Coach Iwan Melupakan Kekuatan “Pemain Kedua Belas” Persib
Sunday, 27 September 2015 | 12:25
Jujur saja, saya bukan pengamat sepakbola, dan jarang menonton sepakbola liga-liga dunia. Hingga entah mengapa beberapa tahun ke belakang saya malah antusias dengan pertandingan-pertandingan Persib. Saya rasa itu muncul saat lama menempuh pendidikan di Depok, sebagai romansa anak rantau yang bagi saya “jauh” dari Bandung, da keur mahasiswa mah ongkos mahal, lur. Jika ada pertandingan Persib saya sempatkan menyaksikannya ke warkop (warung kopi). Biasanya, warkop yang punya adalah orang Kuningan (Jawa Barat) dan bisa akrab sebagai dulur kalau pembicaraannya sudah Persib, dengan sedikit pendekatan menggunakan Basa Sunda. Makan Indomie telor paling lima ribu rupiah, tapi nontonnya dua jam, hehehe.
Hapunteun, tanpa bermaksud jumawa, setahun lalu saya sempat menempuh studi lanjutan di Belanda. Saya – tidak untuk dicontoh, tanggung jawab tanggung sendiri-sendiri – saat laga final Indonesian Super League 2014 antara Persib melawan Persipura, memilih untuk bolos dan menonton live streaming dengan beberapa kawan di kamar asrama di Den Haag.
Dan kemarin, saya untuk yang kedua kalinya ke Jalak Harupat untuk menyaksikan langsung laga versus PBFC. Kali ini bersama dua orang kawan yang juga lulusan Belanda. Yang satu memang bobotoh dari dulu, yang satu baru pertama kali. Dan ini suasana yang saya suka jika menyaksikannya bersama bobotoh. Membandingkan dengan suasana pertandingan sepakbola di Belanda yang pernah saya saksikan, antara tuan rumah kontra Meksiko, saat itu saya langsung berpikir, “Mengbal teh penongton caricing kieu… asa teu resep.” Pendukung tuan rumah terlalu hening, bahkan kalah oleh sorakan tim tamu yang jumlahnya jauh lebih sedikit.
Namun di Jalak Harupat, lepas masih dari banyaknya manajemen pengaturan fasilitas dan tiket yang harus dibenahi, namun antusiasme pendukung harus diapresiasi. Ada koreografi, ada yel-yel, ada tabuh-tabuhan, membuat suasana tidak garing. Tidak selesai di lapangan, saat pulang dari Jalak Harupat ke arah Bandung kemarin, warga sepanjang jalan (Kopo) antusias untuk sekedar menyoraki semangat dan melambaikan tangan kepada para bobotoh yang baru saja “dinas” mendukung tim kesayangannya. Itu belum termasuk warga yang juga biasa berbaris di daerah arah ke Cimahi, atau Batujajar. Macet-macet sedikit ya biasa, di luar negeri juga ya begitu koq, asal tidak anarkis dan rusuh. Komunalitas warga dan bobotoh bercampur baur, kabeh dulur.
Maka, Iwan Setiawan, coach “hebat” PBFC, terlalu gegabah menurut saya karena tidak memperhitungkan kekuatan para “pemain kedua belas” ini. Lihatlah penuhnya stadion, belum lagi ajang nobar (nonton bareng) yang diadakan di berbagai titik di mana ada bobotoh. Di leg pertama di kandangnya dia bisa sesumbar, tetapi dia lupa di leg berikutnya adalah kandang bobotoh. Mungkin jika skema awal di Jalak Harupat baru leg berikutnya di Samarinda, dia masih bisa lebih aman untuk melancarkan perang urat syarafnya.
Namun Iwan terlalu mengambil risiko, memang jika dia bisa menang di Jalak Harupat, dia akan bisa bangga setinggi-tingginya, namun jika dia kalah, maka habislah ia dan timnya, dan itu akan tercatat dalam sejarah di Jalak Harupat dan bobotoh. Kata seorang kawan saya, “Baru kali ini sasaran yang dikekeak adalah pelatih.”
Iwan Setiawan, mungkin akan “dikenang” di hati sanubari bobotoh apapun timnya di masa yang akan datang dan dia harus menyiapkan mental seterusnya jika bermain di hadapan bobotoh. Selanjutnya bisa jadi bukan hanya Iwan seorang yang terdampak namanya akan dikenang di Jalak, tetapi mental seluruh tim PBFC bertahun-tahun ke depan jika kembali bermain di Bandung, sebagai tim yang pernah sesumbar namun hasilnya hambar.
