar juga sedang mengekspresikan rasa bahagianya menurut saya.
Hal istimewa apa yang bisa membuat satu kota tiba-tiba menangis bahagia, bahkan sampai menyentuh hati saya yang “orang asing” ini, baru Persib saja saya kira. Maka silahkan bahagia menurut masing-masing. Saya juga bahagia, senang, bangga, walaupun jika digolongkan saya termasuk bobotoh Persib dadakan, tapi saya merasakan luapan emosi bahagia yang luar biasa. Apalagi jika dibandingkan dengan Pak Rahmat, bos saya di kantor, semenjak Persib dinyatakan masuk final, Pak Rahmat selalu memakai jersey Persib.
Di pantry kantor beliau bercerita, “Git, dulu saya lolos juga seleksi Persib Junior. Tapi waktu lulus sekolah, saya bingung antara milih lanjutin kuliah atau ikut tim. Taunya masuk Polban, di Polban mah mana bisa dibagi dua”.
Saking semangatnya bercerita, sampai beliau lupa kalau sedari tadi air di dalam gelas yang dipegangnya tidak juga diminum. “Kalau finalnya di Jakarta mah, saya mau cuti aja. Yuk ah, Git! Kita nobar di Balkot!”.
Itu semangatnya beliau sehari sebelum final digelar, lalu setelah Persib dinyatakan juara? Lebih senang lagi! Sehari setelah pawai trofi beliau bercerita dengan lebih semangat, “Kemaren saya ke Gasibu. Ruaameee banget. Saya berasa muda. Itu mah yang dateng bukan cuma orang Bandung aja, hampir se-Jawa Barat mungkin ada perwakilannya. Saya di Gasibu dari jam 2, terus ngobrol sama bobotoh lain, joget-joget, wah keren lah. Lupa umur saya mah. Pulangnya kan macet banget tuh, saya mah jalan bareng bobotoh yang lain. Pas ngobrol-ngobrol eh ternyata yang jalan bareng saya teh mahasiswa STT, saya jadi berasa dosen yang lagi ngajak mahasiswanya PKL. Hahaha”. Beliau semangat sekali setiap bercerita, bahkan sampai tulisan ini dibuat pun topik perbincangan dengannya tidak lepas dari Persib.
Tapi kekecewaan saya karena ngga bisa lihat pawai belum juga terobati, sebenarnya saya punya rencana mendokumentasikan acara itu menjadi sebuah tulisan dimana isinya akan ada foto dan video yang sudah saya rencanakan semenjak Persib masuk final. Tapi, karena bahan-bahan pendukungnya ngga ada, jadi…….
“Dimodif aja yuk plannya!”, kata teman ngobrol saya. “Untuk bahan benchmark, kamu baca-baca saja bagaimana cara perayaan timnas Jerman saat Piala Dunia kemarin, kukira itu bagus dan rapi”. Ah! Kamu tahu lah, saya kurang senang membaca.
Dan sepertinya dia tahu. Haha
Dia lalu memberi saya beberapa cerita tentang Bobotoh-bobotoh yang merayakan Persib juara, “Ada beberapa bobotoh yang justru di saat itu memilih untuk merayakannya dalam kesunyian. Misalnya Zen RS, waktu di Palembang dia berada di belakang gawang I Made saat adu penalti, setelah juara sampai menangis. Tapi saat arak-arakan kemarin lebih memilih ngasuh anaknya saja di rumah”.
Dia lalu memberikan beberapa link essay tentang momen final kemarin. Beberapa diantaranya adalah tulisan dari Pangeran Siahaan, seorang penulis satiris, tulisannya bisa dibaca di sini. Menarik karena dia merupakan fans PSMS dan sangat keluar dari patron tulisannnya selama ini, begitu kata teman saya. Atau dari penulis dengan inisial Pelukis Langit yang juga menarik karena setelah saya baca ternyata dia pendukung Persipura. Oh satu lagi, di tulisan ini, tentang keheningan sebuah stadion tempat Persib bertempur sepanjang musim justru saat Persib merayakan gelar juaranya. Setelah membacanya saya ikut merasakan kesedihan Si Jalak Harupat yang seolah bernyawa.
