

Dede Rosadi, Bandung, 2021
Nama besar Persib Bandung sempat merajai kompetisi Perserikatan medio 1986 hingga 1994. Tiga gelar juara direngkuh hingga disebut era keemasan dengan komposisi pemain seperti Djadjang Nurdjaman, Ajat Sudrajat, Robby Darwis dan Adeng Hudaya. Namun di balik riuhnya materi bertabur bintang, sosok Dede Rosadi berhasil mencuri perhatian untuk menorehkan tinta emas di buku sejarah klub.
Dede Rosadi bukan pemain bintang atau pemain yang selalu mengisi daftar starting eleven saat aktif bermain. Namanya malah lebih banyak menjadi cadangan dan memulai pertandingan dengan menonton rekan-rekannya berlaga. Akan tetapi, bukan berarti winger kiri ini tanpa kontribusi, justru dari peran sebagai pengganti jasanya terkenang dalam memori.
Sebelum istilah supersub populer di akhir tahun 90-an dengan sosok Ole Gunnar Solksjaer yang jadi ikonnya, ternyata di belahan bumi lain, Dede sudah menikmati peran tersebut. Dia kerap jadi solusi ketika pemain inti menemui kebuntuan. Gol-golnya pun banyak dihasilkan di babak kedua yang mana Dede datang dari bench dan menjadi pembeda di pertandingan.
Dede sudah menjadi bagian dari skuat Persib ketika menjuarai Perserikatan tahun 1986. Saat itu dia merintis dari level junior dan bakatnya ditemukan oleh pelatih asal Polandia, Marek Janota. Bersama Robby Darwis, Dede lalu mencicipi kompetisi bersama Persib senior. Datang dengan kondisi tim yang bertabur bintang, pria kelahiran 25 Maret 1963 itu mengaku sulit mendapat posisi starter.
Tapi dari peran sebagai pengganti itu dia bisa mencuri momentum untuk melambungkan namanya. Dede bercerita bagaimana dia mengemban tugas sebagai supersub selama bermain untuk Persib. Baginya duduk di bench bukan hanya perkara menunggu kesempatan merumput, tapi menganalisa kondisi di lapangan agar bisa berkontribusi maksimal saat diturunkan.
“Memang saat itu pemain lagi bagus-bagusnya, jadi mungkin saya jadi cadangan dulu. Tapi cadangan juga engga diam gitu, kita baca (permainan). Apalagi saya di posisi kiri luar, saya harus baca pergerakan bek kanannya. Makanya kalau saya dipersiapkan untuk masuk, saya sudah punya angan-angan, ‘kalau dimasukin saya akan lewat ke sini’ dan begitu masuk sudah ada gambaran, ga nge-blank. Ketika masuk itu saya sudah siap dan pasti bisa lewatinnya,” ujar Dede kepada Simamaung.
Musim yang paling membuat nama Dede Rosadi mencuat tentu saja di Piala Perserikatan 1989/1990. Dia masuk scoresheet pada laga semifinal menghadapi PSM Makassar dengan status sebagai pemain pengganti. Golnya di menit 83 menyusul kreasi yang dihasilkan Ajat Sudrajat (menit 37) dan Robby Darwis (menit 56) dan membuat Persib unggul 3-0 atas Juku Eja.
Aksinya sebagai supersub paling mencuri perhatian pada partai puncak kompetisi Perserikatan 1990 yang mempertemukan Persib dengan Persebaya. Stadion Utama Senayan yang saat itu dipadati 90 ribu pasang mata dan mayoritas ditempati Bobotoh dibuat tegang dengan jalannya laga. Meskipun Persib unggul sejak menit 7 melalui gol bunuh diri Subangkit, tapi pertarungan berlangsung sengit.
Maung Bandung butuh gol tambahan untuk menjauhkan kedudukan dan mengunci kemenangan. Ade Dana yang bertindak sebagai pelatih pun memasukan senjata rahasianya dari bangku cadangan di awal babak kedua. Dede Rosadi dimasukkan untuk menggantikan Nyangnyang demi menambah daya gedor. Hasilnya jitu, Dede mampu menuntaskan assist Djadjang Nurdjaman dari sisi kiri dengan tendangan first time kaki kirinya dan membuat Persib unggul 2-0 pada menit 59.
“Waktu itu kan menegangkan ya, apalagi di Persebaya itu ada bek-bek tangguh seperti Subangkit. Saya cuma lihat kalau nanti saya masuk di kiri luar ganti Nyangnyang, saya sudah siap. Makanya waktu bola dari Djadjang (Nurdjaman) saya ada di belakang Ajat (Sudrajat) dan saya tahu sama Ajat bakal dilepas. Jadi saya ga ada pikiran ‘wah itu bola tiba-tiba datang ke saya’. Saya sudah punya pikiran bahwa itu akan dilepas dan saya yang menyelesaikan,” kenangnya.

