Bekerja dalam Sunyi;
Sebelas tahun lalu, tepatnya 23 Februari 2008, pelatih yang dinanti itu datang bersama seorang pemain yang kini kita ketahui sebagai salah satu legenda Persib. “Ini pemain yang mau saya kenalkan,” kata Jaya sambil menepuk bahu sosok bertopi hitam di sampingnya. “Meski pemalu, dia pemain bagus dan berpotensi […] Permaian keras yg saya butuhkan dari Hariono untuk mengubah karakter stylish Persib” (Galamedia News, 20 Desember 2019).
Sebelas tahun lalu siapa yang akan pikir bahwa laki-laki pemalu itu bakal menghidupkan lini tengah Persib bersama Micheal Essien, salah satu gelandang terbaik dunia yang pernah mengangkat trofi Liga Champions. Dan kita pun tahu, Coach Jaya benar adanya. Hariono pemain bagus, ia mampu bermain bersama gelandang-gelandang terbaik di liga. Kemampuan pria kelahiran Sidoarjo 2 Oktober 1985 untuk dapat bermain dengan beragam tipe gelandang, membuktikan daya adaptifnya terhadap bermacam skema yang diingkan pelatih.
Selama sebelas tahun telah banyak pelatih datang dan pergi, pemain masuk dan keluar silih berganti di Persib, tapi Hariono tetap di sana, tetap menjadi gelandang tengah Persib, dan hampir selalu menjadi pilihan utama. Saya kira, tak cukup dengan bermain bagus untuk dapat bertahan selama sebelas tahun pada satu tim yang sama dan konsisten menjadi pilihan utama. Hariono punya kualitas yang tidak semua pemain punya; loyalitas dan etos kerjanya. Tanpa torehan jumlah gol yang banyak atau catatan assist yang berlimpah, etos kerja dan loyalitas Hariono bisa sampai dan dirasakan bobotoh.
Kualitas diri Hariono yang semacam itu bagi saya pribadi terasa begitu personal dan menginspirasi dalam keseharian. Mungkin seperti halnya Hariono, sadar dengan diri yg tidak punya bakat istimewa, salah satu cara untuk diakui oleh lingkungan sekitar adalah dengan bekerja dua kali lebih keras dari orang kebanyakan. Tidak mengherankan jika kita begitu merasa dekat serta tersentuh dengan kualitas mantan pemain Deltras ini. Pasalnya, apa yang ditunjukkan Hariono seolah merepresentasikan orang biasa (seperti halnya kita) yang menjadi luar biasa justru karena kerja kerasnya. Hebatnya, ia bekerja dengan mengeleminir capaian-capaian pribadi. Ia bekerja dalam kesunyiannya sendiri. Dengan modal itu, Hariono menjelma dari pemain kampung menjadi legenda.
Kita semua tahu, Hariono telah menjadi instrumen penting sebagai gelandang bertahan dalam dinamika taktik Persib selama sebelas tahun ini. Peran macam demikian agaknya belum bisa disamai oleh gelandang bertahan Persib lainnya. Lalu, apa yang membedakan Hariono dengan para pendahulunya? Menarik kiranya meneroka transformasi posisi Hariono dalam sebelas tahun karirnya di Persib.
Hariono dalam Genealogi Gelandang Bertahan Persib
Sebagai fans Persib yang tumbuh besar di periode 90-an, tidak banyak nama-nama gelandang bertahan yang cukup ikonik untuk diingat. Sebagian besar gelandang bertahan Persib, sebagaimana umumnya posisi gelandang bertahan, selalu kalah pamor oleh para gelandang menyerang. Kita akan lebih mudah ingat nama Yusuf Bachtiar dan Yudi Guntara ketimbang Asep Munir Kustiana, misalnya. Kita mungkin akan lebih mudah mengingat Alejandro Tobar dan Yaris Riyadi ketimbang Marwal Iskandar dan Andrian Mardiansyah.
Sesuai tugas dan fungsinya, posisi gelandang bertahan di masa lalu tak terlalu banyak menjadi sorotan, perannya penting tapi seolah terlupakan. Ia ibarat kurir atau sekadar jadi tukang pangkas bola belaka. Pada medio 90-an ketika tipe classic no 10 tumbuh subur, peran gelandang bertahan distereotipekan sebagai pemain dengan tugas kasar dan kotor sebagaimana dicontohkan Roy Keane, Robbie Savage, atau Claude Makelele. Kartu kuning, bahkan kartu merah bukan hal aneh bagi mereka. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari tugas utama mereka, yaitu memangkas alur serangan lawan sebelum sampai ke lini belakang. Tentu saja di masa itu belum lazim tipe regista macam Pirlo atau volante sepintar Busquets.
