Jangan Salahkan Kotanya
Tuesday, 21 January 2014 | 21:10
Setiap kali membawakan siaran di salah satu radio swasta, seringkali sms dan telepon interaktif dari bobotoh mempertanyakan suatu hal yang cukup menggelitik, yaitu : “Setiap pemain bagus kalo main di PERSIB pasti jadi butut, tapi lamun pindah ka klub lain jadi alus deui”.
Suatu pernyataan yang mungkin terburu-buru dan tanpa analisis mendalam, namun ketika terlalu banyak bobotoh yang berpendapat seperti itu maka itu menuju suatu kebenaran karena bobotoh telah menangkap suatu fenomena, sehingga rasanya pernyataan dan pendapat “pemain bagus jadi butut kalo main di PERSIB dan bagus lagi kalo main di tim lain” menjadi terlalu menarik untuk diabaikan dan dianggap angin lalu. Tulisan ini hanya sekedar berbagi dan mencoba menarik sesuatu yang logis dan rasional mengapa pendapat dari banyak bobotoh yang saya bicarakan diatas tidak menjadi sebuah mitos dan anggapan yang justru mengutuk tim kota sendiri.
Cukup banyak contoh pemain-pemain yang tampil trengginas dan memukau tiba-tiba performanya menurun ketika berbaju PERSIB, walau tidak dapat dikatakan mendadak jelek dan memudarkan kebintangannya, toh dalam banyak kasus justru popularitas seorang pemain semakin terangkat walau penampilannya semakin biasa-biasa saja ketika bermain untuk PERSIB, bahkan ada juga beberapa pemain biasa yang secara tak sadar dianggap pemain hebat “ti baheulana” ketika membela PERSIB, sebagai contoh saya sebutkan saja semacam Salim Alaydrus, asa biasa pisan pan? Tapi label pemain alus melekat karena dia adalah skuad inti PERSIB pada masanya. Bahkan jika boleh jujur permainan salim jauh lebih dahsyat saat dia bermain untuk Persikota Tangerang. Hal yang sama saya lekatkan kepada Maman Abdurrahkan saat memperkuat PSIS, Aiswanto dengan Persminnya, Gonzales dengan Persiknya, Charis yulianto dengan Persijanya, dsb.
Kondisi yang membuat pemain merasa “alus, jagoan, hebat” itu terbentuk ketika dia telah memperkuat PERSIB, bisa jadi ini karena euforia sepakbola khas Bandung yang saya pastikan takkan ada bandingannya di Indonesia, pujian, ekspektasi, pemberitaan telah meninabobokan pemain-pemain hebat itu, seakan dengan bermain untuk PERSIB mereka telah meraih puncak dan keberhasilan dalam konteks karir sepakbola di Indonesia, oleh karena itu saya yang pertama kali mengenal Ferdinand Sinaga saat dia masuk tim PERSIB U-23 sangat respek dengan keputusannya hengkang dari kota Bandung dan memilih berkelana sementara rekan-rekan seangkatannya betah di Bandung walau hanya jadi pemain cadangan, dan hasilnya terlihat, Ferdinand tertempa di kota-kota “tak nyaman” seperti Batang, Wamena dsb. Bandung tidaklah sehat untuk pemain-pemain muda, cadangan abadi pun menjadi selebritis sekaligus idola setiap hari ketika membaca Koran, melihat TV, mendengar radio dan memantau dinamika pemberitaan online.
