(Arena Bobotoh) Selamat Datang [Kembali] Ferdinand Sinaga
Sunday, 07 March 2021 | 14:59
Saat menonton cuplikan ulang final Liga Indonesia 2014, saya kerap larut ke dalam perasaan yang sama: haru bercampur gembira. Besar kemungkinan, itu pula yang dirasakan jutaan bobotoh lainnya ketika menemui momen serupa.
Musim itu, salah satu pemain penting yang ada dalam tim Persib adalah Ferdinand Sinaga. Ia turut menyumbangkan 12 gol saat mengantarkan gelar juara PERSIB. Bahkan terpilih menjadi pemain terbaik ISL 2014.
Dan kemarin, Ferdinand resmi berseragam Persib lagi. Dia didatangkan dalam persiapan Maung Bandung menatap Piala Menpora 2021. Tentu saja tidak sedikit yang berbahagia setelah laman resmi Persib mengumumkan kembalinya Ferdinand ke Kota Kembang.
“Setelah tujuh tahun berkelana, akhirnya ia pulang kembali ke Bandung untuk berbaju Persib. Bersama ini, manajemen PT Persib Bandung Bermartabat resmi mengumumkan kerjasama kembali dengan Ferdinand Sinaga,” ujar PT Persib melalui laman official Persib Bandung.
Sebelumnya, selama enam tahun terakhir, Ferdinand banyak menghabiskan waktunya bersama PSM Makassar dan memberikan gelar Piala Indonesia. Barangkali, di sanalah hubungan keduanya yang bersifat resiprokal dimulai. Sebab, coach Rene Albert juga tanpa sungkan menyukai dan kerap memuji Ferdinand Sinaga. Si bengal yang bahkan kredibilitasnya sudah teruji—sejak di tingkat junior malah.
***
Bila sepak bola yang ditawarkan Jose Mourinho —yang melulu mengutamakan hasil dibanding proses— dimaknai sebagai perwujudan gagasan filsafat pragmatis, maka gaya dan pembawaan Ferdinand Sinaga layak dimaknai sebagai perwujudan gagasan postmodern.
Postmodernisme (selanjutnya disingkat posmo) secara definisi, bisa diartikan sebagai aliran filsafat, bisa juga periode sejarah, atau —setidaknya dalam konteks ini, saya mengacu kepada Prof Bambang Sugiharto, yang mengartikan posmo sebagai— kerangka berpikir, mentalitas baru, dengan upaya melampaui atau kulminasi tendensi kritis atas kerangka berpikir modern. Atau, kritik imanen terhadap modernisme dalam rangka mengatasi berbagai konsekuensi negatifnya.
Salah satu pendekatan dalam kajian posmo dikenal dengan pendekatan dekonstruksi, yang karakteristiknya menegasi hirarki. Seperti posmo yang menggugat keteraturan yang digaungkan modernisme, Ferdinand Sinaga juga mengobrak-abrik kemapanan yang cukup hirarkis di lapangan hijau. Suatu hal yang mewujud dalam sebuah pertandingan persahabatan di tahun 2007. Saat itu skuad Persib asuhan Arcan Iurie melakukan ujicoba melawan Persib Junior.
Dalam uraian yang ditulis Riphan Pradipta, [1] disebutkan bahwa habitus pemain junior Bandung selalu sungkan ketika diujitandingkan dengan tim seniornya: bermain penuh kesopanan, tidak boleh kasar, takut melakukan tekel, berbangga karena bisa bermain dengan para seniornya. Ringkasnya, seperti yang diharapkan dalam program penataran orba: tepa selira.
Tapi yang terjadi saat pertandingan itu di luar dugaan banyak orang, Ferdinand saat itu malah terlibat friksi dengan seniornya, Pato Jimenez.