Bobotoh tidak perlu heboh psy war, karena psy war yang tidak terbukti adalah senjata makan tuan. Coach Iwan telah meminta maaf dan saya kira memberi maaf adalah perbuatan mulia, tapi sejarah telah tercatat. Maka untuk Coach Iwan, ingatlah akan pesan punggawa pertahanan Persib Vladimir Vujovic, “Jangan menganggap diri terlalu tinggi, karena saat kau jatuh, rasanya akan sangat menyakitkan!”
Dan pesan itu juga seharusnya berlaku untuk Persib sendiri, perjalanan masih panjang dan jangan kecewakan para “pemain kedua-belas” ini ke depannya.
***
Zulfadhli Nst, penulis adalah mahasiswa Ilmu Lingkungan Universitas Padjadjaran dan International Institute of Social Studies, Den Haag.
Tulisan ini sepenuhnya merupakan pendapat pribadi penulis. Silahkan mengirim artikel tentang Persib Bandung ke email simamaung.com@gmail.com. Artikel yang layak muat akan kami terbitkan. Terima kasih.

Jujur saja, saya bukan pengamat sepakbola, dan jarang menonton sepakbola liga-liga dunia. Hingga entah mengapa beberapa tahun ke belakang saya malah antusias dengan pertandingan-pertandingan Persib. Saya rasa itu muncul saat lama menempuh pendidikan di Depok, sebagai romansa anak rantau yang bagi saya “jauh” dari Bandung, da keur mahasiswa mah ongkos mahal, lur. Jika ada pertandingan Persib saya sempatkan menyaksikannya ke warkop (warung kopi). Biasanya, warkop yang punya adalah orang Kuningan (Jawa Barat) dan bisa akrab sebagai dulur kalau pembicaraannya sudah Persib, dengan sedikit pendekatan menggunakan Basa Sunda. Makan Indomie telor paling lima ribu rupiah, tapi nontonnya dua jam, hehehe.
Hapunteun, tanpa bermaksud jumawa, setahun lalu saya sempat menempuh studi lanjutan di Belanda. Saya – tidak untuk dicontoh, tanggung jawab tanggung sendiri-sendiri – saat laga final Indonesian Super League 2014 antara Persib melawan Persipura, memilih untuk bolos dan menonton live streaming dengan beberapa kawan di kamar asrama di Den Haag.
Dan kemarin, saya untuk yang kedua kalinya ke Jalak Harupat untuk menyaksikan langsung laga versus PBFC. Kali ini bersama dua orang kawan yang juga lulusan Belanda. Yang satu memang bobotoh dari dulu, yang satu baru pertama kali. Dan ini suasana yang saya suka jika menyaksikannya bersama bobotoh. Membandingkan dengan suasana pertandingan sepakbola di Belanda yang pernah saya saksikan, antara tuan rumah kontra Meksiko, saat itu saya langsung berpikir, “Mengbal teh penongton caricing kieu… asa teu resep.” Pendukung tuan rumah terlalu hening, bahkan kalah oleh sorakan tim tamu yang jumlahnya jauh lebih sedikit.
Namun di Jalak Harupat, lepas masih dari banyaknya manajemen pengaturan fasilitas dan tiket yang harus dibenahi, namun antusiasme pendukung harus diapresiasi. Ada koreografi, ada yel-yel, ada tabuh-tabuhan, membuat suasana tidak garing. Tidak selesai di lapangan, saat pulang dari Jalak Harupat ke arah Bandung kemarin, warga sepanjang jalan (Kopo) antusias untuk sekedar menyoraki semangat dan melambaikan tangan kepada para bobotoh yang baru saja “dinas” mendukung tim kesayangannya. Itu belum termasuk warga yang juga biasa berbaris di daerah arah ke Cimahi, atau Batujajar. Macet-macet sedikit ya biasa, di luar negeri juga ya begitu koq, asal tidak anarkis dan rusuh. Komunalitas warga dan bobotoh bercampur baur, kabeh dulur.
