Arena Bobotoh: Tribun Khusus Perempuan, Stadion Sepakbola Untuk Semua Kalangan
Saturday, 06 April 2013 | 18:39Oleh: Egi Primayogha
Duduk di bangku sekolah dasar, ayah membawa saya menyaksikan event terbesar di kota Bandung hari itu: Pertandingan sepakbola Persib Bandung. Saya tak terlalu ingat, siapa lawan tanding Persib ketika itu. Yang saya ingat: gemuruh sorak sorai penonton ketika Persib mencetak gol, membuat saya kehilangan tempat duduk yang susah payah saya rebut sewaktu awal masuk.
Ada rasa penasaran dan candu pasca pertandingan itu. Tiap Persib bertanding saya merengek kepada Ayah untuk menyaksikan langsung di stadion Siliwangi, dan kerap dibalas dengan jawaban bahwa pertandingan disiarkan langsung di TVRI. Tak jarang akhirnya Ayah mengalah dan saya berhasil menatap langsung Pangeran Biru beraksi.
Hingga bertahun-tahun kemudian saya tak lagi butuh dampingan Ayah, keberanian untuk duduk sendiri di tribun stadion sudah terkumpul. Jika ada teman menonton maka saya bersyukur, berbarengan selalu menyenangkan. Tapi kalaupun tidak, saya tidak berkeberatan, mengamati perilaku penonton selalu menjadi hiburan tersendiri, efeknya saya tidak pernah merasa sepi di Stadion Siliwangi.
Tentulah tidak cukup apabila saya harus mencatat tiap perilaku penonton di stadion dalam tulisan ini. Dalam tulisan ini saya hanya ingin mencatat sebuah situasi. Situasi manakala perempuan mengalami ketidaknyamanan ketika menyaksikan langsung sepakbola di stadion.
Stadion: Ruang bebas Untuk Berbuat Apa Saja
Saya bukan tipe penonton sepakbola yang selalu siap untuk berteriak, membakar semangat pemain melalui paduan nyanyian yang ciamik. Saya lebih menikmati menjadi penonton pendiam yang menyaksikan aksi di lapangan hijau, dan tentu: aksi dan perilaku para penonton di sekitar.
Ketika Ayah membawa saya menonton di stadion untuk pertama kalinya, saya hanya tercengang kala kata-kata kotor beterbangan dengan bebas dan liarnya. Tidak seperti biasanya, Ayah tidak menegur atau menutup kuping saya ketika kata-kata kotor terdengar. Begitu pula orang tua lain yang membawa anaknya, menganggapnya seperti angin lalu. Dari situ saya mulai berasumsi, bahwa kata-kata kotor di Stadion Sepakbola adalah halal.
Baru setelah hitungan tahun menonton langsung di stadion, saya mulai resah. Keresahan itu timbul dari kata-kata kotor yang nyaring terdengar ketika perempuan masuk ke dalam stadion. Raut risih dan mimik takut terpancar dari perempuan-perempuan itu. Pelindungnya hanya pria-pria yang membawanya masuk ke stadion.
Hampir setiap pertandingan saya menjumpai situasi seperti itu. Dari tribun ke tribun, kendati intensitas tiap tribun berbeda, selalu ada saja situasi sejenis. Saya cuma berceletuk dalam hati, bagaimana mungkin sepakbola di sini bisa seperti di Inggris, keluarga dapat diboyong dan menjadi hiburan akhir pekan, dan yang paling penting: mereka tidak diselimuti rasa takut.
Perempuan di stadion Siliwangi bukanlah fenomena baru. Tak jarang kita menjumpai fans wanita yang menonton sepakbola, baik ditemani pria, ataupun yang bergerombol bersama teman-temannya. Apa yang perlu kita berikan apresiasi adalah keberanian mereka untuk menghadapi pelecehan-pelecehan melalui kata-kata kotor. Untuk duduk di stadion, mereka harus lolos fase tersebut, lalu terulang kembali ketika meninggalkan stadion saat pertandingan usai.Tapi sayangnya, tidak semua perempuan berani menghadapi itu.
Dari pelecehan tersebut juga kita bisa melihat, bagi sebagian penonton perempuan hanya dipandang sebagai objek. Mereka tidak dipandang seperti lelaki yang menikmati pertandingan sepakbola, tetapi ada stereotipe yang kencang bahwa mereka tidak lebih dari para penggembira yang tidak mengerti sepakbola. Bahkan yang lebih miris lagi, televisi turut mendorong stereotipe tersebut dengan terus menerus menyorot perempuan yang datang ke stadion untuk ditayangkan di tengah-tengah jalannya pertandingan, seakan-akan kehadiran mereka adalah suatu hal yang amat spesial.