Kesedihan saya kayanya tidak harus terobati. Karena saya harusnya senang, apapun yang terjadi bersenang-senanglah. Seperti Pidi Baiq yang enggan merusak momen bahagianya setelah menunggu 19 tahun Persib juara dengan tidak misah-misuh ketika mobil Plat B-nya dirusuh bobotoh, “Harus maklum. Mereka gak bisa lihat, karena cinta ke Persib itu di hati”, Tulisnya di Twitter. Atau iya-iya saja kaya pacar saya, diajakin liat pawai trofi yang sebenarnya dia ngga mau datang, “tapi ya engga apa-apa kalau mau datang, soalnya emang momennya ditunggu-tunggu udah lama. Emang harusnya dirayain”, pacar saya emang baik.
Selamat menjadi juara, Persib! Terima kasih atmosfernya, Bobotoh. Terima kasih, Kang Emil sudah memberikan kami fasilitas bersenang-senang di Bandung. Di kemenangan selanjutnya, kita harus tunjukan sikap juara yang dewasa. Dan terima kasih Erwindra, telah jadi teman diskusi tentang Persib, tapi entah mengapa kau memilih merayakan Persib Juara di ketenangan Kota Palembang, dibanding di sini, di Bandung.
Salam hangat dari saya, warga baru kota Bandung.
Ditulis oleh Gitawatty Mumpuni, seorang asing yang masih diliputi euphoria kebahagiaan karena Persib juara. Penulis juga sering meracau lewat akun twitter @justme_gta

“Hey, gimana tadi pawainya?”, Dia bertanya lewat pesan singkat dari balik layar sentuh ponsel saya.
“Gatau, aku gatau apa-apa”, jawabku dengan nada kesal.
Malam itu setelah sedari siangnya menunggu pawai Persib Juara, saya harus kesal karena rombongan pawai ternyata mengubah haluan. Sementara saya dan segerombolan berbaju biru lainnya menunggu mereka dengan harapan agar bisa berfoto selfie atau sekedar melambaikan tangan pada rombongan bis itu.
Saya emang gak ngerti bola kok, tidak pernah tertarik pada permainan ini. Tapi entah kenapa saya merasa momen ini seru dan sayang untuk dilewatkan. Melihat final Persib dan Persipura di kantor hanya dengan menggunakan proyektor yang diarahkan ke tembok kosong di lobby kantor, buat saya itu lebih dari cukup untuk ikut merasakan euforia ketika tim Bandung kami menang.
“Aku mau cerita”, lanjutnya. “Dari pandanganku pada media, dan share-share dari Twitter, dsb. Seandainya Aku ada di Bandung, Aku gak akan menghadiri arak-arakan tadi. Itu, karena Aku pikir sudah terlalu dipolitisi. Sudah banyak ‘penumpang gelap’ di piala itu. Banyak bobotoh yang belum pulang dari Palembang, terutama jalur darat karena diserang, eh, tetapi tetap saja dipaksakan hari ini arak-arakannya”.
Iya, diserang. Salah satu teman saya yang ikut dalam rombongan bis ke Palembang, Bahrul Ulum, menceritakan bagaimana kisruhnya kejadian saat itu.
“Ti Palembang keneh ge, geus diserang urang teh”, dia memulai ceritanya. “Tapi can terlalu loba massa-na. Terus ngenta dikawal ku polisi. Nyampe ka Merak teh aman. Nu teu aman mah pas di Jakartana. Urang siga diparabkeun ku polisi. Bis teh kan loba nepi puluhan, maenya dikawal ngan make mobil biasa ungkul. Tingali mun Persija main di Bandung, polisi Bandung mah ngawalna ge make Baracuda. Katingali pisan urang diparabkeun teh pas di tol, maenya ti arah sebalikna euweuh hiji-hiji acan mobil nu ngaliwat, siga di perbodenkeun kitu. Ti arah urang ge, nu ngaliwat ngan rombongan bis urang ungkul. Teu lila teh langsung bunyi kaca ‘tuk tuk tuk tuk’. Epekteh geus loba jelema nu ngahadang ngabaledogan kaca make batu, aya nu mawa rante, parang, polisina mah cicing wee na mobil. Saacana emang aya instruksi ti ketua rombongan teh, mun aya nanaon di jalan tong kalaluar, tapi sakirana ngabahayakeun nyawa arurang, nya eta mah kumaha deui. Ningali loba jelema di jalan siga kitu, aya nu panas meureun, kalaluar tah nu di jero bis. Pas arurang kaluar, epekteh tiditu kalaluar oge lobaan sigana mah sakampungeun. Ah geus didinya mah geus wee paamprok. Tapi untung barisaeun keneh kabur barudak urang teh, abus deui kana bis numana wee, nu penting abus heula. Ah! Mun nigalina eta urang mah bersyukur hirup keneh. Loba nu getihan di bis teh, kaca bis barolong”.