Apakah hanya sekedar itu? Saya pikir tidak, ternyata Bandung dengan segala kenikmatan dan kemudahannya pun berandil besar dalam pembentukan karakter para pemain ini. Seorang pemain dengan kontrak ratusan juta, mobil bagus, rumah bagus, gadget keren…tapi dia bisa apa dan mau ngapain jika bermain di kota-kota kecil seperti (misalnya): Jepara, Kediri, Lamongan, Rengat…….. Jangankan untuk mencari hiburan (apalagi hiburan malam: dugem, spa, billiard, karaoke), untuk sekedar mencari makanan enak atau kafe pun sulitnya minta ampun, ini saya alami sendiri ketika melakukan liputan PERSIB di kota-kota kecil (bukan kota utama provinsi) di Indonesia. Tapi apa jadinya ketika seluruh amunisi pria (mobil, uang, popularitas) itu ditempatkan di Bandung?…. Jawabannya adalah :dia mendapatkan segalanya, surga dunia. Mau makan enak? gampang, ada dimana-mana, nongkrong? Silahkan pilih, wanita? Bertebaran di kota bermartabat ini, cantik-cantik pula… Dari mulai ABG dengan pengawasan orang tua hingga teteh-teteh ateul nu geus lila teu digaro ku panakol bedug…. Semua relatif mudah diakses, mau serius dijadikan kekasih, sekedar have fun, pertukaran kehangatan secara transaksional, ataupun grupis-grupis yang bisa di TTM (Tumpak Tara Mayar)…. Dan memang jangan munafik, tempat-tempat hiburan pria dewasa pun memang banyak di kota agamis yang bermartabat ini, karaoke, klub, SPA, semuanya menjadi keniscayaan bagi pria-pria dewasa dan dapat diakses dengan mudah bagi mereka yang memiliki uang. Dan tentunya saya tidak tendensius, namun menurut hasil penelitian, atlet-atlet apalagi pemain sepakbola yang mengalami penempaan fisik secara rutin akan terpacu pula hormon-hormon kelelakiannya… Ditambah lagi asupan gizi yang baik, lengkap sudah.
Maka benarlah perintah agama yang menyarankan jika seorang pria tak kuat menahan syahwat namun belum mampu menikah maka berpuasalah, bukan berolahraga, karena bisa-bisa syahwat anda malah berlipat ganda seiring kebugaran fisik.
Kembali kepada fenomena “pemain butut lamun ka PERSIB alus mun di batur”, saya beri contoh langsung 2 pemain yang saya kenal:
1. Aji Nurpijal
Ketika di PERSIB jamannya Arcan Iurie, dirinya jarang dimainkan malah hampir tak pernah main, namun dirinya mencuri perhatian ketika pindah ke Persijap Jepara. Mainnya eksplosif, daya jelajah tinggi, perut sixpack nya pun muncul, tak seperti Aji Nurpijal yang saya kenal di PERSIB yang pantatnya terlalu besar untuk ukuran pemain sepakbola. Ketika kembali ke Bandung, terulang kembali keadaannya. Akhirnya saya perhatikan kota kepara tempat Aji Nurpijal pernah bermain. Kota kecil, mall kecil dan hanya ada beberapa, tempat main pun jarang, sehingga pemain bisa fokus berlatih. Seberes latihan pun para pemain bisa beristirahat optimal, bukannya keluyuran hingga larut malam seperti beberapa pemain yang sering saya temui di Bandung. Maka penempaan diri sebagai pemain sepakbola pun berjalan optimal di kota kecil ini, tak heran Aji Nurpijal bisa focus dan memunculkan otot-otot perutnya ketika di Persijap
2. Charis Yulianto
Ini adalah contoh yang lebih nyata, ketika main untuk Persija dia masuk timnas, ketika di PERSIB tercoret dari timnas, kemudian ketika pindah ke Sriwijaya kembali dipanggil timnas.
Akhirnya saya perhatikan betul ketika dia bermain untuk Persela Lamongan, tubuhnya kering dan ramping, tidak seperti saat di PERSIB. Charis bertubuh sedikit gempal, gerakannya pun tak terlalu gesit, mungkin tak kuasa menjaga pola makan ketika disodori makanan-makanan enak khas Bandung. Anda ingin tahu bagaimana sebagian anak-anak Persela nongkrong dan menghabiskan waktu? Mungkin sulit dipercaya namun anda takkan terkejut jika pemain selevel Kurniawan Dwi Yulianto pun cukup nongkrong di warung indomie sambil ngobrol dan bersantap ringan bersama rekan-rekannya. Karena untuk akses hiburan yang lengkap memang jaraknya cukup jauh dari Lamongan, yaitu harus pergi ke Surabaya, males juga yah…. Mendingan fokus latihan n istrirahat aja deh.
