Arena Bobotoh
(Arena Bobotoh) Selamat Datang [Kembali] Ferdinand Sinaga
Published
3 years agoon
Saat menonton cuplikan ulang final Liga Indonesia 2014, saya kerap larut ke dalam perasaan yang sama: haru bercampur gembira. Besar kemungkinan, itu pula yang dirasakan jutaan bobotoh lainnya ketika menemui momen serupa.
Musim itu, salah satu pemain penting yang ada dalam tim Persib adalah Ferdinand Sinaga. Ia turut menyumbangkan 12 gol saat mengantarkan gelar juara PERSIB. Bahkan terpilih menjadi pemain terbaik ISL 2014.
Dan kemarin, Ferdinand resmi berseragam Persib lagi. Dia didatangkan dalam persiapan Maung Bandung menatap Piala Menpora 2021. Tentu saja tidak sedikit yang berbahagia setelah laman resmi Persib mengumumkan kembalinya Ferdinand ke Kota Kembang.
“Setelah tujuh tahun berkelana, akhirnya ia pulang kembali ke Bandung untuk berbaju Persib. Bersama ini, manajemen PT Persib Bandung Bermartabat resmi mengumumkan kerjasama kembali dengan Ferdinand Sinaga,” ujar PT Persib melalui laman official Persib Bandung.
Sebelumnya, selama enam tahun terakhir, Ferdinand banyak menghabiskan waktunya bersama PSM Makassar dan memberikan gelar Piala Indonesia. Barangkali, di sanalah hubungan keduanya yang bersifat resiprokal dimulai. Sebab, coach Rene Albert juga tanpa sungkan menyukai dan kerap memuji Ferdinand Sinaga. Si bengal yang bahkan kredibilitasnya sudah teruji—sejak di tingkat junior malah.
***
Bila sepak bola yang ditawarkan Jose Mourinho —yang melulu mengutamakan hasil dibanding proses— dimaknai sebagai perwujudan gagasan filsafat pragmatis, maka gaya dan pembawaan Ferdinand Sinaga layak dimaknai sebagai perwujudan gagasan postmodern.
Postmodernisme (selanjutnya disingkat posmo) secara definisi, bisa diartikan sebagai aliran filsafat, bisa juga periode sejarah, atau —setidaknya dalam konteks ini, saya mengacu kepada Prof Bambang Sugiharto, yang mengartikan posmo sebagai— kerangka berpikir, mentalitas baru, dengan upaya melampaui atau kulminasi tendensi kritis atas kerangka berpikir modern. Atau, kritik imanen terhadap modernisme dalam rangka mengatasi berbagai konsekuensi negatifnya.
Salah satu pendekatan dalam kajian posmo dikenal dengan pendekatan dekonstruksi, yang karakteristiknya menegasi hirarki. Seperti posmo yang menggugat keteraturan yang digaungkan modernisme, Ferdinand Sinaga juga mengobrak-abrik kemapanan yang cukup hirarkis di lapangan hijau. Suatu hal yang mewujud dalam sebuah pertandingan persahabatan di tahun 2007. Saat itu skuad Persib asuhan Arcan Iurie melakukan ujicoba melawan Persib Junior.
Dalam uraian yang ditulis Riphan Pradipta, [1] disebutkan bahwa habitus pemain junior Bandung selalu sungkan ketika diujitandingkan dengan tim seniornya: bermain penuh kesopanan, tidak boleh kasar, takut melakukan tekel, berbangga karena bisa bermain dengan para seniornya. Ringkasnya, seperti yang diharapkan dalam program penataran orba: tepa selira.
Tapi yang terjadi saat pertandingan itu di luar dugaan banyak orang, Ferdinand saat itu malah terlibat friksi dengan seniornya, Pato Jimenez.