Semua itu menimbulkan tanya di kepala saya yang awam ini, Bobotoh sama The Jak kenapa sih harus musuhan? Kalau misalnya keadaannya berbalik, Persija yang menang, lalu rombongan mereka lewat ke Bandung, apa ngga bakal ada kemungkinan akan diserang bobotoh juga? Ah, entahlah.
“Panitianya belum siap”, teman ngobrol saya dibalik layar sentuh sana melanjutkan ceritanya. “Tadi jadi macet pisan, ngaret, jalur arak-arakan jadi berubah. Kasihan, banyak yang kecewa karena ga jadi liat tim Persib. Pertanyaannya, kenapa dipaksakan harus diarak hari ini?”
Iya betul. Saya juga kecewa karena jalur arak-arakannya berubah. Malah Teh Nunu, kakak kelas saya semasa kuliah dulu, ngedumel gara-gara Bandung berubah jadi bukan Bandung. Dia bilang, “Bandung, saat para simpatisan alay berhegemoni kemenangan. Yang kemaren bikin Bandung bukan Bandung lagi itu alay. In my point of view”, begitu ia mengekspresikan kekecewaannya.
Di layar sentuh saya masih tertera typing…, dia masih melanjutkan ceritanya. “Ya itu, tadi di acara puncak di Gasibu malah banyak yang ‘numpang’. Maksudku, emosinya sudah beda lagi. Jadi sudahlah, kamu tak usah kesal karena ga jadi datang. Aku berani jamin, malam dimana Ahmad Jufriyanto mencetak gol penentu dan kamu ikut konvoi bareng Ikrar, itulah malam paling baik merayakan juara Persib”.
Malam ketika saya konvoi bareng Ikrar itu klimaks banget. Sebelum pertandingan Persib-Persipura dimulai, hujan turun sangat deras, padahal saya dan Ikrar janjian nonton bareng di Balai Kota Bandung. Terpaksa, kami berdua nonton bareng di kantor saya bersama beberapa orang yang juga ngga bisa keluar gara-gara hujan. Menegangkan! Lalu MEMBAHAGIAKAN!
Setelah pertandingan selesai, Ikrar ngajak saya keluar ikut konvoi. Saya yang sebelumnya awam sepakbola dan antipati dengan para bobotoh saat konvoi, tiba-tiba ingin bergabung ikut konvoi. Haha. Guilty. Di jalanan Bandung malam itu, ratusan (atau mungkin ribuan?) pengendara motor beratribut biru, Persib. Anggapan saya tentang bobotoh yang urakan, yang mabuk-mabukan, yang ugal-ugalan, malam itu terpatahkan. Semuanya senang. “Teh, Persib juara, Teh!”. Beberapa bobotoh meneriakan kalimat itu sambil tertawa pada saya. “Persib aing juara, euy!”. Mereka semua terasa seperti keluarga bagi saya, kami bersatu dalam euforia kemenangan yang membahagiakan. Saya dan Ikrar berhenti di salah satu restoran cepat saji di daerah Riau. Gila! Yang makan disana semua beratribut biru!.
Dengan suasana hati yang menggebu-gebu, Ikrar bercerita, “Terakhir Persib juara waktu saya umur 5 tahun. Waktu itu saya belum kenal Persib sama sekali. Kata Ayah ini perayaan Persib juara, semua orang merayakan. Rame pisan! Mulai darisitu saya jatuh cinta sama Persib”. Seringkali ketika beberapa kelompok bobotoh bermotor lewat di depan restoran, Ikrar tersenyum sambil sesekali tertawa kecil melihat tingkah mereka mengekspresikan bahagianya masing-masing. Dengan tingkah seperti itu, Ikrar juga sedang mengekspresikan rasa bahagianya menurut saya.
Hal istimewa apa yang bisa membuat satu kota tiba-tiba menangis bahagia, bahkan sampai menyentuh hati saya yang “orang asing” ini, baru Persib saja saya kira. Maka silahkan bahagia menurut masing-masing. Saya juga bahagia, senang, bangga, walaupun jika digolongkan saya termasuk bobotoh Persib dadakan, tapi saya merasakan luapan emosi bahagia yang luar biasa. Apalagi jika dibandingkan dengan Pak Rahmat, bos saya di kantor, semenjak Persib dinyatakan masuk final, Pak Rahmat selalu memakai jersey Persib.
Di pantry kantor beliau bercerita, “Git, dulu saya lolos juga seleksi Persib Junior. Tapi waktu lulus sekolah, saya bingung antara milih lanjutin kuliah atau ikut tim. Taunya masuk Polban, di Polban mah mana bisa dibagi dua”.