Kultur masyarakat kita yang selalu memandang rendah perempuan berlaku hampir di setiap tempat, khususnya di sebuah ruang publik tempat masyarakat bertemu secara masif. Stadion sepakbola adalah salah satu tempatnya, atmosfer “bebas melakukan apa saja” begitu kencang, termasuk bebas yang negatif, melontarkan kata-kata kotor yang merugikan pihak perempuan.
Stadion Gedebage dan Tribun Khusus Perempuan
Belakangan ini pecinta sepakbola di Bandung mendapat kabar menggembirakan. Stadion Gedebage hampir rampung sepenuhnya. Kota Bandung punya Stadion megah, tak ada lagi gaung tuntutan Stadion Baru yang dulu kerap terdengar di seantero Stadion Siliwangi.
Dibalik euforia stadion baru itu, terdapat sebuah wacana brilian: Tribun khusus perempuan. Tentu tribun ini tidak berarti semua perempuan mesti ditempatkan di sana, tetapi untuk menyediakan jaminan bagi perempuan yang kerap khawatir jika hendak datang menyaksikan langsung pertandingan. Bila ada perempuan yang ingin berbaur dengan penonton lainnya di tribun lain, tentu saja tidak ada larangan.
Tribun khusus ini memberikan ruang bagi para perempuan untuk menikmati sebuah pertandingan. Perempuan akan merasa kehadirannya terjamin secara keamanan, bebas dari pelecehan yang kerap terjadi. Rasa takut, cemas, diharapkan tak lagi muncul.
Adanya Tribun khusus perempuan juga justru dapat mendorong jumlah kehadiran perempuan di stadion. Semakin tinggi tingkat keamanan dan kenyamanan, maka perempuan tak lagi sungkan untuk hadir di stadion. Semakin banyak perempuan yang hadir, maka kehadiran perempuan di stadion tidak lagi dianggap sebuah hal yang tabu. Penonton lainnya akan melihatnya sebagai suatu hal yang biasa saja, maka secara perlahan pelecehan melalui berbagai bentuknya pun akan hilang.
Lagipula, tempat khusus bagi perempuan bukanlah hal baru di ruang publik, dan sudah diterapkan di berbagai tempat. Contoh kecilnya ialah tempat parkir mobil khusus perempuan dan shelter khusus perempuan di dalam sebuah busway.
Sepakbola adalah permainan yang layak dinikmati semua kalangan. Tidak memandang jenis kelamin, usia, dan yang lainnya. Sekat-sekat yang memisahkan kalangan untuk menikmati sepakbola mestilah dihapuskan. Bandung dikenal sebagai tempat perubahan dimulai. Dan wacana ini mesti direalisasikan agar sebuah perubahan bagi sepakbola indonesia pada khususnya dapat maju ke arah yang lebih baik.
Sebuah tempat yang megah tidak akan berarti apa-apa jika tidak menjadi tempat yang bebas bagi siapapun yang berada di dalamnya. Bebas yang positif tentunya.
Penulis: Egi Primayogha, penikmat sepakbola dan kultur, mudah diselidiki melalui akun twitter @egiyoga

Oleh: Egi Primayogha
Duduk di bangku sekolah dasar, ayah membawa saya menyaksikan event terbesar di kota Bandung hari itu: Pertandingan sepakbola Persib Bandung. Saya tak terlalu ingat, siapa lawan tanding Persib ketika itu. Yang saya ingat: gemuruh sorak sorai penonton ketika Persib mencetak gol, membuat saya kehilangan tempat duduk yang susah payah saya rebut sewaktu awal masuk.
Ada rasa penasaran dan candu pasca pertandingan itu. Tiap Persib bertanding saya merengek kepada Ayah untuk menyaksikan langsung di stadion Siliwangi, dan kerap dibalas dengan jawaban bahwa pertandingan disiarkan langsung di TVRI. Tak jarang akhirnya Ayah mengalah dan saya berhasil menatap langsung Pangeran Biru beraksi.
Hingga bertahun-tahun kemudian saya tak lagi butuh dampingan Ayah, keberanian untuk duduk sendiri di tribun stadion sudah terkumpul. Jika ada teman menonton maka saya bersyukur, berbarengan selalu menyenangkan. Tapi kalaupun tidak, saya tidak berkeberatan, mengamati perilaku penonton selalu menjadi hiburan tersendiri, efeknya saya tidak pernah merasa sepi di Stadion Siliwangi.
Tentulah tidak cukup apabila saya harus mencatat tiap perilaku penonton di stadion dalam tulisan ini. Dalam tulisan ini saya hanya ingin mencatat sebuah situasi. Situasi manakala perempuan mengalami ketidaknyamanan ketika menyaksikan langsung sepakbola di stadion.