Semangat posmo juga mewujud saat awal Ferdinand Sinaga bergabung ke Persib, tahun 2013 silam. Dalam wawancara dengan simamaung, beliau menyatakan: “Tidak menutup kemungkinan Persib bisa meraih juara. Tapi itu tergantung teman-teman semua (pemain). Juara itu bukan karena nama besar. Juara itu kerja keras,” ujarnya. [2] Sebuah pernyataan yang memiliki tendensi untuk mempertanyakan asumsi dasar atas kemapanan yang ada dalam pikiran, selain juga menegaskan bahwa seluruh rangkaian kerjanya digerakkan lewat prinsip kerja keras. Bakat tidak akan berarti apa-apa tanpa etos kerja, begitu barangkali ia punya mantra.
Selain itu, seperti halnya posmo —yang dalam praktek kreativitasnya tidak sepenuhnya menolak modernisme, melainkan sekadar mempertimbangkannya kembali untuk dijadikan alat membangun kehidupan yang lebih baik dengan sikap eklektik yang kreatif— Ferdinand terus melakukan proses pencarian yang seolah tidak akan pernah selesai: mengembangkan kemungkinan yang dimiliki untuk mengafirmasi kebebasan. Mengembangkan potensi yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya. Publik sepakbola Batang, Magelang, Wamena, Padang, Samarinda, Palembang, dan Makassar, pernah menikmati kelihaiannya. Secara verbal ia mengatakan, “Kalau saya satu tahun satu tim, karena itu menurut saya untuk menguji mental saya dan untuk mempertebal itu di setiap pertandingan. Jadi di setiap tim saya harus siap mencari lagi tantangan baru, lebih siap lagi. Di satu tim menempa lalu ke tim lainnya menguji lagi tetapi tetap berusaha memberikan yang positif,” [3]
Sehubungan dengan itu, pandangan modernisme yang menganggap bahwa kebenaran harus mutlak serta objektif, serta tidak adanya nilai dari manusia juga layak diruntuhkan tatkala penyerang yang dikenal badboy itu berlari mengejar oknum suporter Ibukota yang mengejeknya —atas dasar sentimental klub rival— saat ia sedang membela Timnas dalam laga persahabatan melawan Asean All Star 2016 silam. Ketika laga usai, tanpa diduga, Ferdinand berlari menaiki pagar pembatas dan masuk ke dalam tribun mengejar yang meledeknya.
Setelahnya bahkan ada lagi momen-momen emosional Ferdinand yang besar kemungkinan tak pernah bisa Bobotoh dilupakan. Misalnya, saat Ferdinand terlibat insiden dengan Dennis Romanovs, penjaga gawang Pelita Bandung Raya (PBR). Saat itu Persib berhadapan dengan PBR di Stadion Si Jalak Harupat, 20 Mei 2014.
Friksi yang terjadi bermula ketika Ferdinand membuang handuk besar yang tergantung di jala gawang Romanovs. Usai membuangnya ke tanah, Ferdinand kemudian menyiram handuk tersebut dengan air mineral. Romanovs yang tidak terima handuknya dibuang dan disiram, langsung mendorong Ferdinand. Keributan antara keduanya pun tak terhindarkan. Namun, enam tahun berselang setelah insiden tersebut, Ferdinand mengungkapkan alasannya membuang handuk tersebut di kanal Youtube pribadinya.
“Saya masuk di pertengahan babak kedua. Persib tertinggal 2-1 ketika saya masuk. Nah, saya langsung melihat ada sesuatu yang janggal di mana ada handuk besar tergantung di jala gawang. Saya ambil itu handuk, saya buang dan saya siram,” ujarnya. [4] Namun dalam hal ini, saya memiliki asumsi pribadi atas insiden itu, yang hanyalah sebagai bagian dari perang psikologis di lapangan, tentu saja hanya untuk mengganggu konsentrasi lawan, tidak ada kaitannya dengan klenik, misalnya.
Akan tetapi, tentu saja hal itu mengundang tanggapan Ketua Komisi Disipilin PSSI saat itu, Hinca Pandjaitan, yang menilai tindakan yang dilakukan Ferdinand merupakan bentuk provokasi. Beliau beranggapan bahwa tindakan Ferdinand melampaui kepatutan yang tidak seharusnya dipertontonkan pemain sehingga itu masuk kategori provokatif yang menabrak asas respect dan fairness. Dan, ya, begitulah, dunia kadangkala dihiasi opisisi biner hitam-putih, kawan-lawan, baik-buruk agar hidup lebih mudah untuk dipahami dan tatanan sosial bisa ditegakkan.