Jiwa zaman dan trend taktik di masa itu juga tercermin di skuad Persib. Di era 80-an dan 90-an, pemain gelandang bertahan Persib lebih sering diisi pemain yang mengutamakan kekuatan fisik. Beberapa nama yang dapat disebutkan antara lain Asep Somantri, Ade Mulyono dan Asep Kustiana.
Formasi 3-5-2 menjadi primadona di masa itu. Posisi gelandang bertahan berdiri di depan 3 bek untuk mengamankan area tengah, menambal kebocoran ketika transisi dari menyerang ke bertahan. Dalam formasi 3-5-2 yang ngetren saat itu, posisi gelandang bertahan sering kali dicomot dari pemain yang posisi awalnya adalah stopper. Sebut saja misalnya Mulyana, Roy Darwis, Hari Saputra, dan Suwita Patha. Dengan pemain semacam itu, tentu seorang gelandang bertahan lebih diutamakan menjaga wilayah pertahanan ketimbang bertugas membantu penyerangan, maka dikenal lah gelandang dengan tipe anchorman dan ball winning midfield; gelandang yang lebih sering nagen di depan bek untuk kemudian merebut bola.
Pada awal 2000-an, semenjak Persib dilatih oleh Deny Syamsudin, nama Suwita Patha hampir selalu mengisi pos gelandang bertahan Persib. Ia masuk dalam skuad Persib tahun 2002 (Deny Syamsudin), 2004 (Juan Paez), 2005 (Indra Thohir), 2007 (Arcan Iurie) hingga 2008 (Jaya Hartono). Posisi gelandang bertahan Persib sempat diisi oleh Andrian Mardiansyah dan Marwal Iskandar pada 2003 (Marek, Paez) serta Enjang Rohiman pada 2006 (Risnandar, Iurie).
Suwita Patha mewarnai gaya permainan skuad Pangeran Biru dalam lima musim kompetisi. Seingat memori saya, pemain yang sering disebut mirip Ariel Peterpan ini, bukan pemain yang mengandalkan kekuatan fisik, tetapi lebih mengandalkan pembacaan permainan dan intersep di lini tengah. Meski bukan tipikal pemain “pintar”, Suwita dapat bekerja dengan baik sebagai kurir untuk gelandang tengah dalam skema 3-5-2. Ia dapat menjadi pelindung sekaligus pelayan bagi pemain bertipe playmaker semisal Eka, Tobar, dan Cabanas.
Kedatangan Hariono pada 2008 sebetulnya melanjutkan estafet gelandang bertahan dari Suwita Patha. Agaknya Jaya Hartono ketika itu ingin memberi warna berbeda bagi skuad Pangeran Biru. Jaya seolah berupaya mengubah gaya bermain Persib; dari Suwita yg lebih halus ke Hariono yang lebih kuat dan bertenaga. Apa yang diupayakan Jaya ini boleh dibaca sebagai cara mengembalikan pos gelandang bertahan Persib pada khitahnya, yaiu diisi gelandang bertenaga seperti Asep Somantri dan Asep Munir Kustiana. Namun demikian, upaya tersebut tak sepenuhnya berjalan mulus, Jaya kerap merotasi antara Suwita dan Mas Har karena terkadang pemain kepercayaannya saat di Deltras itu belum sepenuhnya nyetel dengan ritme tim.
Satu-dua tahun pertama di Persib mungkin bukan awal yang mudah bagi Mas Har. Ia masih harus berebut posisi dengan Suwita. Pada musim keduanya di Persib (2009) ia masih sering mendapat kartu sehingga tak jarang posisinya digantikan Cucu Hidayat. Dan Mas Har bertahan, dia terus memperbaiki performanya dari tahun ke tahun.
Ditulis oleh Hary G. Budiman, Bobotoh dengan akun Twitter @hgbudiman
Bersambung ke bagian 2: Hariono dalam Genealogi Gelandang Bertahan Persib (Bag. 2)
Pingback: Persib Bandung Berita Online | simamaung.com » Hariono dalam Genealogi Gelandang Bertahan Persib (Bag. 2)