

Budiman, Bandung, 2021
Ironis. Satu kata yang bisa menggambarkan karir Budiman sebagai pesepakbola. Bermimpi menjadi pemain Persib, mengawali karir bersama Persib, namun prestasi didapat bersama tim rival. Bandung Raya dan Persija dibawanya ke singgasana juara, bahkan bersama Macan Kemayoran, perannya tidak main-main, menjadi kapten kesebelasan.
Lahir dan tumbuh di Lembang, Budiman menimba ilmu di SSB Capella. Seperti layaknya anak muda di Tatar Priangan, angannya adalah menjadi bagian dari tim Persib. Karirnya di level junior pun dimulai dari Piala Haornas (U-15), Piala Suratin (U-17), Persib U-19, Persib U-21 hingga Persib B. Jalur yang ditempuh berjalan mulus hingga akhirnya menembus tim senior di tahun 1990 dengan status pemain termuda.
Hanya saja keberadaan pemain-pemain senior yang lebih berpengalaman dan kualitasnya terbukti bisa membawa juara membuat wing back kelahiran 5 Agustus 1972 sulit menembus tim utama. Dia harus bersaing untuk mendapat kesempatan bermain. Akhirnya di tahun 1993 ia bersama beberapa pemain yang tergabung di tim PON Jawa Barat hengkang ke Bandung Raya, tim sekota Persib yang bermain di kompetisi Galatama.
Bakat Budiman terus terasah bersama Bandung Raya, hingga talentanya bisa membantu tim menjadi juara Liga Indonesia II 1995/1996, kompetisi kasta tertinggi Indonesia pasca peleburan Perserikatan dengan Galatama. Setelah itu, Bandung Raya bubar dan dia hengkang ke Persikab Kabupaten Bandung sebelum akhirnya diajak Herry Kiswanto membela Persija di musim 1999/2000.
Herry Kiswanto adalah eks rekan setimya di Bandung Raya yang sudah menjadi asisten pelatih Persija pada tahun 1999. Budiman yang saat itu berstatus free transfer tidak dilirik oleh Persib dan akhirnya menerima ajakan untuk pindah ke Ibu Kota. Di bawah arahan Ivan Kolev, Macan Kemayoran dibawanya melaju ke semifinal Liga 1999/2000 namun harus kalah dari PSM Makassar.
“Tujuan saya waktu itu bukan semata-mata melihat uang tapi saya ingin lebih berprestasi lagi. Bukannya saya tidak mau masuk Persib, tetapi setelah Bandung Raya dan Persikab, sama sekali tidak ada tawaran buat saya masuk ke Persib lagi, ya sudah saya pergi ke Persija. Di Persija juga saya tidak melihat nominal kontrak,” tutur Budiman kepada Simamaung.
Gagal menjadi juara di musim pertama bersama Persija tidak menyurutkan asanya. Pergantian tampuk kepemimpinan ke tangan Sofyan Hadi justru malah berdampak positif karena di Liga Indonesia 2001 Budiman akhirnya kembali merasakan gelar juara. Lebih istimewanya, dia bertindak sebagai kapten, sosok yang menjadi komandan perang di lapangan dan mengangkat piala di momen seremoni.
Kemenangan 3-2 di pertandingan final atas PSM membalaskan dendam atas kekalahan di musim yang sebelumnya. Gelar juara ini juga menjadi ajang Budiman membuktikan diri atas kepercayaan dari Sofyan Hadi dan rekan-rekan setimnya. Meskipun ia adalah orang Bandung, tapi semua elemen di tim menaruh hormat padanya.
“Karena waktu itu pemain Persija itu orang-orang luar Jakarta jadi sangat welcome dan respek semua, justru saling support dan saling dukung. Apalagi dengan suporternya yang banyak, manajemen dan juga manajer yang ingin prestasi, kita di situ betul-betul harus kerja keras. Jangan dengan label tim nasional latihan leha-leha. Justru karena ada senior seperti Widodo, Luciano (Leandro), Nur Alim juga, kipernya Mbeng Jean, kita punya motivasi untuk buktikan. Semua sangat respek sekali,” tuturnya.
Pertanyaan sebenarnya bersemayam di benak Budiman ketika ditunjuk menjadi kapten di musim 2001. Namun kebingungan itu dijawabnya dengan motivasi untuk menunjukkan bahwa tim pelatih tidak salah menyematkan ban kapten di lengannya. Terbukti akhirnya dia bisa memimpin tim yang saat itu memiliki materi pemain bintang di setiap lini.