Saking semangatnya bercerita, sampai beliau lupa kalau sedari tadi air di dalam gelas yang dipegangnya tidak juga diminum. “Kalau finalnya di Jakarta mah, saya mau cuti aja. Yuk ah, Git! Kita nobar di Balkot!”.
Itu semangatnya beliau sehari sebelum final digelar, lalu setelah Persib dinyatakan juara? Lebih senang lagi! Sehari setelah pawai trofi beliau bercerita dengan lebih semangat, “Kemaren saya ke Gasibu. Ruaameee banget. Saya berasa muda. Itu mah yang dateng bukan cuma orang Bandung aja, hampir se-Jawa Barat mungkin ada perwakilannya. Saya di Gasibu dari jam 2, terus ngobrol sama bobotoh lain, joget-joget, wah keren lah. Lupa umur saya mah. Pulangnya kan macet banget tuh, saya mah jalan bareng bobotoh yang lain. Pas ngobrol-ngobrol eh ternyata yang jalan bareng saya teh mahasiswa STT, saya jadi berasa dosen yang lagi ngajak mahasiswanya PKL. Hahaha”. Beliau semangat sekali setiap bercerita, bahkan sampai tulisan ini dibuat pun topik perbincangan dengannya tidak lepas dari Persib.
Tapi kekecewaan saya karena ngga bisa lihat pawai belum juga terobati, sebenarnya saya punya rencana mendokumentasikan acara itu menjadi sebuah tulisan dimana isinya akan ada foto dan video yang sudah saya rencanakan semenjak Persib masuk final. Tapi, karena bahan-bahan pendukungnya ngga ada, jadi…….
“Dimodif aja yuk plannya!”, kata teman ngobrol saya. “Untuk bahan benchmark, kamu baca-baca saja bagaimana cara perayaan timnas Jerman saat Piala Dunia kemarin, kukira itu bagus dan rapi”. Ah! Kamu tahu lah, saya kurang senang membaca.
Dan sepertinya dia tahu. Haha
Dia lalu memberi saya beberapa cerita tentang Bobotoh-bobotoh yang merayakan Persib juara, “Ada beberapa bobotoh yang justru di saat itu memilih untuk merayakannya dalam kesunyian. Misalnya Zen RS, waktu di Palembang dia berada di belakang gawang I Made saat adu penalti, setelah juara sampai menangis. Tapi saat arak-arakan kemarin lebih memilih ngasuh anaknya saja di rumah”.
Dia lalu memberikan beberapa link essay tentang momen final kemarin. Beberapa diantaranya adalah tulisan dari Pangeran Siahaan, seorang penulis satiris, tulisannya bisa dibaca di sini. Menarik karena dia merupakan fans PSMS dan sangat keluar dari patron tulisannnya selama ini, begitu kata teman saya. Atau dari penulis dengan inisial Pelukis Langit yang juga menarik karena setelah saya baca ternyata dia pendukung Persipura. Oh satu lagi, di tulisan ini, tentang keheningan sebuah stadion tempat Persib bertempur sepanjang musim justru saat Persib merayakan gelar juaranya. Setelah membacanya saya ikut merasakan kesedihan Si Jalak Harupat yang seolah bernyawa.
Kesedihan saya kayanya tidak harus terobati. Karena saya harusnya senang, apapun yang terjadi bersenang-senanglah. Seperti Pidi Baiq yang enggan merusak momen bahagianya setelah menunggu 19 tahun Persib juara dengan tidak misah-misuh ketika mobil Plat B-nya dirusuh bobotoh, “Harus maklum. Mereka gak bisa lihat, karena cinta ke Persib itu di hati”, Tulisnya di Twitter. Atau iya-iya saja kaya pacar saya, diajakin liat pawai trofi yang sebenarnya dia ngga mau datang, “tapi ya engga apa-apa kalau mau datang, soalnya emang momennya ditunggu-tunggu udah lama. Emang harusnya dirayain”, pacar saya emang baik.
Selamat menjadi juara, Persib! Terima kasih atmosfernya, Bobotoh. Terima kasih, Kang Emil sudah memberikan kami fasilitas bersenang-senang di Bandung. Di kemenangan selanjutnya, kita harus tunjukan sikap juara yang dewasa. Dan terima kasih Erwindra, telah jadi teman diskusi tentang Persib, tapi entah mengapa kau memilih merayakan Persib Juara di ketenangan Kota Palembang, dibanding di sini, di Bandung.
