ISL, APBD dan Klub Mandiri
Wednesday, 11 August 2010 | 10:27Penulis: Rima Intan
Sudah 15 tahun kompetisi liga Indonesia era “professional” digulirkan oleh PSSI. Selama 15 tahun itu pula lah konsep liga terus berubah, dimulai 2 wilayah, 3 wilayah, kembali lagi 2 wilayah, format satu grup, lalu kembali lagi ke format 2 wilayah sampe pada akhirnya berformat satu wilayah (ISL) semoga format ini terus dipertahankan dan kemudian menjadi mapan.
Yang menarik selama 15 tahun itu perkembangan klub-klub cenderung jalan di tempat dan tidak mengalami perkembangan. Tim-tim peserta liga Indonesia terus saja masih mengandalkan dana APBD sebagai pemasukan utama. Seolah tidak mau berpikir bagaimana caranya agar klub bisa menjadi mandiri. Memang PAD (pendapatan asli daerah) setiap daerah berbeda, sebut saja Riau, Kaltim dan Papua yang merupakan provinsi kaya di Nusantara. Tapi bagaimana dengan nasib daerah-daerah lainnya?
Diawal kompetisi ISL 2008 Mendagri mengeluarkan SK mengenai pelarangan pengalokasian APBD kepada klub peserta liga. Tapi pada kenyataannya memasuki musim kompetisi 2009 masih saja klub peserta ISL menggunakan APBD sebagai penyambung hidup. Yang lebih menyedihkan Presiden mencabut SK mendagri itu dan memperbolehkan klub peserta liga memakai APBD. Ini katanya salah satu hasil dari KSN (yang menghabiskan dana milyaran rupiah) namun pada akhirnyanya tetap kembali lagi kepada kebijakan lama (dengan alasan klasik sebagai bentuk konkrit pemerintah dalam membantu mengembangkan sepakbola dalam negeri.
Lalu pertanyaannya sampai kapan klub peserta liga akan mandiri tanpa bantuan APBD? 15,20,25 tahun kemudian? Mending bubar saja kalau tidak ada progress yang jelas. Pemerintah memang wajib membantu tapi Pemerintahpun harus tegas dalam mengambil sikap, sampai batas mana pemerintah wajib membantu dalam membangun pondasi sepakbola nasional. Berapa lama jangka waktu yang dibutuhkan untuk membantu membimbing klub dalam proses menuju klub profesional. Pencabutan SK ini harus diikuti dengan kebijakan-kebijakan lain yang membantu menuju kearah perbaikan.
Dalam benak saya alangkah lebih baiknya jika status klub peserta liga dirubah dalam bentuk BUMD (badan usaha milik daerah). Tetap menggunakan APBD, tetapi porsinya terus dikurangi setiap tahunnya sampai pada akhirnya klub bisa mandiri dan bisa menjadi sumber PAD (pendapatan asli daerah). Kalau selamanya APBD itu terus dihibahkan kepada klub, saya yakin 100% pengelola klub tidak akan pernah berfikir untung rugi (mengabaikan sisi bisnis). Mekanisme pertanggungjawabannya pun kita tidak tahu seperti apa, apa hanya setumpuk kertas yang materinya hanya konfirmasi penggunaan dana APBD, atau memang benar “pertanggungjawaban”. Kalau terus begini sampai kapan pun klub peserta liga akan tetap mengandalkan APBD.
Serahkan pengelolaan klub peserta liga kepada orang yang tahu sepakbola secara luar dalam, baik sisi bisnis ataupun prestasi. Jangan lagi diberikan kepada pejabat daerah baik itu bupati, walikota ataupun gubernur. Mereka cukup mendukung dari belakang saja. Biarkan mereka berkreasi dalam mengurus klub (memutar uang, mengelola pemain dsb) yang penting klub bisa tetap survive dalam mengarungi liga. Dengan begitu uang milyaran rupiah bisa tetap berputar dan tidak dihamburkan begitu saja setiap tahun.
Kita akan sangat bangga menjadi pemenang ketika kualitas kompetitor kita berada dalam level yang sama.
VIVA PERSIB, BRAVO SEPAKBOLA NASIONAL!!
Pendapat yang dinyatakan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan pendapat pribadi penulis, dan tidak mencerminkan pendapat redaksi Simamaung.