Stadion: Ruang bebas Untuk Berbuat Apa Saja
Saya bukan tipe penonton sepakbola yang selalu siap untuk berteriak, membakar semangat pemain melalui paduan nyanyian yang ciamik. Saya lebih menikmati menjadi penonton pendiam yang menyaksikan aksi di lapangan hijau, dan tentu: aksi dan perilaku para penonton di sekitar.
Ketika Ayah membawa saya menonton di stadion untuk pertama kalinya, saya hanya tercengang kala kata-kata kotor beterbangan dengan bebas dan liarnya. Tidak seperti biasanya, Ayah tidak menegur atau menutup kuping saya ketika kata-kata kotor terdengar. Begitu pula orang tua lain yang membawa anaknya, menganggapnya seperti angin lalu. Dari situ saya mulai berasumsi, bahwa kata-kata kotor di Stadion Sepakbola adalah halal.
Baru setelah hitungan tahun menonton langsung di stadion, saya mulai resah. Keresahan itu timbul dari kata-kata kotor yang nyaring terdengar ketika perempuan masuk ke dalam stadion. Raut risih dan mimik takut terpancar dari perempuan-perempuan itu. Pelindungnya hanya pria-pria yang membawanya masuk ke stadion.
Hampir setiap pertandingan saya menjumpai situasi seperti itu. Dari tribun ke tribun, kendati intensitas tiap tribun berbeda, selalu ada saja situasi sejenis. Saya cuma berceletuk dalam hati, bagaimana mungkin sepakbola di sini bisa seperti di Inggris, keluarga dapat diboyong dan menjadi hiburan akhir pekan, dan yang paling penting: mereka tidak diselimuti rasa takut.
Perempuan di stadion Siliwangi bukanlah fenomena baru. Tak jarang kita menjumpai fans wanita yang menonton sepakbola, baik ditemani pria, ataupun yang bergerombol bersama teman-temannya. Apa yang perlu kita berikan apresiasi adalah keberanian mereka untuk menghadapi pelecehan-pelecehan melalui kata-kata kotor. Untuk duduk di stadion, mereka harus lolos fase tersebut, lalu terulang kembali ketika meninggalkan stadion saat pertandingan usai.Tapi sayangnya, tidak semua perempuan berani menghadapi itu.
Dari pelecehan tersebut juga kita bisa melihat, bagi sebagian penonton perempuan hanya dipandang sebagai objek. Mereka tidak dipandang seperti lelaki yang menikmati pertandingan sepakbola, tetapi ada stereotipe yang kencang bahwa mereka tidak lebih dari para penggembira yang tidak mengerti sepakbola. Bahkan yang lebih miris lagi, televisi turut mendorong stereotipe tersebut dengan terus menerus menyorot perempuan yang datang ke stadion untuk ditayangkan di tengah-tengah jalannya pertandingan, seakan-akan kehadiran mereka adalah suatu hal yang amat spesial.
Kultur masyarakat kita yang selalu memandang rendah perempuan berlaku hampir di setiap tempat, khususnya di sebuah ruang publik tempat masyarakat bertemu secara masif. Stadion sepakbola adalah salah satu tempatnya, atmosfer “bebas melakukan apa saja” begitu kencang, termasuk bebas yang negatif, melontarkan kata-kata kotor yang merugikan pihak perempuan.
Stadion Gedebage dan Tribun Khusus Perempuan
Belakangan ini pecinta sepakbola di Bandung mendapat kabar menggembirakan. Stadion Gedebage hampir rampung sepenuhnya. Kota Bandung punya Stadion megah, tak ada lagi gaung tuntutan Stadion Baru yang dulu kerap terdengar di seantero Stadion Siliwangi.
Dibalik euforia stadion baru itu, terdapat sebuah wacana brilian: Tribun khusus perempuan. Tentu tribun ini tidak berarti semua perempuan mesti ditempatkan di sana, tetapi untuk menyediakan jaminan bagi perempuan yang kerap khawatir jika hendak datang menyaksikan langsung pertandingan. Bila ada perempuan yang ingin berbaur dengan penonton lainnya di tribun lain, tentu saja tidak ada larangan.
Tribun khusus ini memberikan ruang bagi para perempuan untuk menikmati sebuah pertandingan. Perempuan akan merasa kehadirannya terjamin secara keamanan, bebas dari pelecehan yang kerap terjadi. Rasa takut, cemas, diharapkan tak lagi muncul.
Adanya Tribun khusus perempuan juga justru dapat mendorong jumlah kehadiran perempuan di stadion. Semakin tinggi tingkat keamanan dan kenyamanan, maka perempuan tak lagi sungkan untuk hadir di stadion. Semakin banyak perempuan yang hadir, maka kehadiran perempuan di stadion tidak lagi dianggap sebuah hal yang tabu. Penonton lainnya akan melihatnya sebagai suatu hal yang biasa saja, maka secara perlahan pelecehan melalui berbagai bentuknya pun akan hilang.