Salam hangat dari saya, warga baru kota Bandung.
Ditulis oleh Gitawatty Mumpuni, seorang asing yang masih diliputi euphoria kebahagiaan karena Persib juara. Penulis juga sering meracau lewat akun twitter @justme_gta

gak usah bilang alay juga mereun da eta mah bentuk ekpresi jeung tradisi yg di ulang..
ekspetasi berlebih didinya.nu ngajidikeun loba bobotoh jeung bobotoh pasea gara-gara ngarasa pang bobotohna,,
bukan maksud tidak peduli sama yang di serang da maraneh ge datang ka palembang ge teu dititah tapi pasti gara-gara hate jeung nurani nu hayang nyaksian team kebanggaan mengulang sejarah kalo org lain gak perduli teu gak usah nuntut da eta mah kahayang sorangan
mun ekspresi menikmati gelar juara mnh tanpa konvoi tanpa pesta rakyat nikmati weh ku maneh sorangan
teu kudu nyalahkeun nu konvoi
toh mnh teu ngilu konvoi oge eweuh nu nitah komplen k mnh
pesen ma mah ekspresikeun diri mareneh sanyaman na mnh teu kudu ngadoktrin batur kudu siga maraneh komo nepi ka nyalahkeun mah
kurangan sifat asa aing teh lur
jadi maksudna kumaha atuh mang ieu teh 😀
nyarek? ngoreksi? atawa teu narima tulisan ieu?
teu narima penyampai an jeung bahasa jadi asa aya nu di sudut keun padahal sarua bobotoh perayaan nu megah kamari jadi siga aib lah
padahal kan eta bentuk ekspresi konvoi dsb kan eweuh undangan
Kang spindragtan, kudu tiasa narima opini batur atuh, ieu teh salah sahiji sudut pandang batur. Mun didinya ngomentar siga kitu, puguhan didinya nu teu bisa narima perbedaan bobotoh persib. Nuhun
wajar ath macet oge da tara unggal poe..juara nunggu 19 thn mh wajar lah macet ngan sapoe.. uforia ini hrs d syukuri nu pnting aman…sy yg ikut arak2an jg macet tp sy sadar krn ini kbahagian warga jabar.
wah didinya salah ngaplikasikeun komen urg lur
okey urg teu bisa narima bentuk eksperi nu nulis ieu tpi kan teu ngadokrin didinya kudu ciga urg
jadi masalahna mah lain perbedaan okey perbedan tpi perbedaan eta tong di doktrinkeun ka batur maneh-maneh urg-urg
jadi mun dek konvoi dsb ge bebaskeun
salah komen
Maksudna kumaha ieu teh?
Aya neon Ieu, Asa kaharti?!!!!…..Boa2
teu ngarti kana maksud tulisanna aing mah..asa lieur maca arah tujuan tulisan teh..cing diajar deui heula tatabahasana nyi….
hate jeung geutihna lain BIRU sih sigana mah…..
Punten mang, mungkin kata alay eta ditingal dina perspektif orang awam sanes bobotoh tibaheula. jeung lain ts nu nyarita kitu tapi baturan na.
Nya ai ceuk saya mah euforia Persib memang kudu di rayakeun dan itu hal yang wajar, soalna bentuk cinta ti bobotoh ka PERSIB.
Tapi taun taun ka payun sigana kudu aya evaluasi supaya euforiana langkus sae.
soalna kuring kungsi ningali status batur dina twitter nya eta nu budakna rieut bade ka RS tapi kajebak di jalan macet kamamana. terus aya ambulan nu sami hese ngaliwat oge.
Nah mungkin ie nu kedah di evaluasi. Bukan menyalahkan euforia yang terjadi atau sampai bilang alay tapi lebih ke bagaimana agar keduanya bisa berjalan. (ngartos maksad abi nya mang)
Salam ti bobotoh nu Cinta Ka PERSIB.
.trq.
leres kitu kang da ai saberner na mah mu macet mah da lain juara hungkul kang tiap persib maen ge kamacetan bisa di tangulangi
tpi da judulna ge pesta rakyat kang teras tos di wartosan ti hari jum’at bakal aya perta rakya trus route na di pasihan terang eta mah tinggal pinter” memahami da di wartosan mah atos
Aargh..maenya ongkoh dibaca tapi teu ngarti maksudna…….
Sarua ketang….ha ha ha peace lur ah…..
tapi salut lah,sanes orang Bandung tapi care ka PERSIB…nuhun lur postinganana…..
BAGIMU PERSIB JIWA RAGA KAMI….!!!