Padahal, secara faktual, ada sisi kemanusiaan dalam diri Ferdinand Sinaga yang terekam saat diwawancara simamaung di Mess Persib. “Siapa aja pemimpinnya yang penting lihat rakyat kecil, jangan cuma janji-janji. Kita sudah merasakan janji-janji itu sudah dari kapan tahun. Sekarang itu yang kita butuhkan itu kerja nyatanya,” [5] ucapnya saat diminta tanggapan mengenai harapan terhadap orang yang akan memimpin Indonesia sebelum Pemilu Presiden 2014.
Selain memperhatikan rakyat kecil, Ferdinand juga berharap orang nomor satu di Indonesia memperhatikan nasib atlet-atlet yang sudah tidak produktif. Ferdinand sadar bahwa dirinya juga yang berprofesi sebagai atlet sepakbola tidak selamanya akan terus bermain seiring bertambahnya usia. Kesan ini layak melekat kuat dalam sanubari kita sehingga jangan sampai menutupi pandangan bahwa sepakbola pada dasarnya adalah olahraga kelas pekerja.
Dan Ferdinand juga memiliki concern terhadap tim nasional street soccer Indonesia untuk ajang Homeless World Cup. Bentuk dukungannya berupa menyumbang beberapa barang bekas pakai yang akan dilelang oleh Rumah Cemara, national organizer HWC di Indonesia. Ferdinand pun berupaya menyerukan kepada rekan-rekan lainnya di tim Persib untuk turut menyumbangkan barang demi membantu dana pemberangkatan tim HWC Indonesia ke Santiago, Chile, pada Oktober 2014 silam.
“Saya baca beritanya (mengenai timnas HWC Indonesia) dan dengar dari mereka (Rumah Cemara) langsung. Saya senang juga dengan prestasi yang begitu bagus, dengan semangat yang luar biasa karena mereka inikan pengguna atau mantan pengguna narkoba, orang yang HIV/AIDS dan masyarakat miskin yang ingin perubahan dalam hidupnya. Sebenarnya mereka kurang dibantu (pemerintah) pun mereka memberikan prestasi, apalagi kalau dibantu,” paparnya. [6] Suatu hal yang agak sulit dimengerti bagi insan yang terpapar hegemoni kerangka berpikir sepakbola industri yang pada esensinya adalah kompetisi.
Kali lain, dalam konteks tim Persib yang kala itu akan bertanding menghadapi Persik Kediri pada Minggu (24/8/2014), Ferdinand mengajukan penyataan seolah sepakbola terlalu dangkal apabila bisa dijawab melalui penjelasan matematika. “Kalau kita hitung matematika bukan sepakbola namanya. Memang di atas kertas kita unggul tapi di lapangan beda. Mereka pernah sulitkan kita di Inter Island Cup kemarin. Mereka kan sempat unggul waktu itu dari kita meski akhirnya kita bisa mengejar. Kita punya keuntungan main di kandang jadi mau ga mau kita harus menang”. [7] Begitu pungkasnya, kurang posmo apalagi coba. Meskipun, ya, kondisi sepakbola hari ini begitu sangat dipengaruhi oleh pencapaian sains dan teknologi yang dirancang umat manusia. Dan tentu saja sudah sepatutnya mengamini bahwa rasionalitas telah membantu menghadapi mitos-mitos dan keyakinan-keyakinan tradisional yang tak berdasar, yang membuat manusia tak berdaya dalam menghadapi persoalan dunia. Teknologi video, sistem kepelatihan, statistik pertandingan adalah contoh hasil kemajuan pikiran manusia yang telah memungkinkan kajian terhadap tim lawan secara rinci dan teliti, dan itu cukup dijadikan bukti.
