Baheula Mah Saur Bapa
Tuesday, 20 October 2015 | 11:50
“Pa, kenapa matanya merah gitu?” Tanya seorang gadis kecil berumur 8 tahun pada ayahnya yang baru saja memasuki pintu rumah.
“Bapa kena gas air mata teh, waktu bapa lari ke arah gawang, pas Persib juara” kata ayahnya sambil memberikan tangan pada istrinya untuk dicium.
==============================
Minggu pagi 18 oktober 2015, jam 04.00 alarm saya berbunyi dan tanpa menunda (seperti biasanya) saya bergegas bangun kemudian bersiap-siap. Dibantu suami, saya mempersiapkan tas, pakaian, dan perlengkapan untuk pergi. Ya, saat itu saya sedang berkemas untuk pergi menyaksikan momen terpenting dalam hidup (setelah saya melewatkan momen jakabaring).
Sebelum berangkat, suami menyampirkan syal bertulisakan “Bobotoh Persib” ke leher saya sambil mengatakan “hati-hati”. Berbeda dengan suami yang lebih memilih menonton di rumah, saya sangat bersemangat sekali untuk pergi ke senayan. Entah kenapa sejak mulai niat, rencana, kemudian mendaftarkan diri, tidak ada rasa takut sedikit pun yang menghinggapi perasaan. Rasa rindu lebih besar dari takut.
Sepanjang perjalanan, saya melewati beberapa kumpulan suporter tim ibu kota di bahu jalan tol, mendapat acungan jari tengah di tengah ibu kota, dan mendapati beberapa spanduk provokasi. Itu semua tidak membuat gentar dan tidak memantik ketakutan sedikit pun dalam diri.
Di GBK sudah banyak orang berkumpul. Kebanyakan memakai pakaian biru, hitam atau putih. Berbeda dengan saya yang lebih memilih memakai kaos pink bertuliskan “Persib Bandung”. Saya berbaur dengan mereka dan merasakan atmosfir kebersamaan yang luar biasa, yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, bagaimana bisa puluhan ribu orang datang dengan cara, maksud dan tujuan yg sama. Dalam hati terselip doa semoga di stadion si jalak harupat pun bisa seperti di sini keadaannya.
Pertandingan dimulai dan tak bisa saya ceritakan betapa besarnya hati saya saat itu. Betapa bangganya saya bisa mendukung tim sepak bola kesayangan bertanding di stadion GBK yang notabene adalah stadion terlarang untuk bobotoh. Walaupun saya tidak ikut meneriakan yelyel, walaupun saya tidak ikut menyanyikan lagu dukungan, tapi percayalah sepanjang pertandingan doa tak henti saya bisikan di setiap helaan nafas.
Peluit akhir pertandingan telah ditiup, flare dan smoke bom telah dinyalakan, semua orang bersorak gembira. Saya masih duduk di bangku kayu berwarna orange, masih hampir tidak percaya inilah rasanya juara. Beberapa kali berkedip barulah saya berdiri dan larut dalam kegembiraan bersama teman-teman lainnya. Bahagianya tak usah saya ceritakan. Hampir tidak akan kuat untuk saya bagi karena rasanya sangat besar sekali.
Saya aktifkan hp. Ada beberapa nomor yang menelepon, salah satunya “bapa”. Saya tekal tombol hijau pada namanya. “Pa, kita juara pa, kita juara! Dulu teteh cuma denger dari bapa, sekarang teteh di sini pa, di senayan!” Hampir pecah tangis saya meneriakkan kata-kata itu. Akhirnya saya bisa buktikan apa yang dulu bapa selalu ceritakan. Kebanggaannya, kebahagiaannya, sukacitanya mendukung Persib.
==============================
Ya, inilah saya, gadis kecil 8 tahun yang dulu hanya bisa mendengar kemenangan Persib dari cerita ayahnya yang matanya merah akibat terkena gas air mata.
Dan kini ada seorang gadis kecil berumur 7 tahun yang meneriakkan dengan riang “ambu, apa aku bilang, persib mah pasti juara!”
(Untuk bapa Dikdik Taupik Siddik dan ceuceu Kinanti Shanika Hendrawan)
Ditulis oleh Dian Eka

“Pa, kenapa matanya merah gitu?” Tanya seorang gadis kecil berumur 8 tahun pada ayahnya yang baru saja memasuki pintu rumah.
“Bapa kena gas air mata teh, waktu bapa lari ke arah gawang, pas Persib juara” kata ayahnya sambil memberikan tangan pada istrinya untuk dicium.
