Gol Bunuh Diri, Anak Haram Permainan Sepakbola
Wednesday, 15 October 2014 | 13:20
Goolllll, bola tiba-tiba meluncur ke gawang yang dijaga I Gusti Putu Yasa. Bola yang dikirim oleh bek Persebaya Subangkit dari sisi kiri pertahanan, malah mengecoh kiper legendaris tim asal Surabaya tersebut. Bergemuruhlah Bobotoh yang ada di stadion Gelora Bung Karno yang dahulu bernama Stadion Senayan, menit ke-7 final Kompetisi Perserikatan, 11 Maret 1990. Final yang kemudian dimenangkan Persib 2-0 berkat gol tambahan Dede Rosadi di menit 59.
Gol bunuh diri merupakan anak haram sepakbola. Peristiwa dan aksi ini jelas tidak diharapkan dan diprediksi sebelumnya. Fans, petaruh, bahkan para pandit tidak akan berani memprediksi akan ada gol bunuh diri yang tercipta dalam suatu pertandingan. Gol yang bisa jadi menentukan suatu tim akan meraih kemenangan, atau hanya berbagi nilai. Tapi jika kemudian terjadi, gol jenis ini mau tidak mau akan tercatat dalam sejarah, statistik pertandingan, dan tersimpan di arsip-arsip surat kabar di sudut rak-rak tua. Tidak akan terhapus begitu saja, seperti kesalahan cinta masa lalu yang harus terus tersimpan di sudut hati.
Gol bunuh diri tentu saja sangat mengesalkan, bahkan lebih mengesalkan daripada ketika lawan membuat gol ke gawang kita. Gol jenis ini memang semata hanya masalah satu gol saja. Namun, gara-gara gol ini, pemain Kolombia bernama Andres Escobar harus terbunuh kemudian. Pasalnya, Escobar melakukan gol bunuh diri ke gawang negaranya sendiri dalam pertandingan Piala Dunia 1994 beberapa waktu sebelumnya.
Seperti gol biasa, gol bunuh diri memang merupakan gol yang tidak diharapkan kehadirannya oleh sebuah tim sepakbola. Berhari, berminggu, mereka berlatih untuk bisa membobol gawang lawan, bukan gawang sendiri. Berhari, berminggu, mereka berlatih semua cara bertahan dan menghentikan serangan musuh, bagaimanapun caranya. Meminjam istilah sosiologi yang dikembangkan Robert Merton dalam teori Fungsional Struktural, saat satu tim bertahan dalam sepakbola, akan lahir 3 kemungkinan: fungsi manifes, fungsi laten, dan disfungsi laten.
Fungsi manifes adalah keadaan dimana suatu sistem berjalan dengan baik dan menghasilkan tujuan yang dimaksud. Sebagai contoh, jika suatu tim menerapkan pola bertahan dalam suatu permainan sepakbola dan kemudian berhasil membuat gawang tetap perawan. Namun, permainan bertahan suatu tim akan menghasilkan fungsi lain bernama fungsi laten, yaitu konsekuensi yang tidak diharapkan dari sistem tadi. Permainan bertahan akan membuat lawan dengan mudah menggempur pertahanan tim yang bertahan.
Dengan sistem di atas, konsekuensi yang lebih berbahaya akan datang pada akhirnya. Sistem ini bisa jadi menemui kegagalan yang disebut oleh Merton sebagai disfungsi laten, kegagalan yang tidak diharapkan sebagai konsekuensi permainan bertahan tadi. Dalam kasus ini, seorang pemain bertahan akan gagal melakukan aksi bertahan yang berujung pada kesalahan. Kesalahan ini bisa berwujud pada pelanggaran, penalti, gol, bahkan gol bunuh diri.