Barangkali, demikian yang bisa dituliskan. Tentu saja ini dibuat dalam rangka merayakan kembalinya Ferdinand Sinaga. Sebuah perspektif yang tidak memiliki tendensi menafsirkan kebenaran universal, melainkan sekadar ungkapan dalam menjalani kenyataan dunia kiwari yang monoton, kering, dan tidak menarik akibat pandemi —selain oleh karena kisruh politik-ekonomi dalam negeri.
Dan tentu sah-sah saja apabila kita memiliki harapan sesaat setelah kedatangan kembali Ferdinand, permainan Persib ke depannya tidak akan membosankan —setidaknya telah dibuat tenang karena aya nu ngajagaan pamaen ngora. Dalam hal ini, sepertinya kita semua bersepakat bahwa yang paling penting bagi tim adalah memberi kemenangan (dan setidaknya hiburan) kepada Bobotoh yang biasanya rela menyisihkan uang belanja harian demi melihat timnya berlaga. Bobotoh, yang ketika Persib kalah, seolah telah menjalani hari buruk lalu menjadi sasaran bully masal di lingkungan rumah, sekolah, atau tempatnya bekerja.
Setelah dipikir berulang kali, sepertinya sulit juga rupanya mencegah ribuan orang untuk berhenti berharap kepadanya. Bagaimana bisa tak berharap kepada seseorang yang pernah menjadi pemain terbaik Liga Indonesia?
***
[1].
[2].
[3].
Ferdinand Sinaga, Pituin Cicalengka dengan Naluri Pengembara
[4].
Aksi Mengejar Penonton dan Lempar Handuk Kiper PBR, Ferdinand Didenda Rp 75 Juta
https://www.google.com/amp/s/www.pikiran-rakyat.com/persib/amp/pr-01387295/persib-dalam-sejarah-pengakuan-ferdinand-sinaga-soal-insiden-buang-handuk-kiper-pbr
[5].
[6].
[7].
Penulis adalah seorang bobotoh bernama Yogi Esa Sukma Nugraha dengan akun Instagram @yogi_esa.

Saat menonton cuplikan ulang final Liga Indonesia 2014, saya kerap larut ke dalam perasaan yang sama: haru bercampur gembira. Besar kemungkinan, itu pula yang dirasakan jutaan bobotoh lainnya ketika menemui momen serupa.
Musim itu, salah satu pemain penting yang ada dalam tim Persib adalah Ferdinand Sinaga. Ia turut menyumbangkan 12 gol saat mengantarkan gelar juara PERSIB. Bahkan terpilih menjadi pemain terbaik ISL 2014.
Dan kemarin, Ferdinand resmi berseragam Persib lagi. Dia didatangkan dalam persiapan Maung Bandung menatap Piala Menpora 2021. Tentu saja tidak sedikit yang berbahagia setelah laman resmi Persib mengumumkan kembalinya Ferdinand ke Kota Kembang.
“Setelah tujuh tahun berkelana, akhirnya ia pulang kembali ke Bandung untuk berbaju Persib. Bersama ini, manajemen PT Persib Bandung Bermartabat resmi mengumumkan kerjasama kembali dengan Ferdinand Sinaga,” ujar PT Persib melalui laman official Persib Bandung.
Sebelumnya, selama enam tahun terakhir, Ferdinand banyak menghabiskan waktunya bersama PSM Makassar dan memberikan gelar Piala Indonesia. Barangkali, di sanalah hubungan keduanya yang bersifat resiprokal dimulai. Sebab, coach Rene Albert juga tanpa sungkan menyukai dan kerap memuji Ferdinand Sinaga. Si bengal yang bahkan kredibilitasnya sudah teruji—sejak di tingkat junior malah.
***
Bila sepak bola yang ditawarkan Jose Mourinho —yang melulu mengutamakan hasil dibanding proses— dimaknai sebagai perwujudan gagasan filsafat pragmatis, maka gaya dan pembawaan Ferdinand Sinaga layak dimaknai sebagai perwujudan gagasan postmodern.