Namun apakah tesis bahwa kota yang enak seperti Bandung dipastikan akan membesarkan pemain yang buruk, tidak juga, jika seperti itu adanya maka tak aka nada klub tangguh dari kota Milan dan Roma Italia, ataupun klub yang mampu juarai liga Champion dari kota London dan Manchester Inggris. Kota-kota itu lebih gila lagi akses hiburannya tapi pemain-pemainnya pun tetap cemerlang dan berkontribusi positif bagi klubnya, kalo begitu jangan salahkan kotanya, tak ada yang salah dengan kota Bandung dengan segala kenikmatannya,
Bandung tidaklah berdosa, kuncinya adalah pengendalian diri si pemain itu sendiri. Masih ingat rumor duo singapura yang dipecat karena diduga kelayapan hingga mabuk saat menjelang pertandingan? Jika itu benar, maka itulah bentuk ketidakprofesionalan, karena mereka tak paham saat kapan harus bersenang-senang dan kapan saat bekerja, sehinggga kegiatan kelayapan menjelang pertandingan itu berimplikasi buruk kepada penampilan tim esok harinya. Di lain sisi saya mendukung mereka yang paham kapan waktu yang tepat untuk bersenang-senang, yaitu setelah pertandingan… Saya pernah bertemu dengan 3 pemain terkenal (2 asing, 1 lokal) di plaza sekitar perempatan dago-sulanjana, awalnya saya heran juga ngapain orang-orang dewasa seperti mereka kelayapan di tempat yang isinya hanya ABG-ABG seperti ini. Mereka pun canggung menjawab dan menuju lift, belakangan saya baru mengetahui bahwa di lantai atas mall tersebut ada tempat SPA khusus pria dewasa dan mereka mungkin ingin bersenang-senang karena pertandingan telah usai dengan hasil 3 poin. No problem, itu urusan pribadi yang tak berhak diusik dan hebatnya mereka mampu menahannya hingga pertandingan usai.
Jika masalah kebutuhan diatas masih dapat diperdebatkan karena berhubungan dengan kebutuhan biologis lelaki, dimana ada juga beberapa pemain yang jika tak mendapatkan “vitamin S” sebelum pertandingan justru permainannya akan buruk dan tidak jelas karena badmood dan gelisah. Maka untuk hal lain seperti makanan, waktu tidur dll tampaknya kita bersepakat bahwa semua harus memiliki komitmen dan tanggung jawab. Setidaknya bertanggung jawab terhadap kebugaran fisik mereka sendiri saat akan bermain untuk klub yang telah membayar mahal mereka. Tentunya bukan hal yang baik ketika saat latihan seorang pemain melakukan tergesa-gesa n tidak serius karena ada janjian nonton n karaokean dengan ABG lalu makan steak berlemak. Sementara tim lawan berlatih serius dan tak sempat memikirkan karaoke, nonton, main, sebelum pertandingan usai, mereka hanya tahu berlatih serius dan istirahat cukup serta tidak keluar malam.
