Belajar Berkomunikasi, Mungkinkah?
Friday, 13 August 2010 | 11:12Nama: Ivan Alidjaja
‘Ada pepatah mengatakan bahwa hidup itu dikuasai oleh lidah dan juga lidah itu ibarat sebuah kemudi kecil yang dapat mengatur kapal laut yang ber-ton-ton besarnya’.
Saya memperhatikan bahwa Persib sedang menuju ke arah yang benar dalam menjadi sebuah tim yang profesional. Demi mengarah ke sebuah klub yg murni profesional, beberapa langkah sudah diambil misalnya mendirikan PT PBB, menunjuk coach Daniel yg berlisensi UEFA Pro A, menunjuk Dr Phaidon sebagai pelatih fisik merangkap ahli nutrisi dan juga ada faktor-faktor lain yang pada saat ini masih digodok oleh PT PBB demi mencapai Persib yang profesional.
Seperti hal-nya sebuah tim yang ‘baru’ secara serius menjadi profesional, tentunya Persib perlu melengkapi dirinya dengan cara berkomunikasi yang baik dan benar. Maaf, saya bukan ahli komunikasi seperti Prof Tjipta Lesmana, tetapi melihat dinamika yang terjadi di Persib baik dalam pemilihan coach, seleksi pemain dan juga hal-hal lainnya, saya tergelitik untuk berkomentar.
Pikiran saya melayang jauh ke benua Eropa, di mana klub itu benar-benar profesional dan peran komunikasi yg dilakukan oleh manajer sangatlah penting. Sebagai contoh, kita pasti kenal dengan tipe Mourinho yang sangat pandai memainkan psy-war dengan tim-tim lawan, kita juga melihat Sir Alex Ferguson yang piawai berkata-kata dalam memuji dan ‘meredakan’ suasana panas tim. Intinya adalah peran yang dilakukan oleh para manager/pelatih tersebut adalah membentuk image yang ‘menjual’ dari sebuah klub sepakbola, baik lewat pernyataan ‘kontroversial’ (seperti Mourinho) ataupun hanya sekedar berkelakar. Namun satu hal yang pasti, jarang sekali manager-manager tingkat dunia ini membuat pernyataan yang memberikan kesan seolah-olah klub yang ditanganinya itu tidak solid (alias tidak satu suara).
Kembali ke Persib, baru-baru ini saya membaca di simamaung.com bahwa manajer Persib berpendapat bahwa Persib (seharusnya) tidak perlu seleksi, di lain pihak, Coach Daniel berpendapat bahwa setiap pemain harus diseleksi. Hal ini sangat menarik dicermati karena seharusnya hal seperti ini tidak perlu menjadi konsumsi publik. Manager (dan tim management yang lainnya, termasuk konsorsium) dan Coach (dan timnya) seharusnya satu suara mengenai hal ini. Kalaupun mau memberikan pendapat yang berbeda, akan lebih bagus seandainya dikemas dalam bentuk yang lebih elegan sehingga tetap mengesankan bahwa Persib itu satu suara.
Pernyataan-pernyataan seperti ‘Seleksi seperti ini hanya membuang-buang waktu saja, sementara tim lain sudah hampir selesai membentuk tim’ mungkin tidak sepenuhnya salah, namun demikian bukankah akan lebih bagus jika pernyataan tersebut dikemas seperti ini ’Coach Daniel mempunyai alasan yang kuat untuk menseleksi pemain yang akan datang ke Persib namun mengingat waktu yang ‘mepet’, saya akan berkoordinasi lebih lanjut dengan Coach Daniel agar seluruh komponen yang ada di Persib dapat dioptimalkan untuk ‘speed up’ proses seleksi dengan tetap mengutamakan kualitas dan mengedepankan kebutuhan tim’.
Saya melihat bahwa Persib sudah seperti sebuah produk, di mana salah satu komponen dari produk tersebut adalah BRAND yang merupakan IDENTITAS untuk sebuah produk. Sebagus apapun sebuah produk, jika kemasannya ‘tidak pas’ maka akan membuat produk itu terhambat penjualannya atau bahkan menjadi tidak diterima pasar. Pernyataan-pernyataan seperti di atas tidak secara langsung menunjukkan identitas tim Persib dan sedikit demi sedikit membentuk brand Persib sebagai tim yang secara manajemen ’tidak solid’ alias tidak satu suara.
Beruntunglah Persib mempunyai fans club alias bobotoh yang cinta mati dengan Persib sehingga hal-hal kecil miskomunikasi seperti di atas tidak terlalu mempengaruhi image Persib, namun demikian demi menuju Persib yang lebih profesional dan lebih ‘menjual’, saya sangat menyarankan agar Persib, terutama jajaran management Persib agar lebih profesional dalam berkomunikasi dan menghindari dualisme dalam memberikan pernyataan di publik.
–
Catatan saja:
brand is the recognition and personal connection that forms in the hearts and minds of our stakeholders and other key audiences through their accumulated experience with your brand at every point of contact.
Pendapat yang dinyatakan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan pendapat pribadi penulis, dan tidak mencerminkan pendapat redaksi Simamaung.

