Beutik (Bagian ka 3), Salam Nazi ala Mang Ayi
Tuesday, 26 August 2014 | 19:07Oleh: Eko Maung*
Seri ketiga ini saya mencoba berbagi beberapa pandangan Mang Ayi yang saya dapat langsung dari almarhum. Seperti saya bahas di tulisan sebelumnya, Mang Ayi ini tukang hereuy, selalu sulit serius, tapi itu berlaku saat tengah berkumpul. Namun jika sedang berinteraksi dengan satu orang saja, maka yang terjadi adalah curhat dan obrolan-obrolan serius. Jadi Mang Ayi mah mun lobaan hereuy, mun duaan curhat.
Sosok Yang Demokratis
Mang Ayi yang saya kenal adalah sosok yang demokratis. Beberapa ucapan dan laku mengindikasikan itu. Misalnya bahwa Mang Ayi adalah orang yang menerima perbedaan walau dia belum tentu sependapat. Saya ambil contoh tentang suporter cassual, Mang Ayi dalam banyak hal tidak satu selera tapi bisa menerima keberadaan mereka, dia mengatakan “rek kukumaha oge baelah, da eta mah masalah gaya hungkul…nu penting mah tujuanna sarua PERSIB.” Walau dalam beberapa kesempatan (bahkan saat siaran TV) dia jelas-jelas menunjukkan tidak satu selera dengan casual, misalnya ucapan “make jaket mantel, nutupan beungeut, make sarung tangan…sakalian weh mawa karung jeung mulungan botol aqua, pan geus jiga tukang botol,” tapi ketidaksatuseleraannya itu bukan berarti bersebrangan, karena intinya adalah sama-sama mendukung PERSIB.
Ucapan dan sindiran-sindiran itu tentulah bisa kita anggap “heureuy ala Mang Ayi”. Justru di situlah salah satu esensi terpenting pemikiran yang demokratis dalam sepakbola, yaitu memberi tempat dan menerima hal yang nyata-nyata dia kurang sreg demi satu alasan yang prinsipil yaitu PERSIB. Jadi tak berlaku terhadap mereka yang bukan pendukung PERSIB yah.
Sikap menerima ini pun ditunjukkan pula dengan obrolan saat di kafe PERSIB. Jadi Mang Ayi bukannya tidak tahu bahwa ada fp-fp bobotoh di facebook yang tak menyukai dirinya, sering membicarakan Mang Ayi, menjelek-jelekan dsb. Namun Mang Ayi menerima saja bahwa memang tak semua orang bisa menyukai dan menerima dirinya, Mang Ayi biasa saja, dia menganggap toh orang-orang yang tak suka dia pun sama-sama bobotoh. Jadi yah masalah yang wajar jika berbeda persepsi tentang damai dengan jak, teror pemain, flare, dll, semua punya pendapat dan gaya masing-masing walau terkadang Mang Ayi pun heran tak ada yang langsung mengatakan dan mengecam di hadapannya, jelema-jelema eta di facebook mengecam dsb, tapi tara ka stadion, sakalina papanggih ngajak salaman, cengar-cengir biasa wae, padahal bisa jadi Mang Ayi pun tahu orang-orang dan komunitas–komunitas itu. Inilah yang membuat saat publik “menekan” Mang Ayi, tapi bisa-bisanya Mang Ayi bersikap biasa saja malah semakin ngahajakeun, ya karena yang beda pendapat itu hanya berisik di belakang saja.
