

Dadang Hidayat, Bandung, 2021
Estafet ban kapten Persib Bandung dari para legenda seperti Adeng Hudaya dan Robby Darwis sampai juga ke lengan Dadang Hidayat. Pemain bernomor punggung 24 ini memangku beban, atas prestasi para pendahulunya yang mampu mengangkat trofi saat menjadi el capitano. Tapi Dahi tetaplah Dahi, memimpin dengan caranya sendiri, bangkit atas segala keterpurukan, dan memegang setia dalam diamnya.
Dadang Hidayat tegap mengemban amanah yang diberikan pelatih Indra Thohir. Ya, pada saat itu ia ditunjuk langsung oleh pelatih legendaris tersebut. Dadang adalah bagian pemain yang tersisa di era juara liga pertama 1994/1995–walau statusnya kala itu sebagai pemain cadangan. Seiring berjalan waktu, Robby Darwis meninggalkan tim ke Persikab. Dadang Hidayat lalu jadi suksesor Robby (1998/1999).
“Ban kapten sempat berpindah-pindah dari kang Robby ke Nandang, juga ke pernah ke pemain lain. Pada waktu liga ke-5 Pak Indra Thohir masuk menggantikan pelatih Pak Suryamin di situ Pak Indra mempercayakan ban kapten kepada saya, saya ditunjuk langsung,” kata Dahi saat ditemui SIMAMAUNG.
Perjalanan Dadang Hidayat melanjutkan perjuangan Persib naik turun sangat berat. Pengalamannya diuji merasakan terpuruk sepanjang musim akibat tim berkutat di papan bawah. Sempat mengalami 12 pertandingan beruntun tanpa kemenangan.
Zona degradasi membayangi Persib selama musim 2003, itu semua berawal saat terjadi perombakan tim. Pemain muda didatangkan mengganti pemain-pemain yang dianggap telah habis masa keemasannya. Rombongan pemain asing datang yang dinakhodai pelatih asal Polandia, Marek Andrejz Sledzianowski.
“Waktu mengarungi kompetisi (2003) kita menderita kalah dan kalah terus. Sampai di pertengahan putaran pertama posisi kita di bawah. Ada pergantian pelatih dari Mr Marek ke pelatih asal Chili Juan Paez dia bawa pasukan pemain dari Chili, sedikit-sedikit mulai ada menang-menang,” cerita Dahi.
“Tapi waktu itu sudah telat, sudah tidak bisa bangkit naik ke atas dan akhirnya kita masuk play-off di Solo,” tambahnya merasakan kegagalan di 2003, terlebih ia sosok kapten yang memimpin tim di lapangan.
Maung Bandung akhirnya selamat dari degradasi berkat kegigihan di babak play-off di Stadion Manahan Solo. Mereka lah sang penyelamat, Dadang cs mengalahkan Persela dan PSIM, serta imbang melawan Perseden Denpasar. Dahi merasa ‘plong’ mengubah duka menjadi suka, menyelamatkan Persib dari ancaman turun kasta.
“Waktu itu saya agak stres dapat berita (play-off di Solo). Alhamdulillah termasuk peran pelatih (Juan Paez) juga sangat besar gimana caranya me-manage pemain. Oke kita menghadapi perjuangan berat tapi si pelatih nge-setting tim agar tidak tegang menuju arena. Pertandingan demi pertandingan kaya final, kita berjuang, kita selamat dari degradasi,” paparnya.
One Man One Club
Ban kapten terus melekat di tangan Dahi sampai ia mengakhiri karir sebagai pemain tahun 2005. Ia menasbihkan diri sebagai satu-satunya pemain yang hanya mengabdi kepada satu klub selama menjadi pesepakbola profesional, julukan one man one club tersemat dalam CV-nya.
“Pecinta sepakbola memberi julukan (one man one club) karena saya tidak pindah-pindah klub. Saya masuk Persib tahun 1994 liga pertama Liga Dunhil dan saya pensiun 2005. Waktu itu pelatihnya juga Indra Thohir, mungkin itu kenapa saya dijuluki itu karena saya enggak pindah-pindah klub,” kata pria kelahiran 20 Agustus 1972 ini.
Tidak ada pikiran dalam benaknya hengkang ke klub lain saat lini belakang Pangeran Biru masih diisi pemain bintang macam Robby Darwis, Yadi Mulyadi, Mulyana, dan Roy Darwis. Ia bersabar selama lima tahun di bangku cadangkan sambil bekerja keras di latihan.
“Masuk ke Persib dengan pemain bintang-bintang lokalnya karena di belakangnya (GK) ada kang Anwar (Sanusi), kang Samai (Setiadi). Apalagi di belakangnya itu disebut tiga tower kang Roby (Darwis) kang Yadi (Mulyadi), kang Mulyana, Roy Darwis. Saya dikeliling pemain bintang dan saya menunggu hampir lima tahun untuk jadi starting line up. Proses saya menuju ke situ Alhamdulullah terwujud di Liga ke-5,” bebernya.
Ia menambahkan rasa bela kedaerahan saat itu sangat tinggi di lingkungan Jawa Barat. Apalagi tanpa disadari Persib jadi warisan turun temurun. Adalah impian untuk siapa pun berada di panggung sepakbola Indonesia membela panji Persib kebanggaan masyarakat orang Sunda.

