

Robby Darwis, Bandung, 2021
Postur tinggi dan tegap menggambarkan sosok Robby Darwis yang siap menjegal setiap pemain depan lawan. Bek dengan atribut lengkap dalam menggalang pertahanan dan juga aktif ketika naik membantu serangan. Namanya kian harum karena segudang prestasi berhasil dipersembahkannya bersama Persib dan tim nasional Indonesia.
DNA juara seakan melekat di aliran darah pemain asal Lembang tersebut karena tercatat tiga trofi kompetisi Perserikatan diraihnya bersama Maung Bandung. Liga Indonesia I 1994/1995 pun mampu ditaklukkannya di bawah asuhan Indra Thohir. Sedangkan bersama tim nasional Indonesia, Robby mengoleksi dua medai emas SEA Games.
Bakatnya ditemukan oleh pelatih asal Polandia, Marek Janota yang dapat kepercayaan oleh pihak pengurus Persib saat itu. Janota mencari sosok bek dengan postur tinggi dan pilihan pun akhirnya jatuh ke Robby. Akhirnya musim debut bersama tim utama didapatnya untuk kompetisi Perserikatan musim 1982-1983.
Dari sana mental juara Robby ditempa. Persib dua musim beruntun dibawa hingga ke partai final, Perserikatan 1982-1983 dan 1984-1985, namun selalu saja menelan kekalahan atas PSMS Medan. Kekecewaan menjadi cambuk bagi jebolan SSB Setia itu untuk bisa memutus tren negatif dan juga mempersembahkan gelar juara untuk Bobotoh.
Penantian dan perjuangan akhirnya terbayar lunas di Perserikatan 1986. Saat itu Persib berhasil menjadi juara usai menaklukkan Perseman Manokwari di final dengan skor 1-0. Gol tunggal Djadjang Nurdjaman yang akhirnya menjadi awal terbentuknya DNA juara dalam diri Robby. Ganjaran yang setimpal dari upayanya meraih cita-cita.
“Jadi kompetisi nasional pertama tahun 1982 final lawan Medan dan berikutnya masuk lagi final tapi gagal. Baru di tahun 1986 baru bisa merebut piala nasional setelah lama tidak bisa mengenyam juara nasional,” terang Robby kepada Simamaung
Berikutnya Robby menjadi bagian dari Persib ketika menjuarai Perserikatan musim 1989/1990 saat mengalahkan Persebaya Surabaya di laga puncak. Kemenangan 2-0 diraih berkat gol bunuh diri dari Subangkit dan Dede Rosadi. Saat itu stoper yang identik dengan nomor punggung 6 tersebut masih bahu-membahu dengan kapten kesebelasan, Adeng Hudaya.
Tongkat estafet sebagai kapten lalu berpindah ke lengan Robby ketika Adeng pensiun. Nyatanya, tugas sebagai pemimpin tim justru makin membuatnya makin bersinar. Kembali gelar juara bisa didapat Persib untuk kompetisi Perserikatan terakhir musim 1993-1994. Dan yang menjadi lebih istimewa, Robby juga kembali menjadi juara di Liga Indonesia 1 1994/1995 ketika peserta dari Perserikatan dan Galatama digabung.
“Sebetulnya seorang kapten dengan banyaknya prestasi yang hasilnya cukup bagus di event nasional (Perserikatan) bisa juara dan juga Liga pertama bisa juara lagi menjadi suatu kebanggaan buat saya. Beban juga sebenarnya sebagai kapten akhirnya bisa membawa tim untuk memberikan yang terbaik, bermain sesuai dengan fanatisme daerahnya, kekompakannya juga,” kenang Robby.