Penulis: Rima Intan
Sudah 15 tahun kompetisi liga Indonesia era “professional” digulirkan oleh PSSI. Selama 15 tahun itu pula lah konsep liga terus berubah, dimulai 2 wilayah, 3 wilayah, kembali lagi 2 wilayah, format satu grup, lalu kembali lagi ke format 2 wilayah sampe pada akhirnya berformat satu wilayah (ISL) semoga format ini terus dipertahankan dan kemudian menjadi mapan.
Yang menarik selama 15 tahun itu perkembangan klub-klub cenderung jalan di tempat dan tidak mengalami perkembangan. Tim-tim peserta liga Indonesia terus saja masih mengandalkan dana APBD sebagai pemasukan utama. Seolah tidak mau berpikir bagaimana caranya agar klub bisa menjadi mandiri. Memang PAD (pendapatan asli daerah) setiap daerah berbeda, sebut saja Riau, Kaltim dan Papua yang merupakan provinsi kaya di Nusantara. Tapi bagaimana dengan nasib daerah-daerah lainnya?
Diawal kompetisi ISL 2008 Mendagri mengeluarkan SK mengenai pelarangan pengalokasian APBD kepada klub peserta liga. Tapi pada kenyataannya memasuki musim kompetisi 2009 masih saja klub peserta ISL menggunakan APBD sebagai penyambung hidup. Yang lebih menyedihkan Presiden mencabut SK mendagri itu dan memperbolehkan klub peserta liga memakai APBD. Ini katanya salah satu hasil dari KSN (yang menghabiskan dana milyaran rupiah) namun pada akhirnyanya tetap kembali lagi kepada kebijakan lama (dengan alasan klasik sebagai bentuk konkrit pemerintah dalam membantu mengembangkan sepakbola dalam negeri.
Lalu pertanyaannya sampai kapan klub peserta liga akan mandiri tanpa bantuan APBD? 15,20,25 tahun kemudian? Mending bubar saja kalau tidak ada progress yang jelas. Pemerintah memang wajib membantu tapi Pemerintahpun harus tegas dalam mengambil sikap, sampai batas mana pemerintah wajib membantu dalam membangun pondasi sepakbola nasional. Berapa lama jangka waktu yang dibutuhkan untuk membantu membimbing klub dalam proses menuju klub profesional. Pencabutan SK ini harus diikuti dengan kebijakan-kebijakan lain yang membantu menuju kearah perbaikan.
Dalam benak saya alangkah lebih baiknya jika status klub peserta liga dirubah dalam bentuk BUMD (badan usaha milik daerah). Tetap menggunakan APBD, tetapi porsinya terus dikurangi setiap tahunnya sampai pada akhirnya klub bisa mandiri dan bisa menjadi sumber PAD (pendapatan asli daerah). Kalau selamanya APBD itu terus dihibahkan kepada klub, saya yakin 100% pengelola klub tidak akan pernah berfikir untung rugi (mengabaikan sisi bisnis). Mekanisme pertanggungjawabannya pun kita tidak tahu seperti apa, apa hanya setumpuk kertas yang materinya hanya konfirmasi penggunaan dana APBD, atau memang benar “pertanggungjawaban”. Kalau terus begini sampai kapan pun klub peserta liga akan tetap mengandalkan APBD.
Serahkan pengelolaan klub peserta liga kepada orang yang tahu sepakbola secara luar dalam, baik sisi bisnis ataupun prestasi. Jangan lagi diberikan kepada pejabat daerah baik itu bupati, walikota ataupun gubernur. Mereka cukup mendukung dari belakang saja. Biarkan mereka berkreasi dalam mengurus klub (memutar uang, mengelola pemain dsb) yang penting klub bisa tetap survive dalam mengarungi liga. Dengan begitu uang milyaran rupiah bisa tetap berputar dan tidak dihamburkan begitu saja setiap tahun.
Kita akan sangat bangga menjadi pemenang ketika kualitas kompetitor kita berada dalam level yang sama.
VIVA PERSIB, BRAVO SEPAKBOLA NASIONAL!!
Pendapat yang dinyatakan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan pendapat pribadi penulis, dan tidak mencerminkan pendapat redaksi Simamaung.