Semangat posmo juga mewujud saat awal Ferdinand Sinaga bergabung ke Persib, tahun 2013 silam. Dalam wawancara dengan simamaung, beliau menyatakan: “Tidak menutup kemungkinan Persib bisa meraih juara. Tapi itu tergantung teman-teman semua (pemain). Juara itu bukan karena nama besar. Juara itu kerja keras,” ujarnya. [2] Sebuah pernyataan yang memiliki tendensi untuk mempertanyakan asumsi dasar atas kemapanan yang ada dalam pikiran, selain juga menegaskan bahwa seluruh rangkaian kerjanya digerakkan lewat prinsip kerja keras. Bakat tidak akan berarti apa-apa tanpa etos kerja, begitu barangkali ia punya mantra.
Selain itu, seperti halnya posmo —yang dalam praktek kreativitasnya tidak sepenuhnya menolak modernisme, melainkan sekadar mempertimbangkannya kembali untuk dijadikan alat membangun kehidupan yang lebih baik dengan sikap eklektik yang kreatif— Ferdinand terus melakukan proses pencarian yang seolah tidak akan pernah selesai: mengembangkan kemungkinan yang dimiliki untuk mengafirmasi kebebasan. Mengembangkan potensi yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya. Publik sepakbola Batang, Magelang, Wamena, Padang, Samarinda, Palembang, dan Makassar, pernah menikmati kelihaiannya. Secara verbal ia mengatakan, “Kalau saya satu tahun satu tim, karena itu menurut saya untuk menguji mental saya dan untuk mempertebal itu di setiap pertandingan. Jadi di setiap tim saya harus siap mencari lagi tantangan baru, lebih siap lagi. Di satu tim menempa lalu ke tim lainnya menguji lagi tetapi tetap berusaha memberikan yang positif,” [3]
Sehubungan dengan itu, pandangan modernisme yang menganggap bahwa kebenaran harus mutlak serta objektif, serta tidak adanya nilai dari manusia juga layak diruntuhkan tatkala penyerang yang dikenal badboy itu berlari mengejar oknum suporter Ibukota yang mengejeknya —atas dasar sentimental klub rival— saat ia sedang membela Timnas dalam laga persahabatan melawan Asean All Star 2016 silam. Ketika laga usai, tanpa diduga, Ferdinand berlari menaiki pagar pembatas dan masuk ke dalam tribun mengejar yang meledeknya.
Setelahnya bahkan ada lagi momen-momen emosional Ferdinand yang besar kemungkinan tak pernah bisa Bobotoh dilupakan. Misalnya, saat Ferdinand terlibat insiden dengan Dennis Romanovs, penjaga gawang Pelita Bandung Raya (PBR). Saat itu Persib berhadapan dengan PBR di Stadion Si Jalak Harupat, 20 Mei 2014.
Friksi yang terjadi bermula ketika Ferdinand membuang handuk besar yang tergantung di jala gawang Romanovs. Usai membuangnya ke tanah, Ferdinand kemudian menyiram handuk tersebut dengan air mineral. Romanovs yang tidak terima handuknya dibuang dan disiram, langsung mendorong Ferdinand. Keributan antara keduanya pun tak terhindarkan. Namun, enam tahun berselang setelah insiden tersebut, Ferdinand mengungkapkan alasannya membuang handuk tersebut di kanal Youtube pribadinya.
“Saya masuk di pertengahan babak kedua. Persib tertinggal 2-1 ketika saya masuk. Nah, saya langsung melihat ada sesuatu yang janggal di mana ada handuk besar tergantung di jala gawang. Saya ambil itu handuk, saya buang dan saya siram,” ujarnya. [4] Namun dalam hal ini, saya memiliki asumsi pribadi atas insiden itu, yang hanyalah sebagai bagian dari perang psikologis di lapangan, tentu saja hanya untuk mengganggu konsentrasi lawan, tidak ada kaitannya dengan klenik, misalnya.
Akan tetapi, tentu saja hal itu mengundang tanggapan Ketua Komisi Disipilin PSSI saat itu, Hinca Pandjaitan, yang menilai tindakan yang dilakukan Ferdinand merupakan bentuk provokasi. Beliau beranggapan bahwa tindakan Ferdinand melampaui kepatutan yang tidak seharusnya dipertontonkan pemain sehingga itu masuk kategori provokatif yang menabrak asas respect dan fairness. Dan, ya, begitulah, dunia kadangkala dihiasi opisisi biner hitam-putih, kawan-lawan, baik-buruk agar hidup lebih mudah untuk dipahami dan tatanan sosial bisa ditegakkan.