Untuk hal ini ada 2 contoh menarik, yaitu Bekamenga n Barkoui yang nyaris tak tergoda dengan makanan-makanan enak khas Bandung, jika harus menyantapnya mereka melihat berdasar kebutuhan kalori dan Bekamenga selalu membawa suplemen khusus. Saya pernah mengajak Riduane Barkaoui makan di nasi Timbel Istiqomah dan dia memakan 3 potong ayam+setengah nasi. Dia bilang “ini makanan enak, tapi saya butuh proteinnya saja (3 ayam,itupun bukan yang digoreng). Karbohidrat (nasi) banyak hanya bagus untuk kamu supporter bola yang mau kenyang”… Sementara Kosin adalah orang yang memiliki jam malam cukup ketat, tak ada yang dapat mengajaknya keluyuran malam apalagi menjelang pertandingan. Sehabis latihan dia hanya tahu tidur dan istirahat yang cukup agar fokus dan bugar esok hari. Sementara ada pemain lokal yang tengah asik makan malam dengan digoreng, nasinya nambah pula karena menganggap kebutuhan makannya sama dengan tukang becak, pulang malam, dan besoknya (lagi-lagi) main jelek di lapangan,
Cerita ini saya tutup dengan cerita lucu: Beberapa musum lalu, saat itu klub juara bertahan dihajar habis-habisan oleh PERSIB di Jalak Harupat. Hal yang sedikitnya sudah saya prediksi karena beberapa pemain lawan tampak leuleus n tunduh. Malam sebelumnya, saya dengar para pemain inti tim yang akan menjadi lawan PERSIB tengah mendatangi tempat SPA n hiburan malam. Konon diajak oleh pemain tim lawan yang musim sebelumnya bermain untuk PERSIB.
*Penulis seringkali mendesah di akun twitter @ekomaung
Ingin tulisannya dimuat di sini? silahkan kirim artikelmu ke email simamaung.com@gmail.com atau redaksi@simamaung.com

Setiap kali membawakan siaran di salah satu radio swasta, seringkali sms dan telepon interaktif dari bobotoh mempertanyakan suatu hal yang cukup menggelitik, yaitu : “Setiap pemain bagus kalo main di PERSIB pasti jadi butut, tapi lamun pindah ka klub lain jadi alus deui”.
Suatu pernyataan yang mungkin terburu-buru dan tanpa analisis mendalam, namun ketika terlalu banyak bobotoh yang berpendapat seperti itu maka itu menuju suatu kebenaran karena bobotoh telah menangkap suatu fenomena, sehingga rasanya pernyataan dan pendapat “pemain bagus jadi butut kalo main di PERSIB dan bagus lagi kalo main di tim lain” menjadi terlalu menarik untuk diabaikan dan dianggap angin lalu. Tulisan ini hanya sekedar berbagi dan mencoba menarik sesuatu yang logis dan rasional mengapa pendapat dari banyak bobotoh yang saya bicarakan diatas tidak menjadi sebuah mitos dan anggapan yang justru mengutuk tim kota sendiri.
Cukup banyak contoh pemain-pemain yang tampil trengginas dan memukau tiba-tiba performanya menurun ketika berbaju PERSIB, walau tidak dapat dikatakan mendadak jelek dan memudarkan kebintangannya, toh dalam banyak kasus justru popularitas seorang pemain semakin terangkat walau penampilannya semakin biasa-biasa saja ketika bermain untuk PERSIB, bahkan ada juga beberapa pemain biasa yang secara tak sadar dianggap pemain hebat “ti baheulana” ketika membela PERSIB, sebagai contoh saya sebutkan saja semacam Salim Alaydrus, asa biasa pisan pan? Tapi label pemain alus melekat karena dia adalah skuad inti PERSIB pada masanya. Bahkan jika boleh jujur permainan salim jauh lebih dahsyat saat dia bermain untuk Persikota Tangerang. Hal yang sama saya lekatkan kepada Maman Abdurrahkan saat memperkuat PSIS, Aiswanto dengan Persminnya, Gonzales dengan Persiknya, Charis yulianto dengan Persijanya, dsb.
