

Lorenzo Cabanas, Palembang, 2008
Pernah ada masa dimana Bobotoh selalu antusias saat Persib Bandung mendapat pelanggaran di area sekitar kotak penalti. Ketika Lorenzo Cabanas melakukan ancang-ancang, ada harapan gol akan tercipta. Sebaliknya bagi suporter lawan, mereka paham bahwa tim yang didukungnya sedang dalam ancaman.
Gelandang serang asal Paraguay dengan kaki kiri mematikan sempat menjadi senjata andalan Persib di situasi set piece. Tendangan bebas akuratnya berulang kali menghunjam gawang lawan. Begitu pula umpannya dari tendangan bebas maupun sepak pojok selalu memanjakan rekan setimnya di kotak penalti.
Cabanas merupakan salah satu playmaker asing level wahid di kompetisi Indonesia pada medio 2005-2008. Persib pun beruntung memiliki pemain dengan kemampuan skill di atas rata-rata, dribbling yang aduhai, operan akurat dan visi yang imajinatif. Kualitas Cabanas semakin lengkap karena dia memiliki kekuatan dalam mengeksekusi bola mati.
Namun ternyata kemampuan dalam melepas tendangan bebas mematikan bukan karena latihan yang diasahnya sejak kecil. Menurutnya itu adalah bakat alami yang dimiliki ketika mulai bermain sepakbola. Modal itu yang akhirnya dimanfaatkan oleh pria kelahiran Ciudad del Este, 10 Agustus 1979 tersebut dalam merintis karirnya di dunia si kulit bundar.
“Engga tahu karena dari kecil aku punya itu (kemampuan tendangan bebas) di kaki. Aku tidak latihan terus menerus, ga tahu kenapa aku dikasih itu. Mungkin itu hadiah dari Tuhan karena dari aku lahir bisa shooting seperti itu,” terang Cabanas kepada Simamaung.
Sejak masih belia, orang-orang pun selalu mempercayakan peran sebagai algojo bola mati padanya. Dengan percaya diri, Cabanas berani mengambil tanggung jawab tersebut dan dia selalu berhasil menunjukkan hasil yang positif. “Kalau ada free kick dan bola mati semuanya tahu aku bisa shooting untuk menjadi gol atau menjadi passing,” ujarnya.
Kebiasaan dalam mengambil tendangan bebas pun berlanjut hingga dia bermain di kompetisi yang profesional. Tapi tetap saja dia mengaku tidak pernah secara intensif mengasah kemampuan dalam mengambil set piece. “Aku ga latihan terus menerus, mungkin ada untuk (mengasah) free kick atau penalti, tetapi jangan latihan itu terus. Porsinya kecil saja terutama kalau sudah professional,” ujarnya.