Lagipula, tempat khusus bagi perempuan bukanlah hal baru di ruang publik, dan sudah diterapkan di berbagai tempat. Contoh kecilnya ialah tempat parkir mobil khusus perempuan dan shelter khusus perempuan di dalam sebuah busway.
Sepakbola adalah permainan yang layak dinikmati semua kalangan. Tidak memandang jenis kelamin, usia, dan yang lainnya. Sekat-sekat yang memisahkan kalangan untuk menikmati sepakbola mestilah dihapuskan. Bandung dikenal sebagai tempat perubahan dimulai. Dan wacana ini mesti direalisasikan agar sebuah perubahan bagi sepakbola indonesia pada khususnya dapat maju ke arah yang lebih baik.
Sebuah tempat yang megah tidak akan berarti apa-apa jika tidak menjadi tempat yang bebas bagi siapapun yang berada di dalamnya. Bebas yang positif tentunya.
Penulis: Egi Primayogha, penikmat sepakbola dan kultur, mudah diselidiki melalui akun twitter @egiyoga

satujulah mun memang tos di setting kitu mah ngan alus na oge tiket karcis jeng lorong tempat kaluar masuk penonton kaum hawa jg kaum adam na ge di pisahkeun! kumaha yeuh para MAUNG GEULIS?!!
Ketika nonton di stadion Bandung Lautan Api, mudah-mudahan etika akan terjaga terutama untuk kaum hawa, ini akan menjadi revolusi bagi perkembangan sepakbola dunia…
Datangnya perempuan ke stadion ketika persib berlaga merupakan bukti konkrit bahwa sepakbola merupakan hiburan,disamping daya jual dr persib it sendiri, apresiasi sangat besar untuk mereka, dgn segala resiko yg ada mereka mau dtng ke stadion, dengan satu tujuan buat kejayaan persib.
Satuju pisan,dengan adanya tribun khusus wanita,maka kenyamanan dan keamanan para wanita dpt terwujud,shingga para maung geulis tdk takut dan sungkan lg untk dtg k stadion….sok atuh jdkan stadion baru gbla jd stadion pembaharu dan menjadi contoh untuk stadion2 dseluruh indonesia….amin,hidup persib!!!!
Alhamdulillah..saya tiap ka stadion pasti bareng istri sayah..ti jaman bobogohan keneh oge geus sering 2an ka stadion..jd lamun aya tribun khusus perempuan, istri saya mah angger bareng saya atuh..hehe
Sudah selayaknya bobotoh perempuan di tempatkan sejajar dengan bobotoh pria ….. Musnahkan supporter kampungan …..
pasilitas seperti kamar kecil utk perempuan harus lebih diperhati’in,maklum kaum Hawa mah ggk terlalu baik pipis sembarangan,ggk ky kaum pria dimana wae oke yg penting nyumput,jgn kaya di jalak harupat pasilitas wc ada cuma airnya ggk Keluar,jadi repot kita masa ceboknya Pake tisu terus!
maca carita iyeu jeung komentar’n asa b’kelas,b’ualitas.sae visan pokok’n mh.
mun bobotoh sadayana ciga kieu aman,moal kedah aya ruang khusus knggo maung geulis.
@bobotoh: muhun kang, ngan hanjakal seueur keneh bobotoh nu kampring..
Kade diskriminasi. Da inti namah aman keur kabeh penonton boh rek awewe boh lalaki boh budak leutik. Di inggris asanamah ewueh tribun khusus awewe. Aya oge tribun MAHAL heheheh
Kang maman bener kang,teu aya memang tribun husus pikeun istrimah. kuring pernah nonton langsung fiorentina vs ac milan thn 2003 di stadion artemio franky, nu aya teh tribun husus keur orang asing spt kuring nu ti indonesia, teu siga di urang,bule jeung pribumi teh ngahiji,rek nanyakeun pan teu ngarti bahasa italy..
luar biasa. abdi mah samemehna can kapikiran kadinya. Semoga dikabulkeun & Persib menjadi Klub Pelopor Indonesia yg memfasilitasi perempuan & keluarga (orang tua dengan anak-anak) untuk menonton langsung dengan “aman” dan nyaman.
Sebuah pemikiran yang layak untuk dipertimbangkan. Sebelum bobotoh kita benar benar bisa menertibkan perilaku dan ucapannya , rasa rasanya ide ini tidaklah berlebihan.
Indonesia sama luar negeri beda dengan orang-orangnya,, saya setuju dengan adanya tribun kusus wanita, di turki (fanerbahce) ada tribun kusus wanita, semoga persib jadi pelopor club pertama yg menjadi wacana memakai stadion adanya tribun kusus wanita.. Bravo persib