Postmodernisme (selanjutnya disingkat posmo) secara definisi, bisa diartikan sebagai aliran filsafat, bisa juga periode sejarah, atau —setidaknya dalam konteks ini, saya mengacu kepada Prof Bambang Sugiharto, yang mengartikan posmo sebagai— kerangka berpikir, mentalitas baru, dengan upaya melampaui atau kulminasi tendensi kritis atas kerangka berpikir modern. Atau, kritik imanen terhadap modernisme dalam rangka mengatasi berbagai konsekuensi negatifnya.
Salah satu pendekatan dalam kajian posmo dikenal dengan pendekatan dekonstruksi, yang karakteristiknya menegasi hirarki. Seperti posmo yang menggugat keteraturan yang digaungkan modernisme, Ferdinand Sinaga juga mengobrak-abrik kemapanan yang cukup hirarkis di lapangan hijau. Suatu hal yang mewujud dalam sebuah pertandingan persahabatan di tahun 2007. Saat itu skuad Persib asuhan Arcan Iurie melakukan ujicoba melawan Persib Junior.
Dalam uraian yang ditulis Riphan Pradipta, [1] disebutkan bahwa habitus pemain junior Bandung selalu sungkan ketika diujitandingkan dengan tim seniornya: bermain penuh kesopanan, tidak boleh kasar, takut melakukan tekel, berbangga karena bisa bermain dengan para seniornya. Ringkasnya, seperti yang diharapkan dalam program penataran orba: tepa selira.
Tapi yang terjadi saat pertandingan itu di luar dugaan banyak orang, Ferdinand saat itu malah terlibat friksi dengan seniornya, Pato Jimenez.
Semangat posmo juga mewujud saat awal Ferdinand Sinaga bergabung ke Persib, tahun 2013 silam. Dalam wawancara dengan simamaung, beliau menyatakan: “Tidak menutup kemungkinan Persib bisa meraih juara. Tapi itu tergantung teman-teman semua (pemain). Juara itu bukan karena nama besar. Juara itu kerja keras,” ujarnya. [2] Sebuah pernyataan yang memiliki tendensi untuk mempertanyakan asumsi dasar atas kemapanan yang ada dalam pikiran, selain juga menegaskan bahwa seluruh rangkaian kerjanya digerakkan lewat prinsip kerja keras. Bakat tidak akan berarti apa-apa tanpa etos kerja, begitu barangkali ia punya mantra.
Selain itu, seperti halnya posmo —yang dalam praktek kreativitasnya tidak sepenuhnya menolak modernisme, melainkan sekadar mempertimbangkannya kembali untuk dijadikan alat membangun kehidupan yang lebih baik dengan sikap eklektik yang kreatif— Ferdinand terus melakukan proses pencarian yang seolah tidak akan pernah selesai: mengembangkan kemungkinan yang dimiliki untuk mengafirmasi kebebasan. Mengembangkan potensi yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya. Publik sepakbola Batang, Magelang, Wamena, Padang, Samarinda, Palembang, dan Makassar, pernah menikmati kelihaiannya. Secara verbal ia mengatakan, “Kalau saya satu tahun satu tim, karena itu menurut saya untuk menguji mental saya dan untuk mempertebal itu di setiap pertandingan. Jadi di setiap tim saya harus siap mencari lagi tantangan baru, lebih siap lagi. Di satu tim menempa lalu ke tim lainnya menguji lagi tetapi tetap berusaha memberikan yang positif,” [3]
Sehubungan dengan itu, pandangan modernisme yang menganggap bahwa kebenaran harus mutlak serta objektif, serta tidak adanya nilai dari manusia juga layak diruntuhkan tatkala penyerang yang dikenal badboy itu berlari mengejar oknum suporter Ibukota yang mengejeknya —atas dasar sentimental klub rival— saat ia sedang membela Timnas dalam laga persahabatan melawan Asean All Star 2016 silam. Ketika laga usai, tanpa diduga, Ferdinand berlari menaiki pagar pembatas dan masuk ke dalam tribun mengejar yang meledeknya.