Lorenzo Cabanas, Paraguay, 2020. Foto: dok pribadi.
Membela Persib selama dua musim, Cabanas total mencetak 12 gol di level liga. Dia pun punya dua gol yang tidak bisa dilupakannya. Yang pertama adalah gol penentu kemenangan atas Sriwijaya FC di Liga Super Indonesia 2008/2009. Menjamu Laskar Wong Kito di Stadion Si Jalak Harupat (19/4/2009), Maung Bandung saat itu menang dengan skor 3-2.
Gol ini menurutnya menjadi spesial karena terjadi di menit injury time sekaligus membuat Persib yang asalnya tertinggal jadi berbalik unggul dan membawa pulang tiga poin. “Aku suka gol sama Sriwijaya, kita main 2-2 dan di menit akhir ada Cristian Gonzales kasih bola lalu aku shooting, dan kita menang 3-2,” kenangnya.
Satu gol lain yang berkesan adalah tendangan bebas indah ketika menghadapi Persela Lamongan di Stadion Siliwangi. Duel itu sendiri merupakan pertarungan laga pekan pertama Liga Super Indonesia 2008/2009. Kemenangan diraih Persib dengan skor 5-2 dan jalannya pertandingan begitu seru sebab hujan gol terjadi ketika laga baru berusia 5 menit saja.
Baik Persib melalui Hilton Moreira dan Persela lewat Marcio Souza sama-sama mencetak brace pada lima menit awal. Maung Bandung yang tidak mau membuang kesempatan meraih tiga poin di depan pendukungnya beruntung bisa memimpin lagi di menit 17. Adalah tendangan bebas cantik dari Cabanas yang memperdaya Fauzal Mubaraq.
“Suka juga waktu lawan Persela. Saat itu sama juga skor 2-2 dan kita jadi unggul 3-2 dan itu gol favorit saya dari tendangan bebas. Waktu itu kita menang 5-2, dari gol tendangan bebas saya kita jadi unggul 3-2 karena setelah itu ada gol dari Nova (Arianto) dan Eka (Ramdani),” terang pemain yang mengenakan nomor punggung 11 di Persib tersebut.
“Aku suka gol itu ya karena waktu itu kita lagi mulai kompetisi dan bagus untuk kita. Kita berpikir hasil itu membuat kita yakin bisa menjadi juara di tahun tersebut. Tapi sayang di putaran kedua juga kita ada masalah seperti di tahun 2007,” lanjut pria yang identik dengan kepala plontosnya tersebut.
Cabanas merupakan salah satu anggota dream team Persib di musim 2007. Dia diajak oleh Arcan Iurie untuk bereuni di Bandung setelah keduanya sempat bekerjasama di Persija Jakarta pada musim 2005. Mereka sempat berpisah pada musim 2006 karena Iurie menggantikan Risnandar Soendoro di Persib dan Cabanas menyebrang ke Persiba Balikpapan.
Saat itu Persib punya kans merengkuh trofi liga dan mengakhiri dahaga gelar juara. Maung Bandung begitu perkasa di putaran pertama wilayah Barat dan menjadi juara paruh musim. Sayang di putaran kedua laju tim menjadi loyo dan gagal merebut tiket ke 8 besar. Perubahan komposisi pemain akibat kebijakan transfer di paruh musim yang menjadi alasan penurunan performa.
Dia lalu mendapat kesempatan untuk melanjutkan karir bersama Persib ketika tampuk kepemimpinan beralih dari Arcan Iurie ke Jaya Hartono pada musim 2008/2009. Perannya di tim masih tetap vital dan membawa tim berada di papan atas. Tapi tidak cukup untuk menjadi juara karena hanya bercokol di peringkat ketika klasemen akhir di bawah Persipura (juara) dan Persiwa Wamena.

Cabanas dan anaknya (Enzo), Paraguay, 2020. Foto: dok pribadi.
Namun dengan waktu yang singkat, Cabanas mengaku jatuh hati dengan Persib dan Bandung. Maka dari itu, dia memutuskan untuk tidak membela klub Indonesia lain usai terdepak dari tim di akhir jelang liga musim 2009/2010. Cabanas enggan mengenakan kostum Indonesia lain selain Persib Bandung.
“Waktu itu aku sebelum di Persib main di Persiba Balikpapan dan sebelumnya main di Persija Jakarta. Baru setelah itu aku bermain untuk Persib. Dan buat aku di Indonesia itu Persib tim pertama yang bisa aku bela selama tiga tahun ketika di Bandung. Di Persija dan Persiba aku cuma satu tahun saja tapi di Persib bisa lebih. Dan aku bicara sama pengurus kalau tidak bisa main di Persib lagi, aku tidak mau main di Indonesia,” tuturnya.
Hingga penghujung karir sebagai pesepakbola aktif, Cabanas memilih untuk merantau ke negara lainnya. Kini dia sudah pensiun sebagai pemain dan melanjutkan karir sebagai pelatih Club Atletico 3 de Febrero. “Sekarang aku jadi pelatih di Paraguay, kompetisi Divisi Utama sudah mulai, dan aku di Divisi 2 dan baru mulai 9 April. Tapi sekarang kita sudah mulai latihan,” tutup pria dua anak ini.
Ditulis oleh Mohamad Anki Syaban, jurnalis Simamaung, berakun Twitter @Ankisyaban dan Instagram @anki_syaban.
Komentar Bobotoh