(Arena Bobotoh) Tolong, Jangan Politisasi Sepakbola Kami!
Thursday, 03 January 2019 | 17:54
Di tahun 2018, drama sepakbola Indonesia ini semakin berkembang. Dari gugurnya Haringga di Stadion Gelora Bandung Lautan Api beberapa bulan yang lalu, buruknya kinerja tim nasional Indonesia pada ajang Asian Games 2018 dan Piala AFF 2018, hingga isu dugaan pengaturan skor dan suap di Liga 1, Liga 2, dan Liga 3. Anehnya lagi, yang berjanji akan membasmi tuntas segala permasalahan tersebut adalah Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi. Sungguh aneh negeri ini.
Belum tuntas permasalahan mafia sepakbola, 2 hari dari perhelatan perayaan tahun baru 2019, sekelompok orang yang mengaku pendukung klub sepakbola Persib Bandung dan memakai syal bertulisan ‘Bobotoh Jokowi’ mengunjungi kediaman calon wakil presiden nomor urut 01 Ma’ruf Amin.
Dilansir dari detikcom, di kediaman Ma’ruf Amin, Jalan Situbondo, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (2/1/2019), pada pukul 16.22 WIB, kelompok yang membawa syal ‘Bobotoh Jokowi’ itu lebih dulu tiba. Syal itu bertulisan ‘Bobotoh Jokowi Make Manah’.
Dalam pertemuan itu, pria bersyal ‘Bobotoh Jokowi’ memberikan selendang yang dibawa dan Ma’ruf memberikan bola berlabel KMA serta kemeja. Sejurus kemudian, pertemuan berlangsung secara tertutup.
“Ini bola ada tanda tangannya dan saya suka sepakbola,” kata Ma’ruf Amin.
“Apa, Bah, klub bola kesukaanya?” tanya para pria bersyal ‘Bobotoh Jokowi’.
“Persib,” jawab Ma’ruf.
Mengapa Sepakbola dan Politik harus Dipisahkan?
Secara pribadi saya tidak masalah dengan pilihan politik dari setiap warga negara Indonesia. Sebagai negara demokrasi, masing-masing warga negara berhak menentukan siapa pemimpinnya sesuai pilihan hatinya. Sayangnya, rakyat Indonesia masih banyak yang belum dewasa dalam berpolitik. Juga, masih banyak juga suporter sepakbola Indonesia yang masih belum dewasa dalam mendukung tim yang dibelanya.
Beda pilihan politik ribut. Beda agama ribut. Beda klub sepakbola ribut juga. Ditambah, federasi sepakbola Indonesia dan aparat penegak hukum yang bertugas di Indonesia ini tidak menjalankan sederet peraturan dan perundangan yang jelas-jelas tertulis tersebut.
Demokrasi memang membutuhkan kedewasaan dalam berpikir. Tolonglah, jangan campur olahraga dengan politik. Saya sudah lelah dengan mafia sepakbola di Indonesia yang telah mencederai dan merugikan semua elemen persepakbolaan dari pengurus federasi, pelatih, pemain, suporter sepakbola, hingga orang-orang kecil yang menyambung hidup dari sepakbola seperti sponsor utama liga hingga pedagang minuman ringan yang berjualan di stadion pada matchday. Semoga FIFA tidak lagi membekukan PSSI karena skandal ini. Coba bayangkan, berapa banyak orang yang dirugikan karena hal ini?
Setelah bekerja seharian, saya hanya ingin menikmati sepakbola di akhir pekan. Menonton Persib Bandung di rumah, kemudian dilajutkan dengan sepakbola luar negeri, terutama Manchester United dan Liga Primer Inggris. Saya lelah dengna lini masa media sosial saya yang beradu gagasan politik setiap saya membukanya. Tidak bisakah sepakbola dipisahkan dari politik?
Saya tidak peduli apakah Anda adalah Viking, Bomber, The Jakmnia, Aremania, atau Bonek, asal jangan membawa politik pada ranah olahraga. Mohon maaf jika ada yang tersinggung dengan tulisan ini. Saya tidak marah pada salah satu calon wakil presiden beserta para pendukungnya yang fanatik. Saya marah karena olahraga yang saya cintai ini dibawa-bawa dalam politik, apalagi mengatasnamakan Bobotoh. Sama seperti saat saya marah pada Bobotoh dan The Jakmania yang telah terbukti bersalah dalam gugurnya Mendiang Haringga di Stadion Gelora Bandung Lautam Api beberapa bulan yang lalu, ataupun Mendiang Rangga yang gugur di Gelora Bung Karno beberapa tahun yang lalu.