Sepakbola Indonesia yang memang unik dan terkadang menghadirkan paradoks. Di luar negeri, sebuah gol bunuh diri begitu dibenci kehadirannya, bahkan disejajarkan dengan bencana, maka di Indonesia ada cerita lain lagi. Di pertandingan melawan Thailand, pertandingan terakhir Grup A, para pemain Indonesia kelihatan begitu biasa saja ketika seorang Mursyid Efendi membobol gawangnya sendiri. Saat itu, Indonesia harus menghindari Vietnam di semifinal dan harus kalah dari tim negeri Gajah Putih itu. Di sisi lain, Thailand yang tampil dominan terlihat tidak mau menang dan mengharapkan pertandingan berakhir imbang saja. Di menit 90 di saat kedudukan 2-2, datanglah malapetaka yang “diharapkan” itu. Mursyid dengan naïf membobol gawangnya sendiri. Kalau tidak salah, ada beberapa pemain Indonesia yang bertepuk tangan memberi semangat di tengah bengongnya para pemain Thailand saat itu. Dalam konsep Merton, gol ini mungkin bisa dikatakan sebagai disfungsi manifes, kegagalan yang diharapkan. Teori yang bahkan tidak pernah terpikirkan oleh Merton sendiri.
Peristiwa dengan konteks berbeda hampir terjadi kemarin, ketika di menit 75. Pada pertandingan Persebaya melawan Persib (14/10) kemarin. Tidak seperti gol bunuh diri sengaja Mursyid di atas, gol bunuh diri Supardi masih dalam ruang “manusia adalah tempat salah dan dosa”. Dalam konteks manusia, gol tersebut wajar sebagai perwujudan sifat manusia yang kadang kala melakukan kesalahan. Namun dalam konteks kompetisi, gol bunuh diri ini jelas tidak bisa ditoleransi karena merugikan tim, khususnya Persib yang sedang berusaha menggapai babak semifinal LSI musim ini. Wajar jika kemudian ada sebagian bobotoh yang kecewa, bahkan marah, bahkan menuduh pertandingan sudah diatur sebelumnya.
Namun di sisi lain, ada juga bobotoh dengan polosnya memaklumi kejadian yang merugikan Persib itu. Mungkin mereka berfikir dengan pendekatan teori disfungsi manifes tadi. Mereka pun berujar: “Baelah, mere ka dulur”.
Wassalam
Penulis @hevifauzan, admin @simamaung, bobotoh biasa.

Goolllll, bola tiba-tiba meluncur ke gawang yang dijaga I Gusti Putu Yasa. Bola yang dikirim oleh bek Persebaya Subangkit dari sisi kiri pertahanan, malah mengecoh kiper legendaris tim asal Surabaya tersebut. Bergemuruhlah Bobotoh yang ada di stadion Gelora Bung Karno yang dahulu bernama Stadion Senayan, menit ke-7 final Kompetisi Perserikatan, 11 Maret 1990. Final yang kemudian dimenangkan Persib 2-0 berkat gol tambahan Dede Rosadi di menit 59.
Gol bunuh diri merupakan anak haram sepakbola. Peristiwa dan aksi ini jelas tidak diharapkan dan diprediksi sebelumnya. Fans, petaruh, bahkan para pandit tidak akan berani memprediksi akan ada gol bunuh diri yang tercipta dalam suatu pertandingan. Gol yang bisa jadi menentukan suatu tim akan meraih kemenangan, atau hanya berbagi nilai. Tapi jika kemudian terjadi, gol jenis ini mau tidak mau akan tercatat dalam sejarah, statistik pertandingan, dan tersimpan di arsip-arsip surat kabar di sudut rak-rak tua. Tidak akan terhapus begitu saja, seperti kesalahan cinta masa lalu yang harus terus tersimpan di sudut hati.