Maka, Iwan Setiawan, coach “hebat” PBFC, terlalu gegabah menurut saya karena tidak memperhitungkan kekuatan para “pemain kedua belas” ini. Lihatlah penuhnya stadion, belum lagi ajang nobar (nonton bareng) yang diadakan di berbagai titik di mana ada bobotoh. Di leg pertama di kandangnya dia bisa sesumbar, tetapi dia lupa di leg berikutnya adalah kandang bobotoh. Mungkin jika skema awal di Jalak Harupat baru leg berikutnya di Samarinda, dia masih bisa lebih aman untuk melancarkan perang urat syarafnya.
Namun Iwan terlalu mengambil risiko, memang jika dia bisa menang di Jalak Harupat, dia akan bisa bangga setinggi-tingginya, namun jika dia kalah, maka habislah ia dan timnya, dan itu akan tercatat dalam sejarah di Jalak Harupat dan bobotoh. Kata seorang kawan saya, “Baru kali ini sasaran yang dikekeak adalah pelatih.”
Iwan Setiawan, mungkin akan “dikenang” di hati sanubari bobotoh apapun timnya di masa yang akan datang dan dia harus menyiapkan mental seterusnya jika bermain di hadapan bobotoh. Selanjutnya bisa jadi bukan hanya Iwan seorang yang terdampak namanya akan dikenang di Jalak, tetapi mental seluruh tim PBFC bertahun-tahun ke depan jika kembali bermain di Bandung, sebagai tim yang pernah sesumbar namun hasilnya hambar.
Bobotoh tidak perlu heboh psy war, karena psy war yang tidak terbukti adalah senjata makan tuan. Coach Iwan telah meminta maaf dan saya kira memberi maaf adalah perbuatan mulia, tapi sejarah telah tercatat. Maka untuk Coach Iwan, ingatlah akan pesan punggawa pertahanan Persib Vladimir Vujovic, “Jangan menganggap diri terlalu tinggi, karena saat kau jatuh, rasanya akan sangat menyakitkan!”
Dan pesan itu juga seharusnya berlaku untuk Persib sendiri, perjalanan masih panjang dan jangan kecewakan para “pemain kedua-belas” ini ke depannya.
***
Zulfadhli Nst, penulis adalah mahasiswa Ilmu Lingkungan Universitas Padjadjaran dan International Institute of Social Studies, Den Haag.
Tulisan ini sepenuhnya merupakan pendapat pribadi penulis. Silahkan mengirim artikel tentang Persib Bandung ke email simamaung.com@gmail.com. Artikel yang layak muat akan kami terbitkan. Terima kasih.

ayo persib”” perjuangan mu belum berakhir , semangat terus persib pasti bisa juara lagi……(to wahyu opl )
Mantap euy tulisanna si akang eta. Sakantenan promosi persib atuh di walanda…
atos Mang, saya mah sok makean wae baju Persib da lamun mengbal di ditu 🙂
rupi namah aya kasamian diantara urang teh aa, nyaeta sami2 kantos ka den hag.cuma benten na aa mah study lanjutan ari abi mah lumayan diditu teh icalan gendar aa..
nya bener, meunang ulah sombong, eleh ulah epes meer.
Benten lah Ari tulisan jalmi intelek mah, raos dibacana. Salam kenal to abdi kang zul. Sami sami bobotoh, sami sami peminat bidang lingkungan.
salam kenal Mang, mohon bimbinganna oge… 🙂
@Iwan Setiawan, ayeuna mah geura beberes, ulah ngalatih bola deui… dagang batu ali we Iwan, sy pesen red Borneolah
Bener tah si iwan titah jualan cilok ayenamah
Gusti….aya pa budi ngomen didieu….emut keneh ka abdi pa….kiper TL 95 nu nyentrik tea…hehehe. nu sok maen di lapang boscha. damang,pa??
ooh nu kabobolan seeur wae tea??
mang iwan sok lah… di tunggu psywar2 berikutnya..
agar PERSIB Ku… Tidak TERLENA…
dan saya tidak percaya..kalo di tim kang iwan ada nama sebesar PONARYO
karena dulu ponaryo mainnya GOOD.. tapi sekarang NOT GOOD..suka TETEMPRANG….
teu karasa cai panon nyurudcud jang…
maca jeung perasaan….hidup persib
mugia cai panon bisa nyurudcud deui mang, kusabab Persib juara engkena… insya Allah…
sarua abi ge jalu nyurucud cipanon,inget isukan teh rek aya nu nagih hutang….duh nasib kieu2 teuing..
persib nu aing, maung nu kodim…he
salut tulisan si akang ieu
salam baktos ti ciamis
persib mah pasti juara..