Robby Darwis dalam partai eksebisi bersama mantan pemain Persib, Bandung, 2014
“Jadi saya merasa bangga, karena dengan peleburan Perserikatan dengan Galatama itu bagus lah, karena pas bersamaan dengan itu kita baru menjadi juara Perserikatan ketiga kalinya dan kita pas lagi bagus-bagusnya meski dari Galatama juga banyak pemain bagus dan profesional kita bisa menjuarai itu, itu suatu kebanggaan bagi masyarakat Bandung dan umumnya Jawa Barat apalagi Persib tanpa pemain asing. Termasuk di Liga Champions Asia yang tidak diperhitungkan bisa menembus 8 besar,” lanjutnya.
Total empat trofi tingkat nasional didapat Robby bersama Persib. Tapi prestasi bergengsi yang diraih olehnya tidak sampai di situ. ‘Si Bima’ juga bersinar karirnya bersama tim nasional Indonesia karena berhasil menjuarai cabang olahraga sepakbola di SEA Games 1987 dan 1991. Dua medali emas yang dikoleksi membuatnya tercatat sebagai satu-satunya pemain Indonesia yang mampu menorehkan rekor tersebut dan sulit disaingi oleh pemain lain di era sekarang.
Untuk SEA Games 1987, Indonesia yang diasuh Bertje Matulapelwa berhasil meraih medali emas setelah mengalahkan Malaysia, 1-0, di final. Gol tunggal Ribut Waidi membuat 120 ribu pasang mata yang memadati Stadion Senayan bergemuruh. Sedangkan di tahun 1991, skuat Garuda diarsiteki oleh Anatoli Polosin. Kali ini Thailand yang dibuat bertekuk lutut di final lewat drama adu penalti. Dan di dua edisi tersebut Robby Darwis menjadi tumpuan di barisan belakang.
“Kalau saya sih memang dua medali (emas) itu cukup berat terutama dari mental kita kemudian juga dalam mengikuti instruksi, dan dalam situasi apapun kerja keras itu ada hasilnya. Dilihat kalau dari awal 1987 ke 1991 itu bahwa pemain nasional kita dalam seleksi pun cukup berat. Terutama di era gabungan antara Galatama dengan Perserikatan itu memang yang benar-benar pelatih yang jeli dan pemain yang bisa mengangkat nama baik sepakbola Indonesia,” bebernya.
Kesuksesan Robby bersama tim Merah Putih juga seakan menjadi anomali. Karena jarang pemain asal tanah priangan yang bisa berprestasi di timnas dan reguler mendapat panggilan. Sedangkan ia rutin menjadi bagian dari skuat timnas selama 11 tahun. Sang pemain pun membeberkan resepnya bisa awet mengenakan jersey dengan lambang garuda di dada.
“Kalau saya memang cita-cita ingin menjadi pemain nasional. Saya punya karakter ingin maju, terutama dalam kedisiplinan dan sama lingkungan juga tidak terbawa. Karena kedisiplinan dan mental kita untuk menjadi seseorang itu banyak tantangannya. Saya punya kedisiplinan, setiap ada pemanggilan tidak pernah bolos atau tidak pernah mangkir, tetap sesuai dengan pelatih yang menunjuk pemain,” bebernya.
Sebagai figur yang bergelimang prestasi, Robby berbicara soal bagaimana memumpuk mentalitas juara. Menurutnya itu memang harus dipupuk sejak dini dan tidak boleh puas dengan keadaan, sehingga selalu ada motivasi menjadi lebih baik. Motivasi tinggi itu yang menjadi penggerak diri untuk berlatih lebih giat.
“Mental juara itu ada dari diri kita sendiri, ingin maju atau hanya segitu-gitu aja kemampuannya. Kalau memang keinginan maju, lakukan latihan tersendiri dari apa kekurangan kita. Jadi itu intinya, saya juga selalu dari apa yang diberikan sama pelatih di latihan, saya tambah porsinya. Makanya dengan kemauan sendiri dan kepribadian sendiri dan cita-cita ingin menjadi terbaik jadi itu bisa tercapai,” ujarnya.
Robby juga sebenarnya punya kesempatan meraih hattrick juara di SEA Games andai di tahun 1989 dia tidak disanksi. Saat itu Robby yang baru direkrut oleh tim Malaysia, Kelantan, bermain melawan Singapura yang ikut bermain di kejuaraan Semi-Pro Malaysia. Lalu ada insiden terjadi ketika wasit menunjuk titik putih hingga situasi memanas. Para pemain Kelantan mengerumuni wasit Hamzah Zebot hingga terjatuh dan tidak jelas siapa yang mendorongnya. Ketika jatuh itu, orang yang ada di hadapan wasit adalah ‘Si Bima’ padahal dia sebenarnya berniat untuk melerai.
Karena insiden itu Robby lalu dipanggil oleh Komisi Disiplin Malaysia. Uniknya meski pelanggaran ini dilakukan di level kompetisi internal, tapi sanksinya berlanjut hingga tingkat SEA Games. Di agenda manager meeting, negara-negara lain tidak mempermasalahkan ini dan diizinkan bermain. Namun akhirnya datang surat skorsing dari FIFA yang memaksanya absen selama satu musim kompetisi dan dilarang bermain di SEA Games 1989.
“Pas saya datang ke Kelantan kemudian besoknya main di Singapura dan terjadilah insiden itu. Mungkin yang namanya main bola, emosional tinggi dan dulu juga kita cuma melerai pemain supaya tidak terjadi apa-apa tapi spontanitas pemain yang dari bench ke lapangan semua jadi terjadi insiden itu. Karena ada Komdis, ada wasit laporan sama pihak FAM Malaysia itu, dan terjadilah sidang Komdis dan keputusan,” ujarnya.
Ada lagi satu kesempatan lain yang bisa membuat Robby mendapat tiga medali emas SEA Games. Kejadiannya di SEA Games 1997 dan ini sudah memasuki fase akhir karir bek legendaris ini. Namun Indonesia yang mampu melaju ke final harus mengakui kekalahan dari Thailand melalui drama adu penalti. Robby sendiri tidak dimainkan di pertandingan final oleh pelatih Henk Wullems.
Banyak anggapan jika saja Robby diturunkan alih-alih memasang bek muda saat itu, Sugiantoro, maka Indonesia punya kans meraih medali emas. Robby sendiri mengaku dia sebenarnya memiliki keinginan untuk tampil all out apalagi ini akhir karirnya bersama skuat Garuda. Namun pelatih dan manajer punya pertimbangan lain dan dia tetap menghormatinya.
“Memang saya sudah punya target, apapun hasil dan prestasi itu memang karir di timnas. Hampir 10-11 tahun saya di timnas dari 1986 sampai 1997 terakhir. Memang saya berharap bisa main dengan kondisi yang fight tapi tidak bisa, cuma ingin saja untuk main tapi keputusan tetap ada di pelatih dan manajer, seperti misalnya diistirahatkan. Saya juga dengan hasil itu cukup kecewa juga karena kan di akhir karir saya ingin memberikan yang terbaik dan ingin main habis-habisan juga, cuma dikembalikan ke pelatih dan manajer,” pungkasnya.

Robby Darwis sebagai pelatih PSKC, Cimahi, 2018
Pria berusia 56 tahun itu juga mengakhiri karir bersama timnas seusia SEA Games 1997 dan baru gantung sepatu tahun 2000. Dia lalu merintis dunia kepelatihan dengan menjadi asisten pelatih Persib dan beberapa kali menjadi caretaker. Kini dia aktif menjadi nakhoda PSKC Cimahi dan pada musim 2019 lalu sukses membawa skuat asuhannya promosi ke Liga 2.
Ditulis oleh Mohamad Anki Syaban, jurnalis Simamaung, berakun Twitter @Ankisyaban dan Instagram @anki_syaban.
Komentar Bobotoh