Gol bunuh diri tentu saja sangat mengesalkan, bahkan lebih mengesalkan daripada ketika lawan membuat gol ke gawang kita. Gol jenis ini memang semata hanya masalah satu gol saja. Namun, gara-gara gol ini, pemain Kolombia bernama Andres Escobar harus terbunuh kemudian. Pasalnya, Escobar melakukan gol bunuh diri ke gawang negaranya sendiri dalam pertandingan Piala Dunia 1994 beberapa waktu sebelumnya.
Seperti gol biasa, gol bunuh diri memang merupakan gol yang tidak diharapkan kehadirannya oleh sebuah tim sepakbola. Berhari, berminggu, mereka berlatih untuk bisa membobol gawang lawan, bukan gawang sendiri. Berhari, berminggu, mereka berlatih semua cara bertahan dan menghentikan serangan musuh, bagaimanapun caranya. Meminjam istilah sosiologi yang dikembangkan Robert Merton dalam teori Fungsional Struktural, saat satu tim bertahan dalam sepakbola, akan lahir 3 kemungkinan: fungsi manifes, fungsi laten, dan disfungsi laten.
Fungsi manifes adalah keadaan dimana suatu sistem berjalan dengan baik dan menghasilkan tujuan yang dimaksud. Sebagai contoh, jika suatu tim menerapkan pola bertahan dalam suatu permainan sepakbola dan kemudian berhasil membuat gawang tetap perawan. Namun, permainan bertahan suatu tim akan menghasilkan fungsi lain bernama fungsi laten, yaitu konsekuensi yang tidak diharapkan dari sistem tadi. Permainan bertahan akan membuat lawan dengan mudah menggempur pertahanan tim yang bertahan.
Dengan sistem di atas, konsekuensi yang lebih berbahaya akan datang pada akhirnya. Sistem ini bisa jadi menemui kegagalan yang disebut oleh Merton sebagai disfungsi laten, kegagalan yang tidak diharapkan sebagai konsekuensi permainan bertahan tadi. Dalam kasus ini, seorang pemain bertahan akan gagal melakukan aksi bertahan yang berujung pada kesalahan. Kesalahan ini bisa berwujud pada pelanggaran, penalti, gol, bahkan gol bunuh diri.
Sepakbola Indonesia yang memang unik dan terkadang menghadirkan paradoks. Di luar negeri, sebuah gol bunuh diri begitu dibenci kehadirannya, bahkan disejajarkan dengan bencana, maka di Indonesia ada cerita lain lagi. Di pertandingan melawan Thailand, pertandingan terakhir Grup A, para pemain Indonesia kelihatan begitu biasa saja ketika seorang Mursyid Efendi membobol gawangnya sendiri. Saat itu, Indonesia harus menghindari Vietnam di semifinal dan harus kalah dari tim negeri Gajah Putih itu. Di sisi lain, Thailand yang tampil dominan terlihat tidak mau menang dan mengharapkan pertandingan berakhir imbang saja. Di menit 90 di saat kedudukan 2-2, datanglah malapetaka yang “diharapkan” itu. Mursyid dengan naïf membobol gawangnya sendiri. Kalau tidak salah, ada beberapa pemain Indonesia yang bertepuk tangan memberi semangat di tengah bengongnya para pemain Thailand saat itu. Dalam konsep Merton, gol ini mungkin bisa dikatakan sebagai disfungsi manifes, kegagalan yang diharapkan. Teori yang bahkan tidak pernah terpikirkan oleh Merton sendiri.
Peristiwa dengan konteks berbeda hampir terjadi kemarin, ketika di menit 75. Pada pertandingan Persebaya melawan Persib (14/10) kemarin. Tidak seperti gol bunuh diri sengaja Mursyid di atas, gol bunuh diri Supardi masih dalam ruang “manusia adalah tempat salah dan dosa”. Dalam konteks manusia, gol tersebut wajar sebagai perwujudan sifat manusia yang kadang kala melakukan kesalahan. Namun dalam konteks kompetisi, gol bunuh diri ini jelas tidak bisa ditoleransi karena merugikan tim, khususnya Persib yang sedang berusaha menggapai babak semifinal LSI musim ini. Wajar jika kemudian ada sebagian bobotoh yang kecewa, bahkan marah, bahkan menuduh pertandingan sudah diatur sebelumnya.
