
Sejak diresmikan pada 14 Maret 1933, berderet prestasi dari klub bernama Persib Bandung. Mulai dari kompetisi amatir, profesional hingga mancanegara pernah direngkuh oleh tim berjuluk Maung Bandung tersebut. Nama-nama legendaris pun muncul dari masa ke masa, beriringan dengan trofi yang berhasil didapat
Aang Witarsa, Ade Dana, Omo Suratmo, Emen Suwarman, Max Timisela, Risnandar Soendoro, Adjat Sudradjat, Robby Darwis hingga Yusuf Bachtiar ialah sosok pemain yang punya sumbangsih untuk melejitkan nama besar Persib. Namun ada satu figur yang punya status legenda dan juga memiliki gelar yang lengkap bersama klub kebanggaan Bobotoh ini.
Djadjang Nurdjaman, pria kelahiran 15 Maret 1959, merupakan ‘Maung’ dengan gelar yang paling komplit, karena menjadi juara ketika menjabat sebagai pemain, asisten pelatih dan pelatih kepala. Djadjang seolah terlahir sebagai orang yang memang berjodoh dengan Persib, sentuhannya selalu memberi arti bagi Maung Bandung.
Kisah pria yang akrab disapa Djanur itu bermula dari kiprahnya sebagai pemain muda dan diberi kesempatan membela Persib. Masuk sebagai proyek regenerasi tim di akhir 70-an, Djanur dapat kepercayaan tampil dengan jersey Persib untuk Piala Jusuf VII (1978). Dia bersama tim yang pada saat itu disebut Persib B dikirim ke Ujung Pandang (sekarang Makassar).
Dalam turnamen tersebut, Djanur membawa Persib menjadi pemimpin klasemen di fase grup dan berhak atas satu tempat semifinal. Dia juga membantu tim menaklukan PSMS di 4 besar dan lolos menuju partai puncak. Gelar juara pertama di level nasional pun didapat setelah Persib berhasil menghajar Persija 1-0 di pertandingan final. Atas kesuksesan ini, Persib juga berhak untuk menjadi wakil Indonesia di Queens Cup 1978 di Thailand.
Djanur sempat memilih hengkang dari Persib, dia menyebrang ke Sari Bumi Bandung Raya yang bermain untuk kompetisi Galatama. Lalu homebase klub tersebut pindah ke Yogyakarta, Djanur pun ikut hingga 1982. Setelah itu winger lincah tersebut memutuskan hijrah ke Mercu Buana Medan, Djanur melanglangbuana sampai musim 1985 usai.
Masa perantauan Djanur pun usai. Dia kembali membela Persib untuk gelaran Perserikatan 1986. Posisi sebagai sayap kanan menjadi tempatnya menunjukan kelas sebagai pemain lincah serta sulit dihentkan lawan. Persib dibawa Djanur memimpin kualifikasi wilayah Barat yang ditempat enam klub. Maung Bandung melaju ke babak enam besar yang dimainkan di Stadion Senayan, Jakarta.
Pada fase enam besar yang dimainkan dengan format setengah kompetisi, Persib menjadu runner up berada di bawah Perseman Manokwari. Perseman dan Persib pun berhak atas tempat di babak grand final. Di laga tersebut, Djanur menjadi pahlawan Persib melalui gol tunggalnya di menit 77. Skor 1-0 menandai kemenangan Persib.
Mengenakan jersey bernomor punggung 16, akselerasi dari sisi kanan membela pertahaan lawan, finishing sempurna pun membawa Persib menuntaskan gelar juara. Sebelumnya dalam dua edisi Perserikatan, Persib selalu gagal meraih gelar juara meskipun berhasil melaju ke partai puncak, Djanur lantas dielu-elukan sebagai pahlawan.
Di tahun yang sama, Persib juga sukses dibawa Djanur meraih trofi internasional. Persib mendapat kesempatan ikut ambil bagian di event Pesta Sukan Brunei Darussalam atau Piala Hassanal Bolkiah 1986. Di penyisihan grup, Persib menakkukan timnas Filipina 4-0 dan tuan rumah 2-1 untuk lolos ke semifinal menghadapi Singapura.
Persib lalu berhasil menyingkirkan Singapura 4-2 lewat duel tos-tosan setelah bermain imbang 0-0. Di partai puncak yang dimainkan di Stadion Sultan Hassanal Bolkiah Bandar Seri Begawan, 27 Juli 1986. Maung Bandung menaklukan Malaysia 1-0 lewat gol tunggal Yusuf Bachtiar pada menit 47, Yusuf sendiri merupakan pemain pinjaman dari Perkesa Sidoarjo saat itu.
Kiprah Djanur bersama Persib sebagai pemain tidak sampai di situ, dirinya kembali sukses memberi trofi pada Perserikatan 1990. Di bawah komando Ade Dana, Persib yang sempat menurun prestasi pada beberapa tahun terakhir mulai bangkit. Tiket ke enam besar diraih, setelah itu Persib mampu merebut satu jatah semifinal untuk menghadapi PSM.
Di babak semifinal, Persib menggulung PSM dengan skor 3-0 lewat gol dari Adjat Sudrajat, Robby Darwis dan Dede Rosadi. Trofi nasional kedua Djanur bersama Persib pun sukses digapai setelah menjinakkan Persebaya pada partai final. Persib menang dengan skor 2-0 lewat gol Subangkit (OG) dan Dede Rosadi. Meski Djanur tidak mencetak gol, tapi dia bermain selama 90 menit di laga ini, gol Dede juga lahir dari andilnya berkat assist yang dipersembahkannya.
DNA juara Djanur pun terus melekat meski karir sebagai pemainnya sudah habis. DI perserikatan 1993/1994, dirinya sudah dipercaya menjadi asisten pelatih Indra Thohir. Walaupun secara status dalam tim, Djanur masih sebagai pemain. Maung Bandung menjadi kampiun setelah membekuk anak-anak Juku Eja dengan skor 2-0 lewat gol Yudi Guntara dan Sutiono Lamso.
Pria yang mempunyai empat orang putri ini baru benar-benar diangkat menjadi asisten pelatih di Liga Indonesia I 1994/1995. Di era kompetisi peleburan Perserikatan dan Galatama tersebut, kota Bandung kembali berpesta karena berhasil naik tahta. Djanur masuk staf pelatih Persib bersama dengan Emen Suwarman.
Meski tidak lagi berkontribusi di lapangan hijau, tadi Djanur bekerja di balik layar kesuksesan sang Pangeran Biru. Sebagai sosok yang kenyang dengan pengalaman dan bermental juara, Djanur bisa menularkannya kepada adik-adiknya. Di akhir kompetisi, Persib menundukan Petrokimia Putra 1-0 berkat gol tunggal Sutiono Lamso.
Djanur tetap dipertahankan sebagai asisten pelatih hingga Liga Indonesia 1996. Lalu dirinya kerap dipercaya untuk menjadi pelatih Persib di kelompok umur. Pada musim 2007, Djanur dipercaya lagi menjadi asisten Arcan Iurie dan sempat menjadi caretaker di akhir musim ketika Iurie mundur. Dia bersama empat anggota tim pelatih lain membentuk ‘pandawa lima’. Setelah itu pada musim 2008 Djanur juga pernah menjadi asisten pelatih Jaya Hartono di Persib.
Komentar Bobotoh