Nama: Ivan Alidjaja
‘Ada pepatah mengatakan bahwa hidup itu dikuasai oleh lidah dan juga lidah itu ibarat sebuah kemudi kecil yang dapat mengatur kapal laut yang ber-ton-ton besarnya’.
Saya memperhatikan bahwa Persib sedang menuju ke arah yang benar dalam menjadi sebuah tim yang profesional. Demi mengarah ke sebuah klub yg murni profesional, beberapa langkah sudah diambil misalnya mendirikan PT PBB, menunjuk coach Daniel yg berlisensi UEFA Pro A, menunjuk Dr Phaidon sebagai pelatih fisik merangkap ahli nutrisi dan juga ada faktor-faktor lain yang pada saat ini masih digodok oleh PT PBB demi mencapai Persib yang profesional.
Seperti hal-nya sebuah tim yang ‘baru’ secara serius menjadi profesional, tentunya Persib perlu melengkapi dirinya dengan cara berkomunikasi yang baik dan benar. Maaf, saya bukan ahli komunikasi seperti Prof Tjipta Lesmana, tetapi melihat dinamika yang terjadi di Persib baik dalam pemilihan coach, seleksi pemain dan juga hal-hal lainnya, saya tergelitik untuk berkomentar.
Pikiran saya melayang jauh ke benua Eropa, di mana klub itu benar-benar profesional dan peran komunikasi yg dilakukan oleh manajer sangatlah penting. Sebagai contoh, kita pasti kenal dengan tipe Mourinho yang sangat pandai memainkan psy-war dengan tim-tim lawan, kita juga melihat Sir Alex Ferguson yang piawai berkata-kata dalam memuji dan ‘meredakan’ suasana panas tim. Intinya adalah peran yang dilakukan oleh para manager/pelatih tersebut adalah membentuk image yang ‘menjual’ dari sebuah klub sepakbola, baik lewat pernyataan ‘kontroversial’ (seperti Mourinho) ataupun hanya sekedar berkelakar. Namun satu hal yang pasti, jarang sekali manager-manager tingkat dunia ini membuat pernyataan yang memberikan kesan seolah-olah klub yang ditanganinya itu tidak solid (alias tidak satu suara).
Kembali ke Persib, baru-baru ini saya membaca di simamaung.com bahwa manajer Persib berpendapat bahwa Persib (seharusnya) tidak perlu seleksi, di lain pihak, Coach Daniel berpendapat bahwa setiap pemain harus diseleksi. Hal ini sangat menarik dicermati karena seharusnya hal seperti ini tidak perlu menjadi konsumsi publik. Manager (dan tim management yang lainnya, termasuk konsorsium) dan Coach (dan timnya) seharusnya satu suara mengenai hal ini. Kalaupun mau memberikan pendapat yang berbeda, akan lebih bagus seandainya dikemas dalam bentuk yang lebih elegan sehingga tetap mengesankan bahwa Persib itu satu suara.
Pernyataan-pernyataan seperti ‘Seleksi seperti ini hanya membuang-buang waktu saja, sementara tim lain sudah hampir selesai membentuk tim’ mungkin tidak sepenuhnya salah, namun demikian bukankah akan lebih bagus jika pernyataan tersebut dikemas seperti ini ’Coach Daniel mempunyai alasan yang kuat untuk menseleksi pemain yang akan datang ke Persib namun mengingat waktu yang ‘mepet’, saya akan berkoordinasi lebih lanjut dengan Coach Daniel agar seluruh komponen yang ada di Persib dapat dioptimalkan untuk ‘speed up’ proses seleksi dengan tetap mengutamakan kualitas dan mengedepankan kebutuhan tim’.
Saya melihat bahwa Persib sudah seperti sebuah produk, di mana salah satu komponen dari produk tersebut adalah BRAND yang merupakan IDENTITAS untuk sebuah produk. Sebagus apapun sebuah produk, jika kemasannya ‘tidak pas’ maka akan membuat produk itu terhambat penjualannya atau bahkan menjadi tidak diterima pasar. Pernyataan-pernyataan seperti di atas tidak secara langsung menunjukkan identitas tim Persib dan sedikit demi sedikit membentuk brand Persib sebagai tim yang secara manajemen ’tidak solid’ alias tidak satu suara.
Beruntunglah Persib mempunyai fans club alias bobotoh yang cinta mati dengan Persib sehingga hal-hal kecil miskomunikasi seperti di atas tidak terlalu mempengaruhi image Persib, namun demikian demi menuju Persib yang lebih profesional dan lebih ‘menjual’, saya sangat menyarankan agar Persib, terutama jajaran management Persib agar lebih profesional dalam berkomunikasi dan menghindari dualisme dalam memberikan pernyataan di publik.
–
Catatan saja:
brand is the recognition and personal connection that forms in the hearts and minds of our stakeholders and other key audiences through their accumulated experience with your brand at every point of contact.
Pendapat yang dinyatakan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan pendapat pribadi penulis, dan tidak mencerminkan pendapat redaksi Simamaung.