Padahal, secara faktual, ada sisi kemanusiaan dalam diri Ferdinand Sinaga yang terekam saat diwawancara simamaung di Mess Persib. “Siapa aja pemimpinnya yang penting lihat rakyat kecil, jangan cuma janji-janji. Kita sudah merasakan janji-janji itu sudah dari kapan tahun. Sekarang itu yang kita butuhkan itu kerja nyatanya,” [5] ucapnya saat diminta tanggapan mengenai harapan terhadap orang yang akan memimpin Indonesia sebelum Pemilu Presiden 2014.
Selain memperhatikan rakyat kecil, Ferdinand juga berharap orang nomor satu di Indonesia memperhatikan nasib atlet-atlet yang sudah tidak produktif. Ferdinand sadar bahwa dirinya juga yang berprofesi sebagai atlet sepakbola tidak selamanya akan terus bermain seiring bertambahnya usia. Kesan ini layak melekat kuat dalam sanubari kita sehingga jangan sampai menutupi pandangan bahwa sepakbola pada dasarnya adalah olahraga kelas pekerja.
Dan Ferdinand juga memiliki concern terhadap tim nasional street soccer Indonesia untuk ajang Homeless World Cup. Bentuk dukungannya berupa menyumbang beberapa barang bekas pakai yang akan dilelang oleh Rumah Cemara, national organizer HWC di Indonesia. Ferdinand pun berupaya menyerukan kepada rekan-rekan lainnya di tim Persib untuk turut menyumbangkan barang demi membantu dana pemberangkatan tim HWC Indonesia ke Santiago, Chile, pada Oktober 2014 silam.
“Saya baca beritanya (mengenai timnas HWC Indonesia) dan dengar dari mereka (Rumah Cemara) langsung. Saya senang juga dengan prestasi yang begitu bagus, dengan semangat yang luar biasa karena mereka inikan pengguna atau mantan pengguna narkoba, orang yang HIV/AIDS dan masyarakat miskin yang ingin perubahan dalam hidupnya. Sebenarnya mereka kurang dibantu (pemerintah) pun mereka memberikan prestasi, apalagi kalau dibantu,” paparnya. [6] Suatu hal yang agak sulit dimengerti bagi insan yang terpapar hegemoni kerangka berpikir sepakbola industri yang pada esensinya adalah kompetisi.
Kali lain, dalam konteks tim Persib yang kala itu akan bertanding menghadapi Persik Kediri pada Minggu (24/8/2014), Ferdinand mengajukan penyataan seolah sepakbola terlalu dangkal apabila bisa dijawab melalui penjelasan matematika. “Kalau kita hitung matematika bukan sepakbola namanya. Memang di atas kertas kita unggul tapi di lapangan beda. Mereka pernah sulitkan kita di Inter Island Cup kemarin. Mereka kan sempat unggul waktu itu dari kita meski akhirnya kita bisa mengejar. Kita punya keuntungan main di kandang jadi mau ga mau kita harus menang”. [7] Begitu pungkasnya, kurang posmo apalagi coba. Meskipun, ya, kondisi sepakbola hari ini begitu sangat dipengaruhi oleh pencapaian sains dan teknologi yang dirancang umat manusia. Dan tentu saja sudah sepatutnya mengamini bahwa rasionalitas telah membantu menghadapi mitos-mitos dan keyakinan-keyakinan tradisional yang tak berdasar, yang membuat manusia tak berdaya dalam menghadapi persoalan dunia. Teknologi video, sistem kepelatihan, statistik pertandingan adalah contoh hasil kemajuan pikiran manusia yang telah memungkinkan kajian terhadap tim lawan secara rinci dan teliti, dan itu cukup dijadikan bukti.
