(Arena Bobotoh) Terkikisnya Keistimewaan Bobotoh di Masa Transisi Generasi
Wednesday, 19 April 2017 | 17:20
Sejak munculnya teori generasi (Generation Theory), umumnya pembentukan karakter dan kebiasaan seseorang dibagi menjadi empat bagian yaitu, generasi Baby Boomer, X, Y, dan Z atau sering disebut generasi Milenial. Generasi Baby Boomer diklasifikasikan untuk manusia yang lahir medio 1945-1964, generasi X 1965-1976, generasi Y 1977-1997, dan generasi Z atau Milenial 1998-2010 (CMIIW). Pengklasifikasian generasi ini biasanya digunakan beberapa HRD Manager perusahaan untuk menilai etos kerja calon karyawan baru sebelum tahap interview, dan tentu saja para ahli ekonomi untuk menentukan strategi promosi dan pemasaran produk baru yang akan diluncurkan.
Faktor lingkungan dan perkembangan jaman, terutama teknologi, membuat gaya hidup dari masing masing generasi sudah pasti berbeda. Dalam pandangan saya, teori generasi ini juga berlaku dan terjadi dalam ranah per-bobotoh-an. Semakin maju waktu, semakin banyak pula jumlah Bobotoh dari berbagai generasi. Karena menjadi Bobotoh Persib adalah tradisi dan budaya di Jawa Barat, maka soal totalitas dan loyalitas dalam mendukung Persib, sudah pasti sama besarnya di tiap generasi.
Bobotoh yang termasuk dalam generasi Y seperti saya, kurang lebih mencontoh Bobotoh generasi X dan Baby Boomer ketika pertama kali mengenal Persib Bandung. Menjadi Bobotoh Persib karena sering dibawa orang tua ke stadion sejak kecil, hingga memberanikan diri ke stadion seorang diri sejak SD dengan memohon agar diaku anak oleh bapak bapak supaya bisa masuk stadion Siliwangi dengan gratis, pasti dialami sebagian besar Bobotoh generasi ini. Umpatan, nyanyian, dan cara mendongkrak semangat pemain juga pastinya berasal dari generasi diatas kami.
Menjadi Bobotoh adalah keistimewaan alami yang tidak sama dengan menjadi supporter klub sepakbola lain. Istimewa karena menjadi supporter sebuah klub sepakbola yang sudah menjadi budaya dan tradisi dalam kehidupan bermasyarakat, terhitung sangat sedikit di dunia. Bila dihubungkan dengan teori generasi tadi, nampaknya ada hal teramat vital yang hilang dan tidak terwariskan antara generasi Y ke generasi Z. Keistimewaan menjadi Bobotoh nampaknya mulai terkikis pada transisi generasi Y ke Z, gaya hidup dan kemajuan teknologi berdampak besar dalam gagalnya mayoritas kaum milenial menjaga tradisi dari generasi sebelumnya.
Kita semua pasti sering mendengar kutipan pemain bintang dan legenda Persib, tentang bagaimana mereka malu keluar rumah bila bermain buruk, atau gagal memenangkan pertandingan untuk Persib. Bahkan kutipan Adjat Sudrajat ‘Persib besar oleh cacian, pujian adalah racun’ masih sering disebut, dan bahkan dikutip ulang di baju biru mereka ketika pergi ke Stadion, sekalipun tidak dimaknai dengan baik.
Bersikap kritis, memberikan kritik keras, dan mengumpat permainan buruk Persib seolah menjadi barang haram bagi kaum milenial. Kritik dan umpatan balik akan segera dilancarkan oleh mereka bagi siapapun Bobotoh yang menjaga tradisinya. Bila dahulu pemain legenda Persib malu keluar rumah karena takut dicaci ketika kalah atau bermain buruk, maka pemain Persib saat ini dengan situasi sama akan santai menanggapi hidup, karena ketika mereka keluar rumah atau pergi latihan, mereka hanya kerepotan menanggapi permintaan selfie dari Bobotoh.
Kritik keras termasuk tradisi Bobotoh yang diajarkan generasi sebelum saya lahir. Para legenda Persib adalah contoh dari apa yang Adjat Sudrajat katakan, besar karena cacian. Kritik dan cacian ini pula yang mampu menunjukan pada kita seberapa hebat hati pemain ketika membela panji Persib Bandung. Kim Jeffrey Kurniawan dan Hermawan adalah contoh keberhasilan kritik menyeleksi mana pemain yang layak membela Persib.
Sayangnya, mayoritas Bobotoh generasi Milenial kini lebih sibuk memilih twitwar, mencaci orang yang mengkritik Persib butut, dan pergi ke stadion dengan tampilan fashion semenarik mungkin untuk selfie didalamnya. Dahulu ketika Persib bermain buruk dengan hasil buruk pula, pemain akan lari kencang ke lorong pemain karena takut diludahi dan dimaki bobotoh. Saat ini mereka akan berjalan tenang karena hanya mendapat lambaian tangan dadah dadah sambil teriak histeris.