Demokratis ala Mang Ayi pun ditunjukkan dari ucapannya tentang regenerasi, Mang Ayi memahami bahwa segala sesuatu yang sehat perlu memiliki kontrol dan penyegaran agar tidak disalahgunakan. Bahkan dia berbicara tentang dirinya sendiri, bahwa jika diperlukan Mang Ayi siap menerima siapapun yang merasa ingin menjadi panglima menggantikan dirinya jika merasa siap total demi PERSIB, karena diapun menganggap panglima adalah jabatan non-formal jadi biar barudak yang menilai. Artinya apa? Ini menunjukkan bahwa Mang Ayi bukanlah sosok yang ingin bertahan terus-terusan, selamanya, namun siap menerima perubahan jika itu lebih baik. Mang Ayi bukan orang yang khawatir kehilangan hal-hal semacam jabatan dsb karena dia menganggap itu hanyalah sebuah penerimaan dan pengakuan (tentang hal ini saya paparkan jelas di tulisan bagian pertama)
Salam Nazi ala Mang Ayi
Banyak foto di internet dan kaos-kaos yang menunjukkan Mang Ayi memberi salam ala NAZI, dan memang dia sadar melakukan itu, sama sekali tak canggung. Lalu bagaimana kemudian seorang yang “barebas dan membebaskan” serta demokratis tiba-tiba berpaham fasis pula? Saya akan coba jelaskan di sini.
Perlu dipahami juga bahwa penyikapan Mang Ayi terhadap NAZI tak serumit hingga ideologi, akar filosofis dsb. Mang Ayi hanya menerima irisan-irisan yang berkaitan dengan kesuporteran, dan itu lebih banyak di ranah style & pop culture saja. Anda tahu insiden soldatenkaffe di Paskal Hypersquare yang menghebohkan dunia internasional tahun lalu? Saya tahu betul bahwa Mang Ayi adalah pelanggan di kafe berkonsep perang dunia II yang didominasi dengan simbol-simbol NAZI itu. Lalu apakah Mang Ayi dan orang-orang yang sering nongkrong di kafe itu adalah NAZI? Tentu tidak. Mereka hanyalah segmen penggemar pop culture. Jika yang lain suka bergaya zombie, anime dll, kebetulan mereka-mereka ini gemar dengan fashion militer perang dunia II dan tentu saja yang populer dan dianggap paling elegan tentunya militer NAZI. Asal tahu saja dahulu sebelum era NAZI seragam militer tak diperhatikan style-nya, seragam lusuh kedodoran, tanda kepangkatan yang tak jelas dsb. Militer NAZI lah yang membuat semuanya berubah dan membuat militer lebih fashionable, baju-baju perwira yang slimfit, ketat pas badan, tanda kepangkatan yang elegan, ornamen perak-emas dll. Sehingga memang banyak penggemar sejarah-military pop culture yang senang berpakaian ala NAZI (terbaru ya kasusnya ahmad dhani).

Obrolan panjang lebar tentang NAZI-sepakbola terjadi pada bulan Juli tahun lalu. Saat itu tulisan saya tentang penutupan kafe “NAZI” soldatenkaffe dimuat di HU Tribun Jabar, sedangkan saya sedang dinas di luar Kota Bandung sehingga tak mengetahui jika tulisan saya dimuat. Saya tahu pemuatannya justru ketika Mang Ayi mengambil foto koran yang dibacanya kemudian “men-tag” via facebook. Kemudian Mang Ayi ngajak ngobrol-ngobrol tentang suporter-suporter sepakbola neo NAZI. Dalam obrolan itu sebenarnya Mang Ayi tak berkeberatan dicap sebagai fasis atau NAZI karena dia melihat toh fenomena itu ada di Eropa. Mang Ayi pun lebih memilih berpaham ala suporter-suporter ultra kanan yang ultra nasionalis, walau tentunya tak dapat diimplementasikan sepenuhnya di Indonesia mengingat keberagaman suku bangsa, walau saya timpali bahwa ini menarik jika ditarik ke fanatisme kedaerahan di era perserikatan, ketika paham chauvinisme ultra nasionalis ala suporter Eropa menyempit ke paham etnis (kalo saya bilang ultra-kesukuan bener gak yah? ha3), karena pernah ada masanya bahwa PERSIB identik dengan etnis Sunda, PSMS=Batak, PSM=Bugis dll. Namun Mang Ayi ternyata lebih menikmati saat PERSIB mengglobal seperti saat ini, ketika ikatan emosionalnya menembus sekat geografis dan kesukuan.