Barangkali, demikian yang bisa dituliskan. Tentu saja ini dibuat dalam rangka merayakan kembalinya Ferdinand Sinaga. Sebuah perspektif yang tidak memiliki tendensi menafsirkan kebenaran universal, melainkan sekadar ungkapan dalam menjalani kenyataan dunia kiwari yang monoton, kering, dan tidak menarik akibat pandemi —selain oleh karena kisruh politik-ekonomi dalam negeri.
Dan tentu sah-sah saja apabila kita memiliki harapan sesaat setelah kedatangan kembali Ferdinand, permainan Persib ke depannya tidak akan membosankan —setidaknya telah dibuat tenang karena aya nu ngajagaan pamaen ngora. Dalam hal ini, sepertinya kita semua bersepakat bahwa yang paling penting bagi tim adalah memberi kemenangan (dan setidaknya hiburan) kepada Bobotoh yang biasanya rela menyisihkan uang belanja harian demi melihat timnya berlaga. Bobotoh, yang ketika Persib kalah, seolah telah menjalani hari buruk lalu menjadi sasaran bully masal di lingkungan rumah, sekolah, atau tempatnya bekerja.
Setelah dipikir berulang kali, sepertinya sulit juga rupanya mencegah ribuan orang untuk berhenti berharap kepadanya. Bagaimana bisa tak berharap kepada seseorang yang pernah menjadi pemain terbaik Liga Indonesia?
***
[1].
[2].
[3].
Ferdinand Sinaga, Pituin Cicalengka dengan Naluri Pengembara
[4].
Aksi Mengejar Penonton dan Lempar Handuk Kiper PBR, Ferdinand Didenda Rp 75 Juta
https://www.google.com/amp/s/www.pikiran-rakyat.com/persib/amp/pr-01387295/persib-dalam-sejarah-pengakuan-ferdinand-sinaga-soal-insiden-buang-handuk-kiper-pbr
[5].
[6].
[7].
Penulis adalah seorang bobotoh bernama Yogi Esa Sukma Nugraha dengan akun Instagram @yogi_esa.
Berita Pilihan
Saat membaca ini, bobotoh di lini masa X pasti sedang banyak melihat seliweran poto dan info mengenai tim Persib Legend dengan menggunakan kaos bertuliskan salah satu calon presiden, Ganjar Pranowo. Dan pernyataan resmi klub tidak berafiliasi dengan mereka dan satu sosok calon presiden tertentu (atau dengan yang lain? #eh).
Jika kita bicarakan sedikit sejarah, sejauh yang saya baca, Persib dan suporternya termasuk salah satu entitas yang cukup aktif di sepakbola indonesia saat ada momentum politik. Kita mungkin masih ingat saat manager dan pemain Persib ikut kampanye politik pilbup Sumedang, juga saat sebagian suporter ikut kampanye calon legislatif, gubernur Jawa Barat pernah dijadikan duta tim, dan terakhir bagaimana munculnya komunitas bobotoh Jokowi pada tahun 2019 dan sekarang muncul fenomena Persib Legend ini.
Peneliti Halim dan Lalongan pernah menjelaskan bahwa sebuah partisipasi poliitk bisa dilakukan secara individual ataupun kolektif atau bersama-sama. Yang dilakukan secara individu biasanya tidak menimbulkan friksi di maksyarakat, namun jika dilakukan secara kolektif biasanya menimbulkan friksi, apalagi menyangkut suatu budaya populer yang sudah sangat menempel sebagai satu identitas kedaerahan, misalnya Persib.
Tapi kenapa pesona Persib begitu menawan untuk para elit dan kelompok politik? Teddy Tjahjono (dilansir bola.net) pernah mengkliam jika Persib memiliki 22 juta suporter, angka ini tentu sangat signifikan jika kita kaitkan pada sisi politik. Daftar pemilih tetap KPU untuk tahun 2024 sebanyak 204 juta penduduk. Bisakah terbayang berapa persen jika satu elit atau satu kelompok politik memiliki 2-30 persen dari 22 juta orang pendukung Persib Bandung saja. Dari angka itu sekilas kita tahu, Persib merupakan medium yang menarik untuk “terlibat” dalam politik. Kita pun seakan sudah tidak aneh lagi melihat gimmick politik dimana elit atau kelompok politik, menggunakan pernak-pernik Persib saat pemilihan umum, misal poto sambil membawa syal Persib saat musim kampanye, atau tiba-tiba menggunakan jaket Persib saat foto untuk baligo demi kepentingan elektoral, tapi apakah harus biasa dan mengerti? Negara kita mengatur akan hak ini dalam Pasal 43 Ayat (1 dan 2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dinyatakan, “setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”, jadi bebaskeun.