Namun di sisi lain, ada juga bobotoh dengan polosnya memaklumi kejadian yang merugikan Persib itu. Mungkin mereka berfikir dengan pendekatan teori disfungsi manifes tadi. Mereka pun berujar: “Baelah, mere ka dulur”.
Wassalam
Penulis @hevifauzan, admin @simamaung, bobotoh biasa.

Saya sangat yakin pada pertandingan persib vs persibaya, pihak persib tidak ingin kalah juga tidak ingin meunang
ah ada cangcilong ini mah, persib jg maen nya kyk ga serius. beda waktu lawan pelita, ngotot pisan.
ah khaseum geus diatur iyeu pertandina na ngan diaturna ku hate pemanena , kahaseum geus teu kudu juara sib , molor weh di imah ari jiga kiyeumah
ah di setting nya…engke maen bandung, Persebaya can tangtu nyieun gol bunuh diri ka gawang sorangan….bahaya euy..menciderai nilai sportivitas.
curiga boleh n wajar, tapi tidak boleh memvonis kalo tidak ada bukti.
kasar pisan disfungsi manifes, sekalian aja personality disoder 🙂
Beu…??dis ,,!!
Omongan bung Pendi sangat geralasan : 1 maen keur alus pisan 2 gol kakara satu 3 waktu masih panjang Nu jadi aneh ku naon maen jadi bertahan total?…Kudunamah ulah waka mere toleransi ka batur ari urang masih keneh ripuh,inget tahun ieu Persib kudu juara
Gararetek ningali komen diluhur euy.
Kieu mang. Ente lamun maen saminggu tilu kali terus barijeung pundah pindah kota / pindah pulau rasana kumaha? Pemain persib teh lain robot lur.
Pemain Persib dengan sesa sesa stamina persib kamari mempertahankan kemenangan.
Ari prinsip hayang juara tapi mental masih keneh can bisa menerima hasil dengan lapang dada. (ieu meureun nu nyieun PERSIB hese juara teh)
Terlepas dari pertandingan di setting atau tidak, Jang naon coba mikiran eta?? Eweh guna na oge jang tim. Ayeuna urg fokus ngajaga situasi tim anu ker alus. ulah nepi kudu drop gara gara issu ieu..
JUARA ATAU TIDAK, PERSIB TETAP DIHATI
Tah ieu, satuju pisan. Lain mental pamaen wae, bobotoh ge kudu boga mental juara.
Satuju pisaaaan Kang,,,,Abdi di tengah laut china selatan, ngan sorangan urang bandung na,,,mayoritas urang melayu,,,tapi salokasi jadi bobotoh persib,,unggal panggih, papaliwat ngangkat tangan bari salam,,”HIDUP PERSIB,,”,,maenya teu era ku batur,,ku deungeun dengeun,,,
Rek kukumaha oge,,,tetep,,,HIDUP PERSIB,,,,
Tah nu sapertos kieu ari berkomentar..
Kedah merenah,, ngarah tenang kana manah
nu pasti mh geus khendak Allah, syukuri… tong kufur nikmat.
PERSIB msh d bere ksempatan tmpil d 8 bsr, tenjo tim2 lain…
mun enya hayang PERSIB juara, kudu loba bersyukur…
SUPORTERRR PANJANG NAPAAAASSS,, PAMAEN ENGAP-ENGAPAN,, :p
Mendingan “Disfungsi Manifes” lah, dibanding “Disfungsi Ereksi” mah kang..hehehe Leuwih hese kadeteksina ku nu sejen eta mah. BAHAYA LATEN pisan hehe
BobotohBonek puas, jeung dulur mah kudu saling berbagi, sanes Final ieuh. . hehehe