Kondisi yang membuat pemain merasa “alus, jagoan, hebat” itu terbentuk ketika dia telah memperkuat PERSIB, bisa jadi ini karena euforia sepakbola khas Bandung yang saya pastikan takkan ada bandingannya di Indonesia, pujian, ekspektasi, pemberitaan telah meninabobokan pemain-pemain hebat itu, seakan dengan bermain untuk PERSIB mereka telah meraih puncak dan keberhasilan dalam konteks karir sepakbola di Indonesia, oleh karena itu saya yang pertama kali mengenal Ferdinand Sinaga saat dia masuk tim PERSIB U-23 sangat respek dengan keputusannya hengkang dari kota Bandung dan memilih berkelana sementara rekan-rekan seangkatannya betah di Bandung walau hanya jadi pemain cadangan, dan hasilnya terlihat, Ferdinand tertempa di kota-kota “tak nyaman” seperti Batang, Wamena dsb. Bandung tidaklah sehat untuk pemain-pemain muda, cadangan abadi pun menjadi selebritis sekaligus idola setiap hari ketika membaca Koran, melihat TV, mendengar radio dan memantau dinamika pemberitaan online.
Apakah hanya sekedar itu? Saya pikir tidak, ternyata Bandung dengan segala kenikmatan dan kemudahannya pun berandil besar dalam pembentukan karakter para pemain ini. Seorang pemain dengan kontrak ratusan juta, mobil bagus, rumah bagus, gadget keren…tapi dia bisa apa dan mau ngapain jika bermain di kota-kota kecil seperti (misalnya): Jepara, Kediri, Lamongan, Rengat…….. Jangankan untuk mencari hiburan (apalagi hiburan malam: dugem, spa, billiard, karaoke), untuk sekedar mencari makanan enak atau kafe pun sulitnya minta ampun, ini saya alami sendiri ketika melakukan liputan PERSIB di kota-kota kecil (bukan kota utama provinsi) di Indonesia. Tapi apa jadinya ketika seluruh amunisi pria (mobil, uang, popularitas) itu ditempatkan di Bandung?…. Jawabannya adalah :dia mendapatkan segalanya, surga dunia. Mau makan enak? gampang, ada dimana-mana, nongkrong? Silahkan pilih, wanita? Bertebaran di kota bermartabat ini, cantik-cantik pula… Dari mulai ABG dengan pengawasan orang tua hingga teteh-teteh ateul nu geus lila teu digaro ku panakol bedug…. Semua relatif mudah diakses, mau serius dijadikan kekasih, sekedar have fun, pertukaran kehangatan secara transaksional, ataupun grupis-grupis yang bisa di TTM (Tumpak Tara Mayar)…. Dan memang jangan munafik, tempat-tempat hiburan pria dewasa pun memang banyak di kota agamis yang bermartabat ini, karaoke, klub, SPA, semuanya menjadi keniscayaan bagi pria-pria dewasa dan dapat diakses dengan mudah bagi mereka yang memiliki uang. Dan tentunya saya tidak tendensius, namun menurut hasil penelitian, atlet-atlet apalagi pemain sepakbola yang mengalami penempaan fisik secara rutin akan terpacu pula hormon-hormon kelelakiannya… Ditambah lagi asupan gizi yang baik, lengkap sudah.
Maka benarlah perintah agama yang menyarankan jika seorang pria tak kuat menahan syahwat namun belum mampu menikah maka berpuasalah, bukan berolahraga, karena bisa-bisa syahwat anda malah berlipat ganda seiring kebugaran fisik.
Kembali kepada fenomena “pemain butut lamun ka PERSIB alus mun di batur”, saya beri contoh langsung 2 pemain yang saya kenal:
1. Aji Nurpijal
Ketika di PERSIB jamannya Arcan Iurie, dirinya jarang dimainkan malah hampir tak pernah main, namun dirinya mencuri perhatian ketika pindah ke Persijap Jepara. Mainnya eksplosif, daya jelajah tinggi, perut sixpack nya pun muncul, tak seperti Aji Nurpijal yang saya kenal di PERSIB yang pantatnya terlalu besar untuk ukuran pemain sepakbola. Ketika kembali ke Bandung, terulang kembali keadaannya. Akhirnya saya perhatikan kota kepara tempat Aji Nurpijal pernah bermain. Kota kecil, mall kecil dan hanya ada beberapa, tempat main pun jarang, sehingga pemain bisa fokus berlatih. Seberes latihan pun para pemain bisa beristirahat optimal, bukannya keluyuran hingga larut malam seperti beberapa pemain yang sering saya temui di Bandung. Maka penempaan diri sebagai pemain sepakbola pun berjalan optimal di kota kecil ini, tak heran Aji Nurpijal bisa focus dan memunculkan otot-otot perutnya ketika di Persijap
2. Charis Yulianto
Ini adalah contoh yang lebih nyata, ketika main untuk Persija dia masuk timnas, ketika di PERSIB tercoret dari timnas, kemudian ketika pindah ke Sriwijaya kembali dipanggil timnas.