TAPI, dalam setiap kampanye politik, dalam format apapun itu, sistem penyaringan ada pada diri individu, diartikan setiap bobotoh punya kuasa atas dirinya sendiri, apa dia mau menerima informasi dan melaksanakan akan pesan politik yang disebarkan lewat klub atau kelompok suporternya tersebut atau tidak?
Kita tarik sedikit ke masa lalu, federasi sepakbola (PSSI) di Indonesia memang terbentuk atas dasar politik, sebagai sarana pemersatu bangsa Indonesia untuk melawan penerintahan Belanda saat itu. Jadi jika sekarang masih berpolitik, apakah Persib dan sepakbola Indonesia pada umumnya memang sudah ditakdirkan untuk selalu dekat dengan perpolitikan?
Saya jadi teringat salah satu adegan di The Simpsons, dimana Burney Gumble seorang pemabuk, melihat kampanye Mr. Burns, dia bilang “pemilihan umum? Bukankah itu saat para politikus menutup pintu mereka (untuk mendengarkan suara rakyat) bukan?”, every man for themselves, wahai bobotoh!
Ditulis oleh Kiki Esa Perdana. Penulis adalah bobotoh biasa saja yang kebetulan suka politik.
Pertandingan sudah memasuki pekan ke-8, Persib Bandung mencatatkan 1 kemenangan, 5 imbang, dan 2 kali kalah. Faktanya Persib berada di jurang degradasi, jurang degradasi! Melihat fakta seperti ini jelas sangat menyedihkan bagi Bobotoh Persib. Sampai pekan terakhir liga sehingga Persib degradasi? Siapa yang akan bertanggung jawab bila seperti ini? Tak terbayangkan bila Persib harus berjuang di liga 2, sungguh tak terbayangkan. Mau sampai kapan?
Keruwetan klub Persib sudah terlihat dari banyaknya persoalan yang sedang dihadapi, dari mulai persiapan yang tidak optimal, rombongan pelatih yang keluar secara mendadak pada pekan ke-3, pemain asing yang cedera pada debutnya, hubungan dengan suporter yang merenggang, hukuman untuk beberapa pemain yang terprovokasi sehingga mendapatkan sanksi dari komdis, serta stadion yang terlihat tidak full. Mau sampai kapan?
Akar masalah dari persoalan ini tampak jelas. Segera lakukan pendekatan dari semua elemen dari mulai manajemen, pelatih, pemain, serta suporter sehingga bisa mengembalikan Persib kembali kepada jalurnya. Perbaikan hubungan dengan Bobotoh menjadi hal yang krusial mengingat Persib sedang membutuhkan dukungan yang nyata dari suporternya. Sebesar apapun sebuah klub, bila tanpa dukungan yang nyata akan sangat berpengaruh terhadap performa pemain di atas lapangan. Pemain di locker room pun sepertinya selain faktor teknis ganti pelatih ganti strategi, tahu betul bahwa faktor persoalan dari luar lapangan mempengaruhi mental para pemain. Mau sampai kapan?
Saya meyakini bahwa semua elemen menginginkan yang terbaik untuk Persib. Persoalan yang berlarut akan sangat merugikan untuk klub Persib. Sebelum semuanya terlambat alangkah baiknya lakukan pendekatan dengan duduk bersama, saling menghargai pendapat, lupakan ego sejenak. Karakter budaya urang Sunda mah sangat besar dan mudah memaafkan. Saya hanya ingin Persib kembali ke jalur juara, sungguh ini sangat menyedihkan. Mau sampai kapan?