Setelahnya bahkan ada lagi momen-momen emosional Ferdinand yang besar kemungkinan tak pernah bisa Bobotoh dilupakan. Misalnya, saat Ferdinand terlibat insiden dengan Dennis Romanovs, penjaga gawang Pelita Bandung Raya (PBR). Saat itu Persib berhadapan dengan PBR di Stadion Si Jalak Harupat, 20 Mei 2014.
Friksi yang terjadi bermula ketika Ferdinand membuang handuk besar yang tergantung di jala gawang Romanovs. Usai membuangnya ke tanah, Ferdinand kemudian menyiram handuk tersebut dengan air mineral. Romanovs yang tidak terima handuknya dibuang dan disiram, langsung mendorong Ferdinand. Keributan antara keduanya pun tak terhindarkan. Namun, enam tahun berselang setelah insiden tersebut, Ferdinand mengungkapkan alasannya membuang handuk tersebut di kanal Youtube pribadinya.
“Saya masuk di pertengahan babak kedua. Persib tertinggal 2-1 ketika saya masuk. Nah, saya langsung melihat ada sesuatu yang janggal di mana ada handuk besar tergantung di jala gawang. Saya ambil itu handuk, saya buang dan saya siram,” ujarnya. [4] Namun dalam hal ini, saya memiliki asumsi pribadi atas insiden itu, yang hanyalah sebagai bagian dari perang psikologis di lapangan, tentu saja hanya untuk mengganggu konsentrasi lawan, tidak ada kaitannya dengan klenik, misalnya.
Akan tetapi, tentu saja hal itu mengundang tanggapan Ketua Komisi Disipilin PSSI saat itu, Hinca Pandjaitan, yang menilai tindakan yang dilakukan Ferdinand merupakan bentuk provokasi. Beliau beranggapan bahwa tindakan Ferdinand melampaui kepatutan yang tidak seharusnya dipertontonkan pemain sehingga itu masuk kategori provokatif yang menabrak asas respect dan fairness. Dan, ya, begitulah, dunia kadangkala dihiasi opisisi biner hitam-putih, kawan-lawan, baik-buruk agar hidup lebih mudah untuk dipahami dan tatanan sosial bisa ditegakkan.
Padahal, secara faktual, ada sisi kemanusiaan dalam diri Ferdinand Sinaga yang terekam saat diwawancara simamaung di Mess Persib. “Siapa aja pemimpinnya yang penting lihat rakyat kecil, jangan cuma janji-janji. Kita sudah merasakan janji-janji itu sudah dari kapan tahun. Sekarang itu yang kita butuhkan itu kerja nyatanya,” [5] ucapnya saat diminta tanggapan mengenai harapan terhadap orang yang akan memimpin Indonesia sebelum Pemilu Presiden 2014.
Selain memperhatikan rakyat kecil, Ferdinand juga berharap orang nomor satu di Indonesia memperhatikan nasib atlet-atlet yang sudah tidak produktif. Ferdinand sadar bahwa dirinya juga yang berprofesi sebagai atlet sepakbola tidak selamanya akan terus bermain seiring bertambahnya usia. Kesan ini layak melekat kuat dalam sanubari kita sehingga jangan sampai menutupi pandangan bahwa sepakbola pada dasarnya adalah olahraga kelas pekerja.
Dan Ferdinand juga memiliki concern terhadap tim nasional street soccer Indonesia untuk ajang Homeless World Cup. Bentuk dukungannya berupa menyumbang beberapa barang bekas pakai yang akan dilelang oleh Rumah Cemara, national organizer HWC di Indonesia. Ferdinand pun berupaya menyerukan kepada rekan-rekan lainnya di tim Persib untuk turut menyumbangkan barang demi membantu dana pemberangkatan tim HWC Indonesia ke Santiago, Chile, pada Oktober 2014 silam.
