Jatidiri Bobotoh, Pusaran Tugas Untuk Menjaganya
Saturday, 23 August 2014 | 12:53
Selasa, 19 Agustus 2014, Persib Bandung kembali bermain menghadapi Persijap Jepara dalam lanjutan Liga Super Indonesia di stadion Si Jalak Harupat, Soreang, Kabupaten Bandung. Nyaris tanpa perlawan, Persib mampu menghempaskan tim asal ‘Bumi Kartini’ itu dengan raihan lima gol tanpa balas. Comeback yang sempurna setelah harus menunduk dari Semen Padang dalam pertandingan sebelumnya.Dua gol Vlado, serta tiga gol sisa yang berbuah dari salah antisipasi Evaldo Silva, sundulan Djibril, dan kaki Atep Rizal.
Tak sulit rasanya bagi punggawa Maung Bandung untuk memporak-porandakan barikade pertahan Persijap yang dikomandoi Evaldo Silva pada pertandingan sore itu. Satu yang saya tahu, Evaldo adalah seorang petarung tangguh yang tak muda lagi, didatangkan dari Brazil dan tak pernah mengangkat kaki dari Jepara selama karirnya di Indonesia. Tapi untuk sore itu, dua sedjoli Supardi-Ridwan yang memang menjadi peluru andalan Djajang Nurdjaman di sisi kanan tampak terlalu sulit untuk dijegal, bahkan gol pertama Persib tercipta dari akselesari Ridwan dan salah diantisipasi Evaldo.
Usut punya usut, dari seliweran gosip yang mengudara, melempemnya performa Persijap ditenggarai karena telah berbulan-bulannya para pemain tidak mendapatkan hak mereka. Ah, tapi apa peduli federasi tentang itu. Walau keprihatinan dari banyak kalangan memang tampak jelas untuk para seniman sepakbola di negeri ini yang harus juga bernasib sama seperti apa yang dirasakan Evaldo Silva dkk. Federasi disini memang begini adanya, bila boleh berkata kasar, maka mereka memang busuk. Ibarat kotornya, mungkin, lelaki yang tak bertanggung jawab setelah menanamkan benih ke-syahwat-an ke dalam rahim wanita. Ingin enaknya saja. Busuk? Tidak. Lebih dari itu!
Akar dari tulisan ini bukanlah untuk membahas tetek bengek kebusukan ferderasi, bukan tentang pemain yang tidak digaji, dan bukan pula kesuperioran Persib yang menumbangkan tamunya kemarin. Justru ada hal yang cukup membuat saya agak terheran-heran dan tercengan pada pertandingan sore itu, adalah ketika melihat setiap sudut stadion yang hanya terisi beberapa slot saja. Tak lebih dari 10.000 pasang mata yang hadir. Dari data yang saya dapatkan (dari goal.com) tercatat hanya 9.350 bobotoh yang membirukan Si Jalak Harupat. Kemana bobotoh? Tidak adakah kerinduan setelah Persib terakhir kali bermain di Bandung saat mengalahkan Barito Putra 10 Juni yang lalu? Padahal di media sosial pun ramai perbincangan tentang akan adanya penghormatan terakhir bagi Sang Panglima Ayi Beutik yang meninggalkan kita selamanya. Tidak adakah kepedulian terhadap salah seorang yang telah menjadi ‘ayah’ untuk kalian? Kemana kalian?
Saya tidak akan menyalahkan siapapun, karena mungkin alasannya pun jelas, pekerjaan dan sekolah yang tidak bisa ditinggalkan, karena itu bukanlah pertandingan di akhir pekan. Tapi rasa jengah saya rasakan ketika mendengar percakapan dua orang yang duduk tidak terlalu jauh. Salah satu dari mereka bilang, “Moal lalajo si eta mah, Persibna ge keur butut cenah,” What the Fuck! Kesal saya dalam hati. Ternyata selain waktu yang kurang tepat, juga alasan lainnya adalah biang kekalahan Persib atas Semen Padang? Dimana jatidiri bobotoh yang selama ini Kakek dan Ayah saya selalu tanamkan jauh di dalam diri saya? Saya ingat, ketika Kakek saya berkata bahwa bobotoh itu sudah sedari dulunya fanatik terhadap Persib.
Kalaupun kalian kecewa atas hasil tidak memuaskan saat kalah melawan Semen Padang, bukankah rekan bobotoh yang hadir kemarinpun merasakan hal yang sama? Justru arti penting suporter saya rasa ada disitu, ketika tim kalah, berikan kritik, dan tetaplah beri sokongan semaksimal mungkin.
Musim ini, memang saya melihat tidak setiap pertandingan kandang Persib dijejali bobotoh, apalagi saat pertandingan berlangsung tengah pekan, hanya saat kontra Persija tribun terisi penuh. Selebihnya saya tidak pernah melihat stadion terisi penuh di tengah pekan. Disini saya tidak sedang ingin angkuh menyebut diri sebagai ‘pang-Persibna’, tak jarang saya pun hanya menyaksikan melalui layar televisi ketika waktu dan amunisi tidak menguntungkan. Tapi sebagai bobotoh, jujur gairah saya selalu terpacu lebih kuat saat puluhan ribu bobotoh tumpah ruah di dalam stadion. Meski harus berdesakan, meski harus berdiri sepanjang 90 menit, tapi ada ledakan emosi yang lebih hebat ketika kita berteriak bersama. Entah itu memberi semangat kepada Persib, entah itu menjatuhkan mental tim lawan, atau bahkan saat memaki wasit sekalipun.