Karakter “kanan” Mang Ayi tak semata menempatkan suatu kebanggaan hingga titik paling ekstrim (dalam hal ini PERSIB), namun tampak juga dalam keseharian dan selera Mang Ayi. Selain menggemari fashion militer dan neo-nazi (walau bisa jadi non ideologis). Mang Ayi pun memilih jeep militer sebagai tunggangan kesayangannya, ini selaras dengan selera Mang Ayi yang menggemari parade (parade pun sangat identik dengan propaganda NAZI) dan memang cocok juga dengan kebiasaan suporter sepakbola yang doyan konvoi kendaraan. Mang Ayi pernah bertanya apa konsekuensinya ketika dia melakukan salam ala NAZI itu berulang-ulang sebelum pertandingan, saya jawab bahwa tak ada konsekuensinya jika dilakukan di Indonesia, asal jangan di Eropa, karena di Eropa ada larangannya terkait simbol-simbol NAZI dan sanksinya berupa hukuman serius. Saya pun menjelaskan kepada Mang Ayi bahwa ini berkaitan dengan sejarah dan trauma suatu bangsa, kalau di Eropa yang sensitif adalah fasisme-NAZI nah di Indonesia yang sensitif adalah komunisme, bahkan sempat ada TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 yang melarang marxisme-leninisme karena khawatir dengan ancaman komunisme, padahal kajian komunisme di Eropa biasa saja.
Bersambung…
Dalam tulisan berikutnya penulis akan mencoba menceritakan kembali beberapa pengalaman tour yang pernah dilalui bersama Mang Ayi.
*Penulis adalah ex.ass.produser almarhum Ayi Beutik di program PERSIB Aing KOMPAS TV Jabar dan rekan penyiar almarhum di 96,4 Bobotoh FM, berakun twitter @ekomaung
Baca Juga:
Beutik (Bagian Ka Hiji)
Beutik (Bagian ka 2) – Heureuy ala Mang Ayi
BEUTIK (Bagian Ka Opat) – Away Day with the Commander

Oleh: Eko Maung*
Seri ketiga ini saya mencoba berbagi beberapa pandangan Mang Ayi yang saya dapat langsung dari almarhum. Seperti saya bahas di tulisan sebelumnya, Mang Ayi ini tukang hereuy, selalu sulit serius, tapi itu berlaku saat tengah berkumpul. Namun jika sedang berinteraksi dengan satu orang saja, maka yang terjadi adalah curhat dan obrolan-obrolan serius. Jadi Mang Ayi mah mun lobaan hereuy, mun duaan curhat.
Sosok Yang Demokratis
Mang Ayi yang saya kenal adalah sosok yang demokratis. Beberapa ucapan dan laku mengindikasikan itu. Misalnya bahwa Mang Ayi adalah orang yang menerima perbedaan walau dia belum tentu sependapat. Saya ambil contoh tentang suporter cassual, Mang Ayi dalam banyak hal tidak satu selera tapi bisa menerima keberadaan mereka, dia mengatakan “rek kukumaha oge baelah, da eta mah masalah gaya hungkul…nu penting mah tujuanna sarua PERSIB.” Walau dalam beberapa kesempatan (bahkan saat siaran TV) dia jelas-jelas menunjukkan tidak satu selera dengan casual, misalnya ucapan “make jaket mantel, nutupan beungeut, make sarung tangan…sakalian weh mawa karung jeung mulungan botol aqua, pan geus jiga tukang botol,” tapi ketidaksatuseleraannya itu bukan berarti bersebrangan, karena intinya adalah sama-sama mendukung PERSIB.
Ucapan dan sindiran-sindiran itu tentulah bisa kita anggap “heureuy ala Mang Ayi”. Justru di situlah salah satu esensi terpenting pemikiran yang demokratis dalam sepakbola, yaitu memberi tempat dan menerima hal yang nyata-nyata dia kurang sreg demi satu alasan yang prinsipil yaitu PERSIB. Jadi tak berlaku terhadap mereka yang bukan pendukung PERSIB yah.