Terbaru, beberapa Bobotoh remaja dengan bangga mengaku masuk stadion tanpa tiket sambil memajang foto selfie dan wefie di GBLA. Tanpa dosa, di sosial media mereka berucap sengaja datang memang untuk masuk tanpa tiket dengan segala cara, tanpa mereka sadari mereka sedang mempecundangi diri sendiri dihadapan Bobotoh lain. Bagaimana mungkin menjaga harga diri Persib Bandung ketika kalian bahkan tak sanggup menjaga harga diri sendiri?
Percayalah, yang membuat Persib sangat spesial di mata sepakbola Indonesia sejak dahulu adalah atmosfir Bobotoh yang memang luar biasa besar dalam memberi dukungan dan kritikan, sehingga setiap pemain yang ada di Persib kala itu tahu bagaimana seharusnya bermain bagi Persib. Siapapun itu, ketika mereka bermain untuk Persib, mereka wajib memahami konsekuensi besar bila tak bermain dengan hati.
Setelah generasi X, ada generasi Alpha yang lahir tahun 2010 hingga kini. Kemudian ada lagi generasi selanjutnya lagi, dan lagi. Bila mayoritas kaum milenial saat ini masih belum memahami keistimewaan menjadi Bobotoh, maka bukan tidak mungkin di masa yang akan datang, keistimewaan itu akan hilang dan tidak terwariskan kepada generasi selanjutnya. Kelak menjadi Bobotoh Persib akan sama saja rasanya dengan menjadi supporter klub lain.
Saya sering terharu mendengar bagaimana generasi sebelum saya bercerita kenangan pahit manis ketika menjadi Bobotoh. Kelak saya juga akan menceritakan hal itu pada anak dan cucu saya. Meski hanya lewat kata dan cerita, kami mengerti benar karena sempat mengalami istimewanya menjadi Bobotoh. Tidak kah kalian generasi Milenial juga terharu dengan setiap cerita Persib dari orang tua atau kakek kita? Apa kalian ingin bercerita pula pada generasi setelah kalian? Atau kelak tak mampu bercerita dan hanya bangga dengan foto full fashion selfie kalian, yang pada masanya kelak akan menjadi kuno dan tak terkenang manis layaknya cerita keistimewaan menjadi Bobotoh? Semoga tidak.
Ditulis oleh Gery H Saputra berakun Twitter & IG: @storyofgery

Sejak munculnya teori generasi (Generation Theory), umumnya pembentukan karakter dan kebiasaan seseorang dibagi menjadi empat bagian yaitu, generasi Baby Boomer, X, Y, dan Z atau sering disebut generasi Milenial. Generasi Baby Boomer diklasifikasikan untuk manusia yang lahir medio 1945-1964, generasi X 1965-1976, generasi Y 1977-1997, dan generasi Z atau Milenial 1998-2010 (CMIIW). Pengklasifikasian generasi ini biasanya digunakan beberapa HRD Manager perusahaan untuk menilai etos kerja calon karyawan baru sebelum tahap interview, dan tentu saja para ahli ekonomi untuk menentukan strategi promosi dan pemasaran produk baru yang akan diluncurkan.
Faktor lingkungan dan perkembangan jaman, terutama teknologi, membuat gaya hidup dari masing masing generasi sudah pasti berbeda. Dalam pandangan saya, teori generasi ini juga berlaku dan terjadi dalam ranah per-bobotoh-an. Semakin maju waktu, semakin banyak pula jumlah Bobotoh dari berbagai generasi. Karena menjadi Bobotoh Persib adalah tradisi dan budaya di Jawa Barat, maka soal totalitas dan loyalitas dalam mendukung Persib, sudah pasti sama besarnya di tiap generasi.
Bobotoh yang termasuk dalam generasi Y seperti saya, kurang lebih mencontoh Bobotoh generasi X dan Baby Boomer ketika pertama kali mengenal Persib Bandung. Menjadi Bobotoh Persib karena sering dibawa orang tua ke stadion sejak kecil, hingga memberanikan diri ke stadion seorang diri sejak SD dengan memohon agar diaku anak oleh bapak bapak supaya bisa masuk stadion Siliwangi dengan gratis, pasti dialami sebagian besar Bobotoh generasi ini. Umpatan, nyanyian, dan cara mendongkrak semangat pemain juga pastinya berasal dari generasi diatas kami.
Menjadi Bobotoh adalah keistimewaan alami yang tidak sama dengan menjadi supporter klub sepakbola lain. Istimewa karena menjadi supporter sebuah klub sepakbola yang sudah menjadi budaya dan tradisi dalam kehidupan bermasyarakat, terhitung sangat sedikit di dunia. Bila dihubungkan dengan teori generasi tadi, nampaknya ada hal teramat vital yang hilang dan tidak terwariskan antara generasi Y ke generasi Z. Keistimewaan menjadi Bobotoh nampaknya mulai terkikis pada transisi generasi Y ke Z, gaya hidup dan kemajuan teknologi berdampak besar dalam gagalnya mayoritas kaum milenial menjaga tradisi dari generasi sebelumnya.