Saat Persib menang, mari kita bersorak bersama. Dan saat Persib kalah, jangan sampai selangkahpun kita mundur. Berikan kritik, dorongan, serta sokongan. Karena dari situlah jatidiri bobotoh muncul.
Hari minggu nanti, Persib akan kembali bermain melawan Persik Kediri di Bandung. Itu adalah pertandingan terakhir Persib di Bandung musim ini sebelum babak 8 besar. Kalaupun ada hembusan kabar mengenai pertandingan melawan Persita dilaksanakan di Bandung, tetap kalaupun kita datang bukanlah sebagai bobotoh, karena itu adalah partai tandang dan sanksi bobotoh untuk tidak hadir dalam pertandingan tandang masih berlaku hingga September. Ada poin krusial yang harus diambil minggu nanti untuk mengamankan tiket 8 besar yang kitapun belum tahu seperti apa format dan regulasinya. Federasi disini memang amat menyebalkan. Dan untuk bobotoh, marilah jejali Si Jalak Harupat minggu nanti. Marilah membumi-birukan setiap tribun. Marilah kita ikut berperang bersama sebelas pemain di lapangan yang menyematkan mahkota kebanggaan kita.
Kebesaran bobotoh telah dititipkan nenek moyang kita secara turun-temurun. Sekarang, pusaran tugas itu telah sampai pada kita untuk menjaga sebaik-sebaiknya. Menjaga nama baik, menjaga keharmonisan, Persib, Bandung, serta Jawa Barat. Dan disana, Mang Ayi, Rangga, serta semua bobotoh yang telah meninggalkan kita terlebih dulu akan tersenyum bangga ketika melihat saudara-saudaranya masih mengepal erat panji Persib, tegak menyejukkan aroma sepakbola khas Bandung, berkelahi melindungi harga diri, dan tetap lantang menggairahkan setiap tribun di Indonesia. Jayalah Persibku!
Penulis hanyalah penonton bola amatiran. Berakun twitter @kiipeeng.

Selasa, 19 Agustus 2014, Persib Bandung kembali bermain menghadapi Persijap Jepara dalam lanjutan Liga Super Indonesia di stadion Si Jalak Harupat, Soreang, Kabupaten Bandung. Nyaris tanpa perlawan, Persib mampu menghempaskan tim asal ‘Bumi Kartini’ itu dengan raihan lima gol tanpa balas. Comeback yang sempurna setelah harus menunduk dari Semen Padang dalam pertandingan sebelumnya.Dua gol Vlado, serta tiga gol sisa yang berbuah dari salah antisipasi Evaldo Silva, sundulan Djibril, dan kaki Atep Rizal.
Tak sulit rasanya bagi punggawa Maung Bandung untuk memporak-porandakan barikade pertahan Persijap yang dikomandoi Evaldo Silva pada pertandingan sore itu. Satu yang saya tahu, Evaldo adalah seorang petarung tangguh yang tak muda lagi, didatangkan dari Brazil dan tak pernah mengangkat kaki dari Jepara selama karirnya di Indonesia. Tapi untuk sore itu, dua sedjoli Supardi-Ridwan yang memang menjadi peluru andalan Djajang Nurdjaman di sisi kanan tampak terlalu sulit untuk dijegal, bahkan gol pertama Persib tercipta dari akselesari Ridwan dan salah diantisipasi Evaldo.
Usut punya usut, dari seliweran gosip yang mengudara, melempemnya performa Persijap ditenggarai karena telah berbulan-bulannya para pemain tidak mendapatkan hak mereka. Ah, tapi apa peduli federasi tentang itu. Walau keprihatinan dari banyak kalangan memang tampak jelas untuk para seniman sepakbola di negeri ini yang harus juga bernasib sama seperti apa yang dirasakan Evaldo Silva dkk. Federasi disini memang begini adanya, bila boleh berkata kasar, maka mereka memang busuk. Ibarat kotornya, mungkin, lelaki yang tak bertanggung jawab setelah menanamkan benih ke-syahwat-an ke dalam rahim wanita. Ingin enaknya saja. Busuk? Tidak. Lebih dari itu!