==============================
Minggu pagi 18 oktober 2015, jam 04.00 alarm saya berbunyi dan tanpa menunda (seperti biasanya) saya bergegas bangun kemudian bersiap-siap. Dibantu suami, saya mempersiapkan tas, pakaian, dan perlengkapan untuk pergi. Ya, saat itu saya sedang berkemas untuk pergi menyaksikan momen terpenting dalam hidup (setelah saya melewatkan momen jakabaring).
Sebelum berangkat, suami menyampirkan syal bertulisakan “Bobotoh Persib” ke leher saya sambil mengatakan “hati-hati”. Berbeda dengan suami yang lebih memilih menonton di rumah, saya sangat bersemangat sekali untuk pergi ke senayan. Entah kenapa sejak mulai niat, rencana, kemudian mendaftarkan diri, tidak ada rasa takut sedikit pun yang menghinggapi perasaan. Rasa rindu lebih besar dari takut.
Sepanjang perjalanan, saya melewati beberapa kumpulan suporter tim ibu kota di bahu jalan tol, mendapat acungan jari tengah di tengah ibu kota, dan mendapati beberapa spanduk provokasi. Itu semua tidak membuat gentar dan tidak memantik ketakutan sedikit pun dalam diri.
Di GBK sudah banyak orang berkumpul. Kebanyakan memakai pakaian biru, hitam atau putih. Berbeda dengan saya yang lebih memilih memakai kaos pink bertuliskan “Persib Bandung”. Saya berbaur dengan mereka dan merasakan atmosfir kebersamaan yang luar biasa, yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, bagaimana bisa puluhan ribu orang datang dengan cara, maksud dan tujuan yg sama. Dalam hati terselip doa semoga di stadion si jalak harupat pun bisa seperti di sini keadaannya.
Pertandingan dimulai dan tak bisa saya ceritakan betapa besarnya hati saya saat itu. Betapa bangganya saya bisa mendukung tim sepak bola kesayangan bertanding di stadion GBK yang notabene adalah stadion terlarang untuk bobotoh. Walaupun saya tidak ikut meneriakan yelyel, walaupun saya tidak ikut menyanyikan lagu dukungan, tapi percayalah sepanjang pertandingan doa tak henti saya bisikan di setiap helaan nafas.
Peluit akhir pertandingan telah ditiup, flare dan smoke bom telah dinyalakan, semua orang bersorak gembira. Saya masih duduk di bangku kayu berwarna orange, masih hampir tidak percaya inilah rasanya juara. Beberapa kali berkedip barulah saya berdiri dan larut dalam kegembiraan bersama teman-teman lainnya. Bahagianya tak usah saya ceritakan. Hampir tidak akan kuat untuk saya bagi karena rasanya sangat besar sekali.
Saya aktifkan hp. Ada beberapa nomor yang menelepon, salah satunya “bapa”. Saya tekal tombol hijau pada namanya. “Pa, kita juara pa, kita juara! Dulu teteh cuma denger dari bapa, sekarang teteh di sini pa, di senayan!” Hampir pecah tangis saya meneriakkan kata-kata itu. Akhirnya saya bisa buktikan apa yang dulu bapa selalu ceritakan. Kebanggaannya, kebahagiaannya, sukacitanya mendukung Persib.
==============================
Ya, inilah saya, gadis kecil 8 tahun yang dulu hanya bisa mendengar kemenangan Persib dari cerita ayahnya yang matanya merah akibat terkena gas air mata.
Dan kini ada seorang gadis kecil berumur 7 tahun yang meneriakkan dengan riang “ambu, apa aku bilang, persib mah pasti juara!”
(Untuk bapa Dikdik Taupik Siddik dan ceuceu Kinanti Shanika Hendrawan)
Ditulis oleh Dian Eka

Cirambay saya mah..
meni terharu pisan macana ge teteh.
insya allah budak saya ge bakalan jadi Bobotoh militan lah
nu ngadukung persib pake manah
HIDUP PERSIB !!!!
Terharu pamiarsa.. Taun 95 abdi umur 15th ngiring sareng almàrhum pun bapa nonton final persib vs petrokimia.. persib juara.. taun 2015 abdi umur 35th sareng putra nu cikal nonton final persib vs sriwijaya.. persib juara.. ngadukung persib make manah..
ceritanya keren abis. dukung PERSIB make MANAH!!
Geus teu kuat ngomong, tikoro nyeuleuk hayang ceurik…
Alhamdulillah ya Allah, Persib Juara deui!!
aslina reumbay cimata
Rasa rindu lebih besar dari takut
Sumpah abi nepi merinding macana na oge.nepi rek nyurucuy cipanon.