Dede Rosadi, Bandung, 2021
Status sebagai pemain cadangan bukan berarti kontribusi bagi tim kecil. Maka dari itu Dede menegaskan dia tidak pernah merasa berkecil hati. “Kalau buat saya yang penting sebagai cadangan itu merasa ikut bermain tetapi dimulai dari bangku cadangan. Jadi bukan cuma diam atau ngobrol tapi saya punya tekad kalau dimasukkan akan mau begini-begini dan punya target,” tuturnya.
Peran pemain pengganti menurutnya tetap besar untuk performa sebuah tim. Bukan berarti predikat supersub juga harus ditandai dengan catatan gol. Yang terpenting dari pemain yang masuk dari bench adalah mampu membuat penampilan tim yang mulai menurun bisa kembali stabil. Ketika pemain inti mulai kelelahan, pemain cadangan harus bisa menyeimbangkan lagi intensitas permainan.
“Tidak juga (harus mencetak gol), tetapi yang penting pemain cadangan itu begitu dimasukkan dia bisa mengangkat permainan tim. Misalnya seperti yang tadinya sudah agak down begitu kita masuk jadi naik lagi, itulah cadangan yang bagus. Bisa mengangkat tim,” kata pria yang merupakan jebolan SSB Setia itu menjelaskan.
Mentalitas pun harus tetap terjaga sekalipun role yang diemban adalah pemain pengganti. Etos kerja maupun disiplin harus ditunjukkan layaknya seorang pemain inti dalam sebuah kesebelasan. Bahkan dia bercerita bahwa terkadang perasaan yang dialami di bench lebih tegang ketimbang ketika berada di lapangan.
“Yang pasti harus disiplin, biarpun cadangan tapi tetap sama, latihannya sama dengan yang tim inti. Baik itu teknik dan fisiknya juga. Terutama juga konsentrasi pada waktu main. Karena lebih tegang cadangan dari mereka yang main, jujur saja, apalagi ketika mau dimasukin. Tapi karena sudah membaca lawannya seperti apa jadi kalau saya masuk sudah punya gambaran,” ujar pensiunan PLN tersebut.
Dede mengaku memang sulit baginya untuk mendapat jatah pemain inti bersama Persib. Di area flank, sosok Djadjang Nurdjaman dan Wawan Karnawan begitu dominan dan itu sulit untuk digeser. Beruntung ada satu momentum di final Perserikatan 1990 yang membuatnya bisa mendapat panggung dan sorot lampu hingga banyak khalayak yang mengenalnya.
“Mungkin kalau saya ga masukin orang-orang juga jarang ada yang tahu saya di Persib. Tapi karena saymemasukankan pada waktu yang menentukan dari situ nama saya ada (terdengar) meskipun jadi cadangan. Karena pada waktu itu saking pemainnya solid dan bagus-bagus sudah mau geser juga kecuali kalau ada yang cedera seperti Djadjang, kalau engga cedera mah main aja, Wawan (Karnawan) juga di kanan gitu,” tuturnya.
Dede sendiri memegang titel one man one club bersama Persib Bandung. Selama aktif berkarir sebagai pesepakbola dia hanya membela klub kebanggaan Bobotoh tersebut meski perannya adalah supersub. Menjadi cadangan tidak melunturkan loyalitasnya bersama Maung Bandung. Hingga akhirnya tawaran bekerja full time di Perusahaan Listrik Negara (PLN) datang di usianya yang sudah menginjak 32 tahun.
“Saya waktu itu kebetulan PLN sudah profesional tahun 1994, Persib profesional, PLN juga profesional jadi harus milih Persib atau ini (bekerja di PLN). Akhirnya saya ngambil di PLN saja lah karena kan paling Persib tinggal beberapa tahun lagi sedangkan PLN masih panjang, jadi ya sudah. Yang penting saya sudah merasakan di Persib dan di PLN tidak mengecewakan,” tandas dia.
Dede Rosadi adalah cerita indah dalam kesunyian. Dari bangku cadangan ia menyimpan segalanya, jauh dari hingar bingar status pemain bintang yang membuat namanya dikenal. Bahkan uniknya, anak Dede tidak mengetahui bahwa bapaknya adalah pemain Persib hingga duduk di bangku SMA. Itu pun bukan karena Dede yang memberi tahu melainkan karena ditanya oleh teman sekolahnya.
Ditulis oleh Mohamad Anki Syaban, jurnalis Simamaung, berakun Twitter @ankisyaban Instagram @anki_syaban.
Dian Abdul rahman saleh
28/02/2021 at 13:22
Golden Era Persib Bandung, semua pemainnya familiar bagi Bobotoh.
Ciri khas permainan cantik dari kaki ke kaki, umpan2 pendek dan enak ditonton…..(meski Matak deg-degan).
Tedi Herdiana
06/04/2021 at 19:55
Wah ada pak dede rosadi, 6 tahun yg lalu tiap hari ketemu, kebetulan ruko dirumah milik org tuanya disewa orangnya someah, pertamanya gak tau alumni persib.. sehat terus pak dede