Sikap menerima ini pun ditunjukkan pula dengan obrolan saat di kafe PERSIB. Jadi Mang Ayi bukannya tidak tahu bahwa ada fp-fp bobotoh di facebook yang tak menyukai dirinya, sering membicarakan Mang Ayi, menjelek-jelekan dsb. Namun Mang Ayi menerima saja bahwa memang tak semua orang bisa menyukai dan menerima dirinya, Mang Ayi biasa saja, dia menganggap toh orang-orang yang tak suka dia pun sama-sama bobotoh. Jadi yah masalah yang wajar jika berbeda persepsi tentang damai dengan jak, teror pemain, flare, dll, semua punya pendapat dan gaya masing-masing walau terkadang Mang Ayi pun heran tak ada yang langsung mengatakan dan mengecam di hadapannya, jelema-jelema eta di facebook mengecam dsb, tapi tara ka stadion, sakalina papanggih ngajak salaman, cengar-cengir biasa wae, padahal bisa jadi Mang Ayi pun tahu orang-orang dan komunitas–komunitas itu. Inilah yang membuat saat publik “menekan” Mang Ayi, tapi bisa-bisanya Mang Ayi bersikap biasa saja malah semakin ngahajakeun, ya karena yang beda pendapat itu hanya berisik di belakang saja.
Demokratis ala Mang Ayi pun ditunjukkan dari ucapannya tentang regenerasi, Mang Ayi memahami bahwa segala sesuatu yang sehat perlu memiliki kontrol dan penyegaran agar tidak disalahgunakan. Bahkan dia berbicara tentang dirinya sendiri, bahwa jika diperlukan Mang Ayi siap menerima siapapun yang merasa ingin menjadi panglima menggantikan dirinya jika merasa siap total demi PERSIB, karena diapun menganggap panglima adalah jabatan non-formal jadi biar barudak yang menilai. Artinya apa? Ini menunjukkan bahwa Mang Ayi bukanlah sosok yang ingin bertahan terus-terusan, selamanya, namun siap menerima perubahan jika itu lebih baik. Mang Ayi bukan orang yang khawatir kehilangan hal-hal semacam jabatan dsb karena dia menganggap itu hanyalah sebuah penerimaan dan pengakuan (tentang hal ini saya paparkan jelas di tulisan bagian pertama)
Salam Nazi ala Mang Ayi
Banyak foto di internet dan kaos-kaos yang menunjukkan Mang Ayi memberi salam ala NAZI, dan memang dia sadar melakukan itu, sama sekali tak canggung. Lalu bagaimana kemudian seorang yang “barebas dan membebaskan” serta demokratis tiba-tiba berpaham fasis pula? Saya akan coba jelaskan di sini.
Perlu dipahami juga bahwa penyikapan Mang Ayi terhadap NAZI tak serumit hingga ideologi, akar filosofis dsb. Mang Ayi hanya menerima irisan-irisan yang berkaitan dengan kesuporteran, dan itu lebih banyak di ranah style & pop culture saja. Anda tahu insiden soldatenkaffe di Paskal Hypersquare yang menghebohkan dunia internasional tahun lalu? Saya tahu betul bahwa Mang Ayi adalah pelanggan di kafe berkonsep perang dunia II yang didominasi dengan simbol-simbol NAZI itu. Lalu apakah Mang Ayi dan orang-orang yang sering nongkrong di kafe itu adalah NAZI? Tentu tidak. Mereka hanyalah segmen penggemar pop culture. Jika yang lain suka bergaya zombie, anime dll, kebetulan mereka-mereka ini gemar dengan fashion militer perang dunia II dan tentu saja yang populer dan dianggap paling elegan tentunya militer NAZI. Asal tahu saja dahulu sebelum era NAZI seragam militer tak diperhatikan style-nya, seragam lusuh kedodoran, tanda kepangkatan yang tak jelas dsb. Militer NAZI lah yang membuat semuanya berubah dan membuat militer lebih fashionable, baju-baju perwira yang slimfit, ketat pas badan, tanda kepangkatan yang elegan, ornamen perak-emas dll. Sehingga memang banyak penggemar sejarah-military pop culture yang senang berpakaian ala NAZI (terbaru ya kasusnya ahmad dhani).