Budiman, Bandung, 2021
“Saya juga tidak tahu, waktu itu Pak Sofyan, Arjuna (Rinaldi) sama Bang Isman Jasulmei menunjuk saya jadi kapten. Tapi setelah ditunjuk saya punya motivasi sendiri ‘inilah saatnya untuk menunjukkan’, apalagi saya orang Bandung yang main di Jakarta dengan pemain-pemain label timnas semua, saya harus bisa memberikan yang terbaik buat tim Persija,” jelasnya.
Sebenarnya bukan pekerjaan mudah untuk menjadi pemimpin tim yang dihuni pemain top. Persija di musim 2001 memang disebut sebagai miniatur tim nasional karena di sana ada Bambang Pamungkas, Widodo Cahyono Putro, Gendut Doni, Anang Maruf, Imran Nahumarury, Budi Sudarsono dan Nur Alim. Belum lagi adanya pemain asing seperti Mbeng Jean, Antonio Claudio dan Luciano Leandro.
Sebagai kapten, Budiman hanya mencoba untuk merangkul dan menjalin kedekatan dengan semua pemain. Selain itu dia juga selalu berusaha memberi contoh dengan berlatih lebih giat supaya rekan-rekan setimnya menaruh hormat. Upaya yang dilakukan pun berimbas positif karena Persija mampu menjadi tim yang disegani dan nama Budiman tercatat sebagai pemimpinnya.
“Saya sama semua pemain dekat, sama pemain asing maupun lokal dekat. Kita saling respek, saling support dan setelah saya punya tanggung jawab terutama di lapangan, saya harus ada lebihnya dari mereka. Jadi saya betul-betul kerja keras dan jangan lupa berdoa lebih lagi. Teman-teman juga saya rangkul semua dan dengan kualitas pemain Persija waktu itu semua tim lain segan,” jelasnya.
Menurutnya ada beberapa hal yang perlu ditonjolkan dari seorang kapten kesebelasan. Di samping attitude yang bagus, kapten harus mampu mengangkat moril pemain di lapangan. Ketika terpuruk, pemimpin harus bisa melecut semangat tim untuk bangkit. Selain itu di luar lapangan juga kapten mempunyai peran penting dalam mendengar keluhan pemain terutama pemain pelapis.
“Kalau di luar (lapangan) ya harus mau ngobrol terutama mendengar keluhan dari pemain cadangan. Kita harus betul-betul respek sama pemain cadangan, kalau pemain inti ga usah terlalu, tapi pemain cadangan ini yang banyak ngeluhnya dan kita harus bisa memberikan solusinya,” terang pria yang kini berusia 48 tahun tersebut.
Budiman sendiri merupakan pemain yang punya karakter kuat di lapangan. Dia bisa meledak-ledak, sosok dengan perangai galak selama 90 menit. Padahal di luar lapangan, Budiman adalah sosok yang kalem khas orang Sunda. Menurutnya memang sebagai kapten, perlu menunjukkan sikap yang ngotot agar membangun rasa percaya diri rekan-rekan setim.
“Saya memang style-nya begitu, saya bukan galak tapi dengan saya bicara agak keras sedikit ya untuk memotivasi teman-teman biar semangat. Jadi jangan takut sama lawan, apalagi kalau dulu tahu sendiri PSMS dengan karakter mainnya, PSM terus Arema dengan karakter keras kita jangan sampai takut, ya itu peran kapten, beri contoh lah buat teman-teman jangan takut karena ada referee, kita sama main di away atau home. Jadi dengan karakter kapten yang keras ini salah satu motivasi buat teman-teman,” ujarnya.
Rekam jejak ciamik dengan membawa Persija juara sebagai kapten pun menarik lagi perhatian Persib untuk membawa pulang Budiman. Di musim 2002, Walikota Bandung, Aa Tarmana dan pelatih Deny Syamsudin mengajaknya kembali membela panji Maung Bandung. Kali ini, ban kapten pun disematkan di lengan pemain yang mengenakan nomor punggung 2 tersebut.
Lagi-lagi Persib bukan tempat yang klop dalam karirnya sebagai pemain. Karena di musim 2003 dirinya harus menerima kenyataan terlempar dari klub. Padahal Budiman ingin sekali tetap bermain di Bandung sebelum gantung sepatu tapi manajemen tidak memperpanjang kontraknya. Hingga akhirnya setelah itu Budiman merantau lagi ke Persija, Persema, Persikabo, Persibat hingga Persidafon.
Ditulis oleh Mohamad Anki Syaban, jurnalis Simamaung, berakun Twitter @Ankisyaban dan Instagram @anki_syaban.
Komentar Bobotoh