Akar dari tulisan ini bukanlah untuk membahas tetek bengek kebusukan ferderasi, bukan tentang pemain yang tidak digaji, dan bukan pula kesuperioran Persib yang menumbangkan tamunya kemarin. Justru ada hal yang cukup membuat saya agak terheran-heran dan tercengan pada pertandingan sore itu, adalah ketika melihat setiap sudut stadion yang hanya terisi beberapa slot saja. Tak lebih dari 10.000 pasang mata yang hadir. Dari data yang saya dapatkan (dari goal.com) tercatat hanya 9.350 bobotoh yang membirukan Si Jalak Harupat. Kemana bobotoh? Tidak adakah kerinduan setelah Persib terakhir kali bermain di Bandung saat mengalahkan Barito Putra 10 Juni yang lalu? Padahal di media sosial pun ramai perbincangan tentang akan adanya penghormatan terakhir bagi Sang Panglima Ayi Beutik yang meninggalkan kita selamanya. Tidak adakah kepedulian terhadap salah seorang yang telah menjadi ‘ayah’ untuk kalian? Kemana kalian?
Saya tidak akan menyalahkan siapapun, karena mungkin alasannya pun jelas, pekerjaan dan sekolah yang tidak bisa ditinggalkan, karena itu bukanlah pertandingan di akhir pekan. Tapi rasa jengah saya rasakan ketika mendengar percakapan dua orang yang duduk tidak terlalu jauh. Salah satu dari mereka bilang, “Moal lalajo si eta mah, Persibna ge keur butut cenah,” What the Fuck! Kesal saya dalam hati. Ternyata selain waktu yang kurang tepat, juga alasan lainnya adalah biang kekalahan Persib atas Semen Padang? Dimana jatidiri bobotoh yang selama ini Kakek dan Ayah saya selalu tanamkan jauh di dalam diri saya? Saya ingat, ketika Kakek saya berkata bahwa bobotoh itu sudah sedari dulunya fanatik terhadap Persib.
Kalaupun kalian kecewa atas hasil tidak memuaskan saat kalah melawan Semen Padang, bukankah rekan bobotoh yang hadir kemarinpun merasakan hal yang sama? Justru arti penting suporter saya rasa ada disitu, ketika tim kalah, berikan kritik, dan tetaplah beri sokongan semaksimal mungkin.
Musim ini, memang saya melihat tidak setiap pertandingan kandang Persib dijejali bobotoh, apalagi saat pertandingan berlangsung tengah pekan, hanya saat kontra Persija tribun terisi penuh. Selebihnya saya tidak pernah melihat stadion terisi penuh di tengah pekan. Disini saya tidak sedang ingin angkuh menyebut diri sebagai ‘pang-Persibna’, tak jarang saya pun hanya menyaksikan melalui layar televisi ketika waktu dan amunisi tidak menguntungkan. Tapi sebagai bobotoh, jujur gairah saya selalu terpacu lebih kuat saat puluhan ribu bobotoh tumpah ruah di dalam stadion. Meski harus berdesakan, meski harus berdiri sepanjang 90 menit, tapi ada ledakan emosi yang lebih hebat ketika kita berteriak bersama. Entah itu memberi semangat kepada Persib, entah itu menjatuhkan mental tim lawan, atau bahkan saat memaki wasit sekalipun.
Saat Persib menang, mari kita bersorak bersama. Dan saat Persib kalah, jangan sampai selangkahpun kita mundur. Berikan kritik, dorongan, serta sokongan. Karena dari situlah jatidiri bobotoh muncul.
Hari minggu nanti, Persib akan kembali bermain melawan Persik Kediri di Bandung. Itu adalah pertandingan terakhir Persib di Bandung musim ini sebelum babak 8 besar. Kalaupun ada hembusan kabar mengenai pertandingan melawan Persita dilaksanakan di Bandung, tetap kalaupun kita datang bukanlah sebagai bobotoh, karena itu adalah partai tandang dan sanksi bobotoh untuk tidak hadir dalam pertandingan tandang masih berlaku hingga September. Ada poin krusial yang harus diambil minggu nanti untuk mengamankan tiket 8 besar yang kitapun belum tahu seperti apa format dan regulasinya. Federasi disini memang amat menyebalkan. Dan untuk bobotoh, marilah jejali Si Jalak Harupat minggu nanti. Marilah membumi-birukan setiap tribun. Marilah kita ikut berperang bersama sebelas pemain di lapangan yang menyematkan mahkota kebanggaan kita.
Kebesaran bobotoh telah dititipkan nenek moyang kita secara turun-temurun. Sekarang, pusaran tugas itu telah sampai pada kita untuk menjaga sebaik-sebaiknya. Menjaga nama baik, menjaga keharmonisan, Persib, Bandung, serta Jawa Barat. Dan disana, Mang Ayi, Rangga, serta semua bobotoh yang telah meninggalkan kita terlebih dulu akan tersenyum bangga ketika melihat saudara-saudaranya masih mengepal erat panji Persib, tegak menyejukkan aroma sepakbola khas Bandung, berkelahi melindungi harga diri, dan tetap lantang menggairahkan setiap tribun di Indonesia. Jayalah Persibku!
Penulis hanyalah penonton bola amatiran. Berakun twitter @kiipeeng.

rek resep lalajo kumaha lamun maen siga ngalawan Semen padang,nempo pelatih euweuh usaha ngarobah strategi,ngaganti pemaen kalah ka diantep sakitu maen geus ka teter.lamun hayang loba nu lalajo kudu bisa narik hate bobotoh….eleh oge teu nanaon tp aya usaha supaya meunang