Obrolan panjang lebar tentang NAZI-sepakbola terjadi pada bulan Juli tahun lalu. Saat itu tulisan saya tentang penutupan kafe “NAZI” soldatenkaffe dimuat di HU Tribun Jabar, sedangkan saya sedang dinas di luar Kota Bandung sehingga tak mengetahui jika tulisan saya dimuat. Saya tahu pemuatannya justru ketika Mang Ayi mengambil foto koran yang dibacanya kemudian “men-tag” via facebook. Kemudian Mang Ayi ngajak ngobrol-ngobrol tentang suporter-suporter sepakbola neo NAZI. Dalam obrolan itu sebenarnya Mang Ayi tak berkeberatan dicap sebagai fasis atau NAZI karena dia melihat toh fenomena itu ada di Eropa. Mang Ayi pun lebih memilih berpaham ala suporter-suporter ultra kanan yang ultra nasionalis, walau tentunya tak dapat diimplementasikan sepenuhnya di Indonesia mengingat keberagaman suku bangsa, walau saya timpali bahwa ini menarik jika ditarik ke fanatisme kedaerahan di era perserikatan, ketika paham chauvinisme ultra nasionalis ala suporter Eropa menyempit ke paham etnis (kalo saya bilang ultra-kesukuan bener gak yah? ha3), karena pernah ada masanya bahwa PERSIB identik dengan etnis Sunda, PSMS=Batak, PSM=Bugis dll. Namun Mang Ayi ternyata lebih menikmati saat PERSIB mengglobal seperti saat ini, ketika ikatan emosionalnya menembus sekat geografis dan kesukuan.
Karakter “kanan” Mang Ayi tak semata menempatkan suatu kebanggaan hingga titik paling ekstrim (dalam hal ini PERSIB), namun tampak juga dalam keseharian dan selera Mang Ayi. Selain menggemari fashion militer dan neo-nazi (walau bisa jadi non ideologis). Mang Ayi pun memilih jeep militer sebagai tunggangan kesayangannya, ini selaras dengan selera Mang Ayi yang menggemari parade (parade pun sangat identik dengan propaganda NAZI) dan memang cocok juga dengan kebiasaan suporter sepakbola yang doyan konvoi kendaraan. Mang Ayi pernah bertanya apa konsekuensinya ketika dia melakukan salam ala NAZI itu berulang-ulang sebelum pertandingan, saya jawab bahwa tak ada konsekuensinya jika dilakukan di Indonesia, asal jangan di Eropa, karena di Eropa ada larangannya terkait simbol-simbol NAZI dan sanksinya berupa hukuman serius. Saya pun menjelaskan kepada Mang Ayi bahwa ini berkaitan dengan sejarah dan trauma suatu bangsa, kalau di Eropa yang sensitif adalah fasisme-NAZI nah di Indonesia yang sensitif adalah komunisme, bahkan sempat ada TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 yang melarang marxisme-leninisme karena khawatir dengan ancaman komunisme, padahal kajian komunisme di Eropa biasa saja.
Bersambung…
Dalam tulisan berikutnya penulis akan mencoba menceritakan kembali beberapa pengalaman tour yang pernah dilalui bersama Mang Ayi.
*Penulis adalah ex.ass.produser almarhum Ayi Beutik di program PERSIB Aing KOMPAS TV Jabar dan rekan penyiar almarhum di 96,4 Bobotoh FM, berakun twitter @ekomaung
Baca Juga:
Beutik (Bagian Ka Hiji)
Beutik (Bagian ka 2) – Heureuy ala Mang Ayi
BEUTIK (Bagian Ka Opat) – Away Day with the Commander

Hatur nuhun seratanana, mung nyerat ekstrim kedahna ekstrem.
sae pisan,
hidup persib