Penulis Tyas Agung Pratama (@tyspra), sehari-hari mencerdaskan anak bangsa. Bobotoh yang ingin kembali Persib juara.
Arena Bobotoh
Melupakan Persib Bandung Saat Ini Sebagai Warisan Budaya
Published
2 months agoon
24/07/2023Pada Podcast Simamaung Episode 24 (ditayangkan 6 September 2020) terdapat pernyataan dari narasumber episode tersebut (Hevi Fauzan). Disebutkan bahwa setelah kemerdekaan Republik Indonesia, aset-aset KNIL sekitaran jalan yang saat ini nama pulau (Jalan Manado, Jalan Ambon, Jalan Bali, Jalan Lombok dan seterusnya) diakuisisi oleh Angkatan Darat saat itu dengan mendirikan Divisi Siliwangi. Termasuk diantaranya lapangan sepak bola yang kemudian akhirnya dibangun menjadi sebuah stadion pada 1954 sebagai bagian dari persiapan ulang tahun Divisi Siliwangi ke-10, yang diberi nama Stadion Siliwangi.
Penamaan Siliwangi erat dengan budaya Sunda karena salah satu nama yang dibanggakan oleh orang Sunda terkait dengan sejarah Prabu Siliwangi. Walaupun nantinya perbedaan cerita Prabu Siliwangi namun benang merah sejarah terkait penggunaan logo Maung yang sejatinya binatang asli Jawa Barat dengan nama ilmiah (subspecies) Panthera Tigris Sondaica yang pada akhirnya patut kita hormati sebagai bagian sejarah Persib Bandung yang mengakar dan menjadi cerita karena Stadion Siliwangi sendiri menjadi bagian dari estafet perkembangan Persib Bandung.
Diceritakan juga bagaimana pernah ada saksi sejarah pertandingan Persib Bandung melawan PSV Eindhoven seorang bapak tua dari Cianjur dan teman-temannya saat itu menggunakan angkutan umum untuk datang ke Stadion Siliwangi dan memiliki kebanggaan untuk menceritakan pertandingan tersebut kepada orang lain ataupun anak dan atau cucunya kelak. Persib Bandung menjadi sangat melekat dengan Stadion Siliwangi karena pada saat itu dianggap representatif dan termegah pada zamannya hingga akhirnya bertahap Persib Bandung pindah ke Stadion Si Jalak Harupat.
Kembali pada waktu lampau, saat Persib Bandung masih dikelola pemerintah kota Bandung dimana Persib Bandung sebagai karakter dan budaya yang mengakar karena dianggap mewakili identitas, semangat dan bagian hidup orang Sunda umumnya Jawa Barat. Level fanatisme yang terjadi sudah tidak terlihat dengan penggunaan identitas Persib Bandung namun terlihat dari antusiasme dan cara ekspresi Bobotoh yang menceritakan Persib Bandung dari masa ke masa sehingga jumlah Bobotoh berkembang dan membentuk kelompok-kelompok pendukung Persib Bandung.
Sehingga menimbulkan transisi sejarah cerita Persib Bandung dari Stadion Siliwangi ke Stadion Si Jalak Harupat hingga ke Stadion Gelora Bandung Lautan Api, namun transisi sejarah ini juga tetap melekat dan meninggalkan banyak cerita dukungan Bobotoh mendukung Persib Bandung. Banyak juga kita temukan fakta bahwa tidak semua Bobotoh yang datang ke Stadion dapat masuk menonton langsung. Namun saat ini kita hanya dapat mengenang romantisme bagaimana mendengarkan siaran tandang Persib Bandung melalui Radio RRI, memanjat pohon atau tiang lampu di Stadion Siliwangi untuk melihat pertandingan langsung dan hal lain yang menjadi kenangan dalam cerita mendukung Persib Bandung.
Memasuki era industri saat ini, kita belum melihat langkah PT Persib Bandung Bermartabat menjadikan Persib Bandung sebagai Intengible Heritage (Warisan budaya tak benda dalam konteks Persib Bandung sebagai nilai hidup dan turun temurun). Entah itu didaftarkan pada UNESCO ataupun sebagai bagian dari konsep PT Persib Bandung Bermartabat dalam mengelola fanatisme Bobotoh di tengah perpaduan pengelolaan era industri dari era budaya yang menjadikan jarak yang terlalu jauh saat ini.