Akhirnya saya perhatikan betul ketika dia bermain untuk Persela Lamongan, tubuhnya kering dan ramping, tidak seperti saat di PERSIB. Charis bertubuh sedikit gempal, gerakannya pun tak terlalu gesit, mungkin tak kuasa menjaga pola makan ketika disodori makanan-makanan enak khas Bandung. Anda ingin tahu bagaimana sebagian anak-anak Persela nongkrong dan menghabiskan waktu? Mungkin sulit dipercaya namun anda takkan terkejut jika pemain selevel Kurniawan Dwi Yulianto pun cukup nongkrong di warung indomie sambil ngobrol dan bersantap ringan bersama rekan-rekannya. Karena untuk akses hiburan yang lengkap memang jaraknya cukup jauh dari Lamongan, yaitu harus pergi ke Surabaya, males juga yah…. Mendingan fokus latihan n istrirahat aja deh.
Namun apakah tesis bahwa kota yang enak seperti Bandung dipastikan akan membesarkan pemain yang buruk, tidak juga, jika seperti itu adanya maka tak aka nada klub tangguh dari kota Milan dan Roma Italia, ataupun klub yang mampu juarai liga Champion dari kota London dan Manchester Inggris. Kota-kota itu lebih gila lagi akses hiburannya tapi pemain-pemainnya pun tetap cemerlang dan berkontribusi positif bagi klubnya, kalo begitu jangan salahkan kotanya, tak ada yang salah dengan kota Bandung dengan segala kenikmatannya,
Bandung tidaklah berdosa, kuncinya adalah pengendalian diri si pemain itu sendiri. Masih ingat rumor duo singapura yang dipecat karena diduga kelayapan hingga mabuk saat menjelang pertandingan? Jika itu benar, maka itulah bentuk ketidakprofesionalan, karena mereka tak paham saat kapan harus bersenang-senang dan kapan saat bekerja, sehinggga kegiatan kelayapan menjelang pertandingan itu berimplikasi buruk kepada penampilan tim esok harinya. Di lain sisi saya mendukung mereka yang paham kapan waktu yang tepat untuk bersenang-senang, yaitu setelah pertandingan… Saya pernah bertemu dengan 3 pemain terkenal (2 asing, 1 lokal) di plaza sekitar perempatan dago-sulanjana, awalnya saya heran juga ngapain orang-orang dewasa seperti mereka kelayapan di tempat yang isinya hanya ABG-ABG seperti ini. Mereka pun canggung menjawab dan menuju lift, belakangan saya baru mengetahui bahwa di lantai atas mall tersebut ada tempat SPA khusus pria dewasa dan mereka mungkin ingin bersenang-senang karena pertandingan telah usai dengan hasil 3 poin. No problem, itu urusan pribadi yang tak berhak diusik dan hebatnya mereka mampu menahannya hingga pertandingan usai.