Sebut saja saya Bobotoh yang cupu karena tidak mengenal wajah-wajah orang-orang yang mengatasnamakan Bobotoh yang Bobotoh yang bertandang ke kediaman Ma’ruf Amin di Menteng tersebut, kok . Puluhan tahun saya hidup di Kota Bandung, tapi saya belum pernah melihat wajah-wajah mereka. Baik di layar televisi maupun di stadion. Baik Gelora Bandung Lautan Api, Si Jalak Harupat, maupun Stadion Siliwangi. Kalau beneran Bobotoh, dia berasal darimana? Tinggal dimana? Atas dasar apa dia berani mengatasnamakan Bobotoh untuk tindakan politik?
Politisasi Sepakbola Indonesia
Untuk para tim sukses para politisi, ataupun kader partai politik. Anda barangkali tidak peduli dengan pertandingan sepakbola. Anda hanya menganggap sepakbola sebagai sebuah komoditas suara yang sangat menggiurkan. Ketika puluhan ribu orang berkumpul bersama dalam satu pertandingan sepakbola tanpa dibayar, tentu saja itu adalah target Anda. Kapanlagi puluhan ribu orang berkumpul dalam satu tempat?
Saya sering melihat, presiden, gubernur, walikota hingga ketua partai politik yang menyalami para pemain sepakbola saat opening dan closing ceremony sebuah pertandingan sepakbola. Dari tingkat Liga, kejuaraan nasional hingga kejuaraan internasional. Baik pertandingan antar klub sepakbola Liga Indonesia sampai pertandingan tim nasional Indonesia . Secara teori, itu hanyalah seremonial belaka. Tapi sebagai sarjana ilmi komunikasi yang mempelajari komunikasi politik, saya tahu, itu bukan seremonial saja. Itu adalah pesan yang secara tidak langsung disampaikan kepada para penonton sepakbola, “Saya mendukung tim yang kalian dukung. Maka pilihlah saya dan parta saya! Saya telah berjasa pada tim yang kalian dukung, lho!”
Tidak hanya itu, banyak hal ngaco lainnya. Dimana seorang calon Gubernur, yang merupakan Walikota saat itu, memasuki ruang ganti pemain untuk menyemangati para pemain sebelum bertanding. Dilansir dari Tribunnews, Ridwan Kamil terlihat memasuki ruang ganti pemain, kala menghadapai Persiba Balikpapan di Stadion Gelora Bandung Lautan Api, Minggu (11/6/2017). Saya yang orang awam saja tahu, bahwa hal tersebut dilarang dalam statuta PSSI dan FIFA, ada orang yang tidak berkepentingan masuk dalam ruang ganti pemain sebelum bertanding. Wartawan saja tidak boleh masuk. Area harus steril. Bahkan ketika federasi sepakbola saja tidak boleh masuk! Memang apapula urgensi mereka jika bukan ada agenda politik?
Bagi saya, sepakbola bukan sekedar pertandingan saja. Tim-tim sepakbola pujaan kami lengkap dengan sederet pemainnya kami anggap sudah menjadi teman dan sahabat kami. Kami menangis bersama saat tim kami kalah. Kami sama-sama berteriak saat tim kami menang. Kami sama-sama merasakan sanksi yang diterima tim kami saat tim kami terpaksa dihukum atas insiden gugurnya Haringga beberapa bulan yang lalu Dan kami merasakan konvoi juara keliling Kota Bandung atas prestasi yang dialami oleh tim kami. Ada aspek-aspek tertentu yang sulit dijelaskan dengan kata-kata, yang membuat kami, para pecinta sepakbola, mencintai olahraga ini. Tolong, jangan campur olahraga yang kami cintai ini dengan politik.