Dadang Hidayat bersama rekan-rekan mantan pemain Persib dalam laga eksebisi, 2018
“Waktu itu tidak seperti sekarang, sekarang pertukaran pemain perpindahan pemain banyak. Kalau dulu istilahnya yang membela kedaerahan itu sangat kuat dan itu melekat di diri saya. Yang namanya kebanggaan main di Persib itu,” imbuh Dadang.
Local pride atau pemain lokal asal Sunda jadi identitas atau kriteria yang pantas mengemban tugas kapten di tim. Namun, biarlah itu menjadi culture dan cerita, menurut Dadang hal yang lebih penting adalah bagaimana sosok tersebut bisa menyatukan tim, baik di dalam maupun di luar lapangan. Bahkan ia pernah memberikan ban kapten kepada seorang Marwal Iskandar.
Persib juara 2014 pun ada sosok kapten Atep dan wakil kapten (non local) Firman Utina. Duet tersebut yang bergantian memimpin pasukan Djadjang Nurdjaman di atas rumput hijau. Mampu menyatukan dan menghangatkan ruang ganti dari watak-watak pemain yang berbeda suku kedaerahannya termasuk pemain asing asal Mali dan Montenegro.

Firman Utina (Kapten) dalam pertandingan melawan Arema, 2014
“Kapten menurut saya itu orang yang (membuat) satu komando pemimpin di lapangan, kriterianya menurut saya tidak harus lokal atau dari luar, karena yang penting ia bisa menyatukan tim. Di luar dan di dalam lapangan harus jadi figur yang baik dari sisi sepakbolanya, attitude sebagai pemain dan kapten,” tuturnya.
El capitano Dadang Hidayat akhirnya memutuskan gantung sepatu akhir musim 2005 usia 33 tahun (tahun sebelum Persib kembali terpuruk 2006). Musim ke-11 Dahi dimana ia kembali merasakan persaingan di papan atas Liga Indonesia. Persib nyaris lolos 8 besar, walau pada akhirnya gagal.
“Saya jujur karena kemampuan yang namanya usia tidak dapat dipungkiri sementara pemain-pemain lawan punya pemain-pemain depan cepat-cepat dan muda. Saya juga ada masalah di cedera (paha) dan saya putuskan berhenti di 2005 liga ke-11,” tuntas Dadang Hidayat.
Ditulis oleh Adil Nursalam, jurnalis Simamaung, berakun Twitter @yasseradil dan Instagram @yasser_adil
___
Komentar Bobotoh