“Saya baca beritanya (mengenai timnas HWC Indonesia) dan dengar dari mereka (Rumah Cemara) langsung. Saya senang juga dengan prestasi yang begitu bagus, dengan semangat yang luar biasa karena mereka inikan pengguna atau mantan pengguna narkoba, orang yang HIV/AIDS dan masyarakat miskin yang ingin perubahan dalam hidupnya. Sebenarnya mereka kurang dibantu (pemerintah) pun mereka memberikan prestasi, apalagi kalau dibantu,” paparnya. [6] Suatu hal yang agak sulit dimengerti bagi insan yang terpapar hegemoni kerangka berpikir sepakbola industri yang pada esensinya adalah kompetisi.
Kali lain, dalam konteks tim Persib yang kala itu akan bertanding menghadapi Persik Kediri pada Minggu (24/8/2014), Ferdinand mengajukan penyataan seolah sepakbola terlalu dangkal apabila bisa dijawab melalui penjelasan matematika. “Kalau kita hitung matematika bukan sepakbola namanya. Memang di atas kertas kita unggul tapi di lapangan beda. Mereka pernah sulitkan kita di Inter Island Cup kemarin. Mereka kan sempat unggul waktu itu dari kita meski akhirnya kita bisa mengejar. Kita punya keuntungan main di kandang jadi mau ga mau kita harus menang”. [7] Begitu pungkasnya, kurang posmo apalagi coba. Meskipun, ya, kondisi sepakbola hari ini begitu sangat dipengaruhi oleh pencapaian sains dan teknologi yang dirancang umat manusia. Dan tentu saja sudah sepatutnya mengamini bahwa rasionalitas telah membantu menghadapi mitos-mitos dan keyakinan-keyakinan tradisional yang tak berdasar, yang membuat manusia tak berdaya dalam menghadapi persoalan dunia. Teknologi video, sistem kepelatihan, statistik pertandingan adalah contoh hasil kemajuan pikiran manusia yang telah memungkinkan kajian terhadap tim lawan secara rinci dan teliti, dan itu cukup dijadikan bukti.
Barangkali, demikian yang bisa dituliskan. Tentu saja ini dibuat dalam rangka merayakan kembalinya Ferdinand Sinaga. Sebuah perspektif yang tidak memiliki tendensi menafsirkan kebenaran universal, melainkan sekadar ungkapan dalam menjalani kenyataan dunia kiwari yang monoton, kering, dan tidak menarik akibat pandemi —selain oleh karena kisruh politik-ekonomi dalam negeri.
Dan tentu sah-sah saja apabila kita memiliki harapan sesaat setelah kedatangan kembali Ferdinand, permainan Persib ke depannya tidak akan membosankan —setidaknya telah dibuat tenang karena aya nu ngajagaan pamaen ngora. Dalam hal ini, sepertinya kita semua bersepakat bahwa yang paling penting bagi tim adalah memberi kemenangan (dan setidaknya hiburan) kepada Bobotoh yang biasanya rela menyisihkan uang belanja harian demi melihat timnya berlaga. Bobotoh, yang ketika Persib kalah, seolah telah menjalani hari buruk lalu menjadi sasaran bully masal di lingkungan rumah, sekolah, atau tempatnya bekerja.
Setelah dipikir berulang kali, sepertinya sulit juga rupanya mencegah ribuan orang untuk berhenti berharap kepadanya. Bagaimana bisa tak berharap kepada seseorang yang pernah menjadi pemain terbaik Liga Indonesia?
***
[1].
[2].
[3].
Ferdinand Sinaga, Pituin Cicalengka dengan Naluri Pengembara
[4].
Aksi Mengejar Penonton dan Lempar Handuk Kiper PBR, Ferdinand Didenda Rp 75 Juta
https://www.google.com/amp/s/www.pikiran-rakyat.com/persib/amp/pr-01387295/persib-dalam-sejarah-pengakuan-ferdinand-sinaga-soal-insiden-buang-handuk-kiper-pbr
[5].
[6].
[7].
Penulis adalah seorang bobotoh bernama Yogi Esa Sukma Nugraha dengan akun Instagram @yogi_esa.