Ditulis oleh Raden Muhammad Wisnu Permana, S. Ikom, Bobotoh dengan akun Twitter @wisnu93 dan IG @rwisnu93

Di tahun 2018, drama sepakbola Indonesia ini semakin berkembang. Dari gugurnya Haringga di Stadion Gelora Bandung Lautan Api beberapa bulan yang lalu, buruknya kinerja tim nasional Indonesia pada ajang Asian Games 2018 dan Piala AFF 2018, hingga isu dugaan pengaturan skor dan suap di Liga 1, Liga 2, dan Liga 3. Anehnya lagi, yang berjanji akan membasmi tuntas segala permasalahan tersebut adalah Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi. Sungguh aneh negeri ini.
Belum tuntas permasalahan mafia sepakbola, 2 hari dari perhelatan perayaan tahun baru 2019, sekelompok orang yang mengaku pendukung klub sepakbola Persib Bandung dan memakai syal bertulisan ‘Bobotoh Jokowi’ mengunjungi kediaman calon wakil presiden nomor urut 01 Ma’ruf Amin.
Dilansir dari detikcom, di kediaman Ma’ruf Amin, Jalan Situbondo, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (2/1/2019), pada pukul 16.22 WIB, kelompok yang membawa syal ‘Bobotoh Jokowi’ itu lebih dulu tiba. Syal itu bertulisan ‘Bobotoh Jokowi Make Manah’.
Dalam pertemuan itu, pria bersyal ‘Bobotoh Jokowi’ memberikan selendang yang dibawa dan Ma’ruf memberikan bola berlabel KMA serta kemeja. Sejurus kemudian, pertemuan berlangsung secara tertutup.
“Ini bola ada tanda tangannya dan saya suka sepakbola,” kata Ma’ruf Amin.
“Apa, Bah, klub bola kesukaanya?” tanya para pria bersyal ‘Bobotoh Jokowi’.
“Persib,” jawab Ma’ruf.
Mengapa Sepakbola dan Politik harus Dipisahkan?
Secara pribadi saya tidak masalah dengan pilihan politik dari setiap warga negara Indonesia. Sebagai negara demokrasi, masing-masing warga negara berhak menentukan siapa pemimpinnya sesuai pilihan hatinya. Sayangnya, rakyat Indonesia masih banyak yang belum dewasa dalam berpolitik. Juga, masih banyak juga suporter sepakbola Indonesia yang masih belum dewasa dalam mendukung tim yang dibelanya.
Beda pilihan politik ribut. Beda agama ribut. Beda klub sepakbola ribut juga. Ditambah, federasi sepakbola Indonesia dan aparat penegak hukum yang bertugas di Indonesia ini tidak menjalankan sederet peraturan dan perundangan yang jelas-jelas tertulis tersebut.
Demokrasi memang membutuhkan kedewasaan dalam berpikir. Tolonglah, jangan campur olahraga dengan politik. Saya sudah lelah dengan mafia sepakbola di Indonesia yang telah mencederai dan merugikan semua elemen persepakbolaan dari pengurus federasi, pelatih, pemain, suporter sepakbola, hingga orang-orang kecil yang menyambung hidup dari sepakbola seperti sponsor utama liga hingga pedagang minuman ringan yang berjualan di stadion pada matchday. Semoga FIFA tidak lagi membekukan PSSI karena skandal ini. Coba bayangkan, berapa banyak orang yang dirugikan karena hal ini?
Setelah bekerja seharian, saya hanya ingin menikmati sepakbola di akhir pekan. Menonton Persib Bandung di rumah, kemudian dilajutkan dengan sepakbola luar negeri, terutama Manchester United dan Liga Primer Inggris. Saya lelah dengna lini masa media sosial saya yang beradu gagasan politik setiap saya membukanya. Tidak bisakah sepakbola dipisahkan dari politik?
Saya tidak peduli apakah Anda adalah Viking, Bomber, The Jakmnia, Aremania, atau Bonek, asal jangan membawa politik pada ranah olahraga. Mohon maaf jika ada yang tersinggung dengan tulisan ini. Saya tidak marah pada salah satu calon wakil presiden beserta para pendukungnya yang fanatik. Saya marah karena olahraga yang saya cintai ini dibawa-bawa dalam politik, apalagi mengatasnamakan Bobotoh. Sama seperti saat saya marah pada Bobotoh dan The Jakmania yang telah terbukti bersalah dalam gugurnya Mendiang Haringga di Stadion Gelora Bandung Lautam Api beberapa bulan yang lalu, ataupun Mendiang Rangga yang gugur di Gelora Bung Karno beberapa tahun yang lalu.