Kita semua pasti sering mendengar kutipan pemain bintang dan legenda Persib, tentang bagaimana mereka malu keluar rumah bila bermain buruk, atau gagal memenangkan pertandingan untuk Persib. Bahkan kutipan Adjat Sudrajat ‘Persib besar oleh cacian, pujian adalah racun’ masih sering disebut, dan bahkan dikutip ulang di baju biru mereka ketika pergi ke Stadion, sekalipun tidak dimaknai dengan baik.
Bersikap kritis, memberikan kritik keras, dan mengumpat permainan buruk Persib seolah menjadi barang haram bagi kaum milenial. Kritik dan umpatan balik akan segera dilancarkan oleh mereka bagi siapapun Bobotoh yang menjaga tradisinya. Bila dahulu pemain legenda Persib malu keluar rumah karena takut dicaci ketika kalah atau bermain buruk, maka pemain Persib saat ini dengan situasi sama akan santai menanggapi hidup, karena ketika mereka keluar rumah atau pergi latihan, mereka hanya kerepotan menanggapi permintaan selfie dari Bobotoh.
Kritik keras termasuk tradisi Bobotoh yang diajarkan generasi sebelum saya lahir. Para legenda Persib adalah contoh dari apa yang Adjat Sudrajat katakan, besar karena cacian. Kritik dan cacian ini pula yang mampu menunjukan pada kita seberapa hebat hati pemain ketika membela panji Persib Bandung. Kim Jeffrey Kurniawan dan Hermawan adalah contoh keberhasilan kritik menyeleksi mana pemain yang layak membela Persib.
Sayangnya, mayoritas Bobotoh generasi Milenial kini lebih sibuk memilih twitwar, mencaci orang yang mengkritik Persib butut, dan pergi ke stadion dengan tampilan fashion semenarik mungkin untuk selfie didalamnya. Dahulu ketika Persib bermain buruk dengan hasil buruk pula, pemain akan lari kencang ke lorong pemain karena takut diludahi dan dimaki bobotoh. Saat ini mereka akan berjalan tenang karena hanya mendapat lambaian tangan dadah dadah sambil teriak histeris.
Terbaru, beberapa Bobotoh remaja dengan bangga mengaku masuk stadion tanpa tiket sambil memajang foto selfie dan wefie di GBLA. Tanpa dosa, di sosial media mereka berucap sengaja datang memang untuk masuk tanpa tiket dengan segala cara, tanpa mereka sadari mereka sedang mempecundangi diri sendiri dihadapan Bobotoh lain. Bagaimana mungkin menjaga harga diri Persib Bandung ketika kalian bahkan tak sanggup menjaga harga diri sendiri?
Percayalah, yang membuat Persib sangat spesial di mata sepakbola Indonesia sejak dahulu adalah atmosfir Bobotoh yang memang luar biasa besar dalam memberi dukungan dan kritikan, sehingga setiap pemain yang ada di Persib kala itu tahu bagaimana seharusnya bermain bagi Persib. Siapapun itu, ketika mereka bermain untuk Persib, mereka wajib memahami konsekuensi besar bila tak bermain dengan hati.
Setelah generasi X, ada generasi Alpha yang lahir tahun 2010 hingga kini. Kemudian ada lagi generasi selanjutnya lagi, dan lagi. Bila mayoritas kaum milenial saat ini masih belum memahami keistimewaan menjadi Bobotoh, maka bukan tidak mungkin di masa yang akan datang, keistimewaan itu akan hilang dan tidak terwariskan kepada generasi selanjutnya. Kelak menjadi Bobotoh Persib akan sama saja rasanya dengan menjadi supporter klub lain.
Saya sering terharu mendengar bagaimana generasi sebelum saya bercerita kenangan pahit manis ketika menjadi Bobotoh. Kelak saya juga akan menceritakan hal itu pada anak dan cucu saya. Meski hanya lewat kata dan cerita, kami mengerti benar karena sempat mengalami istimewanya menjadi Bobotoh. Tidak kah kalian generasi Milenial juga terharu dengan setiap cerita Persib dari orang tua atau kakek kita? Apa kalian ingin bercerita pula pada generasi setelah kalian? Atau kelak tak mampu bercerita dan hanya bangga dengan foto full fashion selfie kalian, yang pada masanya kelak akan menjadi kuno dan tak terkenang manis layaknya cerita keistimewaan menjadi Bobotoh? Semoga tidak.
Ditulis oleh Gery H Saputra berakun Twitter & IG: @storyofgery

Boa edan ieu tulisan, meni jerooo pisan…
da ayenamah ngakritik malah dibully, lieurrr. nyak dek kumaha deui da maenna butut nya disebut BUTUT ku aing, pedah coach djanurlegend persib jadi teu pantes di kritik? pas djan antonic seri wae jeng butut maenna meni garandeng sampe ka mundur2na.