Yang Spesial dari Hariono
Faktor yang membedakan Mas Har dengan seniornya, Suwita, salah satunya adalah tenaga dan daya jelajahnya. Suwita yang di tahun 2008 telah menginjak usia 34 sering kali mulai kedodoran di babak kedua. Mas Har lebih menjanjikan energi full sepanjang pertandingan alias “eweuh kacape”. Energi yang berlebih ini sering berimbas pada gaya permainan Mas Har ketika itu yang cenderung keras dan banyak melakukan pelanggaran.
Jika dilihat dari peran dan posisi, sepintas Mas Har seperti tak memiliki kemampuan spesial; hanya mengandalkan fisik dan tackle keras. Lantas apa yang membuatnya spesial di mata bobotoh? Meskipun seperti hanya mengandalkan kekuatan fisik dan tackle keras belaka, Mas Har mampu mengemban tugas dengan baik secara konsisten, punya disiplin taktik yang tinggi, dan ulet menjalankan perannya. Hal ini yang membuat Mas Har selalu terlihat lebih baik daripada pemain lain. Dalam kondisi tim yang sedang off form sekalipun, ia seperti bermain bagus sendiri karena disiplin taktik dan kerja kerasnya itu. Dari hal-hal semacam inilah, banyak bobotoh menaruh hormat dan simpati padanya.
Ditilik dari perkembangan taktik Persib, Mas Har menjadi amat spesial karena menjadi bagian penting dalam transformasi taktik Persib; dari yang biasa menggunakan 3-5-2 menjadi 4-2-3-1. Perubahan trend taktik ini pulalah yang sedikit demi sedikit turut mengubah gaya bermain Mas Har.
Sepeninggal Jaya Hartono dari Persib, secara mengejutkan, Mas Har ternyata tidak turut pergi. Ia bertahan dan beradaptasi dengan skema baru para pelatih anyar seperti Darko Janacovic, Daniel Roekito (2011) dan Drago Mamic (2012). Di masa-masa inilah transformasi Mas Har mulai terjadi. Bermain dalam skema 4-2-3-1 dengan double pivot di tengah, mau tidak mau memaksa pemain gondrong yang satu ini untuk lebih andal dalam memberikan umpan. Double pivot dalam 4-2-3-1 memiliki peran penting dalam memulai serangan dan menyeimbangkan jumlah pemain ketika bertahan. Bermain dengan beberapa gelandang “pemikir” seperti Eka, Robbie Gaspar, dan Miljan Radovic agaknya turut memengaruhi gaya bermain Mas Har. Ia mulai meninggalkan kebiasaan lamanya dalam mengoleksi kartu, lebih rapi dalam merebut bola, dan lebih baik dalam memberikan umpan.
Paripurnanya transformasi Mas Har terjadi di masa kepelatihan Djanur pada 2013 dan 2014. Bermain bersama dua deep lying playmaker andal seperti M. Taufiq dan Firman Utina, Mas Har dirancang Djanur untuk lebih memiliki atribusi seorang box to box midfield. Kawan-kawan dari stdsiliwangi menyebut bahwa Mas Har di era Djanur telah bertransformasi menjadi Hariono 2.0; Hariono yang lebih lentur, lebih berani melewati pemain lawan, dan lebih bijak dalam pengambilan keputusan. Dapat dikatakan bahwa puncak keemasan permainan Mas Har terjadi di bawah kepelatihan Djanur (2013, 2014, 2015, 2016 [ISC], 2017). Banyak gelandang bertahan yang keluar-masuk di periode tersebut, dari mulai Asri Akbar, M. Taufiq, Dedi Kusnandar, hingga Kim dan Essien, tetapi Djanur selalu memberikan tempat utama kepada Hariono. Ini bukti yang menunjukkan Bahwa Hariono spesial.
Senjakala Sang Ball Winning Midfield
Ada satu masa di mana Si Eweuh Kacape itu bertemu dengan lelahnya. Betapapun begitu sempurnanya Hariono di mata bobotoh, ia akan pula mendapati hari buruknya. Hari buruk yang dibayangkan itu mulai sering terjadi di era kepelatihan Mario Gomez (2018) dan terjadi pula ketika Persib ditanganni Robert Albert (2019). Mas Har masih pemain yang bagus dan ulet seperti dulu, hanya saja jadwal liga yang sangat padat, mungkin juga faktor usia yang bertambah, seperti tak memungkinkan buatnya untuk terus bermain dalam tempo tinggi sepanjang musim. Mas Har mulai terasa “biasa saja” di era kepelatihan Gomez, apalagi menjelang akhir musim, performa tim secara umum memang terasa menurun.
Ada dua moment di era coach Robert di mana Mas Har terlihat begitu kedodoran. Pertama, dalam match versus Borneo, kepanikannya menyapu bola tanggung berbuah tendangan penalti untuk lawan. Kedua, dalam match versus PSM, ketika itu dua kali Mas Har melapas Jan Pluim, membuat lini tengah longsor. Hariono tentu bukan mesin, ia melakukan kesalahan.Seperti halnya Bang Pardi dan Jupe, Mas Har yang mulai melakukan kesalahan merupakan alarm bahwa tim harus melakukan pembenahan.
Jika kita insyafi lebih dalam, selesainya pengabdian Mas Har di Persib sebetulnya merupakan proses regenerasi yang niscaya, sebagaimana dulu ketika ia datang untuk menjadi suksesor Suwita Patha. Pada umur yang sama pula (34 tahun), baik Hariono maupun Suwita dicukupkan kontraknya di Persib. Sejatinya ini hanya persoalan waktu bagi Hariono.
Apabila manajemen mengikuti keinginan bobotoh, tentu saja Mas Har masih dapat bertahan di Persib untuk dua atau bahkan tiga tahun ke depan. Persoalannya, seberapa kuat ia menghadapi tantangan zaman, ketika pelatih-pelatih mutakhir saat ini lebih suka dengan tipe pemain box to box midfield dengan dengan kemampuan yang komplit atau deep lying playmaker visioner ketimbang ball winning midfield macam Mas Har. Omid yang cerdik, Dado yang visioner, dan Aziz yang lincah menari di lini tengah. Seberapa kuat Mas Har bersaing dengan mereka yang sedang berada pada masa puncak karirnya? Ataukah mungkin kita lebih tega membiarkan Hariono Si Eweuh Kacape itu menua di bangku cadangan Persib? Mas Har telah mendapatkan segalanya di Persib; gelar juara, kecintaan dari bobotoh, dan laga perpisahan yang sempurna. Suatu keisimewaan yang bahkan tak didapatkan Atep sebagai “anak kandung” sepakbola Bandung.
Menepi dari skuad Persib mungkin memang jalan terbaik untuk Mas Har. Bukan untuk berhenti tetapi memulai petualangan barunya, berganti jersey di tahun depan, lantas membuat kita semua patah hati.
Hatur nuhun Mas Har.
Ditulis oleh Hary G. Budiman, bobotoh Persib. Aktif di akun twitter @hgbudiman
Baca juga: Hariono dalam Genealogi Gelandang Bertahan Persib (Bag. 1)
Aki Uyu
27/12/2019 at 17:09
Wayahna we Jang Har, da kitu geuning hukum alam teh, teu bisa dihalangan!
ARSeven
29/12/2019 at 10:17
Sok ayeuna jadi legenda di Bali Mas Hari, wilujeng