Sebut saja saya Bobotoh yang cupu karena tidak mengenal wajah-wajah orang-orang yang mengatasnamakan Bobotoh yang Bobotoh yang bertandang ke kediaman Ma’ruf Amin di Menteng tersebut, kok . Puluhan tahun saya hidup di Kota Bandung, tapi saya belum pernah melihat wajah-wajah mereka. Baik di layar televisi maupun di stadion. Baik Gelora Bandung Lautan Api, Si Jalak Harupat, maupun Stadion Siliwangi. Kalau beneran Bobotoh, dia berasal darimana? Tinggal dimana? Atas dasar apa dia berani mengatasnamakan Bobotoh untuk tindakan politik?
Politisasi Sepakbola Indonesia
Untuk para tim sukses para politisi, ataupun kader partai politik. Anda barangkali tidak peduli dengan pertandingan sepakbola. Anda hanya menganggap sepakbola sebagai sebuah komoditas suara yang sangat menggiurkan. Ketika puluhan ribu orang berkumpul bersama dalam satu pertandingan sepakbola tanpa dibayar, tentu saja itu adalah target Anda. Kapanlagi puluhan ribu orang berkumpul dalam satu tempat?
Saya sering melihat, presiden, gubernur, walikota hingga ketua partai politik yang menyalami para pemain sepakbola saat opening dan closing ceremony sebuah pertandingan sepakbola. Dari tingkat Liga, kejuaraan nasional hingga kejuaraan internasional. Baik pertandingan antar klub sepakbola Liga Indonesia sampai pertandingan tim nasional Indonesia . Secara teori, itu hanyalah seremonial belaka. Tapi sebagai sarjana ilmi komunikasi yang mempelajari komunikasi politik, saya tahu, itu bukan seremonial saja. Itu adalah pesan yang secara tidak langsung disampaikan kepada para penonton sepakbola, “Saya mendukung tim yang kalian dukung. Maka pilihlah saya dan parta saya! Saya telah berjasa pada tim yang kalian dukung, lho!”
Tidak hanya itu, banyak hal ngaco lainnya. Dimana seorang calon Gubernur, yang merupakan Walikota saat itu, memasuki ruang ganti pemain untuk menyemangati para pemain sebelum bertanding. Dilansir dari Tribunnews, Ridwan Kamil terlihat memasuki ruang ganti pemain, kala menghadapai Persiba Balikpapan di Stadion Gelora Bandung Lautan Api, Minggu (11/6/2017). Saya yang orang awam saja tahu, bahwa hal tersebut dilarang dalam statuta PSSI dan FIFA, ada orang yang tidak berkepentingan masuk dalam ruang ganti pemain sebelum bertanding. Wartawan saja tidak boleh masuk. Area harus steril. Bahkan ketika federasi sepakbola saja tidak boleh masuk! Memang apapula urgensi mereka jika bukan ada agenda politik?
Bagi saya, sepakbola bukan sekedar pertandingan saja. Tim-tim sepakbola pujaan kami lengkap dengan sederet pemainnya kami anggap sudah menjadi teman dan sahabat kami. Kami menangis bersama saat tim kami kalah. Kami sama-sama berteriak saat tim kami menang. Kami sama-sama merasakan sanksi yang diterima tim kami saat tim kami terpaksa dihukum atas insiden gugurnya Haringga beberapa bulan yang lalu Dan kami merasakan konvoi juara keliling Kota Bandung atas prestasi yang dialami oleh tim kami. Ada aspek-aspek tertentu yang sulit dijelaskan dengan kata-kata, yang membuat kami, para pecinta sepakbola, mencintai olahraga ini. Tolong, jangan campur olahraga yang kami cintai ini dengan politik.
Ditulis oleh Raden Muhammad Wisnu Permana, S. Ikom, Bobotoh dengan akun Twitter @wisnu93 dan IG @rwisnu93

satuju
ti jamn baheula oge bobotoh mah deklarasi ngadukung persib, teu mimilueun politik
Jebakan betmen eta mah
Cuma orang bego sepakbola di bawa ke tanah politik