Pengelolaan tiket, pengelolaan hubungan dengan kelompok Bobotoh dan cara interaksi dalam media sosial menjadi hal yang saat ini disorot oleh kelompok Bobotoh. Belum lagi konflik internal pelatih dan pemain yang menjadi bulan-bulanan bagi Bobotoh. Tentu hal ini sangat mengganggu dan membuat kharisma Persib Bandung sebagai budaya menjadi sangat rumit karena tuntutan industri dan rasa memiliki dari kelompok Bobotoh.
Salah satu yang dibutuhkan saat ini bagi pemain dan bagi pelatih baru Persib Bandung adalah memahami dan menunjukkan di lapangan semangat Persib Bandung dengan karakter dalam bermain sehingga identitas Persib Bandung muncul kembali sehingga dapat mengangkat moral elemen Persib Bandung, sebagai contoh kita sebagai Bobotoh akan selalu yakin Persib Bandung dapat menunjukkan semangat berjuang dalam bermain walaupun tertinggal gol. Kita dapat melihat pertandingan Persib Bandung melawan Arema Malang di Stadion Si Jalak Harupat pada 2014 yang berkesudahan 3-2, dimana saat babak pertama tertinggal 0-2, semangat dan karakter Tantan saat itu menjadi titik balik kemenangan, apakah pada saat itu Tantan menerima strategi khusus dari Djadjang Nurjaman? Dalam cerita yang kita tahu tidak ada, semangat moral dan karakter yang akhirnya menjadi pembeda.
Semoga masalah karakter dan semangat moral ini dapat diperbaiki setelah kekalahan melawan PSM Makassar kemarin dan dijawab oleh pelatih baru, mengembalikan karakter ini penting sebelum aplikasi strategi dalam konteks Persib Bandung. Saat ini melupakan pertandingan Persib Bandung menjadi hal yang mudah karena akses mendapatkan tiket menjadi panjang, menyaksikan pada televisi juga menjadi hal yang mudah ditinggalkan cukup dengan mengetahui hasil akhir. Semua terjadi karena jauhnya pengelolaan Persib Bandung dari fase budaya, konflik dengan kelompok Bobotoh adalah hal yang seharusnya tidak terjadi.
Kita juga berharap PT Persib Bandung Bermartarbat dapat mengubah pola pengelolaan untuk dapat lebih merangkul kelompok Bobotoh sehingga tidak menghilangkan landasan budaya sebelum akhirnya berbicara pengelolaan yang jauh lebih teknis dan lebih industrial.
Ditulis Yosha Rory, dengan akun Twitter @roryosha

Sempat Dikabarkan Menyusul ke Timnas Asian Games 2022, Beckham Batal Gabung

Persib Gacor saat Duo Brasil Tidak Main Bareng, Ini Komentar Bojan

Perasaan Ciro Cetak Gol Penentu Usai Alami Cedera
Arsip
Trending
-
Berita Persib3 days ago
Turun Gunung, Yana Umar Kembali Jadi Capo Viking Persib Club
-
Berita Persib2 days ago
Respon Bojan Hodak Atas Kemenangan Dramatis Persib
-
Berita Persib2 days ago
Alasan Pelatih Persib Banyak Tarik Keluar Gelandang
-
Berita Persib2 days ago
Persib Gacor saat Duo Brasil Tidak Main Bareng, Ini Komentar Bojan
-
Berita Persib3 days ago
Perbedaan Bojan Hodak dan Luis Milla Menurut Kuipers
-
Berita Persib3 days ago
Kata Pelatih Bhayangkara FC, Persib Ditangan Bojan Hodak
-
Berita Persib3 days ago
Komunitas Bobotoh Beri Deadline untuk Dialog ke PT PBB
-
Berita Persib4 days ago
Miro Petric Pastikan Mayoritas Pemain Siap Tarung
Komentar Bobotoh