Jika masalah kebutuhan diatas masih dapat diperdebatkan karena berhubungan dengan kebutuhan biologis lelaki, dimana ada juga beberapa pemain yang jika tak mendapatkan “vitamin S” sebelum pertandingan justru permainannya akan buruk dan tidak jelas karena badmood dan gelisah. Maka untuk hal lain seperti makanan, waktu tidur dll tampaknya kita bersepakat bahwa semua harus memiliki komitmen dan tanggung jawab. Setidaknya bertanggung jawab terhadap kebugaran fisik mereka sendiri saat akan bermain untuk klub yang telah membayar mahal mereka. Tentunya bukan hal yang baik ketika saat latihan seorang pemain melakukan tergesa-gesa n tidak serius karena ada janjian nonton n karaokean dengan ABG lalu makan steak berlemak. Sementara tim lawan berlatih serius dan tak sempat memikirkan karaoke, nonton, main, sebelum pertandingan usai, mereka hanya tahu berlatih serius dan istirahat cukup serta tidak keluar malam.
Untuk hal ini ada 2 contoh menarik, yaitu Bekamenga n Barkoui yang nyaris tak tergoda dengan makanan-makanan enak khas Bandung, jika harus menyantapnya mereka melihat berdasar kebutuhan kalori dan Bekamenga selalu membawa suplemen khusus. Saya pernah mengajak Riduane Barkaoui makan di nasi Timbel Istiqomah dan dia memakan 3 potong ayam+setengah nasi. Dia bilang “ini makanan enak, tapi saya butuh proteinnya saja (3 ayam,itupun bukan yang digoreng). Karbohidrat (nasi) banyak hanya bagus untuk kamu supporter bola yang mau kenyang”… Sementara Kosin adalah orang yang memiliki jam malam cukup ketat, tak ada yang dapat mengajaknya keluyuran malam apalagi menjelang pertandingan. Sehabis latihan dia hanya tahu tidur dan istirahat yang cukup agar fokus dan bugar esok hari. Sementara ada pemain lokal yang tengah asik makan malam dengan digoreng, nasinya nambah pula karena menganggap kebutuhan makannya sama dengan tukang becak, pulang malam, dan besoknya (lagi-lagi) main jelek di lapangan,
Cerita ini saya tutup dengan cerita lucu: Beberapa musum lalu, saat itu klub juara bertahan dihajar habis-habisan oleh PERSIB di Jalak Harupat. Hal yang sedikitnya sudah saya prediksi karena beberapa pemain lawan tampak leuleus n tunduh. Malam sebelumnya, saya dengar para pemain inti tim yang akan menjadi lawan PERSIB tengah mendatangi tempat SPA n hiburan malam. Konon diajak oleh pemain tim lawan yang musim sebelumnya bermain untuk PERSIB.
*Penulis seringkali mendesah di akun twitter @ekomaung
Ingin tulisannya dimuat di sini? silahkan kirim artikelmu ke email simamaung.com@gmail.com atau redaksi@simamaung.com

intinya profesionalitas si pemain sendiri.. ronaldo moal jd pemain terbaik 2013 mun teu profesional mah.. plus sepertinya manajemen harus memberikan aturan ketat terkait jam malam.. bisa sangsi yg membuat pemain jera.. lamun jd teu betah paduli teuing titah pindah weh
” teteh-teteh ateul nu geus lila teu digaro ku panakol bedug… ” ha ha ha, di Persib mah nepi ka host tv jeung penyiar radio ge rela di “gilir” tuda, saha nu teu ngelay…
liputan khusus dari sdr eko maung,,, tanpa disadari memang begitulah realitanya
emang bener siih.. ti jaman baheula… peri sandria di Bandung Raya jago pisan..ari asup ka PERSIB heseee ngasupkeun.. tpi tetep inti na pemaena wee.. teu siap menerima pengharapan yang tinggi ti para bobotoh, shock ningali dukungan nu moal aya duana didunya… jdi sbnerna balik deui ka manajemen mun rek ngarekrut pemaen selain ditingali skillna oge psikologisna … ABANDA HERMAN conto nu bagus tahh..
“teteh-teteh ateul nu geus lila teu digaro ku panakol bedug…”
jeung
“TTM (Tumpak Tara Mayar)” sumpah aing ngakak lah..